29.Push you away
Belum malem Minggu sih. Tp ga apa2 deh dipublish skrg. Buat nemenin Kakak2 yg ga bisa malem Mingguan. Pukpukpuk. Hehehe
* * *
"Lho, itu bukannya anak buah Bapak?"
Ketika melihat tatapan Haris mengarah ke balik punggungnya, Lidya segera menoleh ke belakang dan mendapati seorang gadis bertubuh kecil dengan rambut sebahu sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. Lidya merasa mengenali gadis itu sebagai anak buah Haris. Makanya dia mengonfirmasinya pada Haris. Dan yang ditanya menganggukkan kepalanya.
"Anak QA di Medika kan?" kata Lidya menyapa gadis itu. "Emmm..." tapi Lidya gagal mengingat namanya.
Gadis itu melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya kepada Lidya. Lidya membalas uluran tangannya, dan agak kaget ketika gadis itu menyentuhkan punggung tangan Lidya ke dahinya. Lidya jadi teringat, Haris pernah menyebutkan bahwa gadis itu anak buahnya yang paling muda, makanya masih suka cium tangan.
"Saya Haiva, Bu Lidya. Ibu apa kabar?" sapa gadis itu dengan sopan.
"Oh iya! Haiva ya. Maaf ya saya cuma ingat wajah, tapi lupa namanya," kata Lidya meminta maaf sambil tertawa ramah.
Haiva hanya membalasnya dengan senyuman. Kemudian Haiva beralih pada Haris. Ia mengulurkan tangannya kepada laki-laki itu. Dan Haris menyambutnya dengan kaku.
Haiva mencium tangan Haris sekilas, sebagai formalitas, kemudian kembali melangkah mundur.
"Haiva sendirian?" tanya Lidya.
"Nggak Bu. Sama teman," jawab Haiva. "Ibu dan Bapak berduaan?"
"Iya nih," jawab Lidya. "Tadi habis makan malam bareng, trus mampir kesini dulu sebelum pulang. Cari vitamin buat Bapak. Saya sekalian lihat-lihat aja."
Haiva masih tersenyum pada Lidya. Tapi dia sama sekali tidak menatap Haris. Dan hal itu membuat Haris takut.
"Dua minggu lalu saya ke Medika. Tapi kita nggak sempat ketemu ya," lanjut Lidya.
"Saya sudah nggak di Medika, Bu. Sekarang saya di Hans."
"Oh, udah pindah? Wah, gimana di tempat baru?"
"Alhamdulillah, Bu."
"Udah ketemu vitaminnya, Va?" Seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik punggung Haiva, lalu berdiri di sisi Haiva.
Haiva menoleh dan menengadah untuk melihat wajah orang tersebut. Lalu tersenyum. "Udah, Mas."
Haris tidak suka melihat senyum gadis itu kepada lelaki di sebelahnya.
"Malam, Pak Haris," lelaki itu menyapa Haris dengan sopan. "Malam, Bu Lidya," lalu menyapa Lidya.
"Lho? Dari Medika juga ya? Kok kenal sama saya?"
Lelaki yang berdiri di sebelah Haiva itu tersenyum manis dan mengulurkan tangannya pada Lidya. "Saya Randu, Bu. Dari PharmExcipt. Saya yang supply coating material ke Gezonde."
"Oh halo Mas Randu," Lidya menyambut uluran tangan Randu dan membalas senyumnya. "Berarti kita pernah ketemu ya? Maaf ya saya lupa."
"Mungkin Ibu lupa sama saya, tapi Ibu pernah audit ke kantor kami. Dan kebetulan saya punya ingatan yang bagus kalau berkenalan dengan perempuan cantik dan cerdas seperti Ibu."
Lidya tertawa. "Makasih lho Mas. Tapi bukan gara-gara ini lalu bakal lolos audit berikutnya ya."
Randu ikut tertawa. "Siap Bu. Kan profesional."
