33. Unexpected Meeting


Haris menurunkan ponsel dari telinganya. Teleponnya diabaikan oleh Haiva. Bukan diterima atau ditolak, tapi diabaikan.

Dulu dia tidak seposesif ini. Dia dulu hanya beberapa kali sebulan, bahkan mungkin sekali sebulan, mengirim pesan non-pekerjaan pada Haiva. Tapi sejak hari itu, hari dimana Haris memberanikan diri membuka hatinya, Haris jadi ingin selalu dekat dengan gadis itu. Ironisnya, entah kenapa Haiva justru seperti menjauh saat dirinya ingin mendekat.

Apa yang salah? Terakhir kali mereka bertemu, ketika Haiva menjenguk di pagi hari dan mengembalikan dompetnya, semua terlihat baik-baik saja. Tapi kenapa setelah itu gadis itu tidak pernah mengunjunginya lagi?

Dari pesan-pesan singkat mereka, makin hari Haris juga makin curiga dengan jawaban Haiva. Sepertinya ada yang ditutupinya.

Sebagai orang yang bertahun-tahun bekerja di Penjaminan Mutu obat, Haris telah terlatih menajamkan insting, kepekaan dan ketelitian dalam mendeteksi penyimpangan. Akibatnya, bukan hanya penyimpangan proses, dia juga dapat segera mendeteksi perubahan sikap anak buahnya. Itu alasannya sehingga dia menyadari ada beberapa anak buahnya yang mengidolakannya, termasuk Haiva.

Saat Haiva menunjukkan ketertarikan padanya, Haris juga peka dan menyadarinya. Barangkali Haiva sempat frustasi karena merasa Haris tidak menyadari perasaannya. Padahal Haris jelas-jelas menyadarinya. Hanya saja, menyadari dan mengakui adalah dua hal yang berbeda. Meski sudah lama menyadari bahwa Haiva tertarik padanya, tapi Haris tidak berani mengakui perasaannya sendiri terhadap gadis itu. Ia selalu ragu apakah yang ditunjukkan Haiva hanya sebatas ketertarikan dan kekaguman biasa, atau perasaan yang tulus. Dia tidak mau merasakan sakit lagi. Itu mengapa Haris berkali-kali menolak ide bahwa gadis itu menyayanginya.

Tapi kini, setelah segalanya jelas, setelah dirinya mengakui perasaannya pada gadis itu, Haris tidak lagi bisa menutupi kepeduliannya pada Haiva. Kepekaan dan ketelitiannya dalam mendeteksi penyimpangan, yang telah terlatih selama bertahun-tahun, kini tanpa sadar telah membuatnya peka dengan perubahan Haiva.

"Dari tadi mainan handphone melulu," tegur Halida sambil meletakkan cangkir teh dan beberapa potong marmer cake di hadapan Haris yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. "Nih, Hana bikin marmer cake."

"Makasih, Mbak," kata Haris. "Kalian harusnya nggak usah sibuk-sibuk disini."

Halida mengabaikan protes adiknya, dan malah ngomel. "Taruh HPnya! Jangan kerja terus! Kamu disuruh istirahat sama dokter di rumah, bukan disuruh kerja dari rumah."

((Ps. Percakapan Haris-Halida dilakukan dalam bahasa Jawa. Tapi karena kemarin bbrp pembaca protes krn ga mengerti bahasa Jawa, dan saya terlalu malas utk menulis lalu menerjemahkan, jadi yaudah dalam bahasa Indonesia aja lah ya gaes hehehe))

"Bukan kerja kok," jawab Haris membela diri.

"Jadi ngapain dari tadi sibuk sama HP?"

"Telpon Haiva. Tapi nggak diangkat."

Sensor di kepala Halida langsung aktif  begitu mendengar nama Haiva.

"Ngapain kamu telpon dia? Bukannya dia mantan anak buahmu? Sudah nggak ada urusan kerjaan lagi sehingga kamu harus menelepon dia kan?" tanya Halida menyelidik.

