8. Bruce Banner

Hal apa yang dimiliki orang tua tapi tidak dimiliki yang lebih muda?

Pengalaman.

* * *

Dan soal patah hati, siapa yang meragukan pengalaman Haris Hananjaya?

Meski kebanyakan orang tidak tahu kisah sebenarnya, tapi sudah banyak teori konspirasi yang beredar yang mengatakan bahwa Haris belum juga menikah sampai di usianya yang hampir 50 tahun akibat pengalaman patah hati dan trauma di masa mudanya. Meski demikian, tidak ada seorangpun rekan kerja maupun anak buahnya yang pernah mengeluhkan fokus dan kinerja kerja Haris, seolah-olah patah hati dan trauma itu sama sekali tidak mempengaruhi pekerjaannya. Itu mengapa, barangkali, Haris dapat dianggap sebagai orang yang paling berpengalaman dalam mengatasi patah hati.

Menghabiskan waktu dan fokus pada pekerjaan merupakan salah satu cara yang dulu digunakannya untuk mengatasi patah hatinya. Hanya dengan cara itulah dia tidak memiliki waktu kosong untuk teringat pada kenangan buruk percintaannya. Itu mengapa Haris pikir cara yang sama akan membuat Haiva dapat melalui kesedihan akibat kisah cintanya.

Saat memergoki Haiva menangis di kolong meja, dan melihat gelagat Haiva saat bertemu dengan pasangan yang bertengkar di restoran malam itu, Haris menduga bahwa Haiva baru saja putus cinta atau sedang bermasalah dengan pacarnya, si Technical Manager perusahaan penyuplai eksipien yang bekerja sama dengan Medika Pharma.

Haiva adalah tipe karyawan yang ceria dan membawa keceriaan pada lingkungan kerjanya. Itu mengapa Haris tidak suka jika Haiva berubah jadi melow-melow gara-gara patah hati. Makanya, Haris merasa ingin membantu Haiva supaya tidak terlalu lama bersedih karena patah hati. Dan berdasarkan pengalaman Haris, bahwa kesibukan bekerja dapat membantu agar tidak memikirkan hal-hal tidak penting seperti patah hati, makanya sejak beberapa minggu terakhir Haris berusaha membuat Haiva terus sibuk.

Haris merasa cukup puas ketika berhasil membuat Haiva sibuk beberapa minggu ini, karena di saat yang sama Haris tidak melihat Haiva nampak bersedih. Itu artinya strateginya untuk membuat Haiva lupa pada kesedihannya berhasil.

Di sisi lain, Haris juga merasa agak bersalah kepada Haiva sih. Karena pekerjaan yang bertubi-tubi dan tuntutannya yang berlebihan, Haris seringkali menemukan Haiva tidak sempat makan siang dengan santai di kantin. Barangkali hanya satu hari dalam seminggu dimana ia bisa menemukan sosok Haiva di kantin saat makan siang. Pernah di suatu pekan, Haiva sama sekali tidak muncul di kantin saat makan siang, dan saat Haris mengintip ruangannya ternyata gadis itu makan siang di ruangan sambil mengerjakan pekerjaannya.

Barangkali karena rasa bersalah tersebut, suatu hari Haris membelikan martabak favoritnya untuk gadis itu. Tapi gengsinya yang selangit membuat Haris ragu memberikan martabak itu langsung kepada Haiva. Itu mengapa ia minta tolong pada Rizal, si office boy yang sering diminta Haiva untuk mengambilkan makan siang di kantin, untuk memberikan martabak itu untuk Haiva, sambil berpesan agar Haiva tidak tahu bahwa dirinya yang memberikannya.

Kadang satu niat baik tidak selalu bisa diterima dengan baik. Contohnya niat baik Haris untuk membuat Haiva sibuk dan lupa bersedih, justru menjadi bumerang bagi hubungan mereka sendiri. Haris memang berhasil membuat Haiva tidak lagi bermuka sedih, tapi 2 minggu terakhir justru mukanya jutek melulu tiap ketemu Haris. Pasti itu karena Haiva merasa terbebani dengan pekerjaan bertubi-tubi dari Haris. Tapi bukannya merasa bersalah, Haris malah menikmati ekspresi jutek Haiva yang menurutnya lucu. Akibatnya, Haris jadi lebih bersemangat main ke ruangan Haiva dengan dalih menambahi tugas Haiva.

