6. Hulk

Perut kenyang, hati senang?

Apakah pepatah tersebut benar? Pada beberapa kondisi, bisa jadi. Tapi pada kasus yang dialami Haiva, membuat hatinya yang patah kembali senang tidak cukup hanya dengan makan hingga kenyang.

Meski perutnya sudah kenyangpun, hatinya tetap terasa sakit tiap ingat bahwa lelaki yang sudah lama disukainya malah akan menikah dengan perempuan lain, yang sialnya adalah teman kuliahnga. Lebih sial lagi, dirinya sendiri yang dengan bodoh memberikan info-info menarik tentang perempuan itu ketika ditanya oleh Arya. Tanpa curiga sedikitpun bahwa jawabannya akan membuat Arya makin tertarik pada temannya.

Orang bilang bahwa nggak peka, lugu dan bodoh itu beda tipis. Ya si Haiva itu contohnya.

Meski demikian, meski makan kenyang tidak bisa mengobati hatinya yang sakit, tapi Haiva tetap sangat berterima kasih kepada Pak Haris. Ngobrol-ngobrol malam itu dengan bos besarnya itu membuat perasaan Haiva lebih ringan.

Malam itu memang adalah kali pertama Haiva ngobrol dengan bos besarnya itu dengan topik selain Validation Report, Annual Product Review, Quality Inspection atau urusan pekerjaan lainnya. Karenanya, Haiva baru tahu bahwa Pak Haris bisa juga bersikap santai dan nggak horor.

***

Haiva mengira bahwa setelah malam dimana Pak Haris mentraktirnya makan itu si bos besar akan bersikap lebih lunak padanya. Nyatanya, tidak ada perubahan signifikan pada sikap Pak Haris terhadapnya setelah malam itu.

Pada pagi hari setelahnya, Haiva bertemu dengan Pak Haris di ruang produksi ketika sedang melaksanakan Quality Inspection. Dan saat itu, Pak Haris kembali berada pada mode tegas. Beliau mengajak Haiva turut serta berkeliling bersamanya dan menunjukkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di ruang produksi dan tidak terdeteksi oleh Haiva, atau penyimpangan yang sudah teridentifikasi Haiva, namun Haiva sungkan untuk menindak secara tegas.

"Bagaimana Haiva bisa jadi Manajer suatu saat nanti, kalau Haiva tidak bisa bertindak tegas," Pak Haris mengulang nasehatnya untuk kesekian kali, dengan wajah dan suara tegasnya.

Saat itu Haiva menyadari bahwa sikap baik bosnya di malam sebelumnya barangkali hanya karena kasihan saat melihatnya menangis, bukan karena si bos sudah berubah menjadi bos yang baik. Buktinya, seiring berjalannya waktu, si bos besar bukannya makin baik padanya, malah makin gahar.

* * *

"Va, nggak makan siang dulu?"

Haiva memalingkan wajahnya dari komputer ke arah datangnya suara. Mas Bram, teman seruangannya, nampak sudah bersiap untuk makan siang.

"Saya udah minta tolong Rizal Office Boy buat ambilin jatah makan siang di kantin, Mas," Haiva menjawab sambil tersenyum. "Saya makan di sini aja, sambil kerja."

Demi efisiensi waktu kerja dan kesehatan karyawan, perusahaan tersebut memang menyediakan makan siang gratis di kantin untuk para karyawannya. Dengan demikian, masing-masing karyawan tidak perlu pusing dan menghabiskan banyak waktu mencari makan siang di luar kantor, sehingga dapat kembali bekerja tepat waktu setelah 1 jam istirahat siang.

Semua karyawan di perusahaan tersebut, mulai dari office boy sampai direktur, makan siang di kantin tersebut. Tapi jika karena sesuatu dan lain hal kita tidak sempat makan siang di kantin, kita juga boleh minta jatah makan siang kita dibungkus untuk dimakan di luar kantin. Seperti yang dilakukan Haiva saat itu.

"Kerjaan lo belakangan ini banyak banget ya?" tanya Bram prihatin.

Haiva cuma nyengir. "Sial mulu aja saya belakangan ini, Mas. Pas banget kerjaan datengnya bertubi-tubi. Tapi ada untungnya juga sih. Kalau ada banyak kerjaan kayak gini, saya nggak mungkin bakal dipecat dengan alasan perusahaan nggak butuh pegawai kan?"

Bram menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum miris melihat kesablengan rekan seruangannya yang malah bersyukur dengan kerjaan yang bertubi-tubi. Meski memang patut diakui alasan Haiva untuk berbaik sangka pada takdir sangatlah baik.

