46. A (Wo)man Who Can't Be Moved

Aku selalu berandai-andai.
Andai aku terlahir lebih cepat,
atau kau terlahir lebih lambat.
Apa kita bisa bahagia?

* * *

Seperti halnya tidak ada cuti jatuh cinta, UU Ketenagakerjaan juga tidak memfasilitasi adanya cuti patah hati. Padahal secara de facto, patah hati terbukti secara empiris menurunkan produktivitas kerja.

Karena itulah, meski Haiva tidak yakin bisa bekerja optimal setelah patah hati, ia tetap masuk kerja. Melakukan rutinitas seperti biasa. Dan setelah dijalani, ternyata kesibukan pekerjaannya dapat membuatnya lupa sementara pada perasaan sedihnya. Perasaannya akan kembali biru saat ia makan siang dengan santai atau saat ia pulang dari kantor. Itu mengapa Haiva makan siang dengan lebih cepat dan kembali bekerja, serta lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya hingga malam hari di kantor, sehingga tubuhnya sudah sangat kelelahan ketika tiba di kos, dan dia bisa langsung tidur tanpa teringat patah hatinya.

Gosip tentang dirinya tidak berhenti begitu saja. Malah makin santer terdengar. Haris dan Lidya yang datang ke acara resepsi pernikahan Ririn hari Sabtu lalu, menjadi semacam konfirmasi bagi publik bahwa kedua orang itu memiliki hubungan khusus. Dan foto Haris-(diduga)Haiva yang beredar sebelumnya, membuat posisi Haiva benar-benar sebagai tertuduh pelakor.

Untungnya, berbeda dengan sebelumnya dimana orang-orang berani bertanya langsung pada Haiva tentang gosip hubungannya dengan Haris, kali ini mereka berghibah diam-diam di belakang Haiva. Haiva sempat mendengar beberapa temannya nyinyir membicarakannya. Tapi selama mereka tidak mengkonfrontirnya langsung, Haiva memilih bersikap bodo amat. Dia pura-pura tidak mendengar semua tuduhan dan kenyinyiran itu.

Apakah Haiva tidak sakit hati mendengar tuduhan orang-orang terhadapnya? Tentu ia sakit hati. Tapi saat ini hatinya sudah terlalu sakit akibat perpisahannya dengan Haris, sehingga dia rasanya tidak bisa merasa lebih sakit lagi. Jika tubuhnya tidak cukup lelah saat bekerja sehingga ia tidak bisa langsung tidur sepulang bekerja, Haiva terpaksa harus menghadapi rasa sakit itu dan berakhir dengan menangis hingga tengah malam.

Haiva barangkali kecewa dengan sikap Haris yang menyembunyikan hubungan mereka sehingga Haiva justru dituduh pelakor, tapi anehnya dia tetap tidak bisa membenci Haris. Haiva meninggalkan Haris bukan karena dia membencinya. Justru, ia meninggalkan Haris karena ia merasa tidak pantas bersama Haris.

Seringkali, konflik antara dua orang justru bukan disebabkan oleh faktor eksternal (misal omongan orang), tapi sangat dipengaruhi oleh faktor internal (citra diri). Orang lain boleh ngomong atau bergosip apa saja, tapi asalkan kita memiliki citra diri yang baik, maka omongan orang tidak akan menyebabkan kita merasa insecure.

Bersama Randu dan Raka, Haiva tidak pernah memiliki perasaan insekuritas serupa. Mungkin karena ia merasa setara dengan Randu dan Raka, dengan usia yang tidak berbeda jauh, dengan tingkat ekonomi dan status sosial yang lebih kurang setara. Sementara, bersama Haris, Haiva selalu merasa inferior. Dan itu menyebabkan hubungan mereka tidak sehat.

Pemahaman itu menyebabkan Haiva sadar bahwa pernyataan Haris benar. Selama Haiva masih terus merasa rendah diri, maka ia akan terus mudah cemburu jika Haris terlihat dengan perempuan lain (entah Hana atau Lidya). Rasa rendah diri itu juga akan menyebabkan Haiva terus curiga dan berasumsi negatif terhadap segala sikap Haris.

