Pena Aku dan Kamu

Aku merebahkan kepala ke meja, menatap pena biru di samping buku. Warnanya berpadu dengan warna biru langit. Keuntungan duduk di pojok kelas, bisa merem sambil memandang langit.

Setiap menatap pena ini, hatiku yang muram berubah cerah.

Setiap menatap pena ini, aku selalu tenang kala kemarahan meluap-luap.

Pena biru ini adalah jimat keberuntunganku.

Pena biru ini adalah tuas penggendaliku.

Buktinya, dia selalu menunjukkan jawaban yang membuatku bingung. Dan esoknya setelah pembagian ulangan, nomor soal tersebut benar! Aku terbantu banyak olehnya.

Bukan pena biasa.

Apakah pena ini pena keramat atau semacam pena kutukan? Aku tidak tahu.

Dan yang paling aneh, tinta pena ini tidak habis-habis seolah permanen. Seolah tintanya sudah stop di sana. Ini membuatku semakin berpikir bahwa pena tersebut benar-benar bukan pena biasa.

Tidak ada pena yang tidak kehabisan tinta tiap dipakai.

Ditambah, aku sering sekali menulis ini-itu. Rangkuman yang memakan enam lembar buku tulis,  materi, dan sebagainya. Lagi pula aku sudah memakai pena ini dua bulan.

Aneh, bukan? Dua bulan dipakai tetapi tidak kunjung habis.

Tapi itu tidak membuatku takut.

Jika benar pena ini pena ajaib, maka aku tak perlu membeli pena baru lagi. Ini membantu menurutku. Pena biru itu juga tidak pernah macet dan selalu mulus saat dikenakan.

Dan jadilah pena tersebut sebagai jimatku dalam sekolah.

Selain membantu pekerjaan sekolah, benda ini juga membantu dalam hal lain seperti yang kubilang sebelumnya: aku selalu tenang begitu melihat pena ini. Hatiku damai.

Kenapa? Perasaan apa ini? Sangat damai dan tentram. Hatiku menjadi sejuk.

Pang!

Sebuah jitakan melayang ke kepalaku. Aku tersentak bangun, ileran menatap ke depan. "Ya ya ya, aku bangun aku bangun."

"Ben, bel sudah berbunyi dari tadi. Kau mau menginap di sekolah? Ayo kita pulang." Temanku berkata datar.

Aku mengelap air liur yang menetes, mengucek mata, menggeliat sebentar.

Astaga lagi-lagi aku tertidur. Begini nih nasib murid terlalu rajin di rumah, sampai begadang mengerjakan tugas. Padahal tugas itu masih lama deadline-nya.

"Ng? Ten, kamu lihat penaku nggak?" tanyaku menoleh ke bawah laci, samping kiri-kanan, tidak melihat pena kesayanganku.

"Oh, pena biru itu? Entahlah. Mungkin terjatuh oleh tanganmu saat kau tidur dan disapu sama petugas piket hari ini," ucapnya santai menemukan bungkus permen. "Kulihat kau hanya membawa satu pena. Kayak nggak punya pena lain saja—"

"BODOH! TEMANIN AKU KE BANK SAMPAH SEKARANG JUGA!" Aku berseru, menyambar tas, berlari secepat kilat meninggalkan kelas.

Kenapa aku sangat ceroboh? Harusnya aku menyimpan baik-baik pena itu sebelum jatuh terlelap. Dengan begitu, aku tidak kehilangannya!

Tanpa basa-basi, aku menggulung lengan seragam, segera melompat ke bank sampah. Mengais-ngais kembali tempat busuk itu. Sekujur tubuhku langsung diselimuti aroma bau.

Aku tidak boleh sampai kehilangan pena itu! Tidak ada yang bisa menggantikannya! Itu penaku yang berharga!

Karena pena itu bukan pena biasa!

"Kenapa kau terlihat sedih?" Gadis sebaya itu bertanya pelan, duduk di sebelahku.

Aku mengembuskan napas panjang. "Aku mendapat nilai rendah di ulangan. Mama pasti akan memarahiku."

Dia menatap kedua ulanganku. Terdapat nilai enam di sana dan banyak coretan. Dia tersenyum. "Aku rasa Mamamu takkan marah."