Tidak lama setelah Bram keluar untuk makan siang, Rizal si Office Boy datang membawakan bungkusan makan siang dari kantin. Haivapun melanjutkan pekerjaanya sambil sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya, sampai dia menerima pesan WhatsApp dari Mbak Naya membuatnya kehilangan nafsu makan.

Mbak Naya: Annual Product Review, progressnya udah sampe mana, Va? Ditanyain Bapak.

Bapak yang dimaksud tentu saja adalah Yang Mulia Haris Hananjaya. Siapa lagi. Ffiiuuuhhh.

* * *

"Again?" tanya Bram dengan dahi berkerut.

Seperti beberapa hari terakhir ini, lagi-lagi Haiva menolak saat akan diajak makan siang bareng oleh Bram.

"Maaf ya Mas," jawab Haiva sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya, memohon maaf.

"Lo serius, nggak butuh bantuan? Gue bisa bantu, Va, kalau memang ada kerjaan yang urgent. Udah beberapa minggu ini kayaknya kerjaan lo udah overload."

"Nggak apa-apa, Mas. Saya bisa kok. Mas Bram kan juga lagi deadline laporan kualifikasi mesin coating baru kita."

Bram menghela nafas. Selama dua tahun bekerja bersama Haiva, Bram nyaris tidak punya keluhan tentang rekan kerjanya itu. Kepribadian Haiva yang ceria dan kadang sedikit manja membuat dia disayangi banyak orang, termasuk Bram yang sudah menganggap Haiva seperti adiknya sendiri. Hanya satu hal yang sering membuatnya geregetan menghadapi Haiva: gadis itu sulit menolak. Akibatnya dia terpaksa harus mengerjakan semua tugas yang diberikan kepadanya, bahkan meskipun terkadang sebenarnya pekerjaan rutinnya sendiri sedang overload. Dan Haiva juga tipe orang yang "nggak enakan" kalau harus merepotkan orang lain. Tapi jadinya orang lain yang melihat Haiva kerepotan jadi merasa geregetan sendiri melihat Haiva yang selalu berusaha menyelesaikan semua hal sendiri.

"Gue bungkusin makanan dari kantin?" kata Bram menawarkan diri.

"Saya udah WA Rizal kok, buat nitip bungkusin makanan."

"Oh, oke. Gue cabut dulu kalo gitu."

Setelah Bram keluar ruangan, Haiva merenggangkan otot-otot tubuhnya sesaat sebelum kembali memulai bekerja.

Haiva tidak mengerti kenapa tahun ini nasibnya sial banget. Tahun ini Medika Farma memang mulai memproduksi 4 produk produk baru dan sedang scale-up 3 produk baru lainnya. Dan semua produk baru tersebut harus divalidasi terlebih dahulu sebelum bisa mendapatkan ijin edar. Itu mengapa Haiva yang bertanggung jawab untuk validasi proses produksi dan validasi prosedur pembersihan sedang sibuk-sibuknya menyiapkan protokol validasi dan laporan validasi.

Barangkali jika hanya validasi saja, Haiva masih bisa mengatasinya. Sayangnya, proses validasi produk-produk tersebut terjadi di awal tahun, bertepatan dengan laporan Annual Product Review (Peninjauan tahunan terhadap semua produk yang diproduksi) yang juga harus disusunnya tiap awal tahun. Haiva juga sebenarnya sudah membuat timeline pekerjaan supaya semua pekerjaannya dapat terjadwal dengan baik dan hidupnya nggak nelangsa amat, tapi anehnya tahun ini Pak Haris lebih rewel soal Annual Product Review. Pada tahun-tahun sebelumnya, Pak Haris hanya akan melakukan final review dan memberi beberapa koreksi minor. Tapi tahun ini, entah mengapa Pak Haris sudah ribut terus menagih laporan APR (padahal belum deadlinenya) dan beberapa kali meminta Haiva merevisi laporannya. Bayangkan, Medika Farma memproduksi 30 produk, dan tiap tahunnya mereka memproduksi 50-150 bets per produknya, tentu butuh waktu untuk membuat laporan peninjauannya kan. Makanya Haiva cuma bisa manyun kalau Pak Haris mulai rewel soal APR. Haiva yang sebelumnya merasa terharu dengan kebaikan Pak Haris karena beliau mentraktirnya di malam patah hatinya, kini rasa terharunya sudah luntur tak bersisa. Pak Haris kembali menjadi bos yang tegas_____ dan anehnya, malah terlalu tegas terhadap Haiva.

