51. Investasi Masa Depan
Haiva memerhatikan bayangannya di cermin kecil kemasan compact powdernya. Air mata menggenang di sudut matanya, tertahan.
Setelah ia sadar kemarin, dan dokter memeriksa kondisinya, sang dokter memberitahukan sejumlah informasi pada Haiva.
Berita baiknya, seluruh kondisi vital Haiva terpantau baik. Hanya saja karena Haiva sempat tidak sadarkan diri selama 3 hari, dokter merasa perlu mengobservasi Haiva lebih lama. Dokter khawatir coma-nya kemarin adalah pertanda/gejala gangguan kesehatan yang lain. Jika dalam waktu 3-4 hari semuanya baik-baik saja, Haiva bisa diijinkan pulang.
Berita buruknya, kecelakaan mobil yang dialami Haiva menyebabkan sejumlah luka di bagian kanan tubuh gadis itu. Terdapat beberapa luka akibat pecahan kaca di sekitar wajah, juga leher, bahu dan lengan sebelah kanan. Tapi itu adalah luka yang tidak terlalu dalam. Melalui cermin Haiva bisa melihat beberapa luka di wajahnya mulai mengering. Haiva tidak terlalu khawatir pada bekas luka itu.
Terdapat goresan juga di lengan kanan bagian atas, yang kini masih tertutup perban. Tapi Haiva yakin nantinya bisa menutupi bekas lukanya dengan lengan pakaiannya. Toh ia memang tidak pernah memakai pakaian tanpa lengan.
Tapi yang lebih membuatnya khawatir adalah goresan panjang di pelipis hingga rahang kanannya. Perawat baru saja mengganti perbannya pagi ini, dan Haiva sempat melihat saat perbannya dibuka tadi. Ia tidak yakin bekas luka itu bisa ditutupi dengan foundation atau concealer.
Pintu kamar rawat Haiva tiba-tiba terbuka. Dengan gerakan cepat ia menutup kemasan compact powdernya dan menyembunyikannya di bawah selimut. Ia juga mengeringkan air di sudut matanya dengan satu gerakan tersamar. Ia tidak ingin orang lain melihatnya lemah. Apalagi orangtuanya. Mereka pasti akan sangat khawatir kalau Haiva terlihat sedih dan terpukul. Bagaimanapun keadaannya, ia harus bersikap tegar agar orangtuanya tidak terlalu mengkhawatirkannya.
Tapi ketika ia melihat ke arah pintu, Haiva menemukan bahwa yang masuk ke kamarnya bukanlah kedua orangtuanya.
Yang berdiri di depan pintu itu adalah Haris.
* * *
Gadis itu melakukannya dengan cepat. Tapi Haris masih sempat melihatnya. Gadis itu tadi sedang bercermin, lalu buru-buru menyembunyikan cermin itu ketika Haris masuk. Haris juga sempat melihat Haiva mengusap air matanya dengan cepat. Saat itu Haris segera tahu apa yang terjadi.
Sejak pertama kali Haris melihat Haiva dipindahkan dari ruang ICU ke kamar rawat, Haris sudah mengantisipasi bahwa luka akibat kecelakaan itu akan membuat gadis itu bersedih.
"Pak Haris? Kok kesini pagi-pagi?"
Tapi sepertinya gadis itu tidak ingin menunjukkan kesedihannya. Jadi Haris memutuskan untuk tidak menanyakannya.
Saya rindu, jawab Haris dalam hati. Tapi barangkali Haiva tidak akan nyaman mendengarnya, maka Haris memendam jawaban itu dalam hati saja.
"Iva sendirian?" Alih-alih menjawab pertanyaan Haiva, Haris memutuskan untuk balik bertanya, ketika dilihatnya Haiva seorang diri di kamar tersebut.
Lagipula Haris bingung menjelaskan alasannya kenapa jam 6.30 pagi ia sudah tiba di rumah sakit. Itu masih terlalu pagi untuk menjenguk pasien. Untungnya beberapa perawat disana sudah mengenali Haris sebagai salah seorang keluarga Haiva yang menjaga selama Haiva belum sadarkan diri. Itu mengapa ia bisa masuk ke kamar Haiva meski belum waktunya jam besuk pasien.
"Mas Raka dipanggil tiba-tiba," Haiva menjawab. "Ada pasien yang melahirkan sebelum waktunya, dan ada masalah dengan bayinya."
Haris mengangguk sambil berjalan mendekat. Ia lalu duduk di kursi di samping ranjang Haiva.
"Bagaimana perasaan Iva pagi ini?" tanya Haris lembut.
"Baik, Pak," jawab Haiva singkat.
"Semalam bisa tidur nyenyak?"
"Iya, Pak."
"Apa ada yang terasa sakit?"
Haiva tidak segera menjawab. Tapi kemudian ia berkata, "Nggak ada, Pak."
Haris tahu bahwa Haiva sedang menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Tapi ia memilih menghormati keputusan Haiva untuk menyembunyikannya. Ia tidak ingin mendesak Haiva untuk mengaku.
