35. Status: Waiting For Assessment
Suatu produk obat yang telah melalui serangkaian proses pengembangan, scale-up, validasi, produksi dan analisis QC tetap memerlukan penilaian dan persetujuan dari Kepala Penjaminan Mutu sebelum produk tersebut dapat didistribusikan dan dijual ke pasaran. Hal itu dilakukan untuk menjamin bahwa obat yang didistribusikan telah memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan, bukan hanya dinilai produk akhirnya, tapi juga dinilai berdasarkan proses yang dilalui. Itu mengapa mutu produk farmasi dibangun di dalam produk, menjadi bagian tidak terpisahkan dalam produk tersebut.
Pada tahap penilaian, produk akan disimpan di gudang dengan ditempel label Quarantine. Waiting for Analysis/Assessment. Setelah semua proses yang dialami produk tersebut dinilai, barulah produk obat tersebut mendapat status Released/ Diluluskan.
Suatu hubungan juga demikian. Idealnya, kita bukan hanya semata mengejar status sebuah hubungan, tapi proses menuju status tersebut juga sama pentingnya.
Bayangkan, berapa banyak orang yang terburu-buru menerima orang yang sebenarnya sejak awal tidak cocok di hati, hanya supaya bisa cepat mendapat status released/menikah. Supaya tidak dibilang perawan tua, atau supaya tidak ditanya melulu tiap lebaran tiba.
Karena yang dipentingkan adalah status produk akhir, maka seringkali orang mengabaikan kualitas proses penilaian yang dijalani. Tahapan Waiting for Assessment tidak dilalui dengan baik. Nggak pakai lagi istikharah, cek background calon pasangan, cek keluarga calon pasangan. Yang penting nikah aja dulu, lepas dari status perawan/perjaka tua. Kalau belakangan ternyata nggak cocok, yaudah cerai aja.
Orangtua Haiva tidak ingin seperti itu. Meski mereka tidak berlatar-belakang pendidikan farmasi, sehingga mungkin tidak tahu dengan istilah penjaminan mutu produk, namun mereka sudah menerapkan proses penjaminan mutu ini pada calon pasangan anak-anaknya.
Ini bukan pengalaman pertama orangtua Haiva melakukan assesment calon menantu. Tapi baru kali ini mereka merasa terintimidasi saat melakukan penilaian tersebut, alih-alih mengintimidasi.
Haiva meremas tali tas selempangnya dengan terlalu kuat. Situasi seperti ini tidak pernah ada di dalam bayangannya.
Setiap perempuan barangkali membayangkan laki-laki yang dicintai melamar kepada orangtuanya, bersama dengan serombongan keluarga, disambut pula oleh keluarga besarnya, di rumahnya.
Bukan di restoran makanan siap saji... di stasiun kereta api.
"Saya sebenarnya mencintai Haiva, putri Bapak dan Ibu...."
Meski dengan wajah bingung karena didatangi bos anaknya tiba-tiba, lalu diajak ke salah satu restoran di stasiun tersebut, Haris berhasil mengajak orangtua Haiva untuk bicara.
Tapi pernyataan Haris tersebut bukan hanya membuat jantung Haiva mencelos, tapi juga membuat kedua orangtua Haiva syok.
Sang ibu mendelik kepada Haiva yang hanya menunduk. Karena tidak bisa mengintimidasi anaknya, ibu Haiva menoleh pada suaminya dan mendesaknya bicara.
Sang ayah, meski kaget, tidak melepaskan pandangannya dari lelaki yang duduk di hadapannya. Lelaki itu juga menatapnya balik, dengan tegas namun tidak arogan.
"Pak Haris... maaf. Sepertinya kami salah mendengar," kata ayah Haiva bingung. "Bapak adalah atasan Iva kan?"
"Betul, Pak," jawab Haris. Bahkan meski berpengalaman negosiasi dengan banyak pihak, kali ini Haris tetap saja gugup. "Saya atasan Haiva di kantornya yang sebelumnya. Sekarang saya bukan atasannya lagi. Dan Bapak tidak salah mendengar. Saya memang mencintai Haiva."
"Iva ndak pernah cerita apapun tentang hubungan dengan___"
"Iva ragu pada saya. Itu mengapa saya mencoba meyakinkan Bapak dan Ibu, supaya Iva tidak ragu lagi pada saya."
Haiva akhirnya mengangkat kepalanya dan mendelik pada Haris. Tapi Haris tidak terganggu sedikitpun.
