47. Status: Rejected
Berdasarkan teori-suka-suka saya, kita cenderung menyukai sesuatu yang relate dg kehidupan kita. Misal kalau kita lagi bahagia, kita senang mendengarkan lagu high-beat. Kalau lagi sedih, kita memilih mendengarkan lagu "kumenangis membayangkan..." hahaha.
Nah, barangkali ada alasan juga mengapa kita menyukai genre cerita tertentu. Jadi, buat Kakak2 yg suka cerita ini, apakah Kakak2...
- punya pengalaman kisah cinta agegap?
atau
- masuk ke klub penggemar pria2 matang (baca: om2)?
atau
- ga ada alasan khusus. Gemay aja sm Haris.
* * *
Ini bukan pengalaman pertama bagi orangtua Haiva menerima laki-laki yang ingin melamar anak gadisnya. Meski bukan hal yang terjadi setiap hari, sehingga ada sedikit rasa gugup saat menghadapinya, tapi ini pertama kalinya orangtua Haiva merasa gugup yang berlebihan saat menghadapi seorang laki-laki. Hal tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah karena sosok lelaki tinggi besar di hadapan mereka ini memiliki aura kedewasaan dan ketenangan yang tidak dimiliki pemuda lain yang pernah melamar anak perempuannya, kakak Haiva dulu.
Tentu saja lelaki itu terlihat dewasa dan tenang. Kurang dewasa apa lagi coba? Usianya saja hanya beberapa tahun lebih muda daripada ayah dan ibu Haiva.
"Haiva ndak bilang bahwa Pak Haris akan datang kemari," kata ibu Haiva. Menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kedatangan lelaki itu yang tiba-tiba, meski tidak terang-terangan.
"Mohon maaf saya datang tanpa kabar, Bapak, Ibu," kata Haris sopan. "Sebelumnya saya dan Haiva berencana kemari bersama. Saya juga sudah membeli tiket untuk kami berdua. Tapi kemudian, ada perdebatan antara saya dan Haiva, dan Haiva mengembalikan tiket yang sudah saya belikan. Saya bahkan tidak tahu bahwa Haiva memilih pulang kemari 2 hari lebih cepat dari jadwal yang sebelumnya kami rencanakan. Jadi saya mohon maaf kalau datang tanpa pemberitahuan dan membuat Bapak dan Ibu tidak nyaman."
Berdasarkan obrolan terakhirnya dengan Haiva, ibu Haiva, yang melihat Haiva terus membela lelaki ini, mengira bahwa Haiva masih memperjuangkan lelaki itu. Tapi kalau berdasarkan cerita Haris barusan, terdengar seperti mereka sedang berselisih hebat sehingga bahkan Haiva tidak ingin mengajak lelaki itu ke rumah orangtuanya. Dan hal itu justru membuat ibu Haiva tidak mengerti. Jika memang Haiva dan Haris sedang berselisih, mengapa Haiva tetap memperjuangkan Haris, dan mengapa Haris tetap nekat datang kemari tanpa Haiva?
"Iva sedang tidak di rumah, Pak," kata ibu Haiva kemudian. "Dia sedang pergi keluar bersama calon tunangannya."
Si dokter, anak Pak Camat, gumam Haris dalam hati.
"Tadi Bapak bilang bahwa Bapak berselisih dengan Haiva kan? Jadi kenapa Bapak masih kemari?" tanya ayah Haiva, (mencoba) berwibawa. Cukup sulit bagi ayah Haiva untuk bersikap tenang dan berwibawa di hadapan orang yang aura wibawanya sangat kuat.
Di sisi lain, Haris juga merasakan kegugupan yang sama. Meski dia sudah sering menghadapi auditor yang tegas, tapi dia baru 2x menghadapi orangtua dari gadis yang disukainya. Haris menelan ludah dengan kesulitan. Keadaan ini lebih menegangkan daripada audit dari FDA atau TGA.
"Saya... serius mencintai puteri Bapak dan Ibu," kata Haris akhirnya.
Ayah Haiva memejamkan mata karena langsung merasa pusing. Ibu Haiva juga kaget dengan keterusterangan seperti itu.
"Kami memang berdebat baru-baru ini dan Haiva tidak mau menemui saya lagi," Haris melanjutkan. "Tapi saya masih mencintai dia. Jadi saya pikir, kalau saya ingin mendapatkan hatinya lagi, saya perlu mendapat restu dari Bapak dan Ibu dulu."
Haris mengambil dompet dari saku celananya lalu mengeluarkan selembar kartu nama. Ia meletakkannya di meja di hadapan ayahnya Haiva.
"Barangkali saya belum memperkenalkan diri dengan layak sebelumnya, Pak, Bu," kata Haris. "Nama saya Haris Hananjaya. Sebelum Haiva pindah kerja, saya adalah Plant Director di tempat Iva bekerja. Saya memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Saya mencintai Haiva, dan dapat bertanggung jawab dan membahagiakan dia. Seperti saran Bapak sebelumnya, saya juga sudah mengenal Haiva lebih jauh dan belajar beradaptasi dengannya. Saya..."