Tapi setelah susah payah Haris membuat Haiva sibuk agar melupakan patah hatinya, ternyata usahanya sia-sia saja. Ketika melihat Haiva ngobrol lagi dengan Randu, Haris tahu bahwa hubungan kedua orang itu sudah kembali harmonis. Haris jadi kesal sendiri. Dan itu membuatnya lepas kendali dan jadi nyinyir saat berkata "Pacar Haiva bisa menunggu dulu sampai Haiva selesai kerja, baru kalian bisa pulang bersama dan pacaran."

Sejak hari itu Haiva memang tidak pernah lagi terlihat sedih. Bahkan gadis itu tidak lagi menunjukkan wajah jutek jika bertemu Haris. Alih-alih, sikap Haiva justru jadi sangat datar. Dan Haris tidak menyukainya. Baginya, lebih baik wajah jutek gadis itu daripada wajah datarnya.

"Haiva marah sama saya?" tanya Haris akhirnya, setelah selama seminggu diabaikan oleh Haiva. Bahkan saat dirinya membelikan martabak dan kue-kue yang disukai Haiva, gadis itu menolak untuk memakannya.

"Pak?"

Akhirnya setelah seminggu wajah Haiva terlihat datar, kali itu wajah Haiva tampak ngeri menatap wajah dan tangan Haris bergantian.

Haiva menggerakkan-gerakkan pergelangan tangannya agar terbebas dari cekalan Haris.

"Haiva marah sama saya?" Haris mengulang lagi pertanyaannya.

"Ng-nggak, Pak," jawab Haiva gugup. "Tolong dilepas dulu Pak, tangan saya."

Haris melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Haiva dan Haiva buru-buru mengambil sisa map laporan di atas meja.

"Saya permisi dulu, Pak," kata Haiva kemudian, tampak terburu-buru. "Setelah saya revisi berdasarkan koreksi Bapak tadi, laporannya akan saya kirim lagi kesini, Pak."

Sebelum Haris sempat berkata apapun, Haiva sudah melangkah keluar dari ruang kerja Haris dan buru-buru menutup pintunya.

Haiva tiba di kursinya, masih dengan mencengkeram dadanya. Jantungnya berdetak dengan ritme tak karuan.

Apaan sih itu tadi? pikir Haiva ngeri.

"Tampang lo serem banget. Kenapa Va?" tanya Bram yang melihat gelagat aneh teman kerjanya. "Abis liat setan?"

Haiva cuma bisa mengangguk. Lidahnya kelu, tidak bisa menjelaskan kejadian aneh di ruangan Pak Haris tadi.

* * *

Sore itu Departemen Quality Assurance sedang sepi. Mbak Naya dan mas Bram sedang pergi untuk mengaudit pemasok bahan kemas. Mbak Yuli sejak siang rapat di Regulatory Department. Bu Karin memang cuti hari itu karena anaknya sakit. Mbak Nuri dan mas Hadi kelihatannya sudah pulang duluan, tepat waktu saat jam kerja berakhir. Akibatnya ketika Haiva kembali ke ruangannya setelah inspeksi harian ke ruang produksi, tinggal dirinya sendirian lah yang berada di departemen itu.

Haiva memeriksa tray tempat berkas yang masuk ke ruangannya dan menemukan catatan hasil pemeriksaan dari sampel cleaning validation beberapa hari lalu. Laporan validasinya sebenarnya tidak tenggat dalam waktu dekat sehingga Haiva bisa mengerjakan laporannya besok saja. Tapi kalau dia bisa menyelesaikan laporannya hari ini, dia akan punya waktu lebih leluasa besok untuk mengerjakan tugas lain.

Tapi baru saja Haiva akan mulai mengerjakan laporan validasinya, seseorang masuk ke ruang kerjanya.

"Saya telepon Haiva sejak tadi, kenapa tidak diangkat?" tanya orang tersebut ketika serta merta masuk ke ruang kerja Haiva.

"Pak?" refleks Haiva. "Kaget saya!"

Beneran kayak hantu Pak Haris ini, pikir Haiva, dateng diem-diem, trus ngagetin.

