28. Sugar Dating

Halo Kakak2! Mari hari ini kita mulai yang Uwuwuwuw.

* * *

Haiva geleng-geleng kepala ketika membaca pesan WhatsApp dari ibunya di kampung halaman.

Ibu: Assalamualaikum Va. Piye kabare, Ndhuk? Kamu sehat tho? Kamu opo wis ono pacar ning Jakarta? Ibu dikirimi undangan nikahan si Nisa, temen SMPmu itu lho. Dia nikah bulan depan. Kowe opo yo wis ono calon?

Absurd sekali bukan, pesan ibunya. Menanyakan kabar, lalu ujuk-ujuk menanyakan apakah dirinya sudah punya pacar. Sebulan lagi setelah acara pernikahan Nisa, pasti ibunya akan mengiriminya gosip-gosip seputar teman SD, SMP atau SMA nya yang sudah nikah, sudah punya anak lima, sudah cerai atau sudah nikah lagi. Lalu menanyakan kembali, apakah Haiva sudah ada calon suami.

Haiva bingung juga sama orangtuanya. Dulu dia selalu diwanti-wanti supaya nggak pacaran sampai lulus kuliah, karena hanya akan mengganggu konsentrasi belajar.

Haiva menuruti perintah tersebut.

Tapi sejak lulus, dia beberapa kali ditanya apakah sudah punya pacar atau belum. Apa sih mau orangtuanya? Memangnya cari pacar gampang? Memangnya kalau sekarang lulus, trus besok bisa langsung dapet pacar?

"Kenapa lo geleng-geleng gitu?" tanya Priska, Section Head Quality Documentation Hans Pharmaceutical.

Haiva baru saja selesai meeting dengan tim Quality Documentation, untuk meminta data-data yang dibutuhkan untuk melakukan melakukan registrasi ulang salah satu produk Hans Pharm. Karena meeting selesai bertepatan dengan jam makan siang, Haiva akhirnya makan bersama Priska di kantin kantor.

"Ibu gue. Nanyain pacar gue," jawab Haiva sambil meletakkan ponselnya dan kembali memakan makan siangnya.

"Trus masalahnya apa?" tanya Priska tidak mengerti.

"Kan gue nggak punya pacar, gue jadi bingung jawab pertanyaan emak gue."

"Mas-mas yang sering kesini tuh siapa? Bukan pacar lo?"

Haiva langsung paham, Priska pasti menduga Randu adalah pacarnya. Randu memang beberapa kali mampir, saat kebetulan ada project di industri farmasi atau industri makanan yang berada di dekat Hans Pharm. Tapi itu tidak sesering yang diduga Priska.

"Bukan. Itu temen gue, supplier eksipien di Medika Farma. Kadang-kadang doang kalau lagi ketemu klien di Kawasan Industri sekitar sini, dia mampir sekalian kesini."

Priska mengangguk-angguk.

"Gue baru ingat, lo dulu di Medika, anak buahnya Pak Haris dong?" tanya Priska.

Pertanyaannya sih biasa saja. Tapi entah kenapa membuat Haiva hampir tersedak mendengarnya. Barangkali karena dia tidak menduga Priska akan tiba-tiba bicara tentang mantan bosnya itu.

"Iya. Kenapa emang?" kata Haiva, sok cool.

"Ada gosip-gosip terbaru nggak sih dari temen-temen lo di sana?"

"Gosip baru apa misalnya?"

"Misalnya, mantan bos lo itu akhirnya bakal nikah?"

"Nikah?" antara penasaran dan cemburu, Haiva mengonfirmasi gosip tersebut. "Sama siapa?"

Priska mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi tadi Mbak Dinda, Supervisor gue, cerita. Katanya dia pernah lihat Pak Haris ke tempat karaoke sama cewek."

Andai Haiva sedang minum, ia pasti akan tersedak hingga mati, saking kagetnya. Untungnya tadi dia memutuskan untuk berhenti makan dan minum sejenak untuk fokus pada gosip Haris. Sehingga dia bisa mengontrol ekspresinya saat mendengar gosip dari Priska.

Haris terlihat bersama perempuan di tempat karaoke? Bukankah itu berarti si perempuan itu adalah dirinya? Atau Haris pergi ke tempat karaoke juga bersama perempuan lain?