"Kenapa begitu?" tanyaku dengan nada mengejek. Secara, aku tidak mengenal gadis ini. Tahu-tahu sudah sok kenal sok akrab.

"Karena kau sudah melakukan yang sebisamu. Coretan-coretan ini, kamu pasti berpikir keras untuk mencari hasilnya. Aku yakin Mamamu takkan marah. Yang ada beliau bangga padamu," ucapnya tersenyum.

Dan benar saja. Sesampainya di rumah, Mama memelukku erat.

"Kau sudah berjuang, ya."

Aku berkedip lima kali, agak tak percaya. Apa gadis tadi seorang cenayang? Kenapa dia bisa menebak dengan tepat? Apa dia bisa meramal tentang masa depanku?

Keesokan harinya, aku kembali ke tempat yang sama, taman bermain. Banyak anak-anak bermain-main di sini. Ada yang seumuran ada juga yang masih muda.

"Kau datang lagi."

Aku bangkit, mengulurkan tangan. "N-namaku Ben. Siapa namamu?"

Dia tersenyum. "Erika."

"Aku ingin bertanya, apa kau serang cenayang? Atau peramal? Atau semacam itu?" ucapku to the point. "Maksudku, yang kau katakan kemarin benar-benar kenyataan. Mamaku tidak marah. Beliau justru memelukku."

Erika tersenyum, duduk di ayunan. "Aku hanya menebaknya kok. Menggunakan pena."

"Pena?" ulangku mengernyit. "Pena ajaib dari kantong Doraemon?"

Erika tertawa. "Bisa dibilang demikian," katanya mengeluarkan sebuah pena berwarna biru. "Benda ini jitu menebak keseharian pemiliknya. Dia selalu membantuku seperti makhluk hidup."

Apa dia gila? Tidak mungkin benda mati bisa ngomong. Bulu kudukku meremang.

But wait.

"Kau bilang 'pemiliknya', tetapi kenapa dia bisa menebak masa depanku?" kataku memicingkan mata. Apa dia bohong?

Erika tersenyum lebar. "Karena kau temanku. Pena ini akan bekerja pada orang yang kuanggap teman!"

Blushing

Wajahku merona hebat.

Apa-apaan sih dia! Baru juga ketemu kemarin, sudah main bilang temenan aja. Apa dia tidak malu? Berteman dengan anak laki-laki? Kalau aku jadi dia, aku pasti jual mahal dulu.

Kami bercakap-cakap setengah jam. Erika gadis yang asik. Aku tenggelam bercerita dengannya. Oh, inikah rasanya mendapat teman yang pas untuk tempat curhat? Sampai lupa waktu.

"Erika bagaimana? Kamu punya teman banyak nggak?" Giliran aku bertanya tentang kehidupan Erika. Hari semakin sore.

Dia mengusap bagian belakang leher. "Kurang lebih sama seperti Ben. Erika punya banyak teman yang perhatian kok. Mereka sering bermain dengan Erika di sekolah."

Syukurlah. Kukira dia anak pendiam, dilihat dari logat bicaranya. Tapi untunglah dia supel.

Kami saling melambaikan tangan, berpisah. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Mama nanti marah jika aku pulang terlalu lama. Begitu juga dengan Erika.

Aku dan Erika berjanji akan ketemuan lagi di taman bermain ini besok.

Dan Erika memberiku kejutan besoknya.

"Untukku?" ucapku kaget. "Tidak mungkin! Kita baru mengenal dua hari. Masa kau beri pena keberuntunganmu kepadamu. Aku tidak bisa menerimanya."

"Ayolah, ini tanda pertemanan kita. Erika mau Ben menyimpan pena ini sebagai tanda persahabatan kita. Ya? Ya? Demi Erika." Wajah Erika memelas, membuatku hatiku terenyuh.

"Ba-baiklah, aku akan menyimpan ini." Aku menerima pena biru yang diulurkan Erika. Tak sengaja aku melihat tangan Erika terluka. "Kenapa tanganmu? Biru begini. Kamu jatuh?"

"Ah, iya. Tadi siang." Erika cengegesan.

"Sampai tergores begini. Sebentar," aku merogoh saku, mengambil sebuah plester. Aku selalu sedia payung sebelum hujan. "Sakit, ya?"