"Ndak perlu dilanjutkan, Pak," potong ayah Haiva tiba-tiba. "Kami tidak berniat memberi restu untuk Bapak dan Iva."
Orangtuanya masih kerabat jauh dari Sultan Hamengkubuwono di Jogjakarta, sehingga Haris dibesarkan dengan adat Jawa yang kental. Oleh karena itu, Haris tahu bahwa bagi kebanyakan orang Jawa (terutama orang-orang Jawa Tengah) unggah-ungguh yang terlalu kental menyebabkan sebagian orang Jawa cenderung sungkan menolak. Oleh karena itu, saat ayah Haiva yang lembut dan penuh sopan santun itu menolaknya dengan tegas, tanpa basa-basi, Haris sadar bahwa dirinya memiliki kriteria nilai mati yang tidak dapat ditoleransi oleh orangtua Haiva.
"Maaf Pak, apa saya boleh tahu alasan Bapak?" tanya Haris. Meski nyalinya seketika menciut mendengar penolakan barusan, ia berhasil mempertahankan intonasi suaranya tetap tenang.
"Pak Haris hanya delapan tahun lebih muda daripada saya, lima tahun lebih muda daripada ibunya Iva. Kami ndak pernah membayangkan punya menantu seperti itu," jawab ayah Haiva.
Haris mengangguk. "Saya mengerti alasan Bapak. Tapi saya tidak bisa memilih kapan dilahirkan."
"Pak Haris ndak mengerti!" tukas ayah Haiva. "Sekarang saya mau bertanya. Apa yang menyebabkan Bapak dan Iva bertengkar?"
"Kami... ada kesalahpahaman kecil."
"Bagi Bapak, itu hanya kesalahpahaman kecil. Tapi hal-hal kecil itu bisa terus bertumpuk menjadi besar. Saya dan ibunya saja, yang mengenal Iva sejak kecil, kadang masih ndak mengerti tentang pikirannya. Apalagi Bapak yang baru mengenal. Dua puluh tahun bukan rentang waktu yang sedikit, Pak. Dan itu bukan hanya soal angka. Tapi juga soal kedewasaan dan pola pikir.
Sekarang Bapak sedang jatuh cinta pada anak kami, jadi Bapak memaklumi semua sikapnya. Tapi bagaimana beberapa tahun lagi? Dalam rumah tangga, cinta yang menggebu-gebu ndak menetap selamanya, Pak. Nantinya akan berubah menjadi rasa sayang ketika makin saling memahami. Tapi bagaimana kalau saat makin memahami, Bapak makin merasa Iva kekanakan, ndak dewasa, ndak sepadan dengan Bapak? Bapak dan Iva akan makin sering bertengkar seperti sekarang. Barangkali Bapak nanti akan menyesal. Kami ndak mau itu terjadi pada anak kami."
"Saya tidak akan menyesal, Pak," kata Haris, masih mencoba meyakinkan.
Tapi ayah Haiva tampak tidak mendengarkan. "Pak Haris tahu kenapa ibunya Iva menjodohkan Iva dengan anak kenalan kami?" tanya ayah Haiva kemudian.
"Karena Bapak dan Ibu sudah menilai bibit, bebet dan bobotnya," jawab Haris lemah.
"Benar sekali," jawab ayah Haiva. "Kami mengenal silsilah keluarganya, kami mengenal kualitas laki-laki itu. Iva dan laki-laki itu setara. Kedua keluarga kami setara. Keluarganya juga menerima Haiva dengan baik. Ndak ada orang yang akan menggunjingkan mereka.
Bapak bisa bayangkan, bagaimana jika kami mengijinkan Iva dengan Bapak? Dalam segala sisi, Bapak berada jauh di atas Haiva dan keluarga kami. Belum tentu Haiva diterima di keluarga Bapak. Bisa jadi kami diremehkan oleh keluarga Bapak. Kami ndak ingin hubungan yang tidak setara seperti itu. Orang-orang juga mungkin menuduh Haiva dan kami sebagai orangtuanya yang memanfaatkan Bapak kalau Bapak dan Iva bersama. Usia Bapak juga jauh lebih.... tua daripada Haiva. Meski ndak ada yang tahu usia manusia selain Gusti Allah, bukankah kemungkinan Bapak meninggalkan Haiva duluan lebih besar dibanding kemungkinan Iva meninggalkan Bapak? Jadi tolong Bapak jelaskan kepada kami, apa untungnya kami merestui Bapak menjadi menantu kami?"
