53. Cerita yang tidak dimulai
"Bapak kenapa tadi ngomong gitu?" tanya Haiva dengan nada kesal, setelah Haris menutup pintu ruang rawat Haiva selepas ke10 teman kerjanya di Hans pulang menjenguk.
"Memangnya apa yang salah?" Haris balik bertanya sambil melangkah mendekati ranjang Haiva. Ia kemudian menyiapkan meja untuk makan di hadapan Haiva, dan meletakkan nampan berisi makan malam di hadapan gadis itu. "Yang saya katakan kan memang benar. Iva sudah mutusin saya, menjauhi saya, menolak saya."
"Kok kesannya saya jahat banget?" protes Haiva.
Haris tertawa sambil membuka plastik penutup piring dan gelas. Lalu ia mempersilakan Haiva makan. Ia tidak lagi menawarkan diri menyuapi, karena hanya akan membuat Haiva makin merasa rendah diri.
"Saya tidak bilang begitu kan."
Haiva manyun melihat tanggapan Haris yang terlalu tenang. Sambil tetap protes tidak puas, gadis itu memulai makan malamnya.
"Beberapa dari mereka adalah orang yang suka menggosipkan saya, Pak," kata Haiva, di sela suapannya. "Habis ini, pasti akan makin banyak gosip tentang saya."
"Justru bagus kalau memang mereka yang menyebarkan gosip. Setelah ini, gosip yang beredar bukan lagi tentang Haiva Humaira yang selingkuhan Haris Hananjaya, tapi tentang Haris Hananjaya yang mengejar-ngejar dan dipatahkan hatinya berkali-kali oleh Haiva Humaira."
Mendengar kata-kata Haris itu, pipi Haiva yang menggembung dipenuhi makanan kembali memerah.
"Kalaupun nanti kita tidak bisa bersama karena orangtua Iva tetap tidak bisa menerima saya..." kata Haris pelan, sambil menyentuh lutut Haiva lembut. "... orang akan mengingat Iva sebagai orang yang mematahkan hati Haris Hananjaya. Bukan sebagai selingkuhan yang ditinggalkan."
Haiva memang sudah lama mengharapkan Haris mengakui hubungan mereka di depan publik, agar tidak ada lagi yang menganggapnya selingkuhan atau perempuan simpanan. Tapi ketika Haris mengakuinya saat ini, ketika mereka justru tidak ada hubungan lagi, dan kondisi Haiva yang cacat, Haiva justru jadi merasa miris.
"Bapak melakukan ini karena kasihan sama saya yang cacat?"
Haris terkejut dengan daya imajinasi Haiva yang berlebihan. Bagaimana bisa gadis itu memikirkan teori konspirasi seperti itu?
"Iva tahu saya tulus mencintai Iva. Saya mengakui hubungan kita bukan karena kasihan," kata Haris dengan wajah sedih.
Hal itu membuat Haiva merasa bersalah karena meragukan perasaan Haris.
"Sejak awal saya mengajak Iva menikah, saya selalu ingin mengatakan pada semua orang bahwa Iva adalah milik saya. Supaya tidak ada lagi Randu atau Raka lain yang mendekati Iva," kata Haris melanjutkan. "Tapi saya dengar dari Naya bahwa ada gosip-gosip buruk tentang Iva, dan itu karena Iva dekat dengan saya. Saya tidak mau gosip buruk itu makin parah, makanya saya menahan diri untuk tidak menunjukkan hubungan kita pada orang lain. Tapi ternyata saya salah. Saya baru sadar sekarang bahwa yang Haiva butuhkan untuk mengatasi gosip itu adalah hal sebaliknya: pengakuan dari saya. Maaf, karena sikap saya, Iva jadi makin digosipkan macam-macam. Harusnya memang saya lebih berani mengungkapkan hubungan kita sejak dulu."
Haiva kaget. Ternyata Haris sudah mendengar gosip tentang mereka. Hanya saja, Haris justru memilih penyelesaian yang berkebalikan dengan yang diharapkan Haiva, karena berpendapat itulah yang terbaik untuk melindungi Haiva.
Haiva tidak membalas kata-kata Haris. Dia menghabiskan makam malamnya dalam diam, sambil merenung. Barangkali selama ini dia sudah salah paham pada Haris.