Maka, jika selama ini Haiva selalu merasa cemburu dan insecure selama berhubungan dengan Haris, itu bukan kesalahan Haris, tapi karena dirinya sendiri yang memiliki citra diri yang belum kuat. Oleh karena itu, Haiva memutuskan untuk pergi, membuat dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kuat. Entah bersama siapapun dirinya kelak, andaipun tidak bersama Haris, dia perlu memiliki citra diri yang baik dan kuat agar dapat membangun hubungan yang sehat dengan pasangannya.

* * *

Haiva pikir dirinya beruntung karena cuti akhir tahunnya disetujui atasannya. Setidaknya ia bisa melarikan diri sesaat dari kesumpekan lingkungan kerjanya yang penuh gosip. Tapi ternyata ketika ia mudik di akhir tahun dan bertemu dengan ibunya, ia kembali direcoki oleh kekhawatiran ibunya tentang Haris, dan proyek pencomblangan dengan Raka. Sempurna sekali bukan liburan akhir tahunnya.

"Pokoknya Ibu dan Bapak ndak setuju kamu sama bosmu itu!" kata ibu tegas.

Haiva diam saja, hanya manggut-manggut mendengarkan omelan ibunya.

"Kamu itu cantik, Ndhuk. Yang naksir kamu pasti banyak. Kenapa sih mesti sama laki-laki yang sudah tua begitu? Bosmu memang ngguanteng sih, ndak kelihatan juga sudah hampir 50 tahun, tapi kan tetap aja rasanya risih punya menantu yang usianya beda sedikit sama ibu. Ibu dan Bapak jadi sungkan kan kalau mau galak."

"Lha alasannya gitu banget. Supaya bisa galakin menantu," balas Haiva geli.

"Ya kan kalau dia jahat atau kasar sama kamu, Bapak bisa negur."

"Dia baik kok, Bu."

"Kamu apa nggak risih gitu kalau punya suami yang seusia bapakmu sendiri? Sekarang mungkin kamu merasa baik-baik aja, tapi dalam 20 tahun ke depan, kamu masih semangat, tapi suamimu udah tua dan sakit-sakitan. Kamu cuma bakal menghabiskan waktumu buat ngurusin dia, Ndhuk."

"Mbah Yono itu sudah 70 tahun tapi masih seger gitu, Bu. Masih kuat main badminton," kata Haiva, menyebutkan nama salah seorang tetangga mereka yang masih aktif meski sudah sepuh.

"Nanti kamu lebih cepet jadi janda kalau dia meninggal duluan."

"Umur manusia di tangan Gusti Allah, Bu. Ndak ada yang tahu."

"Nanti anakmu masih SMP, trus bapaknya udah meninggal, siapa yang mbiayain kuliah anakmu?"

"Warisan bapaknya banyak, Bu."

"Bayangkan, apa kata tetangga kalau mereka tahu bahwa menantu ibu cuma 5 tahun lebih muda daripada ibu? Nanti Ibu dan Bapak dikira matre sampai tega menikahkan anak kepada laki-laki tua."

"Ya kalo mikirin omongan orang terus sih nggak bakalan habis-habis, Bu."

"Kamu kok ya ngeyel banget tho? Kamu serius cinta sama bosmu itu?"

Haiva terdiam. Bukan karena tidak berani menjawab, tapi juga karena terkesiap.

Dia sudah tidak ada hubungan apa-apa dengan Haris, tapi kenapa tanpa sadar dia terus membela Haris di hadapan ibunya?

"Apa sih kelebihan bosmu dibanding Raka?" lanjut Ibu, belok kanan tanpa lampu sen. "Raka itu dokter, pinter, ganteng, masih muda, dari keluarga baik-baik, menantu idola ibu-ibu kecamatan sini."