Selama Lidya dan Randu ngobrol, Haris memperhatikan bahwa Haiva hanya menatap kosong pada Lidya. Bibirnya tersenyum, tapi ada yang aneh dengan senyumannya. Dan gadis itu sama sekali tidak melirik padanya. Haris benar-benar tidak suka dengan kondisi ini.
"Jadi Mas Randu ini temannya Haiva yang tadi Haiva bilang?" kata Lidya dengan senyum menggoda pada Haiva. Dia sengaja mengubah intonasinya saat menyebut kata "teman" karena Lidya merasa kedua muda-mudi di hadapannya bukan sekedar berteman.
"Iya, Bu," jawab Haiva sambil mengangguk santai. Dan hal itu membuat Haris makin marah. "Kalau gitu, kami pamit dulu ya, Bu, Pak. Nanti kami terlalu lama mengganggu Bapak dan Ibu."
Haiva menyikut lengan Randu pelan. Dan pria itupun ikut pamit pada Haris dan Lydia.
Setelah mereka berbalik dan melangkah menjauh, Randu menurunkan kepalanya dan berbisik pada Haiva yang melangkah di sisinya. "Jadi gosip itu benar? Pak Haris sama Bu Lidya?"
"Iya kayaknya," jawab Haiva singkat.
"Alhamdulillah. Dulu gue sempat insecure kalau ketemu Pak Haris. Kan dulu gue kira lo ada apa-apa sama Pak Haris. Ternyata Pak Haris sama Bu Lidya tho."
Haiva tidak menjawab. Dia hanya melangkah terus saja, sambil menahan diri agar tidak berlari pergi dan membuat Randu curiga.
Jauh di belakang mereka, Lidya juga berbisik pada Haris. "Mereka pacaran ya Pak?"
Haris tidak menjawab. Dia hanya memandang punggung Randu yang sedang mendekatkan kepalanya ke wajah Haiva, dengan tatapan ingin membunuh.
* * *
Haris baru saja akan membelokkan mobilnya ke gang kosan Haiva ketika ia melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan kos Haiva. Maka Haris memutuskan untuk menghentikan mobilnya di depan gang saja, daripada harus memburu-buru mobil tersebut untuk pergi.
Tapi ternyata yang keluar dari mobil itu adalah Haiva. Meski tidak terlalu terang, tapi Haiva berdiri tepat di bawah lampu jalanan di depan kos, sehingga sosoknya terlihat jelas. Haris tidak mungkin salah orang. Berarti kemungkinan itu adalah mobil Randu.
Haiva nampak melambaikan tangan pada pengemudi mobil itu, lalu mobil itu berlalu pergi.
Haris dengan cepat memutuskan untuk memarkir mobilnya di jalanan depan gang saja. Jalanan sebelum masuk gang kos Haiva lebih luas, sehingga dia bisa parkir di pinggir jalan. Kali itu dia merasa perlu bicara dengan Haiva dan dia tidak ingin obrolannya terganggu klakson mobil lagi.
Dengan cepat Haris keluar dari mobil dan mengunci mobilnya, lalu melangkah cepat menyusuri gang itu, menuju rumah kos Haiva.
"Haiva!" panggil Haris, cepat dan keras, sebelum Haiva masuk ke dalam rumah kosnya.
Haiva menoleh dan tampak syok melihat Haris berjalan menghampirinya malam-malam begini.
Belum sempat ia melarikan diri, Haris yang badannya tinggi dan langkahnya lebar-lebar, sudah sampai di hadapan Haiva dengan napas yang terdengar berat.
"Saya perlu bicara," kata Haris tegas.
Haiva tampak kaget, tapi kemudian ia terlihat memaksakan diri bersikap tenang.
"Bapak sebenarnya bisa WhatsApp aja kalau mau bicara. Nggak perlu malam-malam datang kesini," kata Haiva kaku.
"Saya kirim pesan sejak pagi, tidak Iva balas."
"Oh, maaf, saya tadi sibuk."