"Saya senang melihat Iva membaik," kata Haris.
Tangannya yang bertumpu di kasur Haiva sangat ingin menggenggam tangan gadis itu. Tapi ia menahan diri.
"Makasih Pak. Ini berkat Pak Haris juga. Pak Haris menjaga saya selama saya belum sadar. Ayah dan ibu saya sangat terbantu dengan itu. Pak Haris juga mengijinkan mereka tinggal di rumah Pak Haris saat Mas Raka belum mendapatkan kamar sewa. Bahkan kamar rawat ini jauh lebih nyaman dibanding yang berhak saya terima. Makasih banyak Pak. Maaf kami banyak merepotkan Pak Haris."
Haiva mengatakannya sambil tersenyum. Tapi entah kenapa Haris tidak suka mendengarnya. Kata "terima kasih" sebanyak itu membuatnya merasa terbebani.
"Saya sudah bilang, Iva tidak perlu sungkan. Saya sama sekali tidak merasa repot."
"Terima kasih, Pak."
Haris memejamkan matanya. Menahan diri agar tidak emosi menanggapi ucapan terima kasih yang berlebihan dari Haiva.
Haris menoleh pada nakas. Terdapat nampan dengan beberapa mangkuk dan gelas. Menu sarapan pagi itu adalah bubur ayam dan teh hangat.
"Iva belum sarapan?" tanya Haris, sebelum Haiva kembali mengucapkan terima kasih yang tidak perlu.
"Baru mau sarapan, Pak."
"Saya bantu ya."
Haris bangkit dari duduknya dan membantu menaikkan bagian kepala ranjang Haiva sehingga kini posisi gadis itu lebih tegak dan siap untuk sarapan. Ia juga membuka meja makan di sisi ranjang Haiva, lalu meletakkan nampan tersebut di hadapan Haiva.
Haris membuka plastik yang menutupi mangkuk dan gelas. Ia mengambil sendok, lalu menoleh pada Haiva sambil tersenyum, "Saya suapin ya?"
Haiva menggeleng, lalu mengambil sendok dari tangan Haris.
"Nggak usah, Pak. Nggak apa-apa. Saya bisa sendiri," kata Haiva. "Cuma kaki saya yang cacat. Tangan saya baik-baik aja kok, Pak, masih bisa makan sendiri."
Haris terkesiap ketika mendengar jawaban Haiva. Senyumnya memudar.
"Dokter sudah menyampaikan?" tanya Haris hati-hati.
Haiva mengangguk dengan wajah tanpa ekspresi. "Katanya kaki saya akan cacat."
Luka di wajahnya memang bukanlah berita paling buruk yang disampaikan dokter. Cedera di kakinya, itu yang membuat Haiva paling terpukul kemarin. Kecelakaan beruntun itu menyebabkan cedera berat pada kaki kanan Haiva. Ia tidak bisa berjalan normal lagi.
Berita yang disampaikan dokter kemarin itu membuat Haiva terpukul. Hanya saja ia tidak ingin orangtuanya khawatir, jadi ia bersikap tegar di hadapan orangtuanya. Ketika orangtuanya (dan Haris) sudah pulang, barulah Haiva tidak menahan diri lagi untuk menangis.
"Iva tidak akan cacat. Dokter bilang bisa pulih kembali dengan fisioterapi kan?" kata Haris mengkoreksi pernyataan Haiva.
Dokter memang mengatakan bahwa dengan fisioterapi rutin, fungsi sendi, tulang dan otot kakinya akan kembali mendekati normal dalam 6 bulan sampai 1 tahun.
Mendekati normal? Artinya dia tidak pernah bisa benar-benar berjalan normal lagi kan? Apa ia akan jadi gadis pincang yang buruk rupa?
Haiva memutuskan untuk mengabaikan koreksi Haris tadi. Ia hanya mulai menyendokkan bubur ayamnya.
Makanan rumah sakit biasanya dianggap tidak terlalu enak, tapi makanan yang dinikmati Haiva sejak ia sadar justru tidak kalah rasanya dibanding makanan di restoran. Rasa makanannya seenak itu entah karena ia dirawat di rumah sakit yang mahal, atau karena ia pasien ruang VVIP. Jika kemarin ia tidak nafsu makan, itu bukan karena rasa makanannya yang tidak enak.
"Pak Haris, apa saya boleh tanya sesuatu?" tanya Haiva di sela sarapannya.
"Tanya apa?"
"Boleh saya minta nomer rekening Pak Haris?"
"Apa?"
Diantara sejumlah pertanyaan yang diantisipasi Haris, ia tidak menduga Haiva akan menanyakan hal itu.
"Asuransi saya hanya mengcover ruang rawat kelas 1. Sekarang saya di ruang VVIP, pasti nambah bayarnya banyak. Setidaknya, saya_____"
"Saya memasukkan Iva ke ruang rawat ini bukan untuk menagih bayarannya," potong Haris, agak kesal.
