27. Bukan Untuk Sembarang Hati
"Selamat ulang tahun, Mbak!"
Haiva masuk ke kursi penumpang mobil Haris, disambut dengan ucapan selamat yang meriah dari Hilbram yang duduk di kursi pengemudi.
Haiva tertawa sambil menutup pintu mobil. "Makasih, Ibam. Pagi, Pak!" kata Haiva kepada Hilbram dan Haris.
Setelah beberapa kali Haris mengajaknya wisata kuliner di akhir pekan bersama Hilbram, Haiva tidak kaget lagi ketika kali itu Haris mengajaknya makan untuk merayakan ulang tahun bersama Hilbram juga. Sepertinya Haris memang sengaja agar tidak hanya berduaan saja dengan Haiva.
Tapi Haiva tidak keberatan dengan hal itu. Wajar saja kalau Haris tidak pernah mengajaknya pergi berduaan lagi. Laki-laki baik seperti Haris, pasti tidak ingin memberi harapan palsu pada perempuan yang sudah ditolaknya. Setelah pengakuan cintanya yang ditolak beberapa bulan lalu, Haiva tidak mau berharap lagi. Masih untung Haris tidak menjauhinya dan tetap bersikap hangat padanya kan.
Setelah beberapa kali, Haiva juga tidak canggung lagi ketika bertemu Hilbram. Meski tidak terlalu dekat, tapi Haiva tidak pernah merasa kehabisan topik percakapan dengan pemuda itu.
"Pagi, Iva!" Haris menjawab sambil menoleh ke kursi penumpang di belakang. Kali itu ia duduk di kursi penumpang di depan, membiarkan keponakannya menyetir.
"Makasih lho Pak, saya diajak makan-makan hari ini. Padahal saya yang ulang tahun, tapi Bapak yang nraktir," kata Haiva sambil tersenyum manis.
"Tidak usah GR, Iva. Siapa yang bilang bahwa saya yang akan mentraktir?"
Hilbram meningkahi dengan tawa, sambil mulai menjalankan mobil. Sementara Haiva manyun. Tapi dia tidak terlalu khawatir. Haris pasti hanya menggertak. Setelah mengenal cukup lama, Haiva menyadari bahwa Haris adalah tipe bos yang merasa harga dirinya ternoda jika ditraktir oleh anak buahnya yang kere. Jadi tidak mungkin kali ini dirinya minta Haiva mentraktirnya.
"Beruntung banget saya jadi anak buah Pak Haris. Ditraktir mulu sama Bapak. Bapak baik banget sih," kata Haiva sambil tertawa.
"Iva merayu?" kata Haris sambil mencebik. Tapi Haiva bisa melihat senyum diam-diam di wajah Haris.
"Yakin, anak buah doang?" celetuk Hilbram tiba-tiba.
Haiva melirik spion dan mendapati mata Hilbram juga sedang menatapnya dari spion.
Apa maksud kata-kata Hilbram barusan?
"Jadi ponakan Bapak juga beruntung. Pasti lebih sering ditraktir ya Bam?" balas Haiva, berseloroh pada Hilbram. "Apa saya manggil Pakde juga ya, biar makin sering ditraktir?"
Hilbram tertawa. Tapi Haris tidak. Wajahnya datar saja.
Haiva menelan kembali candaannya. Ga lucu ya? Bahkan untuk sedikit lebih dekat sebagai keponakan saja, Haris tidak sudi menerimanya.
Beliau bukan cuma baik sama kamu, Haiva! Sama anak buah yang lain, beliau juga sering mentraktir. Nggak usah GR. Kamu cuma anak buah. Jangan berharap lebih, jangan ngelunjak!
***
Kali itu, sesuai petunjuk Haris, Hilbram mengemudikan mobil menuju sebuah restoran fusion Indonesia-Belanda yang sebelumnya pernah didatangi Haris dan Haiva setelah acara PharFest.
"Kali ini jangan pesan gado-gado saja. Pesan apapun yang Iva mau," kata Haris, sambil tersenyum menyindir, ketika Haiva membuka-buka buku menu untuk memesan makanan.
Haiva mencebik kesal mendengar sindiran Haris. Apalagi setelah itu lelaki itu tertawa puas. Tapi dia bisa apa, coba? Sebagai pihak yang menerima traktiran, Haiva cuma bisa pasrah menerima ledekan Haris.
Mereka menghabiskan makanan sambil ngobrol seru, terutama Haiva dan Hilbram yang membahas tentang perkuliahan dan kegiatan di kampus. Termasuk tentang rencana Hilbram yang ingin mencoba bergabung dengan Marching Band kampus. Haiva sudah mengingatkannya bahwa Marching Band kampus mereka adalah salah satu yang paling berprestasi di Indonesia dan beberapa kali mengikuti festival di luar negeri, sehingga kesibukannya mungkin akan menyita waktu kuliah.