"Mbak tahu dari mana bahwa dia mantan____"

"Ibam cerita, bahwa dia bukan lagi anak buah kamu."

Kini alarm Haris yang aktif. Dia dengan cepat mendeteksi perubahan intonasi pada suara kakak perempuannya.

"Jadi kenapa bisa mantan anak buah mengurusi mantan atasannya yang sakit?"

Haris menatap kakaknya dan bicara dengan tegas, sekaligus lembut. "Aku cinta sama dia, Mbak."

Halida kaget. Dia tidak menyangka Haris bisa sejujur dan semantap itu mengatakan hal itu. Dia pikir hubungan keduanya belum sejauh itu, mengingat Haiva terlihat masih berusaha menyembunyikan kedekatan mereka. Tapi kalau Haris sudah semantap itu mengakui cinta, apa itu artinya___

"Cinta? Kamu yakin?" tanya Halida sangsi.

Haris mengangguk.

"Setelah bertahun-tahun ini kamu menolak semua perempuan yang aku coba jodohkan?" tanya Halida mencecar. "Aku sampai sempat berpikir kamu sudah nggak suka lagi sama perempuan."

"Aku masih suka perempuan, Mbak. Hanya sulit percaya."

"Jadi sekarang kamu sudah bisa percaya sama Haiva itu?"

Haris kembali mengangguk, mantap.

"Berapa usianya?" tanya Halida. Haris segera mendapat firasat tidak enak tentang interogasi ini.

"Dua puluh enam tahun."

"Astagfirullah. Dia bahkan lebih muda daripada Ikram!" Ikram adalah putra sulung Halida yang saat ini berusia 28 tahun. "Apa sih yang kamu pikirin, Ris? Kamu nggak waras?"

"Apa yang salah kalau aku cinta sama dia?"

"Dan apa dia cinta sama kamu?"

"Iya."

"Bohong!" tukas Halida cepat. "Memangnya apa yang dia lihat dari kamu?"

"Mbak kok ya kebangetan. Apa adiknya ini jelek sekali, sampai nggak pantas disukai perempuan?"

"Bukan begitu. Justru sebaliknya," jawab Halida. "Haris, kamu itu ganteng, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan siapa aja, kalau kamu mau. Pasti banyak perempuan lain, yang cantik, mapan, setara, seusia, yang suka sama kamu. Jadi kenapa harus anak itu, Ris?"

"Aku mungkin bisa mendapatkan siapa aja. Tapi aku cuma ingin dia, Mbak."

"Kenapa Ris?!" tanya Halida nyaris membentak. "Astagfirullah! Inget Ris! Dia lebih muda daripada keponakan kamu sendiri. Apa yang dilihat perempuan muda dari laki-laki tampan dan mapan seperti kamu, hah?! Harta, Ris! Dia cuma memanfaatkan kamu."

"Mbak baru ketemu Haiva 2 kali. Mbak nggak berhak berprasangka seburuk itu terhadap dia!" kata Haris memperingatkan.

Halida menghela nafas berat. Dia ingin menyadarkan Haris. Dia tidak ingin Haris sakit hati lagi karena sikapnya yang terlalu baik sehingga dimanfaatkan oleh perempuan.

"Prasangka?" Halida membalikkan kata-kata Haris. "Sekarang Mbak tanya. Gimana kamu yakin bahwa dia juga cinta sama kamu?"

"Dia sendiri bilang padaku."

"Apa saja yang sudah kamu belikan buat dia? Baju? Perhiasan? Barang mewah? Kamu mentraktirnya setiap kali bersama? Apa dia pernah sekali saja mentraktir kamu atau membelikanmu sesuatu? Atau setidaknya membeli makanannya sendiri saat kalian bersama? Apa___"

"Gengsi banget lah, Mbak, kalau sampai ditraktir perempuan."

"Lihat kan?" Halida tak mau kalah. Dia membuka telunjuknya dan mengepalkan jari lainnya. "Dia menyatakan cinta ke kamu. Artinya dia yang menggoda kamu."