Haiva diam saja. Ditinjau dari semua parameter itu, Raka memang unggul. Haiva tentu tidak bisa membantah ibunya. Apalagi secara pribadi, Haiva mengakui kebenaran kata-kata ibunya.

Akhirnya Haiva menghabiskan sore harinya di dapur, membantu ibunya menyiapkan makan malam, sambil menerima omelan ibunya. Pasrah.

* * *

Bukan hanya sebatas kata-kata, ternyata ibunya melancarkan teknik pencomblangan dengan gercep sekali. Di hari ketiga Haiva di rumah orangtuanya, Raka sudah datang ke rumah dan mengajaknya jalan-jalan keluar.

"Ibuku maksa aku main ke rumah orangtua dek Iva, dan ngajak dek Iva jalan-jalan," kata Raka berbisik. "Aku baru nyampe rumah kemarin malem padahal, dek."

Ternyata persekongkolan kedua ibu itu sudah solid sekali.

Karena Haiva juga sudah malas berdebat dengan ibunya, dan sudah muak diceramahi lagi tentang 100-kelebihan-Raka-dibanding-Haris, akhirnya Haiva menuruti perintah ibunya untuk jalan-jalan bersama Raka.

"Kedua ibu kita serius kayaknya, dek," kata Raka ketika mereka sedang makan bersama di sebuah restoran Jepang. "Kayaknya aku harus bilang tegas ke ibuku bahwa dek Iva sudah punya pacar, jadi ibuku ndak maksa-maksa kita lagi."

Haiva menghentikan memakan ramennya. "Jangan, Mas. Nanti hubungan ibuku dan ibu Mas jadi ndak enak."

"Tapi kan pada akhirnya kamu bakal nikah sama pacarmu kan? Ya mending aku bilang dari sekarang, supaya ibuku berhenti mendesak kita."

"Aku ndak bakal nikah sama dia kok, Mas."

"Karena ibu dek Iva ndak setuju?"

"Karena kami sudah putus."

Kali ini Raka yang meletakkan sumpitnya. "Serius?"

Haiva mengangguk. Tapi wajahnya terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang baru putus cinta, sehingga Raka memerhatikan wajah gadis itu dengan lebih menelisik.

"Beneran putus? Bukan cuma break?" tanya Raka memastikan.

Haiva sempat terdiam sesaat. Mempertimbangkan apakah dia akan mungkin kembali bersama Haris atau tidak.

"Bukan cuma break," jawab Haiva akhirnya.

Haiva memang bucin. Tapi kalau Haris sudah jelas-jelas malu menunjukkan hubungan mereka pada orang lain, Haiva harus tahu diri kan. Bucin juga harus punya harga diri kan.

"Kenapa?"

Lagi-lagi Haiva berpikir sejenak sebelum menjawab. "Ndak cocok aja. Banyak perbedaan."

Gadis itu terlihat enggan membahas tentang mantan pacarnya, jadi Raka tidak bertanya lebih jauh.

"Jadi, apa itu artinya dek Iva mau mencoba berhubungan sama aku?"

Haiva agak kaget juga dengan betapa gercepnya Raka. Benar-benar khas seorang dokter yang tidak menyia-nyiakan waktu kritis.

Tapi Haiva bukan pasien dengan kondisi kritis. Hanya karena dirinya tidak berhubungan dengan Haris lagi, bukan berarti dia bisa dengan mudah menerima lelaki lain. Dia bukan tipe perempuan yang bisa menerima siapa saja, mumpung ada yang suka, hanya supaya tidak jomblo.

"Maaf, Mas. Aku belum bisa," jawab Haiva.

"Kenapa? Kata dek Iva, kalian bukan sekedar break? Memang sudah putus beneran kan? Atau dek Iva nolak aku karena dek Iva sebenarnya belum move on?"

Sekonyong-konyong ditanya seperti itu, membuat Haiva termangu. Apakah dirinya memang belum move-on?

