4. Kuntilanak
Belum juga hilang mood buruk Haiva gara-gara curhatan Arya di hari sebelumnya, pagi itu Haiva kembali merasakan kesialan gara-gara Arya.
Andai kemarin Haiva tidak terburu-buru keluar dari ruang blistering karena menerima pesan singkat dari Arya, pasti dirinya bisa memastikan Pak Pung tidak akan bandel memulai proses pengemasan sebelum prosedur lainnya (line clearance dan verifikasi Line Leader) terpenuhi.
Saat tiba di ruang kerjanya pagi itu, Haiva langsung dipanggil oleh atasannya, Mbak Naya, yang memberitahunya tentang tablet yang kemarin malam dikemas oleh Pak Pung tapi ternyata waktu daluarsa yang tercetak salah. Hal ini berakibat tablet-tablet tersebut harus dikeluarkan lagi dari kemasannya. Dan Haiva diminta untuk membuat Laporan Deviasinya.
"Padahal kemarin saya udah minta Pak Pung menghentikan proses, Mbak," kata Haiva kepada Mbak Naya, sang Supervisor Quality Assurance. "Saya nggak nyangka, setelah saya keluar ruangan, dia nekat meneruskan."
"Kenapa Haiva tidak menunggu disana sampai Haiva lihat sendiri bahwa line clearance dan lembar verifikasi printing nya ditandatangani Line Leader?" tanya sebuah suara tiba-tiba, dari balik punggung Haiva. "Apa Haiva buru-buru keluar dari ruang produksi karena asik pacaran sama Technical Manajer Supplier Coating Excipient itu?"
Ternyata itu suara Pak Haris.
Haiva membalas tatapan Pak Haris dengan sengit. Apa baru saja bos besarnya itu menyalahkan dirinya karena tidak bertahan lebih lama disana? Dan apa barusan bos besarnya itu menuduhnya pacaran dengan Randu hingga mengabaikan tugasnya?
"Waktu proses blistering itu dimulai, sudah lewat dari jam kerja saya Pak. Bapak bisa cek logbook pemakaian alat," kata Haiva tidak suka, "Itu sudah diluar jam kerja saya, Pak. Bisa saja saya langsung pulang begitu proses optimasi penyalutan produk baru kita selesai. Dan saya berhak. Tapi saya masih menyempatkan diri memeriksa dan menegur Pak Pung. Jadi saya bukan mengabaikan tanggung jawab saya demi pacaran."
Mbak Naya merasakan aura membunuh menguar kental dari Haiva. Dan meski Pak Haris tetap cool, tatapannya pada Haiva belum beralih.
Jangankan dengan bos besar, dengan para operator di Produksi saja Haiva relatif jarang berdebat. Jadi jika pagi ini Haiva berani-beraninya mendebat Pak Haris, pasti gadis itu sedang dalam mood yang sangat buruk. Begitu pikir Mbak Naya.
"Dan saya nggak pacaran sama Mas Randu."
Mbak Naya nyaris menyemburkan tawa ketika mendengar pernyataan Haiva yang barusan itu. Tapi dia menahan diri dan hanya mengulum senyum.
Pak Haris mengerjapkan mata sekali, nampak bingung menanggapi pernyataan Haiva yang terakhir.
"Kamu pacaran sama siapapun, itu bukan urusan saya," jawab Pak Haris santai.
"Saya nggak punya pacar, Pak!" kata Haiva.
Mbak Naya mengelap air mata di sudut matanya yang keluar karena menahan tawa.
"Kamu tidak punya pacarpun, itu bukan urusan saya."
Haiva merasa tersinggung dengan jawaban itu. Dan nada suaranya jadi makin meninggi.
"Kalau gitu Bapak nggak berhak menuduh saya mengabaikan tanggung jawab karena pacaran."
Ini pertama kalinya Pak Haris mendengar Haiva marah seperti itu. Beliau jadi tidak tahu harus berbuat apa.
Haiva mengalihkan pandangannya kembali kepada Mbak Naya, lalu berkata. "Saya segera dokumentasikan Laporan Deviasinya, Mbak, dan akan undang departemen terkait untuk membahas CAPAnya siang ini."
(CAPA= Corrective Action and Preventive Action, suatu perencanaan yg terstruktur untuk memperbaiki akibat penyimpangan yang terjadi, dan mencegah penyimpangan/deviasi serupa terjadi lagi di kemudian hari)
"Good. Makasih Iva," kata Mbak Naya sambil tersenyum.