"Tuh kan. Pakde bilang juga apa," kata Haris, mendukung pernyataan Haiva. "Jangan mengorbankan kuliah demi kegiatan ekskul seperti itu kalau manajemen waktu Ibam saja belum baik. Bangun tidur saja masih sering kesiangan. Mengerjakan tugas masih nunggu deadline."
"Aduh kena marah lagi," keluh Hilbram. "Kok aku jadi berasa kayak lagi dimarahin Pakde dan Bude. Kompak bener sih Pakde dan Mbak Iva."
Wajah Haiva serta merta memanas. Ia berharap wajahnya tidak memerah karena itu.
Haiva sedang bingung harus menimpali candaan Hilbram seperti apa supaya tidak terlihat salah tingkah, ketika ia mendengar suara Haris.
"Hanya karena Mbak Iva baru tambah usia, bukan berarti Ibam bisa panggil Bude. Perempuan itu paling sensitif soal umur. Tuh lihat wajah Mbak Iva sudah merah gitu karena Ibam bilang tua," kata Haris.
Haiva hanya tersenyum salah tingkah sambil mengusap tengkuknya, karena ketahuan berwajah merah.
"Aku kan nggak bilang Mbak Iva tua, Pakde," kata Hilbram membela diri. "Kan nggak harus jadi tua supaya bisa aku panggil Bude."
"Tidak ada perempuan yang mau dipanggil Bude oleh orang yang hanya lebih muda 8 tahun," kata Haris sama keras kepalanya.
"Emang iya, Mbak?"
"Apa?" Haiva kaget karena tiba-tiba ditanya begitu.
"Nggak mau aku panggil Bude?"
"Ya menurut kamu aja, gimana?" Haiva membalikkan pertanyaan dengan jutek.
Masalahnya, ekspresi salah tingkah dan jutek itu kalau digabung jadi ekspresi seperti sedang menahan kentut. Hal itu membuat Hilbram tertawa, karena berhasil mengerjai gadis itu.
Tapi tawa Hilbram tidak bertahan lama karena Haris langsung memukul kepala pemuda itu.
* * *
Tidak seperti acara wisata kuliner yang sebelumnya pernah mereka lakukan, kali itu setelah selesai makan siang bersama, Hilbram tiba-tiba mengajukan ide untuk karaoke. Anehnya, Haris menyetujuinya. Haiva kaget sekaligus penasaran. Dia tidak bisa membayangkan si bos besar karaokean. Memangnya si bos bisa nyanyi? Lagu apa yang bakal dinyanyikannya? The Beattles?
Benar saja, waktu karaoke selama 2 jam itu kebanyakan didominasi oleh Hilbram dan Haiva bergantian. Mulai dari lagu-lagu Adelle, Katy Perry, Jessie J, Coldplay, the Script, Naomi Scott, Josh Groban, Fiersa Besari, Andmesh, Overtune, Afghan, bahkan sampai Blackpink. Pada beberapa lagu, Haiva dan Hilbram bahkan berduet.
Awalnya Haiva malu-malu saat disuruh menyanyi, sebab dia merasa nada suaranya amburadul. Tapi saat melihat Hilbram bernyanyi dengan nada yang tak tahu malu, Haivapun jadi ikut tak tahu malu. Dia merasa tidak perlu menjaga image lagi di hadapan Haris. Toh lelaki itu sudah menolaknya kan.
Haris akhirnya hanya menyanyikan 1 lagu. Itupun karena dipaksa. Haiva bersyukur itu bukan lagu The Beatles atau Broery Marantika. Haris memilih menyanyikan lagu lawas Kahitna. Haiva masih mengenali lagu itu, meski ketika lagu itu dirilis, dia masih SD.
Tapi ketika menyadari liriknya, Haiva terhenyak. Ternyata...
Meski waktu datang, dan berlalu sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu, mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti
.... ada seseorang yang posisinya tidak akan bisa terganti di hati lelaki itu.
Meski ada yang berdenyut nyeri di dadanya, tapi Haiva lega karena setidaknya akhirnya dia tahu bahwa dirinya tidak akan punya kesempatan. Bagaimana kita bisa bersaing dengan masa lalu, musuh yang tidak pernah kita kenal kan?
"Mbak, udah milih lagu berikutnya belum?" tanya Hilbram di sela-sela menyanyikan lagi Afghan. Dia hampir selesai dengan lagunya.
Haiva tersentak kaget. Ternyata barusan dia tanpa sadar bengong.
"Kamu lanjut aja," jawab Haiva mempersilakan.