"Mbak Dinda salah orang nggak? Bukannya mereka jarang ketemu ya?" tanya Haiva, berhati-hati mengorek informasi, agar tidak terlalu kelihatan mencurigakan.

"Tiap 6 bulan sekali kan ada QA-QC Manager Meeting se-Jabodetabek. Mbak Dinda sering diutus Bu Yuli dateng ke meeting itu. Nah Pak Haris kan masih suka join meeting itu meski sekarang udah jadi Plant Director. Jadi Mbak Dinda sering ketemu Pak Haris. Nggak mungkin salah orang sih."

Haiva ketar-ketir ketika mendengar keyakinan Priska pada gosip itu.

"Di Medika ada Haris-Fans-Club nggak sih?" tanya Priska kemudian.

"Kok lo tahu?" Haiva balik bertanya. Takjub pada betapa mudahnya gosip menyebar.

"Kalau disini ada HFC juga, mungkin Mbak Dinda jadi ketuanya. Doi ngefans banget sama Pak Haris. Makanya pas dia mergokin Pak Haris jalan sama cewek, dia histeris cerita kemana-mana bahwa dia patah hati."

"Astaga!"

"Apalagi katanya itu cewek seumuran kita."

"Hah? Maksudnya?"

"Mbak Dinda emang cuma lihat dari belakang sih. Angle nya nggak pas. Tapi Mbak Dinda kelihatannya yakin banget bahwa cewek itu masih muda. Bukan ibu-ibu gitu."

Haiva mengaduk-ngaduk sisa makanannya dengan wajah setengah melamun, memikirkan bagaimana agar orang lain tidak menyadari bahwa perempuan itu adalah dirinya. Dia bukan tipe orang yang peduli dengan gosip. Tapi jika gosip itu merugikan Haris, tentu dirinya merasa bersalah. Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.

Priska mendekatkan tubuhnya pada Haiva. Suaranya nyaris berbisik dengan misterius ketika berkata, "Mungkin nggak sih Pak Haris punya sugar baby gitu? Kata Mbak Dinda, kemungkinan gitu."

"Sugar baby apaan sih?"

"Astaga! Polos ama kuper, bedanya tipis ya," ledek Priska. "Simpenan om-om. Perempuan muda yang mau diajak kencan kemana-mana sama om-om, dibeliin ini-itu. Kadang bisa sampai diajak ke hotel."

Haiva merasa tidak nyaman dengan definisi istilah yang baru saja didengarnya. Ironisnya, dirinya yang dituduh seperti itu. Dia memang mau-mau saja diajak Haris wisata kuliner kemana-mana, ditraktir sana-sini. Tapi dia yakin hubungannya dengan Haris bukan hubungan seperti itu.

Lagian, kenapa Mbak Dinda bisa bergosip seperti itu? Memangnya dia nggak lihat bahwa saat itu Pak Haris bukan hanya bersama seorang gadis, tapi ada seorang pemuda juga, si Hilbram itu?

"Menurut lo gimana sih Va? Kok gue nggak yakin ya Pak Haris kayak gitu," tanya Priska. "Gue baru dua kali sih ketemu beliau. Emang udah om-om sih. Tapi kayaknya beliau bukan tipe om-om kayak gitu, iya nggak sih?"

Haiva menggeleng. "Beliau bukan orang kayak gitu."

"Nah! Iya kan!" kata Priska, "Gue heran aja sih. Mbak Dinda katanya ngefans, tapi kok nuduh Pak Haris kayak gitu. Mungkin dia patah hati banget karena bukan dia perempuan yang deket sama Pak Haris, makanya jadi julid gitu. Hihihi."

Haiva cuma mengangguk-angguk. Bingung harus menanggapi bagaimana.

"Tapi kalau dipikir-pikir ya masuk akal juga sih kalau Mbak Dinda curiga bahwa Pak Haris punya sugar baby. Menjomblo segitu lama, gimana urusan kebutuhan biologis kan?" kata Priska. "Galau gue. Gue nggak percaya Pak Haris orang kayak gitu. Tapi alasan Mbak Dinda masuk akal juga."

Haiva tiba-tiba pusing memikirkan gosip-gosip itu. Hanya sekali kepergok karaokean aja, gosipnya bisa kemana-mana gini.