"Sama-sama, Mbak," jawab Haiva, "Saya pamit ya Mbak."
Tanpa pamit pada Pak Haris yang berdiri di depan pintu ruangan Mbak Naya, Haiva ngeloyor pergi dari ruangan tersebut.
Setelahnya Pak Haris dan Mbak Naya saling pandang hingga akhirnya Mbak Naya tertawa duluan.
"Kenapa tuh anak buah kamu?" tanya Pak Haris pada Mbak Naya.
"Datang bulan, atau patah hati mungkin, Pak," jawab Mbak Naya sambil angkat bahu. "Coba tanya sendiri deh Pak."
"Males ah, nanti saya disembur lagi seperti barusan."
Mbak Naya tertawa lagi.
"Jangan lupa, saya juga diundang untuk membahas CAPA yang ini," kata Pak Haris kemudian. "Pung itu sudah beberapa kali menyebabkan deviasi. Saya ingin tahu apa tindakan yang akan diambil Manajernya."
"Siap, Pak!"
Lalu Pak Haris berlalu dari ruangan Mbak Naya, setelah sebelumnya mengintip sekilas ke dalam ruangan staf. Hanya untuk mendapati Haiva sedang membuka mulutnya lebar-lebar untuk memakan bakpao dalam sekali suapan.
***
Kesialan yang menyebabkan mood Haiva buruk ternyata masih berlanjut hingga sore hari. Setelah kemarin sore menelepon Haiva untuk meminta saran, sore itu Arya kembali menelepon Haiva selepas jam kerja berakhir.
"Iva-chan masih kerja?" tanya Arya memulai basa-basinya.
"Baru kelar meeting CAPA. Tapi abis ini pulang sih. Kenapa Kang?"
Setelah rapat CAPA dengan memanggil Pak Pung yang demennya ngeles melulu, Haiva sedang tidak mood berbasa-basi, bahkan meski itu dengan Arya sekalipun.
“Dia nerima lamaran saya, Va,” kata Arya ringan.
Haiva diam. Terpukul.
“Ternyata selama ini dia juga suka sama saya. Dan dia juga nggak mau pacaran lama-lama. Jadi klop lah, pas saya ajak nikah, dia nggak ketakutan seperti yang saya khawatirkan," kata Arya antusias. Meski tidak kelihatan, Haiva seakan bisa melihat senyum Arya merekah. Dan itu membuat hati Haiva sakit. "Kasih selamat dong buat kakak kamu ini.”
“Selamat ya Kang.”
Beruntung Arya mengatakan berita itu lewat telepon. Haiva tidak perlu berpura-pura tersenyum selagi ia sama sekali tidak ingin tersenyum.
“Makasih ya Va.”
Haiva tidak menjawab.
“Sekarang saya harus menyiapkan strategi berikutnya untuk bilang ke Ibu saya dan orang tuanya.”
“Hmm.”
“Doain supaya lancar ya. Nanti pasti kami undang.”
“Iya.”
Tiba-tiba Haiva sadar, pipinya sudah basah. Ia harus segera memutus pembicaraan telepon itu.
“Eh, aku dipanggil bos nih Kang,” Haiva buru-buru memutus. “Udah dulu ya.”
“Oke deh. Met kerja lagi ya Va.”
“Daaah.”
Tanpa menunggu balasan Arya, Haiva sudah mematikan ponselnya.
Beruntung saat itu sudah lepas jam kerja. Tidak ada siapapun di ruang kerjanya. Mas Bram sudah pulang sejak jam 5 sore tadi. Kalau tidak, Haiva akan sangat kesulitan menutupi kesedihannya. Ia sudah jatuh.
* * *
Sebenarnya sudah sewajarnya pada waktu semalam itu semua orang di factory dan office sudah pulang. Haris memang terbiasa pulang paling akhir. Ia tidak suka melakukan pekerjaan di rumah, jadi ia terbiasa menyelesaikan semua pekerjaan di kantor sebelum pulang ke rumah. Toh pulang jam berapapun tidak ada yang menunggunya di rumah selain kura-kura peliharaannya. Ia tidak merasa keberatan selalu menjadi yang paling akhir pulang. Lagipula sebagai seorang Plant Director sebuah perusahaan farmasi, ia merasa sudah seharusnya ia datang lebih pagi daripada anak buahnya dan pulang lebih akhir setelah semua anak buahnya pulang. Karena itulah ketika melewati ruang QA (Quality Assurance – penjaminan mutu sediaan farmasi/obat yang diproduksi), Haris agak terkejut karena ruangan itu masih terang-benderang. Entah karena masih ada orang di sana atau karena yang paling akhir pulang lupa mematikan lampu.