Rizal si Office Boy menampakkan kepalanya si pintu ruang kerja Haiva setelah mengetuk, lalu masuk menghampiri Haiva ketika gadis itu tersenyum kepadanya.

"Makasih banyak ya Zal," kata Haiva ketika pemuda itu meletakkan sebungkus makanan di meja Haiva. "Maaf ya ngerepotin melulu."

"Nggak apa-apa, Mbak," jawab pemuda itu sambil tersenyum. "Oiya, tadi ada yang lagi bagi-bagi martabak telor di kantin, Mbak, kayaknya lagi ulang tahun. Ini saya bungkusin juga martabaknya."

"Wah!" Haiva berdecak dengan bersemangat. "Siapa yang ulang tahun, Zal?"

"Emmm__" Rizal tampak ragu sesaat sebelum menjawab, "Kurang tahu, Mbak."

Haiva maklum sih. Pemuda yang usianya lima tahun lebih muda daripada Haiva itu baru setahun bekerja sebagai office boy outsourcing di perusahaan tersebut sehingga barangkali belum mengenal semua orang dari divisi lain. Barangkali yang berulang tahun dan bagi-bagi martabak ini adalah staf dari divisi lain di office. Rizal yang bekerja di divisi factory tentu tidak mengenal orang tersebut.

Haiva membuka bungkusan plastik berwarna putih itu, lalu mendapati martabak dalam bungkus kertas.

"Banyak banget ini Zal!" kata Haiva bingung. Biasanya kalau orang bagi-bagi makanan kan cuma sepotong dua potong aja, bukan sebungkus begini. "Pinter banget emang kamu kalau soal bungkus makanan gini."

Rizal cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala.

"Kita bagi dua ya, martabaknya," kata Haiva sambil membuka wadah mika itu. Dia mengambil 3 potong martabak telor itu dan meletakkannya di piringnya, lalu memberikan sisanya yang masih berada di bungkus kertas (masih ada 7 potong lagi disitu) kepada Rizal.

"Mbak, kok saya dapet lebih banyak? Aduh nggak enak saya nih," kata Rizal sungkan.

"Kalo nggak enak, kasih kucing aja Zal," jawab Haiva sambil tertawa sendiri. Membuat Rizal juga tertawa. "Kalau bukan karena kamu yang pinter bungkusin makanan, kan saya juga nggak bisa makan martabak hari ini. Jadi wajar aja kalau kamu dapet lebih banyak."

"Tapi Mbak___"

"Adik kamu pasti suka kalau kamu bawa pulang ini."

Rizal langsung bungkam mendengar kata-kata Haiva. Matanya berkaca-kaca.

Haiva tahu, karena kondisi ekonomi keluarganya, Rizal harus langsung bekerja setelah lulus STM. Sayangnya lowongan pekerjaan untuk lulusan STM sepertinya tidak terlalu banyak, sehingga sementara ini dia harus cukup puas sebagai office boy. Yang penting bisa bantu perekonomian keluarganya. Ia adalah anak yatim, ibunya berjualan sayur di pasar, dan dia masih memiliki seorang adik yang masih SD. Dengan kondisi seperti itu, tentu bisa makan martabak telor merupakan kemewahan sendiri bagi keluarganya.

"Makasih banyak ya Mbak," kata Rizal sambil tersenyum lebar.

Setelah Rizal keluar dari ruangannya, sebelum mulai makan siangnya, Haiva mencomot martabaknya lebih dahulu.

Alhamdulillah, rejeki anak saliha, gumam Haiva dalam hati, bahagia menikmati martabak enak itu.

Itu bukan jenis martabak telor yang biasa. Ditinjau dari rasa dan ketebalan isinya, pasti harganya mahal. Haiva jadi bertanya-tanya, siapa orang yang sedang ulang tahun yang bisa bagi-bagi martabak semahal itu kepada banyak orang.

Anehnya, ketika Bram kembali dari kantin, lelaki itu tidak tahu bahwa di kantin tadi ada yang membagi-bagikan martabak. Haiva jadi bingung. Bram sih nggak peduli siapa yang bagi-bagi martabak, yang penting dia bisa kebagian sepotong martabak yang dia comot dari piring Haiva.