Haris menegakkan duduknya. Dia tidak bisa lagi ngobrol dengan santai dengan kakaknya. Haris memajukan duduknya, menghadapi kakaknya.

Halida membuka satu lagi jari tengah. Sekarang menunjukkan angka dua. "Dia menerima semua pemberian kamu, traktiran kamu. Dia mau diajak pergi kemana-mana, dan dibelikan barang-barang mahal. Bukannya itu pertanda jelas bahwa dia matrealistis?"

"Mbak!"

Haris dididik dalam keluarga Jawa yang menjunjung tinggi sopan santun m. Itu mengapa Haris sangat jarang meninggikan suaranya, terutama pada orang yang lebih tua dan dihormati, meski saat marah. Dia bisanya memilih kalimat sarkas alih-alih intonasi tinggi.

Maka ketika Haris sudah meninggikan suaranya, itu berarti seseorang sudah menguji kesabarannya dengan keterlaluan.

"Haiva nggak pernah menggodaku. Dia juga nggak pernah meminta apa-apa padaku," kata Haris dengan suaranya yang berbahaya.

Halida menggeleng lelah. Ia tahu adiknya mulai emosional, dan itu tidak baik bagi kesehatannya yang baru saja pulih. Itu mengapa ia memilih menyudahi perdebatan itu.

Halida bangkit dari duduknya. "Kamu sedang kasmaran, Haris. Kamu nggak bisa berpikir jernih."

"Aku jatuh cinta dengan sepenuh kesadaran, Mbak. Bukan tanpa logika."

Halida mendecih. Lalu langsung pergi sebelum dirinya sendiri tidak mampu mengendalikan emosinya.

* * *


Adiknya, Hadi, datang terlambat hari Sabtu itu. Ada pekerjaan mendadak yang harus diselesaikannya sebelum bertolak dari Bandung. Itu mengapa ia baru tiba di rumah Haris setelah jam makan siang lewat.

Mereka membatalkan rencana makan siang bersama dan menggantinya dengan berkumpul di salah satu kafe di mall terdekat. Hari sudah agak sore ketika mereka memasuki kafe tersebut.

Haris, Halida, Hadi, Hilbram dan Hana sudah memesan minuman dan cemilan mereka masing-masing, dan Haris sedang menceritakan tentang kronologisnya pingsan kepada Hadi, ketika tiba-tiba mata Haris menangkap sosok seseorang di pojok kafe tersebut.

Haris sangat mengenal sosok itu. Gadis itu. Tapi dia belum pernah bertemu dengan kedua orang lain yang bersama dengan gadis itu. Apakah ini alasannya gadis itu menolak ajakannya untuk makan siang bersama keluarganya? Inikah yang disebut "urusan lain" itu?

Di sela-sela obrolannya dengan kedua orang yang bersamanya, gadis itu tertawa. Itu tawa yang dirindukan Haris.

"Aku kesana sebentar," kata Haris kepada Hadi, karena dia harus menjeda ceritanya pada Hadi.

"Mas kenal?" tanya Hadi bingung.

"Mbak Iva!" seru Hilbram tiba-tiba. Suaranya tidak terlalu keras, tapi kafe itu juga tidak terlalu ramai, sehingga gadis yang dipanggil menoleh ke arah Hilbram.

Haris bisa melihat, tawa di bibir gadis itu perlahan sirna ketika gadis itu melihatnya.

Hilbram melambaikan tangannya. Dan Haiva membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum. Ia juga mengangguk hormat dan tersenyum pada seluruh anggota keluarga Haris yang lain. Termasuk pada Halida, meski sesungguhnya gadis itu tak ingin tersenyum.

Haris bukan jenis orang yang spontan. Ia terbiasa merencanakan sesuatu, menimbang risikonya, baru kemudian melakukannya. Tapi kali itu Haris merasa harus mengambil langkah spontan. Entah mengapa dia merasa bukan saatnya lagi untuk membuang waktu di usianya saat ini.

Pria itu melangkah mendekati meja Haiva. Membuat mata gadis itu melebar khawatir.