Haris memutar langkahnya. Mengurungkan niatnya untuk pulang, ia berbalik ke ruangan QA. Ia mencoba membuka pintunya dan ternyata memang tidak dikunci. Tapi ketika pintu terbuka, tidak ada siapapun di ruangan itu.
Yuli, Bram dan Haiva harus dimarahi besok karena pulang tanpa mengunci pintu dan mematikan lampu, pikir Haris dalam hati.
Tapi kemudian ia mendengar suara pelan, seperti suara tangis. Bulu kuduknya berdiri. Ruangan itu kosong, mengapa ada suara seperti itu? Desas-desus tentang hantu yang paling sering beredar adalah penampakan di gowning room production (ruang ganti pakaian steril sebelum masuk ke ruang produksi obat). Jadi harusnya tidak di ruangan ini kan?
Perasaan Haris makin tidak enak ketika ia melihat sepotong tangan terjulur dari bawah meja kerja Haiva. Haris baru saja hendak bergegas kabur ketika akal sehat menguasainya. Memberanikan diri, ia masuk ke ruangan itu dan perlahan mengintip ke bawah meja kerja Haiva.
“Ya ampun Iva!” Haris membentak dengan keras. Membuat Haiva kaget. Tangisnya segera terhenti. “Kamu seperti setan saja! Bikin saya jantungan. Ngapain sembunyi di bawah kolong meja begini? Saya kira setan. Dan itu apa tadi? Kamu nangis? Suaranya seperti kuntilanak sedang menangis!”
Haris memarahi Haiva dengan suara keras. Dia kesal karena anak ini sudah membuatnya ketakutan hingga hampir mati.
Haiva serta-merta diam. Berhenti menangis. Ia kaget dibentak seperti itu. Sudah sering ia dimarahi atau ditegur Haris. Tapi Haris selalu menggunakan suara yang pelan dan tajam alih-alih bentakan dengan suara keras seperti yang barusan dilakukannya. Ini pertama kalinya Haiva mendengar bos besarnya itu membentaknya dengan suara keras.
Belum cukup rasanya ia mendengar pria yang dicintainya akan menikahi perempuan lain, yang ironisnya adalah temannya juga. Ternyata nasib sialnya hari ini masih harus ditambah dengan amarah bosnya. Terima kasih Tuhan.
Meski anak itu duduk di kolong meja seperti itu, penerangan ruangan masih cukup untuk membuat Haris melihat keanehan pada wajah Haiva. Matanya sembab dan wajahnya basah. Hal itu membuat wajah Haris melunak. Mata Haiva yang berkaca-kaca itu membuat Haris jadi gugup dan merasa bersalah karena membentak gadis itu.
“Iva nangis ya?” Haris bertanya hati-hati.
Haiva buru-buru mengeringkan pipinya.
“HP saya jatuh, Pak. Pas mau ngambil, kepala saya kejedot. Sakit banget.”
Haiva menggoyang-goyangkan ponselnya di depan Haris dan berupaya memasang wajah lucunya. Meski begitu Haris tidak percaya. Tapi demi menghargai usaha Haiva untuk menutupi tangisannya, Haris berpura-pura percaya.
“Ayo berdiri!”
Sedikit terhuyung, Haiva merangkak keluar dari kolong meja dan bangkit berdiri. Lalu dengan wajah riang, ia bertanya pada bosnya: “Bapak kok belum pulang?”
“Saya memang biasa pulang jam segini. Seharusnya saya yang tanya, kenapa kamu belum pulang?”
Gugup karena malah diintrogasi, Haiva berlagak sok sibuk mematikan laptopnya.
“Er... tadi ada yang harus saya kerjakan, Pak.”
Mengerjakan apa? Menangis di kolong meja?, Haris nyaris mengatakannya. Tapi ia menahannya karena merasa tidak bijak meledek gadis yang suara tangisnya seperti kuntilanak ini. Haris merasa tidak akan tahan mendengar suara tangisnya lagi.
“Sekarang sudah selesai kerjaannya? Sudah mau pulang?”
“Hmmm.” Haiva bergumam dan mengangguk.
“Apa Iva buru-buru pulang?”
“Eh?”
“Saya belum makan malam. Iva juga belum kan?”
Haiva melirik bingung.
“Iva mau temani saya makan?” tanya Haris kemudian.
* * *
Fun fact #1: kejadian di kolong meja diambil dari kejadian nyata 🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top