* * *

Langit sudah hampir gelap ketika Haiva kembali ke ruangannya setelah keluar dari pabrik. Moodnya sedang buruk. Baru saja dia menghentikan proses pengemasan sirup antipiretik anak karena form line clearance belum diisi dengan lengkap. Sesuai kaidah CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), semua hal harus terdokumentasi. Oleh karena itu, jika form line clearance belum dilengkapi harusnya proses tidak boleh dimulai, betapapun ketatnya jadwal produksi.

Tidak cukup itu saja. Dia juga baru menerima pesan dari Mbak Naya yang menanyakan tentang laporan validasi salah satu produk mereka. Bayangnya, departemen QC (Quality Control/ Pengendalian Mutu) baru saja menyelesaikan laporan pengujiannya sore ini dan Yang Mulia Haris Hananjaya sudah meminta laporan validasinya. Padahal tentu butuh waktu untuk Haiva mengkompilasi laporan produksi dan laporan QC untuk membuat laporan validasinya.

Meski bete, sebagai cungpret/budak korporat, Haiva bisa apa? Dia tetap harus melaksanakan perintah bos kan? Jadi dia menyalakan lagu-lagu kesukaannya di PCnya untuk menemaninya menyusun laporan tersebut. Kebetulan, Bram sudah pulang duluan, jadi tidak akan ada yang merasa berisik dengan suara musik Haiva.

Haiva mendesah. Langit sudah makin gelap, memang sudah waktunya pulang sih.

Selewat waktu Maghrib, setelah sholat Maghrib di ruangannya (bahkan dia tidak sempat ke mushola), Haiva kembali melanjutkan mengerjakan laporannya. Saat itulah Haris masuk ke ruangannya, membawa sebuah map. Haiva mengenali penampakan map tersebut, isinya pasti laporan APR.

"Tolong diperbaiki lagi," kata Haris sambil meletakkan map itu di meja Haiva.

"Baik, Pak," Haiva menjawab dengan pasrah dan lelah.

"Interpretasi analisis statistiknya kurang dalam. Haiva kan apoteker. Jadi harusnya bisa menganalisis lebih baik daripada sekedar membuat grafik-grafik saja. Haiva bisa memberi suggestion untuk proses mendatang. Kalau membuat grafik begini saja, anak SMA juga bisa."

Saat itu juga rasanya Haiva ingin melemparkan map itu ke wajah Yang Mulia. Kalau saja dia diberi waktu yang cukup untuk menyusun laporan, tentu dia akan bisa menganalisis data dengan lebih baik. Tapi dengan semua deadline dan kerewelan bosnya yang tidak masuk akal, Haiva hanya punya waktu untuk menyusun grafiknya dan memberi intepretasi singkat.

Tapi demi tidak dipecat, Haiva menahan diri. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, mencoba menahan desakan air mata yang siap keluar.

"Baik, Pak." Hanya itu yang mampu dikatakan Haiva akhirnya.

Haiva melihat Yang Mulia menatapnya dengan tajam, dan Haiva segera mengalihkan pandangannya, kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"Laporan Validasi Tablet Valsartan sudah selesai?" tanya Haris.

"Sebentar lagi, Pak," kembali Haiva menjawab singkat tanpa memandang Haris.

Setelahnya, Haris keluar dari ruangan Haiva. Untungnya, bertepatan dengan air mata Haiva yang meluncur setetes, tak bisa ditahan lagi. Pekerjaannya belakangan ini melelahkan dan semua deadline itu membuatnya frustasi.

"Haiva belum makan malam kan?" tanya Naya yang tiba-tiba melongokkan kepala ke ruangan Haiva.

Buru-buru Haiva mengusap air matanya sebelum menatap Naya.

"Belum, Mbak."

"Makan dulu yuk, baru lanjut kerja lagi," ajak Naya.

"Makasih, Mbak, nggak usah. Saya makan di kosan aja."

"Bapak nraktir beliin mi ayam nih," Naya melanjutkan rayuannya. "Mungkin kasian ngeliat kita lembur gini. Yuk, makan mi ayam bareng Bapak di ruang meeting."

Haiva memaksakan sebuah senyum. "Mbak makan duluan deh, saya nyusul. Ini nanggung nih."

Naya tersenyum dan memberi kode setuju, lalu beranjak pergi dari ruangan Haiva.

Lima belas menit kemudian Haiva selesai mencetak laporan validasinya. Ia kemudian mematikan komputernya dan menyambar tas ranselnya.

Setelah mematikan lampu dan mengunci di ruang kerjanya, Haiva melangkah menuju ruang meeting yang berada di depan ruang kerja Naya. Disana, Naya dan Haris sedang menyantap mi ayam sambil berdiskusi tentang Validation Master Plan tahun ini.