"Dan apa maksudnya Bapak mengatakan hal ini pada kami?" kali ini ibu Haiva yang bertanya.
"Jika diijinkan, saya ingin melamar putri Ibu. Menjadi istri saya."
"Pak!" Haiva membentak, meski dengan suara pelan, supaya tidak terdengar pengunjung restoran yang lain. Tapi Haris bergeming.
"Orangtua mana yang akan mengijinkan anaknya menjadi istri kedua?" jawab ibu Haiva, melemparkan pertanyaan dengan sinis.
"Saya belum menikah, Bu," jawab Haris tenang.
"Jadi Bapak seorang duda?" ibu Haiva tampak mengusap dahinya dengan gusar. Pusing rasanya memikirkan hal ini. Anak perempuannya ini cantik. Bisa mendapatkan laki-laki yang tampan dan masih perjaka. Kenapa harus dengan seorang duda? "Istri Bapak meninggal atau Bapak bercerai?"
"Saya belum menikah, Bu." Haris mengulangi pernyataannya, sengaja dengan menekankan kata belum.
Saat kesadaran itu muncul, ayah dan ibu Haiva hanya bisa bengong dibuatnya.
"Boleh saya tahu, berapa usia Pak Haris?" tanya ayah Haiva, meski dengan suara gemetar.
"Empat puluh tujuh tahun, Pak."
Ayah Haiva lemas. Ibu Haiva mengcengkram lengan suaminya dengan gentar.
Demi menenangkan diri setelah mendengarkan berita mengejutkan tersebut, ayah Haiva meminum es teh di hadapannya, lalu menghela napas panjang dan memejamkan mata.
Dari sinetron-sinetron, Haiva belajar bahwa saat seorang laki-laki melamar seorang perempuan, biasanya laki-laki tersebut akan gugup, dan sang calon mertua akan tampak penuh wibawa dan berkuasa, karena keputusan dan masa depan si lelaki ada di tangannya. Tapi kali itu berbeda. Haiva menyadari bahwa cara Haris bicara lebih gugup daripada yang pernah diingat Haiva. Tapi ayahnya sendiri juga terlihat tidak kalah stres.
"Mung-mungkin Haiva lupa, belum cerita pada Pak Haris, bahwa kami akan menjodohkannya dengan anak teman kami," kata ibu Haiva akhirnya, tampak defensif.
Haris mengangguk. "Haiva sudah cerita, Bu. Itu mengapa sekarang saya memberanikan diri langsung melamar Haiva supaya perjodohan itu tidak dilanjutkan, Bu."
Orangtua Haiva makin stres karena Haris tampak tenang saja dan sama sekali tidak terlihat terintimidasi. Padahal, di balik sikap tenangnya, telapak tangan Haris sudah berkeringat saking gugupnya.
"Pak Haris, maaf... " kata ayah Haiva. "Kalau boleh tahu, kenapa Bapak belum menikah sampai seusia ini?"
Haris tampak kaget ditanya seperti itu. Tapi itu bukan pertanyaan yang tidak terduga.
"Saya... pernah gagal di masa lalu. Dan saya trauma."
"Jadi Haiva hanya pelarian untuk mengobati trauma Bapak?"
Pertanyaan itu terasa menohok dan belum pernah dipikirkan oleh Haris sebelumnya.
Apakah Haiva hanya pelarian?
"Atau Haiva hanya kamuflase?"
"Kamuflase?" Haris mengulang pertanyaan ayahnya Haiva dengan bingung.
"Mohon maaf saya berprasangka seperti ini. Tapi Pak Haris melajang sampai seusia ini, apa mungkin sebenarnya Bapak ndak tertarik pada perempuan? Jadi Haiva hanya sebagai kamuflase, untuk menutupi hal itu?"
Bukan sekali dua kali Haris mendengar dugaan-dugaan seperti itu. Tapi kini mendiskusikan hal itu di hadapan perempuan yang disukainya, membuatnya merasa terganggu.
"Saya bukan penyuka sesama jenis, kalau itu yang ingin Bapak pastikan. Jadi saya ingin menikahi Iva bukan sebagai kamuflase."
