5. Perut Kenyang, Hati Senang?

“Iva mau pesan apa?”

Haris membuka-buka menu makanan di resto seafood itu dan dengan bersemangat bergumam ingin memesan ini dan itu.

Haiva menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Dia sedang berusaha menemukan makanan yang dapat dimakannya dari daftar menu itu. Tapi belum lagi Iva menemukan yang dicarinya, Haris sudah memanggil waitress restoran itu.

“Kepiting saos padang. Cumi goreng tepung. Cah kangkung...” Haris menyebutkan pesanannya dengan bersemangat. Lalu ia menoleh pada Haiva. “Iva?”

“Tumis buncis ...”

Sang waitress mencatat pesanan Haiva. Lama ia menunggu, tapi gadis itu tidak menyebutkan pesanannya yang lain. Haris memandang Haiva dengan mendesak.

“Apa lagi? Masa pesan itu aja? Disini ada udang mayonaise, kerang rebus.”

Haiva balas memandang bosnya dengan tatapan meminta maaf. “Saya sebenarnya alergi seafood, Pak.”

“Hah!” desah Haris, separuh kaget dan separuh kesal, “Kenapa Iva baru bilang? Kalau gitu kita ...”

“Saya makan itu aja, Pak,” kata Iva buru-buru. Ia khawatir bosnya akan mulai memarahinya lagi.

“Apa kita makan di tempat lain?”

Sang waitress tampak tidak rela kehilangan calon pelanggannya. Ia segera memotong percakapan kedua tamunya itu.

“Kami punya gurame. Ikan air tawar, Mbak,” kata waitress itu, menawarkan kepada Haiva.

“Kalau gitu, kami pesan itu,” kata Haris cepat.

Sang waitress tersenyum.  “Guramenya bumbu apa? Dibakar? Lada hitam? Atau ...” tanyanya kemudian.

Haiva menatap Haris. Tidak tahu harus memilih yang mana.

“Kepiting saos padang disini enak sekali,” Haris menjawab tatapan Haiva. Ia lalu menoleh pada waitress. "Apa bisa guramenya pakai saos padang?”

Sang waitress mengangguk. “Bisa, Pak.”

Ia kemudian mengkonfirmasi pesanan kedua tamunya sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

“Harusnya Iva bilang kalau tidak bisa makan seafood. Untung disini ada gurame,” kata Haris kemudian, kepada gadis di hadapannya.

“Iya, maaf Pak. Saya nggak tahu bahwa kita mau makan disini.”

“Hmmm. Iya sih, saya juga tidak bilang ya?”

Haiva memerhatikan berkeliling. Hampir semua meja penuh. Hampir semua kursi diduduki oleh pria berkemeja rapi dan perempuan berpakaian modis, seperti para eksekutif muda. Mereka semua tampak seperti orang-orang yang baru pulang kerja. Lagipula restoran ini berdiri di daerah perkantoran elit. Tampaknya ia sedang makan di restoran seafood yang terkenal dan mahal.

Well, it looks fit with the boss anyway, gumam Haiva dalam hati.

Semua orang tampak sedang menikmati makanan di piringnya masing-masing dengan bersemangat. Tidak ada satupun yang tidak menikmati makanannya. Dilihat dari makanan-makanan yang tersaji di tiap piring di semua meja, mereka memang tampak menggiurkan. Tidak heran jika bosnya mengajak ke sana.

Eh?

Oh, mungkin hanya sepasang muda-mudi yang berada di meja sebelah yang tidak tampak sedang menikmati makanannya. Laki-laki tampan dan perempuan cantik itu keduanya berwajah keras. Mereka mengacuhkan sepiring kerang dengan kuah yang tampak pedas dan seekor gurame besar yang bertabur potongan mangga di hadapan mereka. Mengacuhkan makanan-makanan yang tampak menggiurkan itu, mereka pasti sedang membicarakan masalah yang serius. Haiva tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan kedua orang di meja sebelah.

“Kenapa?” Si gadis bertanya pada pemuda di hadapannya.

“Kita udah nggak cocok lagi,” kata si pemuda dengan wajah kaku.

Pemuda itu tampak tidak peduli pada wajah nelangsa gadis di hadapannya. Haiva menduga gadis itu sebentar lagi akan mulai menangis.

Tapi ternyata tidak.

“Jangan bercanda!” Gadis itu malah tersenyum mencemooh, “Nggak cocok lagi adalah alasan basi. Kamu ... apa ada perempuan lain?”

Cih!, gumam Haiva dalam hati, kasus perselingkuhan. Nggak heran, cowok ini punya wajah yang keren. Pasti banyak cewek yang naksir sih.

“Sorry. Kita putus.” Haiva mendengar si pemuda menjawab tanpa basa-basi.

Si gadis mendelik. “Apa?! Putus?!” Gadis itu mendesis dengan marah. “Kamu yang selingkuh, kenapa kamu yang mutusin aku? Hah?!”

Si pemuda tampak agak syok.

“Kita putus! Gue yang mutusin lo!” 

Si gadis, meski dengan mata berkaca-kaca, memutuskan pacarnya dengan sangat tegas. Ia menenggak es jeruknya dalam segali teguk. Dan selagi si pemuda masih tampak syok, gadis itu berkata: “Lo yang bayar!”
Lalu gadis itu pergi.

Sebelum gadis itu membuka pintu restoran dan keluar, Haiva melihatnya menghapus air mata.