"Kenapa telepon saya tidak diangkat?" tanya Haris sekali lagi.

"Eh?"

Haiva jadi ingat bahwa ponselnya tertinggal di tasnya ketika ia pergi ke pabrik. Haiva buru-buru merogoh tasnya dan mendapati ponselnya dalam keadaan mati.

"Ketinggalan di tas, Pak. Lupa nge-charge," jawab Haiva polos. Lalu gadis itu tertawa canggung sambil buru-buru menyambungkan ponselnya dengan kabel pengisi daya.

"Itu handphone, bukan bagphone. Harusnya selalu Iva pegang, bukan malah ditaruh tas."

Haiva jadi bingung. Beberapa bulan lalu Haris pernah menegurnya karena terlihat sibuk dengan ponselnya (padahal itu juga lagi diskusi dengan analis QC tentang hasil validasi) dan memintanya agar tidak terlalu addict pada ponsel, tapi sekarang lelaki yang sama itu malah menyuruh Haiva membawa ponsel kemana-mana.

"Bapak ada apa nyari saya?" tanya Haiva, mengalihkan pembicaraan tentang ponsel. Daripada panjang urusan.

"Laporan APR sudah saya tandatangan," kata Haris sambil menunjukkan setumpuk map laporan APR yang sudah direvisi Haiva berdasarkan komentar-komentar Haris.

Haiva langsung semringah. Alhamdulillah, pikir Haiva lega, akhirnya ditandatangan juga setelah dikoreksi bolak-balik.

Haiva menghampiri Haris dan mengulurkan tangannya pada lelaki yang menjulang tinggi di hadapannya itu, meminta map-map itu agar laporan di dalamnya bisa diarsipkan.

"Kenapa laporan APR ini tidak langsung Iva serahkan ke saya?" tanya Haris sambil menyerahkan map-map itu kepada Haiva.

Haiva membawa map-map tersebut ke mejanya, mengeluarkan laporan di dalamnya dan mulai menatanya berdasarkan alfabet ke dalam sebuah odner.

"Tadi saya nitip Rizal untuk mengirimkan ke Bapak," jawab Haiva, nggak nyambung.

"Bukan itu pertanyaan saya, Haiva."

"Saya pikir sudah sesuai semua dengan koreksi dari Bapak dan bisa langsung Bapak tandatangani, makanya saya kira saya cukup dengan nitipin lewat Rizal aja."

Sebenarnya bukan hanya itu saja alasannya. Lebih dari itu, sebenarnya Haiva juga masih merasa rikuh jika harus berhadapan lagi dengan Haris, mengingat kejadian terakhir yang dialaminya.

"Iva ____"

Kata-kata Haris terpotong oleh suara dering ponsel Haiva yang sedang diisi daya. Haiva melirik nama penelepon, lalu menduga si penelepon hanya iseng, lalu menolak panggilan itu. Apalagi saat itu dia sedang bicara dengan bos besarnya, sehingga dia merasa tidak sopan jika mengangkat telepon tersebut.

Tapi baru saja Haris ingin melanjutkan kata-katanya, ponsel Haiva kembali berdering. Haiva nyengir sungkan pada bosnya, lalu bersiap menolak panggilan tersebut lagi ketika tiba-tiba bosnya berkata, "Angkat saja."

Itu artinya bosnya tidak keberatan kan kalau Haiva menerima telepon di tengah pembicaraan mereka? Karena sudah mendapat ijin dari Haris, Haivapun menerima panggilan itu setelah berkata "Maaf ya Pak," pada Haris.

"Assalamualaikum, Mas," Haiva menyapa orang di seberang telepon dengan ramah.

Mas?

Haris sibuk dengan ponselnya sendiri tapi tetap mendengarkan obrolan Haiva dengan orang di seberang.

"Oh, oke, nggak apa-apa," kata Haiva setelah beberapa saat orang di seberang berbicara. "Kirain mah kenapa gitu, Mas Randu sampai nelpon segala. Santai aja Mas."

Randu? Hmm.

Ternyata perbincangan itu tidak berlangsung lama. Sebentar kemudian Haiva sudah menutup ponselnya.

"Maaf ya Pak," kata Haiva ketika kembali bicara pada Haris.