"Bapak sudah nggak cinta sama Bu Hana?" tanya Haiva, sambil meletakkan sendoknya, setelah makan malamnya habis.
Haris tersenyum. Ia bangkit dan memindahkan nampan yang berisi piring dan gelas kosong ke atas nakas, lalu merapikan meja makan pasien.
"Tidak," jawab Haris tegas. "Tapi sayur daun singkong tetap jadi makanan favorit saya. Bukan karena Hana yang memasaknya. Dan saya tidak suka datang ke acara pernikahan bukan karena masih trauma pada kegagalan kami dulu."
"Bapak juga nggak ada hubungan dengan Bu Lidya?"
"Kami kolega yang akan terus saling bertemu selama Gozeonde toll-in produk ke Medika. I can't help it. Tapi hanya sebatas itu hubungan kami."
Haris meraih tangan Haiva dan membelai punggung tangan itu dengan lembut. Kali itu, Haiva tidak menolak sentuhan itu.
"Sampai saat ini saya masih memanfaatkan perasaan tidak enak dan hutang budi orangtua Iva, supaya saya diperbolehkan menjaga Iva disini. Tapi saya tahu, beliau tetap tidak menerima saya," kata Haris lembut. "Tolong ijinkan saya memperjuangkan hubungan kita di depan orangtua Iva."
"Tapi kita sudah nggak ada hubungan apa-apa Pak," jawab Haiva lirih.
"Saya tahu. Tapi Iva bisa kasih saya kesempatan lagi kan? Untuk membuktikan seberapa besar saya mencintai Iva. Untuk mengganti semua rasa sakit yang pernah saya sebabkan pada Iva."
Haiva tidak menjawab. Dia justru menunduk.
"Kata dokter, dua hari lagi saya boleh pulang, Pak," kata Haiva, mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah," jawab Haris.
"Mas Raka sudah membantu mengurus kepulangan kami ke Solo."
Genggaman Haris di tangan Haiva menguat. Membuat hati Haiva nyeri.
"Lebih mudah bagi Bapak Ibu saya untuk mengurus dan menemani saya fisioterapi disana."
"Tapi fisioterapi disini lebih baik. Barangkali fasilitasnya juga lebih lengkap."
"Bapak Ibu nggak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaannya di Solo, hanya untuk menemani saya fisioterapi disini."
"Saya akan menjaga dan menemani Iva melakukan semua pengobatan dan terapi di sini sampai sembuh. Menikah sama saya ya, Va..."
Haiva menggeleng.
"Saya akan meyakinkan orangtua Iva. Saya akan berhasil kali ini."
"Yang harus diyakinkan lebih dulu bukan orangtua saya, Pak. Tapi saya."
"Apa yang harus saya lakukan supaya Iva yakin bahwa saya serius ingin menikahi Iva, tulus mencintai Iva, dan bukan karena kasihan?"
Haiva melepaskan tangannya dari genggaman tangan Haris. Tapi kemudian gantian menggenggam tangan besar itu.
"Saya punya teman... " kata Haiva sambil menatap Haris. "Dia anak sulung dengan tiga orang adik. Setelah ayahnya meninggal, dia jadi tulang punggung keluarga. Nggak lama setelah lulus kuliah, dia menikah. Dia pikir bisa terus membiayai sekolah adik-adiknya meski dia sudah menikah. Tapi ternyata penghasilannya hanya cukup untuk membiayai rumah tangganya dan hidup ibunya. Dia tidak bisa membantu sekolah adik-adiknya. Meski pendidikan adik-adiknya bukan sepenuhnya tanggung jawabnya, ia beberapa kali bilang menyesal karena menikah terlalu cepat sebelum menyelesaikan tanggung jawabnya membantu ibunya menyekolahkan adik-adiknya."
Haris hanya diam. Ia belum mengerti mengapa tiba-tiba Haiva menceritakan hal yang tidak relevan dengan permasalahan mereka saat ini.
"Teman saya yang lain, dia menerima lamaran suaminya karena patah hati setelah dicampakkan oleh mantan pacarnya. Dia kira, dengan menerima orang baru, seiring waktu dia bisa melupakan mantan pacarnya itu. Nyatanya, sampai lima tahun mereka menikah dan sudah punya 2 orang anak, teman saya itu masih terus berandai-andai jika bertemu mantan pacarnya lagi.