"Maaf, Pak," kata Haiva cepat. Dia bisa merasakan kekesalan Haris dari nada suaranya. Tangan Haiva tergantung di udara, tidak jadi menyuapkan bubur ayamnya. Ia meletakkan sendoknya di mangkuk. "Maaf kalau saya menyinggung Pak Haris. Saya cuma nggak mau punya hutang budi."
"Saya juga tidak minta Iva membalas budi!" sergah Haris.
Tiba-tiba Haris menyadari apa yang berbeda dengan cara Haiva.
"Kenapa Iva melakukan ini pada saya?" tanya Haris. Yang membuat Haiva terkesiap adalah karena Haris memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara tatapan sedih, terluka dan putus asa. "Kenapa menganggap saya seperti orang asing? Saya melakukan semua ini karena saya tulus sayang pada Iva."
Tangan Haris akhirnya terangkat, menggenggam tangan Haiva. Membuat Haiva menunduk dalam.
"Tapi saya nggak bisa membalas perasaan Pak Haris," kata Haiva sedih.
"Kenapa?"
"Kita memang sudah nggak ada hubungan apa-apa kan Pak? Saya juga nggak pantas bersama Pak Haris."
"Apa ini karena kondisi kaki Iva?"
"Semuanya, Pak," jawab Haiva. Tiba-tiba saja sebutir air mata mengalir menuruni pipinya. "Wajah dan kaki saya cacat...."
"Itu bisa pul____"
"Jiwa saya juga sakit, Pak. Saya selalu merasa khawatir nggak pantas bersama Pak Haris. Pak Haris juga pernah bilang, Pak Haris capek kan dengan insekuritas saya?"
"Bukan begitu maks____"
"Orangtua saya juga sudah menolak Pak Haris kan?"
Haris terdiam.
"Setelah semua yang saya dan yang orangtua saya lakukan pada Pak Haris, kami harusnya nggak merepotkan Pak Haris lagi. Tapi sekarang kami malah berhutang budi terlalu banyak pada Pak Haris. Maaf, Pak."
Haris menghela nafas panjang.
"Apa Iva benci sama saya?" tanya Haris tiba-tiba.
"Nggak, Pak," jawab Haiva singkat.
"Apa Iva masih mencintai saya? Setidaknya, sedikit saja?"
Haiva tidak menjawab. Ia hanya menatap Haris.
Perlahan sebuah senyuman terbit di bibir Haris. Itu senyum miris dan sedih, tapi juga penuh harapan.
"Itu jawaban yang cukup bagi saya," kata Haris kemudian.
Haiva menatapnya dengan bertanya-tanya.
"Selama ini Iva sudah berjuang sendirian. Dan saya sering menyakiti Iva tanpa saya sadari. Saya minta maaf.... Sekarang gantian, giliran saya memperjuangkan Iva. Selagi Iva tidak membenci saya, saya akan berusaha mendapatkan hati Iva kembali, dan memenangkan hati orangtua Iva."
Haiva membuang muka, mengalihkan tatapannya pada langit yang terlihat dari jendela. "Jangan membuang waktu, Pak."
"Ini namanya bukan membuang waktu."
Haris melepaskan genggamannya pada tangan Haiva. Ia lalu berdiri dan meraih wajah gadis itu, menangkup pipinya (sambil berhati-hati agar tidak mengenai luka di kanan wajah Haiva) dengan kedua telapak tangannya, memaksanya menghadapnya.
"Ini namanya investasi masa depan," kata Haris ketika tatapan mata mereka bertemu.
* * *
Buat Kakak2 yang kangen sama cerita Haiva-Haris, atau buat Kakak2 pembaca baru yang ketinggalan belum sempat baca, Kakak
1. Bisa pesan bukunya di Karos Publisher (0818-0444-4465) seharga Rp100.000
2. Bisa download ebook di google playbooks seharga Rp72.600.
Nah, kalau Kakak2 belum ada rejeki buat beli buku/e-booknya, dan pengen baca bab uwuwuw dan after stories/ extra parts nya, sekarang Kakak2 bisa jajan murah di akun Karya Karsa nya Karos Publisher.
Semua bab yang ada di Karya Karsa, sama dengan yg ada di buku dan e-booknya.
Caranya jajan di Karya Karsa sbb:
1. Donlot aplikasi Karya Karsa di google playstore.
2. Buat akun disana. Kalo udah punya akun dan udah login, langsung bisa search "Karos Publisher"
3. Klik "Karya" lalu cari judul "Cerita yang Tidak Dimulai"
4. Silakan pilih bab yang ingin Kakak2 baca.
- ada 10 bab Uwuwuwuw, termasuk ending, seharga Rp15.000
- ada 7 bab after stories/extra parts seharga masing2 Rp5.000. Murah kan, jajan gocengan?
5. Lakukan pembayaran dengan Gopay, ShopeePay, Ovo, DANA, Virtual Bank Account
Selamat membaca, Kakak2.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top