"Laporan validasi tablet Valsartan, Mbak," kata Haiva, menyerahkan laporan itu kepada Naya. Meski Haris yang menagih laporan tersebut, tapi laporan itu memang harus diperiksa dulu oleh Naya sebagai atasan langsung Haiva, sebelum diserahkan ke Quality Manager dan Haris sebagai Plant Director.

"Makasih, Va," jawab Naya ketika menerima laporan itu. Ia memerhatikan Haiva yang sudah membawa ranselnya. "Kamu udah mau pulang? Makan bareng dulu yuk sini."

"Makasih, Mbak. Saya langsung pulang aja. Udah malem," jawab Haiva singkat.

"Kalau gitu, mi ayamnya dibawa pulang gih. Dimakan di kosan. Udah ditraktir juga sama Bapak."

"Nggak usah, Mbak, makasih," Haiva tetap menolak dengan sopan.

"Kalau Haiva tidak mau, mi ayamnya dibuang saja, Naya," kata Haris tiba-tiba. "Tidak ada yang makan juga."

Haiva menoleh pada Haris untuk pertama kalinya sejak masuk ke ruangan meeting itu. Tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Haris. Dan wajah bos besarnya itu tampak nggak nyantai.

Tapi kenapa Pak Haris kelihatan marah gitu? Kan harusnya gue yang marah ke dia, pikir Haiva.

"Va___" Naya memanggil pelan, sambil menyentuh tangan Haiva. Ketika melihat wajah Naya, Haiva paham kodenya dan mengerti apa yang harus dilakukan.

"Mi ayamnya saya ambil ya Pak," kata Haiva akhirnya, tanpa memandang wajah Haris. "Makasih traktirannya, Pak."

Ia mengambil sebungkus mi ayam, lalu pamit pada Naya. Setelahnya, masih tanpa memandang wajah Haris (karena takut malah bakal ngamuk kalau melihat wajah Yang Mulia yang menyebalkan), Haiva mengulurkan tangannya pada Haris.

Haris menyambut uluran tangan Haiva dan gadis itu segera menempelkan punggung tangan Haris di dahinya.

"Saya pamit, Pak," kata Haiva cepat. Masih tetap tanpa memandang wajah Haris.

Haiva sekali lagi mengangguk pada Naya sebelum keluar dari ruang meeting dan pulang.

Haiva memesan ojek online sambil berjalan keluar dari gedung kantornya tersebut dan menunggu di depan pos satpam. Saat itulah dia bertemu dengan Rizal.

"Baru pulang juga?" tanya Haiva pada pemuda itu.

"Iya Mbak, gantiin Pak Nur yang hari ini nggak bisa masuk ke pabrik," jawab Rizal. "Mbak mau pulang? Sekalian saya anter yuk."

"Aku udah pesen ojek online. Makasih ya Zal," jawab Haiva. "Eh, kamu belum makan malam kan?" lanjut Haiva tiba-tiba.

"Belum, Mbak."

"Kebetulan. Tadi Pak Haris nraktir mi ayam, tapi belinya kelebihan. Buat kamu nih."

"Wah! Beneran, Mbak? Alhamdulillah! Makasih banyak ya Mbak."

Haiva tersenyum melihat respon Rizal yang kelewat bahagia. Bagi Haiva, itu hanya sebungkus mi ayam. Dia memang belum makan malam, tapi dia bisa membelinya sendiri di warteg dekat kosan nanti. Tapi bagi Rizal, seporsi mi ayam ini adalah kemewahan. Itu mengapa Haiva memilih untuk memberikan mi ayam itu kepada Rizal.

Terlebih, Haiva tidak suka menerima sesuatu dari orang yang dibencinya. Bukan berarti Haiva benci Pak Haris sih, tapi belakangan ini memang dirinya merasa bisa saja membanting bos besarnya itu sewaktu-waktu, setiap melihat wajahnya. Jadi dia merasa tidak nyaman menerima pemberian Pak Haris sementara hatinya sedang sebal pada lelaki itu.

Yang Haiva tidak tahu, tindakan Haiva yang memberikan mi ayam yang dibelikan Pak Haris itu kepada Rizal justru terlihat oleh Pak Haris. Dan hal itu justru membuat lelaki itu kesal.

* * *

Kuis: Kenapa bab ini diberi judul Hulk?

Fun fact #2: Karakter yg ga suka nerima makanan traktiran dari bos yang dibencinya, adalah karakter nyata, bukan fiktif.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top