Teman saya yang lain lagi, dia menikah tidak lama setelah lulus kuliah. Nggak lama, dia langsung hamil. Tapi kehamilannya cukup berat. Dia terus muntah sampai usia kehamilan 7 bulan, beberapa kali pingsan dan pendarahan sehingga harus bed rest. Dia jadi nggak bisa bekerja di luar rumah. Sampai sekarang dia jadi ibu rumah tangga yang sering menyesali dirinya yang menikah terlalu cepat sehingga belum sempat bekerja dan membalas bakti pada orangtua, belum sempat menikmati hidup."
Haiva menghela nafas sesaat, meredakan sesak di dadanya. Sementara Haris masih belum mengerti maksud cerita Haiva.
"Beberapa orang mungkin berpendapat menikah tidak menghentikan kita dari meraih keinginan kita. Beberapa menyukai ide untuk memulai rumah tangga bersama dari nol. Beberapa berpendapat kita bisa saling menyembuhkan sambil menjalani pernikahan bersama. Bagi sebagian orang, memang itu yang terjadi. Tapi bagi saya, semua itu omong kosong, Pak.
Bagaimana kita mau mulai dari nol, kalau saat akan menikah kita sudah tahu bahwa kita dalam keadaan minus, bukan nol?
Bagaimanapun kita tidak bisa sepenuhnya berbakti dan membalas budi pada orangtua, setidaknya dalam hal finansial, kalau setelah menikah penghasilan kita harus dibagi ke dua dapur.
Bagaimana kita berharap saling menyembuhkan dengan menikah, kalau diri kita sendiri masih sakit?
Saya tipe orang yang se-skeptis itu, Pak. Saya merasa, menikah adalah memulai kehidupan baru. Oleh karenanya, saya harus sudah selesai dengan diri kita sendiri, sebelum memutuskan bersama orang lain.
Barangkali suami/istri nggak membatasi diri kita untuk tetap meraih impian. Tapi kadang, justru keadaan yang memaksa kita memilih antara kepentingan keluarga dan keinginan pribadi kita.
Saya juga tipe orang yang percaya, bahwa dua orang yang belum selesai dengan dunianya lalu memutuskan untuk meleburkan dunia mereka, hanya akan saling menyakiti, bukan saling menyembuhkan, Pak."
Kini Haris sadar kemana arah pembicaraan Haiva. Dan dia ngeri membayangkan jika firasatnya benar.
"Beberapa hari ini, saya memikirkan kembali hubungan kita, Pak," Haiva melanjutkan dengan suara bergetar. "Saya menyatakan cinta di hari terakhir saya jadi anak buah Bapak karena menduga Bapak akan menolak saya, dan kalau itu terjadi setidaknya setelahnya kita tidak bertemu lagi.
Ketika akhirnya Bapak tidak menjauhi sayapun, saya selalu merasa sewaktu-waktu Bapak akan meninggalkan saya. Itu mengapa saya menerima apapun yang Bapak lakukan pada saya, meski itu membuat hati saya sakit.
Bahkan setelah Bapak menerima perasaan sayapun, saya selalu ketakutan Bapak lebih tertarik pada perempuan lain yang kualitasnya lebih baik daripada saya. Saya jadi cemburu berlebihan dan menuntut pengakuan.
Sekarang saya sadar, semua itu terjadi karena sejak awal, saya selalu merasa lebih rendah daripada Bapak. Saya merasa pantas diperlakukan seperti itu meski saya sakit hati....."
"Va, saya minta maaf karena sudah sering menyakiti Iva. Maafkan saya," potong Haris, cepat dan panik.
Haiva menggeleng dengan raut wajah sedih. "Itu bukan salah Bapak. Saya yang harusnya bertanggung jawab atas kebahagiaan saya sendiri, bukan mengandalkan orang lain untuk membahagiakan saya."
"Haiva...." suara Haris memohon. Ia ingin gadis itu menghentikan kata-katanya, karena ia tahu semua ini akan mengarah kemana.
