40. Self-respect

Ada yg kangen Pakde? Masih banyak nggak yang nungguin kelanjutan cerita ini ya?

Anyhow, i was so happy to read all the comments in the previous chapter (maaf blm sempet bales, Kakak2). Banyak yang sebel sama Pakde krn nggak peka, tapi beberapa jg memahami sikap Pakde. Sebaliknya, banyak yg support n simpati sama Iva, tapi banyak juga yg sebel sama insekuritas dan segala asumsinya.

Saya senang sekali Kakak2 notice karakter mereka yg "bukan malaikat/bidadari". Tiap orang punya kelemahan, tiap orang punya masa lalu yg membentuk karakternya, dan tiap orang menjalani perjuangan yang berbeda.

Kalau ada Kakak2 yg merasa kisah Haris-Haiva terlalu berbelit-belit, maju-mundur atau jalan di tempat, maka sesungguhnya Kakak2 adalah orang yg beruntung. Beruntung krn kisah cinta Kakak (yg meskipun beda usia dg pasangan) tidak serumit Haris-Haiva ini. They are real characters, with their real relationship problems. Kakak2 yg tdk mengalami kerumitan spt mereka sungguh2 orang yg beruntung dan disayang Tuhan. Dan saya ikut bahagia mendengar kisah age-gap Kakak2 yang bahagia.

.
.
.

* * *


"Terima kasih banyak, Iva, untuk hari ini."

Haris baru saja membelokkan mobilnya keluar dari kompleks perumahannya. Hari sudah sore ketika Haris mengantar Haiva pulang selepas acara makan bersama dalam rangka hari ulang tahun Hilbram.

Haiva menoleh pada Haris dan mendapati pria itu tersenyum lebar padanya.

"Bapak keliatan bahagia hari ini."
Itu bukan pertanyaan. Karena jawabannya sudah jelas.

"Apa kelihatan sejelas itu?" Haris bertanya, lalu tertawa lepas. Seperti sangat gembira.

Haiva menanggapi dengan senyum formalitas. Rasanya dia tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Itu jenis pertanyaan yang tidak butuh jawaban kan?

Dan Haiva tahu alasan dibalik kebahagiaan sebesar itu.

Tentu saja karena makanan-makanan kesukaannya.... dan kokinya.

"Saya lega karena Iva diterima dengan baik oleh keluarga adik saya," kata Haris.

Haiva tersenyum lemah. "Mereka baik sama saya."

"Menurut Iva, apa Iva siap bertemu keluarga kakak saya?"

Haiva tidak segera menjawab. Baru saja "menghadapi" mantan Haris membuatnya merasa kelelahan. Ia harus terus tersenyum sementara hatinya digerogoti kecemburuan, itu benar-benar menguras energinya. Kini ia sudah harus memikirkan bagaimana "menghadapi" keluarga Halida. Halida jelas tidak menyukainya, dan besar kemungkinan ia menularkan perpektifnya sehingga membuat anggota keluarganya yang lain tidak menyukai Haiva. Apakah nanti ia juga harus terus memaksakan senyum sementara dirinya tahu orang-orang itu membicarakan dirinya di belakangnya? Memikirkan hal itu saja sudah membuat energi positif Haiva tersedot habis.

"Seperti yang tadi mamanya Ibam cerita, istri dari anak sulung kakak saya baru saja melahirkan. Akhir pekan depan, mereka akan mengadakan acara akikahnya."

Haiva menghela nafas pelan, nyaris tak kentara.

"Hanya akan ada keluarga kakak dan adik saya, lalu keluarga inti dari istri keponakan saya. Barangkali itu kesempatan yang bagus untuk mengenalkan Iva kepada keluarga terdekat saya. Bukan acara besar seperti pernikahan."

Haris melepaskan tangannya sesaat dari setir, lalu meremas tangan Haiva dengan cepat sebelum kembali ke setirnya.

"Saya akan sangat senang kalau Iva bisa ikut."

"Apa Bu Halida akan senang melihat saya datang tanpa diundang?" akhirnya Haiva mengemukakan kegelisahannya. "Saya nggak mau merusak hari bahagia keponakan Bapak dengan drama gara-gara saya datang."

Haris mengangguk, memahami kekhawatiran Haiva."Saya akan minta ijin Mbak Halida, dan bicara dengan keponakan saya."

"Kalau mereka keberatan dengan kehadiran saya di acara itu, saya masih bisa memperkenalkan diri lain kali... kalau mereka mengijinkan saya memperkenalkan diri."