Tidak ada gadis yang tidak sedih diselingkuhi, tapi toh gadis itu menghadapinya dengan gaya yang keren. Haiva tersenyum diam-diam, mengagumi ketegaran gadis itu. Ia berharap bisa setegar gadis itu menghadapi perasaan patah hatinya.

It’s like today is not a good day for relationship,” Haiva bergumam muram.

Haris melirik ke arah yang sama dengan tatapan gadis di hadapannya. “Apa?”

Haiva tersenyum. “Nggak apa-apa, Pak.”

Haris bukan tidak mendengar gumaman pelan Haiva barusan. Dia juga jelas-jelas melihat Haiva memperhatikan pasangan di sebelah mereka. Ditambah lagi, dari sikap Haiva sesorean ini, Haris menduga bahwa gadis ini baru saja putus dengan pacarnya, si Technical Manager supplier eksipien penyalut yang sering datang ke kantor mereka.

Eh? Tapi katanya mereka nggak pacaran? Berarti anak ini bukan putus cinta? Jangan-jangan, patah hati karena bertepuk sebelah tangan?, pikir Haris.

Itu mengapa si kelinci yang biasanya suka meloncat-loncat ini terlihat lesu sore ini. Itu mengapa gadis itu menangis saat ia tadi memergokinya. Tapi kalau Haiva tidak berniat memberitahunya, bukankah dia tidak berhak memaksa?

“Orang-orang datang dan pergi dalam hidup.”

Haiva mendengar Haris bergumam. Dia tidak yakin apakah Haris sedang bicara padanya atau hanya bergumam sendiri. Haiva menoleh dan memperhatikan bosnya.

“Setiap hari, orang-orang datang dan pergi dalam hidup kita,” Haris mengulang. Kali ini sambil menatap langsung ke mata Haiva. Haiva merasa si bos sedang bicara padanya. “Tidak perlu terlalu bergantung pada satu orang. Toh dia akan pergi juga.”

Haiva curiga, jangan-jangan si bos sedang menyindirnya. Tapi sebelum Haiva membuka mulut, seorang waitress mengantarkan pesanan mereka. Berpiring-piring makanan tersaji di meja mereka dalam beberapa menit saja.

“Makan yang banyak, Iva.”
Haris tersenyum lebar.

Haiva menganggapnya sebagai perintah. Ia mengangguk dan mendekatkan piring berisi seekor gurame besar yang disiram kuah merah ke arahnya. Ia melirik sesaat ke meja sebelah. Gurame bertabur potongan mangga masih utuh tersaji. Piringnya bahkan belum tersentuh. Si pemuda sudah pergi meninggalkan makanan-makanan itu tersia-sia.

“Sayang banget, kenapa mereka harus putus sebelum makan malam dimulai,” kata Haiva pada Haris sambil mengerling meja sebelah, “Makanan yang sudah mereka pesan jadi tersia-sia kan?”

Haris tertawa. “Jangan memperhatikan hal-hal lain. Perhatikan yang ada di depan mata.” Haris mengendikkan kepala pada piring berisi gurame saos padang di hadapan Haiva. “Kalau Iva berhasil menghabiskannya, saya belikan gurame saos mangga juga buat Iva.”

Perhatikan yang ada di depan.
Haiva menatap ke depan. Ada Haris disana. Haiva tertawa.

***

“Apa rasa sakitnya sudah berkurang?” tanya Haris.

Lampu-lampu jalanan berkelebat di kiri-kanan mereka ketika mobil Haris melaju membelah jalanan Jakarta. Selesai makan malam, Haris mengajak Haiva pulang bersamanya. Rumah mereka searah sehingga Haris tidak keberatan mengantar Haiva. Toh sebenarnya Haris tidak repot sama sekali. Dia kan punya supir pribadi.

Haiva menoleh cepat. Kaget. “Apa?”

Penerangan di dalam mobil tidak begitu terang. Haiva tidak bisa melihat ekspresi bosnya dengan jelas. Ia tidak tahu apa maksud pertanyaan bosnya itu.

“Yang tadi membuat Iva nangis, apa rasa sakitnya sudah berkurang sekarang?”

Haiva hanya mengerjap. Apakah bosnya mengetahui alasan sebenarnya ia menangis? Apa acting HP-jatuh tadi kurang meyakinkan? Lalu bagaimana ia harus mengalihkan pembicaraan sekarang supaya ia tidak perlu menjawab.

“Meski makanan enak tidak bisa mengobati sakit kepala yang terbentur tadi ...” Haris menoleh pada Haiva, “ ... setidaknya Iva sudah lupa rasa sakit terbentur yang sampai membuat Iva nangis tadi kan?”

Haiva bengong sesaat. Tapi kemudian ia tertawa.

“Makasih banyak ya Pak,” kata Haiva, masih tertawa, “Kata orang: perut kenyang, hati senang. Kepala saya nggak sakit lagi sekarang.”

Tinggal hati saya aja yang masih sakit, lanjut Haiva dalam hati. Masih sambil tertawa.

Tapi hatimu masih sakit kan?, tanya Haris dalam hati, sambil ikut tertawa bersama gadis itu. Dasar anak muda.

Ini pertama kalinya Haiva ngobrol dengan Haris, di luar jam kantor, dan selain membicarakan validation report dan deviation report.

*  *   *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top