Tersenyumlah Astrea
Ibu macam apa yang membunuh senyum anaknya sendiri?
Jika kau bertanya, maka itu adalah aku.
Dari mana semua ini dimulai? Oh, benar. Aku menyukai pria biasa pemain basket jalanan dan dia juga menyukaiku. Hubungan itu bertahan sampai bertahun-tahun lamanya tanpa melirik orang lain.
Saat umur kami sudah memasuki usia matang untuk menikah, lelaki yang kucintai itu melamarku dengan suasana amat sederhana. Itulah salah satu poin yang kusukai darinya. Dia terlalu sederhana namun tulus.
Kami pun menikah di pondok kecil yang sudah dihiasi olehnya sedemikian rupa. Pernikahan kecil-kecilan nan sederhana, tetapi melekat di hatiku. Bahkan sampai sekarang pun aku masih bisa merasakan momen pertukaran cincin seolah baru terjadi kemarin.
Dua bulan setelah menikah, aku pun mengandung putra. Berita gembira yang menyejukkan keluarga kecil kami. Pria yang kucintai merawatku amat telaten, melarangku bekerja, menyayangiku sepenuhnya—juga anak kami tentunya.
Suami dambaan. Aku sangat mencintainya. Bagaimana mungkin dia bekerja di kantor sekaligus mengurusku sama sekali tidak membuatnya kelelahan?
"Karena senyummu sumber semangatku, Wona. Kebahagiaanmu membuatku over power," candanya tersenyum lebar, mengecup keningku.
Dan sembilan bulan kemudian, aku melahirkan. Suara tangis bayi yang membuat air mataku mengalir. Air mata kebahagiaan.
Setelah berdebat singkat soal nama, kami pun sepakat memberi nama 'Astrea'. Nama yang pas untuk seukuran anak laki-laki. Aku bangga, juga suamiku. Astrea bayi yang sehat.
"Kelak dia akan jadi sukses seperti Ibunya," gumamku memulai perdebatan.
"Kau bercanda, Wona? Tentu dia akan menuruti karir Ayahnya!" Suamiku tidak mau kalah. Lucu. "Lihat hidungnya, mirip denganku!"
"Oh, ya? Aku yakin dia mengikuti gen kepintaran Ibunya." Aku terkekeh kecil.
Berbulan-bulan berlalu. Dengan kesabaran dan kehangatan, kami berdua membesarkan Astrea menjadi anak baik dan melatihnya tidak melakukan perbuatan jahat. Kami mendidiknya sebisa mungkin.
Bulan berganti menjadi tahun. Astrea memiliki ketampanan Ayahnya dan memiliki kepintaranku. Astaga, kombinasi yang mengagumkan.
Lalu 8 tahun kemudian, tiba hari ulang tahun Astrea. Astrea sudah menolak halus agar kami tidak merayakannya.
"Diucapkan saja sudah membuat Astrea senang, Yah, Bu. Terima kasih." Begitu ucapnya. Duh, aku senang sekali dengan kepribadian Astrea. "Astrea tidak mau merepotkan kalian."
"Tidak apa, Nak, kami sudah merencanakan jauh-jauh hari tentang ini."
"Eh?" Astrea mengerjap.
Aku mengeluarkan kue yang sudah kami siapkan sejak tadi. "Kejutan!!!! Selamat ulang tahun, sayang!"
Astrea tertegun menatap kue di depannya, berkaca-kaca. Dia tersenyum getir. "Terima kasih. Astrea sangat bahagia."
Kami adalah keluarga yang bahagia. Saling mencintai, menyayangi dan menjaga satu sama lain. Memancarkan aura keharmonisan yang besar.
Tapi, itu dulu.
Sekarang tidak.
Sekarang semuanya sudah retak dan hancur.
Tidak ada lagi senyum bahagia.
Tidak ada lagi keluarga bahagia.
"Tunggu, itu salahku? JELAS-JELAS SALAHMU!" bentakku dengan suara tinggi, tak peduli ada Astrea di rumah. Aku sudah tidak peduli. "KAU KELUYURAN DAN PULANG MALAM TANPA MEMBERI KABAR!"
"KELUYURAN KATAMU? AKU MENCARI NAFKAH UNTUK MAKAN KALIAN SEHARI-HARI!"
"Oh, nafkah? Menafkahi wanita lain, hmm?"
Deg!
Aku menyeringai lebar. "Kenapa kau diam? Apa karena aku benar? KAU MERAYAU DAN PERGI MINUM-MINUM DENGAN WANITA LAIN! AKU MELIHAT SEMUA PERBUATANMU, ZEZAN! DAN INI BUKAN PERTAMA KALINYA!"
"Lantas apa?"
"Cerai. Aku ingin cerai."
"Oke."
Tak pernah kubayangkan Zezan menerima pernyataan itu. Dia sudah bukan Zezan yang kukenal. Dia pria sampah yang nafsu saat melihat wanita minim busana.
Hari-hari tanpa Zezan tidak berjalan bagus. Aku bolos bekerja, tidak memasak, membiarkan cucian menumpuk. Hanya menatap jalanan sambil minum-minum. Ada yang sakit di dalam sini mengambil separuh kesadaranku.