Haris mengangguk. Sementara ini dia tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi dia akan terus mengusahakan agar Haiva dapat diterima di keluarganya. Orangtuanya sudah meninggal, sehingga meski restu Halida bukan syarat mutlak untuk menikahi Haiva, tapi penerimaan keluarga Halida akan membuat kebahagiaan mereka lengkap nantinya.

"Iva jadi mudik pas libur akhir tahun?" tanya Haris mengalihkan pembicaraan.

"InsyaAllah jadi, Pak."

"Sudah beli tiket?"

"Belum, Pak."

"Nanti sekalian saya saja yang belikan."

Haiva menoleh dan menatap Haris dengan pandangan bertanya. "Sekalian?"

"Saya ingin ikut. Bertemu Bapak-Ibu," Haris menjawab sambil membalas tatapan Haiva. "Boleh kan? Nanti tolong kirim alamat orangtua Iva ke WA saya ya."

Haiva tentu saja senang mendengar rencana itu. Tapi setelah kini dirinya menjadi lebih realistis, ia justru berpikir apakah dirinya benar ingin melanjutkan hal ini?

Haris adalah sosok yang membingungkan bagi Haiva. Lelaki itu tampak serius dengan hubungan mereka, terlihat dari keinginannya untuk mendekatkan Haiva dengan keluarganya dan mendekatkan diri dengan keluarga Haiva. Tapi di saat yang sama lelaki itu juga tidak ingin hubungan mereka diketahui publik.

Lelaki itu tampak perhatian pada Haiva. Tapi di saat yang sama, Haris juga tampak nyaman di dekat Hana.

Sebenarnya, bagi Haris, Haiva itu siapa? Apakah lelaki itu benar-benar mencintainya, atau lelaki itu hanya menerimanya mumpung Haiva sudah menyatakan cinta? Apakah lelaki itu ingin menikahinya karena memang mencintainya, atau daripada ia hidup melajang seumur hidup?

Orang bilang, cinta yang tulus itu berarti tetap mencintai meski tak terbalas. Jika demikian, Haiva belum bisa mencintai Haris setulus itu. Ia tetap ingin Haris membalas cintanya sebagaimana ia mencintai lelaki itu.

"Berapa usia Bapak dan Ibu?" tanya Haris kemudian.

"Bapak 55 tahun. Ibu 52 tahun," jawab Haiva.

"Berarti saya hanya 8 dan 5 tahun lebih muda daripada Bapak dan Ibu," kata Haris menimbang. "Kira-kira kalau saya datang membawa martabak, apa Bapak dan Ibu akan luluh?"

Spontan saja Haiva tertawa mendengar ide itu. Itu ide general tentang berkunjung ke rumah calon mertua: bawalah martabak! Tapi Haiva tidak yakin teknik yang sama akan berhasil untuk calon menantu yang hanya 8 tahun lebih muda daripada calon mertuanya.

Haris tersenyum lebar ketika melihat Haiva tertawa.

"Oiya Pak," Haiva tiba-tiba ingat sesuatu saat membicarakan ibunya. "Mas Raka WA saya, ngajak ketemuan. Menurut Bapak gimana?"

"Mas Raka?"

"Anak Pak Camat, yang mau dijodohin Ibu ke saya."

"Oh... " Haris tampak manggut-manggut mengerti.

"Menurut Bapak gimana? Apa saya menerima atau menolak ajakannya untuk ketemu?"

"Menurut Iva bagaimana?"

"Kalau Bapak nggak setuju, saya akan nolak."

Haris nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kalau Iva mau ketemu Raka, tidak apa-apa. Saya percaya Iva."

Dan ternyata Haiva tidak senang mendengar jawaban itu. Dulu saat mereka belum ada hubungan apa-apa, Haris pernah menyarankan Haiva untuk mencoba dengan lelaki pilihan ibunya. Kini, setelah mereka berhubungan, kenapa Haris nampaknya santai saja mengijinkan Haiva bertemu dengan lelaki yang ingin dijodohkan ibunya kepadanya? Apa Haris tidak cemburu sama sekali?

Orang bilang, cemburu itu salah satu parameter cinta. Makin besar rasa cinta kita kepada seseorang, makin besar rasa cemburu dan takut kehilangan. Setelah diingat-ingat lagi, sepertinya hanya Haiva saja yang sering merasa cemburu pada Haris. Haris sendiri nampaknya tidak pernah cemburu pada Haiva. Dia bahkan dengan santainya mengijinkan Haiva bertemu laki-laki lain yang berpotensi membuatnya kehilangan gadis itu.