"Sore, Haiva!" sapa Haris ramah ketika telah berada di hadapan Haiva.

Spontan, Haiva bangkit dari duduknya. Gadis itu tampak agak salah tingkah. Membuat Haris makin yakin, bahwa telah ada yang salah dengan gadis itu.

"So-sore, Pak," Haiva balas menyapa dengan gugup.

Kemudian, masih sambil tersenyum, Haris beralih kepada dua orang yang duduk di hadapan Haiva.

"Sore, Pak, Bu!" sapa Haris ramah.

Ia mengulurkan tangannya kepada lelaki dengan kemeja batik merah yang rambutnya mulai memutih, dan perempuan berjilbab pink dengan gamis merah. Saat melirik Haiva, ternyata gadis itu juga memakai dress warna senada. Sepertinya mereka bertiga baru saja selesai dari suatu acara keluarga.

Lelaki dengan batik merah dan perempuan bergamis merah itu berdiri dan menyambut uluran tangan Haris sambil tersenyum, meski tampak jelas kebingungan di raut wajahnya.

"Saya Haris, Pak, Bu," sapa Haris memperkenalkan dirinya dengan sopan. "Bapak dan Ibu... orangtuanya Haiva?"

Sang lelaki dengan batik merah menyambut uluran tangan Haris, tapi perempuan bergamis merah yang menjawab pertanyaan Haris.

"Iya Pak, kami orangtua Iva."

Seingat Haris, dulu Haiva pernah cerita bahwa kedua orangtuanya tinggal di Solo. Jadi kenapa Haiva sama sekali tidak cerita padanya bahwa orangtuanya datang ke Jakarta?

"Haiva tidak bilang bahwa Bapak-Ibu akan berkunjung ke Jakarta. Bapak Ibu kapan datang dari Solo?" tanya Haris sok akrab.

Kedua orang itu agak kaget karena orang asing ini mengetahui dimana mereka tinggal.

"Kemarin, Pak," jawab Haiva mengambil alih, karena melihat kebingungan orangtuanya. "Hari ini ada pernikahan salah seorang keluarga jauh kami. Bapak dan Ibu saya diundang ke Jakarta. Ini kami baru pulang kondangan, lalu mampir sebentar kesini. Tapi ini juga sudah hampir pulang kok."

Haris tersenyum. Jelas sekali Haiva sedang salah tingkah. Dia menjelaskan terlalu rinci, padahal Haris tidak menanyakannya.

"Saya kebetulan juga sedang kumpul-kumpul dengan kakak, adik dan keponakan saya," kata Haris sambil menunjuk keluarganya yang duduk di sisi lain kafe.

Mata Haiva dan kedua orangtuanya mengarah pada keluarga Haris. Tampak keluarga Haris juga sedang mengamati mereka. Saat pandangan mata kedua keluarga bertemu, mereka saling mengangguk dan tersenyum. Hilbram kembali melambaikan tangan dengan ceria pada Haiva. Yang dibalas dengan lambaian tangan dan senyum gugup oleh Haiva.

"Ngomong-ngomong," kata ibu Haiva, "Pak Haris ini....."

Ibu Haiva sengaja menggantung kalimatnya, karena dia sulit menerka siapa lelaki yang tiba-tiba menghampiri dan menyapa mereka dengan ramah ini.

"... bosnya Iva, Bu," jawab Haiva cepat, sebelum Haris sempat menjawabnya.

"Oh ya ampun, maaf, Pak, kami ndak tahu bahwa Bapak ini bosnya Iva," kata ibunya Haiva sungkan.

Bos?

Saat itu juga Haris menatap Haiva dengan tatapan tajam. Ada apa sebenarnya dengan Haiva?

Ironisnya, meski gadis itu menyadari tatapan Haris, tapi Haiva segera mengalihkan pandangannya. Hal itu benar-benar membuat Haris kecewa dan tidak mengerti, di saat yang bersamaan.

* * *

Pagi ini ketemu Pakde dulu ya gaes.
Yg kangen ketemu Om Erlang mana ni?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top