Tapi ketika lagu Afghan berakhir dan berganti dengan "Sedang sayang-sayangnya" Mawar de Jongh, Hilbram tidak melanjutkan bernyanyi. Entah siapa yang tadi memilih lagu itu.
Hilbram menggeser duduknya mendekat pada Haiva, lalu sekonyong-konyong bertanya tanpa basa-basi. "Mbak naksir sama Pakde ya?”
Karena pertanyaan itu ditanyakan tiba-tiba, tanpa pendahuluan apa-apa, Haiva jadi lupa mengendalikan diri sehingga responnya yang spontan bisa jelas terbaca oleh Hilbram. Untung saat itu Haris sedang pergi ke toilet.
Meski kaget, tapi dengan gaya sok cool, Haiva menjawab, “Ah, sok tahu kamu.”
“Kelihatan banget tauuu, Mbak.”
“Oh ya?” masih sok kalem.
“Tadi Mbak nyanyi lagunya SHE sambil ngelirik Pakde melulu sih. Kelihatan banget lagi curhat gitu.”
Tertangkap basah begitu, Haiva langsung pasang wajah sok jutek.
“Pernah dengar pepatah ini nggak, Mbak..." kata Hilbram kemudian, "Sesungguhnya karaoke adalah curhat yang terselubung”
Wajah Haiva memerah karena Hilbram menduga dengan sangat tepat. Tadi Haiva menyanyikan lagu itu sebagai kedok untuk menyatakan perasaannya yang sesungguhnya pada Haris. Tepat seperti lirik lagu itu, begitulah kata hatinya.
Aku cinta mati padamu
Takkan sanggup aku tanpamu
Bahagiamu itu bahagiaku
Dan setiap air matamu, itulah juga kesedihanku
Aku cinta mati padamu
Jangan pernah meragukanku
Terlalu dalam cintaku ini
Mungkin aku bisa mati bila harus kehilangan dirimu
Bukan untuk sembarang hati aku katakan ini
Sungguh aku cinta kamu
Bukan untuk sembarang hati
Hingga nafas berhenti, aku rela berlelah untukmu
(Bukan Untuk Sembarang Hati, SHE)
“Pakde tahu bahwa Mbak suka sama Pakde?” Hilbram bertanya lagi.
Haiva memilih tidak menjawab pertanyaan itu. Sangat mengenaskan dan memalukan kalau dia harus mengaku bahwa dirinya sudah mengaku cinta lalu ditolak.
“Kalau gitu, gue nggak mungkin manggil Mbak dengan Bude kan?” cecar Hilbram tak mau berhenti.
Haiva mendengus dan memutar bola matanya, seolah-olah itu pertanyaan konyol.
“Nggak mungkin dong,” kata bibir Haiva. Meski hatinya berdoa lain.
* * *
"Lihat anak itu!" kata Haris sambil mengerling kaca spion dari kursi pengemudi.
Haiva, yang duduk di samping kursi pengemudi, memutar tubuhnya melihat seseorang yang duduk di belakang yang matanya tertutup dan mulutnya mangap.
"Yang seperti itu mau ikut Marching Band? Capek sedikit saja langsung tewas begitu," Haris menggerutu.
Haiva cekikikan. "Dia terlalu semangat karaokean, Pak."
Haris menoleh pada Haiva sekilas, ketika membelokkan mobilnya ke kanan.
"Saya boleh minta tolong, Iva?" tanya Haris.
"Ya, Pak?" tanya Haiva sambil membalas tatapan Haris.
"Tolong buka dashboard. Di situ ada kotak biru."
Mengikuti instruksi Haris, Haiva membuka dashboard dan mengambil kotak persegi panjang yang dibungkus dengan kertas biru. Ia lalu menyerahkan kotak itu pada Haris.
"Apaan tuh Pak?" tanya Haiva sambil menyerahkan kotak itu.
"Buka kotaknya," perintah Haris. Membuat Haiva menarik kotak itu lagi. "Itu buat Iva."
"Hah?"
"Hadiah ulang tahun."
Mata Haiva berbinar.
"Wah Bapak! Baik banget sih!" pekik Haiva tertahan. Macam fans Lee Min Ho ketemu idolanya. "Saya ditraktir aja udah senang banget. Sekarang malah dikasih kado. Aduh, saya jadi enak," candanya dengan gaya tak tahu malu.
Haris tertawa mendengar celoteh Haiva, dan memberi kode supaya Haiva membuka kadonya.
Gadis itu membuka kadonya dengan antusias, bertanya-tanya tentang hadiah pemberian si bos, ketika tiba-tiba celotehannya berhenti dan wajahnya termangu.