Apakah itu artinya rasa cinta Haiva kepada Haris lebih besar daripada sebaliknya? Apakah itu artinya Haris tidak pernah takut Haiva akan direbut pria lain? Tidak takut akan kehilangan Haiva?

* * *

Raka bukan orang baru dalam kehidupan Haiva. Lelaki itu adalah sahabat kakak sepupunya saat SMA dulu. Meski tidak pernah berinteraksi dekat, mereka sudah saling kenal. Tidak seperti di Jakarta, dimana kadang seseorang tidak mengenal tetangga gang sebelah, di kampung halaman Haiva, semua orang dalam radius satu kecamatan masih saling mengenal.

Sejak Raka kuliah di Jogja dan Haiva kuliah di Jakarta, mereka memang jarang bertemu. Seingat Haiva, mereka terakhir bertemu pada hari raya Idul Fitri sekitar tiga tahun lalu. Itupun hanya saling bersapa sekilas. Tapi karena mereka bukan benar-benar orang asing, jadi saat mereka janjian bertemu di sebuah restoran Thai Food demi melunasi kewajiban pada orangtua masing-masing, mereka tidak terlalu canggung lagi.

"Kita selfie bareng dulu. Buat bukti presensi ke ibu-ibu kita," kata Raka sambil mendekatkan duduknya pada Haiva, lalu mengajaknya ber-swafoto.

Kata-kata itu membuat Haiva tertawa lebar saat Raka menyentuh tombol capture pada ponselnya.

Lelaki itu mengambil beberapa foto, lalu memilih 2 foto yang paling oke dan membagikannya pada Haiva.

"Buat dikirim ke ibunya dek Iva. Laporan," kata Raka sambil mengirimkan foto itu ke WA Haiva.

Haiva tertawa, lalu meminum ice lemon teanya. "Makasih, Mas."

"Maaf ya aku ngajak dek Iva ketemu malem-malem sepulang kerja. Jadwalku di rumah sakit kadang ndak tentu. Kadang pas libur akhir pekanpun, ada telepon dari rumah sakit. Makanya pas mumpung ada jadwal kosong, aku ngajak dek Iva ketemu sekarang," kata Raka.

"Ndak apa-apa, Mas, aku ngerti," jawab Haiva maklum.

"Nanti aku anter pulang kok. Tenang," kata Raka.

Haiva tertawa. "Santai, Mas. Ngomong-ngomong, Mas di rumah sakit mana tho dinasnya?"

Raka menyebutkan nama sebuah rumah sakit. Meski tidak terlalu dekat, tapi juga sebenarnya tidak terlalu jauh dari kantor Haiva.

"Kayaknya temenku ada yang kerja disana deh. Aruna, namanya," kata Haiva.

"Oh, apoteker klinis yang cerewet itu ya?"

Haiva tertawa. See? Betapa sempitnya dunia farmasi dan dunia kesehatan. Kita bisa saja ketemu dengan orang yang mengenal orang yang kita kenal. Di dunia kesehatan yang sempit ini, sungguh bukan keuntungan kalau kita terkenal karena sering ngutang. Track record buruk kita akan menyebar dengan cepat.

((PS. Percakapan Haiva-Raka dilakukan dalam bahasa Jawa, tapi beta males translate, jadi langsung pake bhs Indonesia aja yes))

Raka menyuap makanannya lalu kembali bicara pada Haiva.

"Karena kita sama-sama tahu tujuan ibu-ibu kita nyuruh kita ketemuan, jadi aku langsung aja ya dek?"

"Monggo, Mas."

"Aku ndak punya pacar. Ndak sedang mendekati perempuan lain... ndak sempat, lebih tepatnya. Makanya pas ibuku nyuruh aku ketemu sama dek Iva, aku ndak ada penolakan. Kita sudah kenal lama, tapi aku belum pernah merasa tertarik secara spesifik sama dek Iva. Tapi aku mau mencoba, kalau dek Iva juga mau mencoba," kata Raka lugas. "Apa dek Iva sudah punya pacar atau sedang dekat dengan orang lain?"

Untuk ukuran orang Jawa Tengah, Raka ini memang tergolong lugas dan ceplas-ceplos. Barangkali tidak banyak yang akan menduga lelaki itu berasal dari Solo. Mendengar logat dan gaya bicara Raka, barangkali orang lebih percaya jika lelaki itu bilang berasal dari Surabaya.