Ayah Haiva nampak mendesah berat. Sebagai seorang Kepala Sekolah, ayah Haiva sudah terbiasa menghadapi berbagai kenakalan remaja. Tapi Haris bukan lagi remaja, dan ini bukan jenis kenakalan. Berbagai sikap ofensif yang sejak awal ditunjukkannya pada Haris nampaknya tidak berhasil membuat lelaki itu gentar. Alih-alih, ayah Haiva yang gugup karena wibawa Haris. Bukan seperti ini hubungan mertua dengan menantu lelaki yang dibayangkannya selama ini.
"Apa yang membuat Pak Haris menyukai anak saya, setelah selama bertahun-tahun ndak menerima perempuan lain?" tanya ayah Haiva, tidak mengerti.
Kali itu untuk pertama kalinya Haris mengalihkan tatapannya dari kedua orangtua Haiva. Ia beralih menatap Haiva.
Ibu Haiva memperhatikan Haiva yang menantang tatapan Haris dengan sengit. Mungkin kesal karena Haris nekat menemui orangtuanya padahal semalam ia sudah melarang. Tapi di sisi lain, ibu Haiva juga melihat Haris membalas tatapan sengit itu dengan tatapan dan senyum yang lembut. Meski hanya sedikit, pemandangan itu menghangatkan hatinya saat tahu bahwa puterinya disayangi.
"Haiva tulus terhadap saya," jawab Haris, ketika ia kembali memandang ayah Haiva.
Haiva tersentuh dengan jawaban itu. Wajahnya memerah tanpa bisa dicegah.
"Seberapa jauh Pak Haris mengenal Iva? Haiva berapa bersaudara? Apa makanan kesukaannya, apa hal yang dibencinya, bagaimana kebiasaannya, bagimana caranya berpikir?"
Haiva merasa ayahnya hanya sedang mencari alasan untuk menolak Haris. Dulu sang ayah juga melakukan hal yang mirip seperti ini saat menolak mantan pacar kakaknya.
Perasaan Haiva jadi tercabik. Antara berharap ayahnya bisa menolak Haris, atau berharap Haris bisa menaklukkan hati ayahnya.
"Saya... belum memahaminya sejauh itu," jawab Haris akhirnya, mengaku.
"Dia baik. Dia tulus. Itu semua penilaian subjektif, Pak, ndak ada standarnya," kata ayah Haiva. "Bapak sekarang merasa Iva baik dan tulus pada Pak Haris karena Bapak sedang menyukainya. Seiring berjalannya waktu, ada banyak hal lain yang mempengaruhi hubungan dua orang. Pak Haris belum cukup mengenal Iva. Jangan hanya karena usia Bapak yang sudah... matang... Bapak jadi terburu-buru ingin menikahi anak saya, hanya untuk kemudian Bapak lepaskan karena menyesal saat mengenal siapa Iva sebenarnya."
Haris mendengarkan dengan seksama. Benar juga kata pria di hadapannya ini. Selain sebagai anak buah, tidak banyak yang diketahui Haris dari Haiva. Barangkali itu mengapa sering terjadi kesalahpahaman antara mereka.
"Iva!" kali ini sang ayah bicara kepada Haiva. "Iva mau nikah sama Pak Haris?"
Ditanya begitu, kalau spontan sih Haiva pasti langsung menjawab "mau". Masalahnya, dia sendiri belum yakin pada perasaan Haris. Laki-laki itu masih menyimpan foto mantannya setelah bertahun-tahun. Siapa yang bisa menjamin bahwa laki-laki itu hanya menjadikannya sebagai pelarian, seperti dugaan ayahnya.
Belum lagi ditambah ketidaksukaan keluarga Haris padanya. Plus, saat ia melihat pada kedua orangtuanya, kedua orangtuanya juga jelas-jelas tidak setuju. Jadi yang bisa dilakukan Haiva hanya diam dan menunduk. Tidak berani menjawab.
Katanya, diamnya seorang perempuan, itu artinya setuju. Tapi kali itu ayah Haiva mengambil kesempatan diamnya putrinya untuk menolak Haris.
"Sepertinya Iva tidak bisa menerima lamaran Pak Haris. Kami minta ma____"
"Kalau saya berhasil mengenal Iva lebih dalam," potong Haris cepat, sebelum ia harus mendengar kalimat penolakan, ".... dan meyakinkannya untuk menikah dengan saya, apa Bapak dan Ibu mau memberi saya kesempatan untuk menunjukkan bahwa saya bisa membahagiakan Haiva?"
* * *
Iva yang dilamar, kenapa wajahku yg memerah? Eeeaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top