"Saya belum selesai dengan insekuritas dan inferioritas saya, Pak. Apalagi dengan kondisi tubuh saya sekarang. Saya akan selalu merasa rendah diri di hadapan Bapak. Bahkan kalau wajah dan kaki saya sudah sembuh, yang di sini...." kata Iva sambil menunjuk pelipisnya, "dan di sini..." lalu menunjuk dadanya, "masih akan terus sakit."
Kedua tangan Haris kini sudah meraup tangan Haiva dan menggenggamnya erat. Takut kehilangan.
"Bukan cuma fisik saya yang sakit, Pak. Tapi pikiran dan jiwa saya juga sakit. Dan saya nggak bisa berharap akan sembuh setelah menikah dengan Bapak, atau dengan lelaki manapun. Saya hanya akan menyakiti suami saya dengan pikiran dan jiwa yang sakit ini.
Jadi yang perlu diyakinkan bukan hanya orangtua saya. Tapi terlebih, saya harus bisa meyakinkan diri saya sendiri dulu, bahwa saya sudah selesai dengan masalah saya, sebelum bisa memulai kehidupan yang baru."
Mata Haris tertutup mendung ketika menyadari bahwa gadis itu sudah mengambil keputusan.
Haris bangkit dari kursi, lalu duduk di tepi ranjang Haiva. Ia mendekatkan dirinya pada gadis itu, lalu menyibakkan rambut yang menutupi bagian kanan wajah Haiva yang terluka.
Mata Haiva terbelalak ketika tiba-tiba Haris mencium sepanjang luka di wajahnya, dari pelipis hingga rahangnya.
"Saya mencintai Iva apa adanya," kata Haris dengan suara serak. Haiva bisa merasakan air mata Haris menyatu dengan air matanya sendiri di pipinya.
Haris kemudian melanjutkan ciumannya di seluruh wajah Haiva dan turun hingga ke lehernya, sebelum Haiva mendorong dada Haris menjauh.
"Saya tahu," kata Haiva sambil menatap mata Haris. "Tapi saya yang belum bisa menerima diri saya sendiri apa adanya, Pak."
Haiva menangkupkan kedua telapak tangannya pada kedua pipi Haris.
"Saya cinta Bapak. Sangat," katanya sambil memejamkan mata dan langsung mencium bibir lelaki itu. Dalam. Penuh keputus-asaan. "Maaf, saya nggak bisa menikah dengan Bapak."
Tidak semua orang yang hadir dalam hidup kita itu datang untuk menetap. Sebagian hanya lewat sambil membawakan pelajaran hidup. Bagi Haiva, Haris adalah orang itu. Orang yang dikagumi dan dicintainya, dan memberikan banyak pelajaran hidup baginya. Tentang penerimaan diri sendiri.
Haiva menyesap bibir Haris dengan kuat untuk terakhir kalinya.
Beberapa cerita memang barangkali sebaiknya tidak perlu dimulai jika akan diakhiri dengan menyakitkan.
Cerita baru memang tidak bisa dimulai ketika cerita lama belum selesai.
* SELESAI *
************************************
Dengan ini, berakhir sudah CERITA YANG TIDAK DIMULAI ini. Terima kasih banyak buat Kakak2 yang sudah setia mengikuti cerita ini sampai selesai.
Pasti banyak HaHa-fans yang kecewa dengan ending ini. Maaf karena mengecewakan banyak orang. Tapi dengan perbedaan Haiva-Haris yang sebanyak dan sejauh itu, pernikahan mereka nggak akan berhasil kalau Haiva masih terus-terusan merasa inferior dan insecure.
Happy ending kadang tidak melulu berarti "menikah dan hidup bahagia selamanya". Tapi mencegah ending yang lebih sad, juga bisa berarti happy ending (bagi saya).
Ini beneran ceritanya udah selesai?
Iya, beneran, Kak. Tapi akan ada 1 bab epilog lagi.
Bab epilog sudah selesai ditulis dan akan dipublikasikan jika banyak yang vote bab ini (meski barangkali sambil ngedumel karena endingnya somplaque banget).
Sekali lagi, terima kasih Kakak2 yang sudah membaca cerita ini. Sampai jumpa di bab epilog dan di cerita lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top