"Sibuk pacaran sama Randu?!" bentak Haris.
Tiga tahun lebih mengenal Haris, ini pertama kalinya Haiva mendengar lelaki itu membentak. Saat marah, biasanya suara Haris menjadi lebih rendah dengan pilihan kata-katanya saja yang sarkastik dan menusuk. Dia tidak pernah marah dengan intonasi tinggi. Tapi kali ini berbeda. Haris tidak seperti dirinya sendiri. Dia terlihat tidak bisa mengendalikan emosinya.
Haiva bingung dengan sikap Haris. Tapi dia juga marah. Kenapa Haris marah padanya? Dia merasa tidak pantas dimarahi. Memang apa kesalahannya?
"Iya," jawab Haiva galak, "Seperti Bapak dan Bu Lidya."
Haris kaget dengan jawaban Haiva yang frontal. "Iva salah paham. Tolong dengarkan penjelasan saya dulu."
"Bapak nggak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun ke saya!" potong Haiva. Haris bisa melihat wajah gadis itu mulai memerah. "Bapak berhak berhubungan dengan siapapun, makan malam dengan siapapun, pacaran dengan siapapun. Bapak single, Bu Lidya single. Kalian pasangan serasi. Selamat ya Pak."
Air mata sudah membasahi wajah Haiva meski gadis itu sudah berusaha menahan sekuat tenaga. Dia sudah tidak punya wajah lagi. Dia malu berhadapan dengan Haris dan terlihat rapuh dan bodoh seperti itu. Maka ia buru-buru berbalik pergi.
Tapi Haris mencekal lengannya. Membuatnya kembali menghadap lelaki itu.
"Kenapa Iva marah sama saya? Karena saya jalan dengan Lidya? Iva sendiri jalan sama Randu!"
"Bapak maunya apa sih? Kok jadi nyalahin saya," bentak Haiva kesal.
"Haiva___" Haris berusaha merendahkan kembali suaranya.
"Bapak maunya apa? Saya sudah merendahkan harga diri saya, mengaku cinta ke Bapak, tapi Bapak menolak. Bapak menolak, tapi terus-terusan bersikap baik sama saya, mentraktir saya kemana-mana, membelikan saya kado mahal, memberi saya harapan.
Tapi setelah semua hal itu, Bapak nyuruh saya menerima laki-laki yang dijodohkan ibu saya. Bapak jelas-jelas tahu perasaan saya ke Bapak, tapi Bapak malah mendorong saya kepada laki-laki lain. Itu artinya Bapak mengusir saya.
Saya tahu diri Pak, saya cuma anak kecil. Nggak ada seujung kuku kualitasnya Bu Lidya. Saya nggak pantes buat Bapak. Saya tahu diri. Makanya, saya akan pergi. Setelah itu, saya berhubungan dengan siapapun, itu bukan urusan Bapak. Bapak sudah mendorong saya kepada laki-laki lain. Jadi entah itu laki-laki pilihan ibu saya, atau Mas Randu, seharusnya Bapak nggak keberatan kan Pak? Asal saya nggak mengganggu hidup Bapak lagi kan?!"
Haiva menghentakkan tangannya sehingga cekalan tangan Haris terlepas. Lalu berlari masuk ke rumah kosnya dengan tangis yang terang-terangan tidak ditutupi.
Haris tiba-tiba merasakan sakit kepala yang tidak tertahankan. Membuatnya air matanya mengalir ketika melihat punggung gadis itu menghilang di balik pintu kamar kosnya.
* * *
Gimana, Kak? Abis baca ini bikin malam Minggunya jadi amburadul ga? Hehehe. Sowry yaaaa
* * *
Oiya, seperti bab 25 dan bab 27, bab kali ini jg hny dipublish pd waktu terbatas. Jadi buruan baca n komen yg byk yuk Kak.
Buat yg ketinggalan baca dan penasaran, bisa pesan buku atau beli ebooknya ya Kak. Terima kasih sblmnya krn sdh mendukung 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top