"Iva sudah baikan sama pacar Iva?" tanya Haris tiba-tiba. Haiva kaget karena tidak mengantisipasi pertanyaan semacam itu.

"Maksudnya, Pak?"

"Waktu itu Iva nangis di kolong meja karena berantem sama pacar kan?"

Wajah Haiva serta merta memerah. Acting nya gagal. Ternyata Pak Haris tetap tahu alasan sebenarnya dirinya menangis saat itu. Padahal dulu dia pikir sudah berhasil mengelabui bos nya itu dengan berpura-pura menangis karena kepalanya terbentur meja.

"Dia bukan pacar saya, Pak. Dan kami nggak berantem. Saya nangis karena dia bakal nikah sama perempuan lain," jawab Haiva sambil mengalihkan tatapannya pada laporan APR di hadapannya, saking malunya jika harus menatap bosnya. Sudah kepalang malu, sekalian saja mengaku kan.

"Jadi si Technical Manager Supplier Eksipien itu akan nikah sama orang lain?"

"Lho kok jadi Mas Randu?" Haiva balik bertanya, bingung.

Haiva dan Haris saling bertatapan sesaat, sebelum akhirnya Haiva tertawa. Nggak jadi mellow deh.

"Orang yang saya suka dan bakal nikah sama perempuan lain, itu bukan Mas Randu, Pak," kata Haiva sambil tersenyum.

Ohhh, ternyata....

"Jadi setelah patah hati waktu itu Iva pacaran sama Randu?"

"Saya juga nggak pacaran sama Mas Randu, Bapak," kata Haiva berusaha menjelaskan dengan sabar. "Kenapa sih Bapak nuduh saya pacaran sama Mas Randu melulu? Sampai-sampai waktu itu Bapak nuduh saya mengabaikan tugas gara-gara pacaran sama dia. Sebel banget lho, Pak, dituduh gitu. Padahal waktu itu saya lama di pabrik gara-gara kerja, bukan pacaran."

Jadi itu alasannya beberapa hari ini dia menghindar? Karena kesal dianggap tidak profesional?

Tapi melihat tawa Haiva barusan, Haris merasa tampaknya Haiva sudah tidak kesal lagi pada dirinya kan?

"Maaf," jawab Haris singkat.

Haiva hanya melirik Haris sekilas. Lelaki itu tidak nampak seperti orang yang sungguh-sungguh meminta maaf.

Haiva sudah selesai membereskan laporan APRnya di dalam dua buah odner tebal, lalu ia melangkah keluar ruangan menuju ruang dokumen. Anehnya, Haiva merasa Haris mengikutinya. Barangkali karena bosnya bosan kalau ditinggal sendirian di ruangan.

"Jadi Iva tidak pacaran sama Randu?"

"Bapak kenapa sih nuduh saya pacaran sama Mas Randu melulu?" tanya Haiva penasaran.

"Kalau ada dia di pabrik, Iva selalu lama disana. Pekerjaan disini jadi terlantar."

"Tuh kan Bapak mulai nyinyir," Haiva protes. "Tiap kali Mas Randu ke pabrik kan karena urusan optimasi dan validasi, Pak. Dan dari Medika Pharma, siapa yang ngurusin validasi selain saya? Wajar lah kalau saya juga jadi lama di dalem."

"Hmmm..."

Melihat keribetan Haiva yang membawa dua odner dokumen, Haris membantu Haiva untuk membuka pintu ruang dokumen yang terkunci. 

Di dalam ruang dokumen tersebut terdapat delapan rak besi yang terhubung dengan rolling door. Saat tidak ada orang, kedelapan rak tersebut menyatu dan rolling door bisa dikunci. Dan saat seseorang akan menyimpan dokumen di salah satu rak, rolling door tersebut harus dibuka supaya orang tersebut bisa masuk ke ruang antar rak.

"Rak yang mana?" tanya Haris.

"Rak ketiga, Pak. Makasih," jawab Haiva segera.

Haris membuka kunci dan memutar rolling door tersebut hingga terbuka dan Haiva bisa masuk ke lorong diantara rak tiga dan empat. Haiva lalu menyimpan kedua odner tersebut di tempat yang sudah disediakannya untuk APR.