Dia sudah sok mengaku sebagai bucin yang punya harga diri. Tapi apa gunanya jika dia belum juga bisa move-on? Cih!

* * *

'Cause if one day you wake up
and find that you're missing me
And your heart starts to wonder
where on this earth I could be
Thinkin' maybe you'll come back here
to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you
on our corner of the street
So I'm not moving,
I'm not moving

(Man who can't be moved, The Script)


* * *

Raka mengantar Haiva pulang menjelang sore hari. Motor Raka masuk ke halaman rumah orangtua Haiva tepat setelah sebuah mobil keluar dari halaman rumah tersebut.

"Siapa?" tanya Raka setelah Haiva turun dari motornya dan menyerahkan helm yang dipakainya pada Raka.

Haiva mengangkat bahunya. Itu bukan mobil yang dikenal Haiva. "Pasti tamunya Bapak atau Ibu."

Raka manggut-manggut.

Haiva kemudian mempersilakan Raka masuk dan menunggu di ruang tamu. Baru saja Haiva akan memanggil orangtuanya, Ibu Haiva sudah menemui mereka di ruang tamu dengan senyum di wajah. Meski demikian, Haiva merasa ada yang aneh dengan senyum itu.

"Gimana jalan-jalannya tadi? Kok cuma sebentar?" tanya ibu Haiva sambil tersenyum ramah pada Raka.

Sebentar apanya?, gerutu Haiva dalam hati. Mereka sudah sampai nonton film dengan durasi 2.5 jam kok. Kurang lama apa lagi?

"Takut dek Iva pulang kemaleman, Bulik," jawab Raka sopan.

Haiva yakin ibunya makin terpesona dengan sikap Raka itu. Benar-benar calon mantu idaman emak-emak sekecamatan.

"Kalau sama Mas Raka mah Bulik percaya," kata Ibu Haiva.

Dih, standar ganda, ledek Haiva dalam hati. Matanya melirik Raka, dan lelaki itu memberinya lirikan geli juga.

"Sana, Va, buatkan minum dulu buat Mas Raka-mu," kata ibu Haiva kemudian.

Kali itu Haiva mengerutkan keningnya heran. Mas Raka-mu? Ibunya ini benar-benar kelihatan niat banget menjodohkannya dengan Raka.

Meski begitu, Haiva yang malas membantah ibunya, langsung saja masuk ke dapur dan membuatkan segelas sirup dingin untuk Raka dan menempatkan beberapa potong pisang goreng yang sepertinya belum lama digoreng ibunya pada sebuah piring. Tak lupa ia juga mencomot sepotong pisang goreng untuk dirinya sendiri.
Saat itulah ibu Haiva masuk ke dapur.

"Bapak mana, Bu? Di kamar? Tadi ada tamu ya Bu?" tanya Haiva iseng.

Tanpa diduga, ekspresi ibunya berubah tegang. Apakah pria bermobil tadi adalah rentenir yang menagih utang? Eh? Tapi kan orangtuanya tidak pernah berhutang? Eh? Iya kan?

"Kamu lihat?" tanya sang ibu. Wajahnya terlihat was-was.

"Aku lihat ada mobil pergi dari sini," jawab Haiva. "Emang itu siapa Bu?"

Ibu Haiva tidak segera menjawab. Haiva juga tidak ingin memaksa. Tapi ketika Haiva beranjak akan mengambil piring berisi pisang goreng dan membawakannya untuk Raka, tiba-tiba ibunya mengatakan sesuatu.

"Itu tadi bosmu."

Tanpa bisa dikendalikan, piring berisi pisang goreng yang dipegangnya terjatuh. Menimbulkan bunyi berisik.

* * *

Dokter Raka disini keren bgt ya. Di cerita sebelah kok bangcad ya hahaha.

Udah baca cerita Dokter Raka di sebelah kan Kak?

* * *

Penasaran? Belum punya bukunya? Pesan yuk ke Karos Publisher: 0818-0444-4465

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top