Saat itu tiba-tiba ponsel Haiva bergetar. Sebuah pop-up message muncul di layar ponselnya. Kebetulan sekali, nama Haris yang muncul di situ. Buru-buru Haiva mematikan layar ponselnya, sebelum Priska sempat melihat, lalu membalik ponselnya hingga layarnya menghadap ke meja.

"Siapa? Emak lo lagi?" tanya Priska melihat kegugupan Haiva saat menerima pesan di ponselnya. "Yaudah, kirim aja foto mas-mas yang suka kesini itu, Va. Biar tenang aja gitu orangtua lo, meski sementara."

Haiva tertawa gugup.

"Ngomong-ngomong, gue baru sadar. Handphone lo baru ya?" tanya Priska sambil mengerling ponsel Haiva.

Deg!

"Sejak kapan lo jadi nggak gaptek, Va? Itu tipe terbaru bukan si? Bukannya mahal ya Va? Berapa sih harganya? Gue mau beli juga sih, tapi mau nabung dulu, hehehe."

Haiva salah tingkah saat ditanya seperti itu. Haiva memang punya perkiraan harga ponsel yang dibelikan oleh Haris itu. Tapi dia tidak tahu berapa tepatnya.

"Beli dimana?" tanya Priska lagi.

"Emm, ini kado kok," jawab Haiva, akhirnya mengaku.

"Kado ulang tahun lo kemarin?! Anjir! Siapa yang ngasih kado mahal begini? Sugar daddy lo ya?"

Ekspresi Haiva kaku ketika dituduh begitu. Dia bingung bagaimana cara mengelak tanpa terlihat tersinggung yang justru akan membuat Priska curiga.

"Tapi tampang lo mah nggak laku jadi sugar baby kayaknya. Kurang bermanis-manis dan bermanja-manja kayaknya. Hahaha."

Si Priska ini... nanya sendiri, jawab sendiri, berasumsi sendiri, klarifikasi sendiri. Absurd banget! Tapi Haiva lega karena temannya absurd begitu, sehingga dirinya tidak jadi dicurigai.

Meski demikian, Haiva merasa mulai sekarang dia tidak boleh terlalu sering pergi dengan Haris. Atau reputasi Haris bisa hancur karena dirinya.

Tapi, apakah dia akan mampu menjauh dari Haris?

* * *

Jawabannya, tentu saja tidak mampu!

Meski sudah menyadari bahwa dirinya harus menjauh dari Haris, demi menjaga nama baik lelaki itu, tapi saat Haris kembali mengajaknya pergi ke Food Festival, jajanan tempo doeloe di Kelapa Gading, lagi-lagi Haiva tidak bisa menolaknya. Lha wong dia kangen berat, sebulan lebih tidak bertemu Haris.

"Haiva, sini!" panggil Haris. Tiba-tiba lelaki itu sudah menarik tangan Haiva ke sisinya. "Dari tadi, kenapa sih Haiva jalannya jauh-jauh terus dari saya? Jalan di belakang saya. Memangnya Iva bodyguard saya?"

.
.
.
.
.
.

"Haiva____" Haris tidak mengerti kenapa suaranya jadi terdengar serak seperti itu. Memalukan sekali, seperti anak kemarin sore yang baru pacaran saja.

"Bapak___" suara Haiva mencicit ketika ia berusaha menarik dirinya menjauhi kursi pengemudi.

Tapi sepertinya Haris menahan tangannya sehingga gadis itu tidak bisa menarik diri lebih jauh.

"Haiva___" kali itu suara Haris makin dalam dan serak.

.
.
.
.
.

* * *

Woi! Siapa tuh yg klakson2?!

Oknum kue rangi
yang gulanya meleleh di pinggir bibir Pak Haris,
bagai minta dibersihin
...... pake lidah.

* * *

Kakak2 bingung ya baca bab ini? Iya, isi bab ini sdh dihapus sebagian 😊

Kalau Kakak2 penasaran dengan bab uwuwuwuw ini dan berkenan mendukung, silakan beli buku/ebooknya ya Kak.

1. Buku, bisa dibeli di Admin Karos Publisher (0818-0444-4465)

2. Ebook, bisa dibeli di: bit.ly/CeritaYangTidakDimulai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top