Erika menatap plester dengan motif panda tersebut, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ben! Kau sangat baik!"

"Itu bukan apa-apa," sahutku kikuk. Kenapa sih dia membesarkan hal-hal kecil?

"Erika bersyukur punya teman seperti Ben. Erika tidak akan menyesal memberikan pena ini pada Ben. Karena pena ini milik aku dan kamu," ucap Erika misterius.

Aku menatap tanda tanya. Apa maksudnya?

"Erika harus pulang," ujarnya menatap jam tangan. "Sampai jumpa besok, Ben!"

"Ah, iya. Hati-hati!"

Namun besoknya, Erika tidak datang.

Aku duduk di ayunan seorang diri tidak ada teman. Ini sudah satu jam lebih dari waktu yang dijanjikan. Kenapa Erika belum datang juga? Apa dia sakit? Atau ada sesuatu? Erika dimarahi karena memberikan pena itu padaku, ya?

Sudah kuduga, pena ini sangat berharga bagi Erika. Aku tidak bisa menyimpan benda ini!

Karena Erika memberitahu alamat rumahnya, aku langsung bergegas cabut ke sana. Sialnya, hujan turun di tengah perjalanan. Apes bener hari ini.

"Di mana pena itu? Kau menyembunyikannya, kan?! Serahkan pada kami!" Dari kejauhan, terdengar suara bentakan ak-anak seusiaku.

Aku berhenti berlari, mencari asal suara. Pakaianku sudah basah kuyup.

Betapa kagetnya aku melihat Erika sedang dirundung oleh tiga orang perempuan di tepi jalan. Mereka mendorong-dorong Erika seperti meminta sesuatu. Aku tidak bisa membiarkannya!

Bodoh. Kenapa aku tidak menyadari luka Erika? Itu jelas bukan luka jatuh dari tangga.

"Pena itu sudah hilang! Aku sudah tidak memilikinya!" teriak Erika mencoba mengalahkan suara debum air hujan.

"Kau bohong!" Gadis di tengah-tengah mendorong Erika lebih kuat ke belakang. Alhasil, Erika terjerembab. Tubuh Erika jatuh.

"ERIKA!" Aku menyikut mereka dengan kasar sampai mereka terpeleset ke samping, segera meraih tangan Erika. "Erika! Erika! Bertahanlah!"

"Ben ...."

Sial! Air hujan membuat tanganku yang memegang tangan Erika menjadi licin. Aku tidak bisa menahannya lebih lama.

Aku mengeluarkan pena biru dari kantong celana. "Pena Ajaib, Pena Ajaib! Tolong selamatkan kami! Tolong bantu kami dari sini!"

Tidak ada reaksi. Apa mantraku salah? Atau cara memintaku salah?

"Ben! Lepaskan tangan Erika! Nanti Ben bisa ikut jatuh."

"Tidak akan!" Ayolah, Pena Ajaib. Tolong kami.

Di belakangku, tiga perempuan yang merundung Erika bangkit dari posisi jatuh. "Ah, jadi kau memberikan pena nasib itu pada bocah ini?"

Salah satu dari mereka mengambil kayu. Erika terbelalak. "Ben! Ben! Lepaskan Erika! Mereka ingin memukulmu Ben!"

Aku tidak peduli. Aku tidak akan melepaskan tanganku. Aku tidak tahu apa yang menunggu Erika di bawah sana.

"Berikan pena itu pada kami!"

"BEN!!!"

Terdengar suara benturan yang sangat keras beriringi dengan kegelapan menghampiriku.

"Ben, Ben..., Ben!"

Aku tersentak kaget. "Y-ya?"

"Aku menemukannya," teman sebangkuku menodongkan sebuah pena biru ke depanku. "Ini, kan?"

Bats! Aku segera menyambarnya. "TERIMA KASIH, AF! MAKASIH! INI PENA KEBERUNTUNGANKU! MAKASIH, YA!" teriaku seketika heboh. Seragam kami berdua kotor oleh sampah.

Af menatapku heran. "Jika segitu berharganya, simpan dong baik-baik! Memangnya yang kasih itu siapa sih?"

Aku tersenyum.

"Ini pena aku dan dia."

Telah ditemukan jasad dua bocah SD di Sungai XXX! []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top