Sikap Raka yang terbuka ini mengingatkan Haiva pada Randu. Bedanya, Randu lebih sering terlihat bercanda. Raka, bukannya terlihat kaku sih, tapi memang tampak lebih tegas dan lugas.

Haiva mengangguk menanggapi pertanyaan Raka. "Sudah, Mas," jawabnya.

Raka nampak agak terkejut mendengar keterus-terangan Haiva. Haiva memang bertemu Raka bukan berniat untuk menerima rencana perjodohan itu, tapi hanya sebagai syarat agar ibunya tidak terus menerus mendesaknya mencoba dengan Raka.

"Apa ibunya dek Iva sudah tahu?"

"Sudah, Mas."

"Tapi ibu dek Iva ndak setuju?"

Haiva menggeleng. Sudah jelas kan, ibunya tidak setuju dengan hubungan Haiva. Sebab jika setuju, maka mungkin beliau keukeuh menjodohkan dengan Raka kan.

"Jadi dek Iva setuju ketemuan sama aku hari ini supaya bisa nolak aku?"

Haiva jadi salah tingkah dan sungkan jika ditanya selugas itu. "Aku cuma nggak mau bohong atau memberi harapan palsu. Baik pada Mas Raka, ibu Mas, atau ibuku. Tapi ibuku kelihatannya tetep pengin aku mencoba ketemu Mas dulu. Maaf kalau aku bikin Mas tersinggung."

Raka menatap gadis di hadapannya dengan lebih cermat kali ini. Itu wajah yang dikenalnya selama bertahun-tahun. Tapi seiring waktu gadis itu memang tumbuh jadi makin cantik.

Raka datang tanpa agenda atau harapan apapun terhadap Haiva. Tapi melihat keterus-terangan Haiva, entah kenapa Raka justru tertarik.

"Jadi kira-kira, apa aku masih punya kesempatan?"

Haiva tidak menjawab. Ia hanya balik menatap Raka.

"Dek Iva yakin sama pacarnya dek Iva?" tanya Raka tiba-tiba.

"Maksud Mas nanya gitu tu apa?"

"Apa pacar dek Iva tahu bahwa dek Iva ketemu aku?"

"Tahu, Mas."

"Dia tahu tujuan pertemuan kita ini bukan sekedar kenalan? "

"Tahu, Mas."

"Dan dia ndak melarang?"

Haiva menggeleng.

"Apa dia ndak cemburu? Ndak takut aku bakal merebut dek Iva?"

"Dia___" Haiva tampak tergeragap. "___percaya sama aku___katanya."

Raka tersenyum. "Dek Iva ndak yakin sama pacarnya dek Iva." Itu bukan pertanyaan, sehingga Haiva bingung menjawabnya.

Raka sudah menghabiskan makanannya, dan ia meminum ice lemon teanya. Kemudian ia memajukan tubuhnya ke meja dan memandang langsung pada Haiva.
"I find you are attracting and interesting, dek," kata lelaki itu. Kelugasannya lagi-lagi membuat Iva kagum.

"Mas, tapi, aku____"

"Aku ndak suka drama. Aku ndak akan merebut dek Iva. Cinta ndak bisa dipaksakan, dek, cuma bisa diperjuangkan. Tapi aku ndak suka memperjuangkan orang yang ndak mau berjuang bersamaku. Hidupku di rumah sakit udah ruwet. Aku ndak sempet lagi ngejar-ngejar perempuan yang ndak mau aku kejar kan?

Jadi, kalau dek Iva nanti merasa ndak bisa melanjutkan hubungan sama pacar deh Iva, dek Iva tahu bahwa aku belum menutup kesempatan perjodohan kita. Tapi... aku ya ndak selamanya bisa available tho. Aku ndak janji juga kalau selama menunggu dek Iva, aku ndak bakal ketemu perempuan yang mau diperjuangkan sama aku."

Keterus-terangan Raka benar-benar membuat perasaan Haiva ringan. Dia sudah khawatir akan membuat lelaki itu tersinggung jika menolaknya. Tapi ternyata Raka menanggapi penolakannya dengan sesantai itu.

"Mas tuh kalau mau merayu perempuan, mbok yo jangan jujur-jujur amat gitu lah," kata Haiva sambil tertawa. "Perempuan tuh suka di-bucin-in."