"Ibu, apa Ibu baik-baik saja?" Astrea bertanya khawatir, memegang lenganku.
Aku mengibaskan tangan kasar, mendorong Astrea ke belakang. "BERISIK KAU, ANAK SIALAN! PERGI KE NERAKA SANA!"
"Ibu belum makan berhari-hari."
Geram ketenanganku diganggu, aku pun mencengkeram erat tangan Astrea, menariknya ke kamar.
"Bu! Lepaskan! Tangan Astrea sakit, Bu!" seru Astrea meronta-ronta.
Aku melempar Astrea ke dalam kamar, mengambil sepotong kayu.
Aku sangat tertekan, terpukul, sedih, marah, putus asa, merasa tidak berguna lagi. Semuanya kulampiaskan pada Astrea. Aku memukulinya tanpa ampun setiap hari ke depan. Mengurungnya dan menyiksanya.
Astrea yang susah payah kubesarkan dengan baik berubah jadi boneka dingin tanpa emosi. Tubuhnya penuh dengan perban, luka lebam yang berwarna ungu. Kala ada yang datang ke rumah untuk belajar kelompok, Astrea menjawab,
"Jatuh dari tangga."
"Tidak mungkin jatuh dari tangga mendapat luka separah itu. Lagian, rumahmu tidak berlantai dua."
"Tugas kita sudah selesai, kan? Silakan pulang. Ibuku sebentar lagi datang. Dia tidak suka rumah kami ramai."
Malamnya, aku masuk ke ruangan Astrea. Tampak anak itu sedang fokus menulis sesuatu. Lengannya ungu dan biru. Dan aku tidak peduli. Harusnya aku menangis, tetapi aku hanya melakukan tawaran kosong. Hatiku hampa.
"Mau makan bersamaku?" ajakku datar.
Astrea terkesiap, seketika menoleh cepat ke arahku. Sekilas wajahnya terlihat 'senang' tetapi dua detik kemudian, dia kembali menundukkan kepala demi melihat wajah dinginku.
"Tidak usah, Bu, Astrea sudah makan tadi."
Kesal. Emosi. Aku selalu naik darah melihat wajah Astrea yang mirip sekali dengan Zezan. Dan, apa katanya barusan? 'Tidak usah'? Dia menolakku?
"ANAK DURHAKA! BERANI SEKALI MENOLAK AJAKAN ORANGTUA! KAU TIDAK TAHU APA YANG SUDAH KULAKUKAN SELAMA INI UNTUK MEMBESARKANMU?! KAU SAMA SAJA DENGAN AYAHMU!" Bertubi-tubi aku memukul tubuh Astrea dengan rotan dan segala benda yang bisa kugunakan.
Kemarahan menguasaiku.
Kenapa semuanya berubah begitu cepat? Aku mendapat kabar Zezan akan menikah lagi dengan wanita lain menambah luka di hatiku. Padahal dia sudah bersumpah takkan berpaling ke wanita lain selainku. Itu hanya sumpah palsu.
Memuakkan. Menyebalkan. Menjijikan. Aku tak bisa berhenti mengumpati Zezan saat dia tersenyum memasangkan cincin ke pengantin. Tanganku terkepal.
Astrea masuk ke ruang tamu. "Ibu, tadi ada panggilan dari sekolah untuk datang mengambil rapor."
Aku tertawa. "Lalu apa? Aku tidak mau."
"Tapi—"
"AKU BILANG TIDAK YA TIDAK!" bentakku setengah menangis, mendorong Astrea. Tubuhnya rebah dan kepalanya menghantam sudut meja. "AKU MENYESAL MELAHIRKANMU! KUHARAP KAU MATI SAJA!"
"Ya, aku sudah tahu Ibu akan menolaknya." Astrea berkata dingin, meringis memegang kepalanya yang berdarah. "Makanya kubilang, anaknya mati sekalipun, dia takkan peduli."
Ngilu. Melihat wajah dingin Astrea menyayat hatiku, menambah lukaku semakin lebar. Ke mana perginya Astrea ceria yang suka tersenyum lebar?
Aku sudah melakukan kesalahan fatal. Dan bodohnya aku baru menyadari bahwa Astrea masih menyayangiku tak peduli rasa sakit yang dia terima dari pukulan yang kuberikan. Dia tetap bersamaku karena aku Ibunya.
Bodoh! Bodoh! Bodoh kau, Wona! Dia itu anakmu! Tidak ada hubungannya dengan Zezan! Mereka berbeda! Aku sudah melakukan perbuatan keji.
Sepulangnya dari kantor, aku mengebut hendak mengembalikan Astrea seperti dulu dan memulai semuanya dari awal.
Tetapi....
Tit Tit Tit! BRAAAKK!!!
Truk besar melunyah mobilku. Kenapa saat aku ingin meminta maaf, Tuhan malah melakukan ini? Apakah ini karma atas perbuatanku pada Astrea?
Sudah terlambat untuk minta maaf. Yang bisa kulakukan hanyalah berharap...,
Arena permakaman itu perlahan mulai sepi meninggalkan Astrea seorang diri.
Semoga anakku bisa tersenyum kembali. Semoga Astrea bisa tersenyum lagi.
Astrea tersenyum melihat batu nisan. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top