Saat membalikkan badan, ternyata Haris berdiri di depan lorong tersebut, menghalangi akses keluar.

"Habis ini langsung pulang?" tanya Haris.

"Masih ada kerjaan sih. Tapi belum deadline___" jawab Haiva sambil melangkah mendekat, untuk keluar dari lorong rak tersebut.

"Jadi, nunggu deadline dulu, baru dikerjakan?"

"Tuh kan, Bapak ngajak  berantem mulu!"

Anehnya Haris malah tersenyum ketika melihat ekspresi kesal Haiva yang menggemaskan. Baginya, ekspresi kesal seperti itu jauh lebih baik dibandingkan ekspresi Haiva yang datar dan tidak peduli, yang selama beberapa hari ini ditunjukkan gadis itu.

Sepertinya gadis itu sudah kembali ke sikap aslinya setelah menumpahkan uneg-unegnya yang tidak suka dituduh pacaran dan mengabaikan tugas.

"Permisi, Pak. Saya mau lewat. Mau lanjut kerja lagi," kata Haiva, meminta Haris memberinya jalan, dengan jutek.

Tapi Haris tetap berdiri tegak di posisinya. Diantara rak ketiga dan keempat, dengan sempurna menutup akses Haiva untuk keluar dari tempat itu.

"Padahal saya baru saja mau mentraktir makan malam."

"Nggak usah ditraktir deh Pak. Saya nggak dimarahin, nggak dikejar deadline dan nggak dituduh macem-macem aja udah seneng banget."

"Iva juga kemarin marah sama saya."

"Eh, kapan?" Haiva mengelak. Sok nggak ngerti dengan maksud sindiran Haris.

"Iva berkali-kali menolak makanan dari saya. Itu artinya Iva sedang marah sama saya kan?"

"Pak, jangan halu deh."

"Sekarang juga masih marah sama saya? Makanya tidak mau saya traktir?"

"Duh, cungpret kayak saya mana berani marah sama bos besar. Nanti saya bisa dipecat," kata Haiva mengelak. "Pak, permisi dong. Ini saya gimana mau keluar?"

Jarak diantara mereka hanya tinggal satu langkah saja. Haris menunduk menatap Haiva dengan ekspresi tak terbaca. Dan ketika tiba-tiba Haiva menyadari momen awkward tersebut, jantungnya kembali berdegup tak beraturan. Haiva bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri, dan dia khawatir Haris juga bisa mendengarnya.

Haiva sering merasa malu karena refleks perutnya yang mudah lapar sehingga beberapa kali perutnya berbunyi di waktu yang tidak tepat. Seperti saat meeting menjelang makan siang, misalnya. Tapi kali itu, Haiva justru bersyukur perutnya berbunyi nyaring pertanda lapar. Ia memang malu karena perutnya berbunyi nyaring di hadapan Haris, tapi setidaknya dia bisa terbebas dari momen aneh tersebut.

Haris tertawa dan berbalik badan.

"Tidak usah lembur hari ini. Naga di perut Iva sudah meraung. Siap-siap sana. Saya traktir Shabu Hachi."

Mata Haiva melotot mendengar nama restoran All You Can Eat tersebut.

* * *

Dear Boss,

Aku mau mengaku, bos. Selama ini di belakangmu, aku memanggilmu “Hulk”. Kalau saja kau tahu panggilanku ini, seharusnya kau juga tahu alasannya kan? Itu karena badanmu yang tingi besar dan tiap marah saat meeting selalu seperti Hulk yang ditakuti semua orang. Jadi jangan salahkan aku karena memanggilmu begitu ya, bos :p

Tapi bos, seperti halnya Hulk, di balik tubuh hijau-besar-menakutkan itu ada Dr. Bruce Banner yang tampan, pintar dan baik hati. Aku pikir, seperti itulah dirimu. Dibalik sosok menakutkan saat meeting itu, ada sosok lain. Haris Hananjaya yang tidak kalah tampan, pintar dan baik hatinya dengan Bruce Banner.

Setelah selama ini aku melihat sosok Hulk-mu, akhirnya aku bisa bertemu dengan Bruce Banner dalam dirimu.

*       *       *

Fun fact #4: Scene at document room was real.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top