Raka tertawa mendengar protes Haiva. "Aku realistis aja, dek. Kalau perempuannya mau sama aku, ya aku perjuangkan. Kalau ditentang keluarga, selama dia mau sama aku, ya aku perjuangkan. Kalau ada cowok lain mau mendekati, selama dia tetep pilih aku, ya aku pertahankan. Tapi kalau perempuannya ndak mau sama aku, aku ya capek lah berjuang sendirian. Itu bukan berarti aku menyerah atau gagal memperjuangkan. Itu artinya aku menghargai diriku sendiri, dengan hanya memperjuangkan orang yang mau diperjuangkan sama aku. Self-respect!"

Haiva termangu mendengar penjelasan Raka. Kalau dirinya memperjuangkan orang yang sebenarnya masih mencintai orang lain, bukankah itu namanya tidak menghargai dirinya sendiri?

* * *

Karena pekerjaannya yang membantu optimasi dan validasi produksi di sejumlah industri farmasi yang menggunakan produk eksipiennya, Randu sering harus mengunjungi perusahaan klien tersebut. Jika kebetulan ia lewat di wilayah industri Hans Pharm, biasanya ia akan mampir menemui Haiva.

Setelah hampir sebulan tidak mampir, akhirnya sore itu Randu mampir juga menemui Haiva. Haivapun sengaja tidak lembur hari itu, gara-gara Randu bilang bahwa kali itu adalah kali terakhirnya bisa mempir dan mentraktir Haiva.

"Kenapa nggak mau mampir ke Hans lagi?" tanya Haiva sambil menyuap pecel lelenya dengan tangan. Kali itu mereka makan pecel lele di pinggir jalan dekat kantor Haiva.

"Bukan nggak mau. Tapi nggak bisa," jawab Randu. "Kenapa? Belum apa-apa, udah kangen gue ya?" tanyanya PD.

Haiva menjulurkan lidahnya dan Randu menanggapinya dengan tawa.

Tingkat PD Randu yang tinggi itu barangkali yang akan membuat Haiva kangen.

"Minggu depan gue udah nggak di PharmExcipt lagi. Kerjaan gue di perusahaan yang baru bukan kayak sekarang yang bisa jalan-jalan. Jadi gue nggak mungkin mampir sana-sini."

"Wah! Pindah kemana, Mas?"

"Gezonde."

"What? Sebagai apa?"

"R&D Manager for Transfer Product."

"Keren!" puji Haiva tulus. "Gezonde itu tempatnya Bu Lidya bukan sih?"

"Iya. Doi yang nawarin lowongan itu ke gue, dan rekomendasiin gue ke Plant Directornya."

"Wah! Wah! Mas Randu keren banget. Sampe bisa direkomendasiin sama Bu Lidya!"

Randu cengengesan jumawa.

"Selamat ya Mas!" ujar Haiva tulus. "Wah bakal kangen deh ditraktir begini sama Mas. Hehehe."

"Yang bener, bakal kangen sama gue?"

"Bener lah."

"Wah, kalo Pak Haris denger, gue bakal dibacok nggak nih?" Randu melirik Haiva dengan tatapan separo menggoda, separo menyelidik.

"Eh?" Haiva terkesiap. Apakah itu berarti gosip itu sudah menyebar sejauh itu?

"Jadi kecurigaan gue dulu benar ya?" tanya Randu kemudian. "Lo pernah nolak gue karena lo suka seseorang. Dan orang itu maksudnya Pak Haris? Dan ternyata si Bapak suka sama lo juga?"

Dengan wajah memerah karena malu, Haiva membungkuk pada Randu. "Maaf ya Mas."

Randu tertawa."Santai aja," katanya. "Gue cuma___" Randu sesaat tampak agak sulit mengemukakan pikirannya, sebelum ia melanjutkan perkataannya. "Kalo bersama gue, kisah cinta lo pasti bakal lebih mudah."

Haiva tersenyum prihatin.

"Tenang aja, gue nggak bermaksud nekat ngejar-ngejar lo lagi kok. Gue adalah orang yang tahu kapan harus berjuang dan kapan harus berhenti," kata Randu. Gayanya tetap saja penuh percaya diri dan optimisme. Kedua hal itu yang membuat Haiva selalu merasa bersemangat dan terhibur tiap ngobrol bareng Randu.

"Mas Randu___"

"Don't pity me," potong Randu dengan senyum di bibirnya. "Finishing something that you start, is one of a quality of someone. But knowing when to start and when to stop, is also important. It's not a failure. It's a self-respect."

Haiva memandang mata Randu yang juga sedang menatapnya dalam. Haiva merasa semesta seperti sedang mengajarinya sesuatu.

* **

Setelah melihat kelakuan Pakde, kayaknya banyak yg sepakat bahwa Haiva mendingan sama yg lain aja ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top