Haris menyadari telapak tangannya berkeringat seiring tiap kata yang diucapkan ayah Haiva. Tidak ada satupun kata-kata beliau yang tidak tepat. Haiva memang mengalami semua kesulitan yang disebutkan ayahnya tadi sejak gadis itu bersamanya: diremehkan, dicurigai, dituduh, digosipkan. Yang lebih parah, setelah berbagai kesulitan itu, Haris bukannya mendukungnya tapi justru menyalahkan sikap inferior dan insekuritasnya. Padahal, jika dipikir kembali, memangnya siapa yang bisa cukup kuat bertahan percaya diri dan tidak insecure setelah berkali dihantam kecurigaan, tuduhan dan gosip seperti itu?
Jadi apa untungnya bagi Haiva dan keluarganya jika mereka menerima Haris? Bukankah lebih banyak kerugian dan rasa sakit yang akan mereka terima?
"Saya bisa melihat Pak Haris orang yang baik. Haiva beruntung disayangi oleh Bapak. Tapi itu saja ndak cukup. Bapak mungkin ndak menyakiti Haiva. Tapi bagaimana dengan orang-orang di sekitar Bapak? Apa Iva akan bahagia bersama Bapak?"
* * *
Haris kembali ke Jakarta hari itu juga dengan kekalahan. Sebesar apapun rasa percaya dirinya bahwa ia bisa membahagiakan Haiva, tapi ia tidak bisa menjamin Haiva tidak akan tersakiti (oleh orang-orang di sekitarnya) saat bersamanya. Nyatanya, selama ini Haiva sudah banyak tersakiti.
Saat meninggalkan rumah orangtua Haiva, Haris juga melihat Haiva bersama Raka. Dan meski marah, Haris terpaksa mengakui bahwa mereka memang serasi. Randu atau Raka, keduanya memiliki syarat yang tidak dimilikinya. Kesetaraan. Tanpa bersusah payah, mereka sudah setara dengan Haiva. Sementara dirinya, seberapapun ia berusaha beradaptasi dengan Haiva, ia memang tidak bisa setara dengan gadis itu.
Mengingat Haiva yang selalu memperjuangkan dirinya selama ini, Haris merasa bahwa kali ini adalah kesempatannya memperjuangkan gadis itu. Itu mengapa ia memberanikan diri menemui orangtua Haiva, berharap mereka melihat keseriusannya. Tapi ternyata ayah Haiva menyampaikan dengan lugas bahwa kalaupun Haris ingin memperjuangkan Haiva, pada akhirnya Haiva juga yang akan tersakiti. Hal ini membuat Haris merasa buntu. Apakah keputusannya untuk terus memperjuangkan Haiva adalah keputusan yang benar, atau keputusan yang egois?
"Apa yang kita lakukan kalau ada produk kita yang tidak memenuhi spesifikasi Farmakope, Pak?" tanya Naya ketika Haris menceritakan hasil kunjungannya ke Solo.
Sejak Haris mengakui hubungannya dengan Haiva pada Naya, tiba-tiba saja Naya beralih profesi menjadi konsultan cinta.
"Kita reject," kata Haris lemah. Ia tahu kemana arah pembicaraan Naya. "And i have been rejected, Nay."
Naya tersenyum."Haris Hananjaya yang selalu optimis dan percaya diri, bahkan di hadapan para auditor, bisa sedesperate ini karena cinta. Haiva benar-benar luar biasa," kata Naya sambil terkekeh.
Haria hanya diam, membiarkan anak buahnya meledeknya. Kenyataannya, dia memang merasa sebagai pecundang saat ini.
"Kalau out of specification nya critical, memang harus direject sih Pak. Tapi ada beberapa kondisi dimana hasil OOS tersebut masih bisa di-rework," kata Naya sambil tersenyum. "Kisah cinta Bapak dan Iva ini masih bisa di-rework kok."
"Maksud Naya?"
Naya baru saja akan menjawab, ketika ponsel Haris berbunyi.
Haris melihat nomer yang tertera di layar. Bukan nomer yang tersimpan di memori ponselnya. Kemungkinannya cuma dua: penawaran kartu kredit/asuransi atau justru dari BPOM. Dilema sekali dihadapkan pada hal yang sangat tak penting dan sangat penting seperti ini. Akhirnya Haris memutuskan untuk mengangkat telepon itu.
"Halo?" Haris menjawab teleponnya sambil melirik Naya agar jangan pergi dulu dari ruang kerjanya.
"Apa benar ini Pak Haris?" tanya seorang perempuan. Anehnya, suara perempuan itu agak bergetar. Sepertinya bukan penawaran kartu kredit atau asuransi.
"Ya. Ini saya sendiri."
"Saya.... ibunya Haiva."
Sontak Haris menegakkan duduknya. Kaget dan bingung.
"I-iya Bu?" Haris tergeragap bingung.
"Haiva kembali ke Jakarta hari ini. Ta-tapi barusan saya mendapat telepon bahwa Iva jadi... jadi.... korban kecelakaan di tol bandara."
Jantung Haris rasanya mencelos.
* * *
Penasaran? Belum punya bukunya? Pesan yuk ke Karos Publisher: 0818-0444-4465 atau download di google playbooks
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top