Haiva menatap Haris bingung, dan menduga-duga, apa kata orang kalau sampai mereka tahu bahwa si bos membelikannya kado ulang tahun semahal itu? Itu bukan hadiah ulang tahun yang biasa diberikan oleh seorang mantan bos kepada mantan anak buahnya.
"Pak, mungkin ini kadonya tertukar dengan kado buat Ibam?" tanya Haiva hati-hati.
"Ulang tahunnya masih lama. Itu memang buat Iva."
"Pak____"
"Sama-sama," potong Haris cepat.
"Saya nggak bisa menerima kado semahal ini."
"Yes, you can."
Haiva baru membuka kertas kadonya. Ketika melihat label pada kotak tersebut, ia langsung ngeri. Ia lalu mengembalikan kotak yang sudah terpisah dari sampul kadonya ke dalam dashboard. Kemudian tangannya sibuk merapikan kerta kado yang sudah sobek, agar dapat dibuang dengan rapi.
"Ambil, Va!" kata Haris tegas. Ia tidak suka melihat gadis itu mengembalikan kotak itu ke dashboard.
"Jangan, Pak. Makasih banyak sudah mentraktir saya hari ini. Itu kado yang sangat cukup. Saya senang banget hari ini."
"Traktiran dan kado adalah dua hal yang berbeda. Ambil kembali kado Iva!"
"Jangan, Pak____"
Tidak sabar dengan penolakan Haiva, Haris menepikan mobilnya di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai.
Lalu tiba-tiba Haris mencondongkan tubuhnya ke arah dashboard di hadapan Haiva. Membuat Haiva kaget dan jantungnya berdegup kencang.
Haris mengambil kotak itu dari dashboard, lalu membukanya, dan mengeluarkan isinya. Tanpa canggung, Haris mengaktifkan isi kotak itu, dan menggulirkan jari-jarinya di atas layar benda pipih persegi panjang itu.
“Coba lihat apa saja yang bisa kita lakukan dengan ini?” kata Haris sambil tersenyum pada Haiva.
“Kita?”
“Look. Kita bisa whatsApp, line, video call. Saya bisa tahu dimana saja Iva berada. Saya bisa selalu tahu kabar Iva.”
Haris membuka aplikasi-aplikasi yang terdapat di dalam smartphone itu sambil menunjukkannya pada Haiva.
Haiva mengernyit, tak tahan menyembunyikan keheranannya.
“Iva juga bisa cek email setiap saat. Upload dan download dokumen, foto dan video. Game. Menulis dokumen. Saya sudah install banyak aplikasi yang barangkali Haiva butuhkan. Memory nya juga lumayan besar. Banyak hal yang bisa Iva lakukan dan simpan disini.”
Mata Haiva terbuka makin lebar mendengar penjelasan Haris tentang gadget canggih itu. Tapi entah kenapa, makin lebar matanya terbuka, makin buram sosok Haris di mata Haiva. Embun-embun entah darimana menghalangi pandangan Haiva. Ia ingin mengenyahkan embun-embun itu, tapi Haris pasti nanti menertawakannya kalau memergoki Haiva melakukannya.
“Barang canggih di tangan seorang gaptek adalah kesia-siaan, Pak,” kata Haiva frustasi.
Haiva memang gaptek, tapi dia bukannya tidak tahu harga gadget yang dibelikan Haris untuknya. Tapi karena ia tahu itulah, maka ia menolaknya. Dia merasa tidak pantas menerima hadiah yang seharga gajinya sebulan.
“You can’t be that bad.” Haris tertawa sambil mengelus kepala Haiva seperti biasa, seperti majikan yang mengelus-elus kucingnya.
Haiva merasa tenggelam dalam sikap manis seperti itu.
“Itu namanya HANDphone ya, bukan BAGphone. Bawa kemanapun Iva pergi! Awas saja kalau Iva berani tidak angkat telepon saya karena alasan handphone ketinggalan di tas.”
"Pak___"
Tanpa aba-aba, Haris meraih tangan Haiva. Membuat Haiva menatapnya dengan ngeri. Lalu lelaki itu meletakkan ponsel, yang dibelikannya sebagai kado ulang tahun Haiva, di tangan gadis itu.
Lelaki itu memandang Haiva dengan tatapan yang dalam yang belum pernah dilihat Haiva selama menjadi anak buahnya.
"Saya ingin Iva memilikinya."
* * *
Dear Bapak,
Beberapa tahun lalu, usiamu tiga kali usiaku. Hari ini usiaku tidak sampai separuh usiamu. Tidakkah jarak waktu yang memisahkan kita makin dekat? Mungkin beberapa tahun lagi usiamu tidak sampai satu setengah kali usiaku. Jangan sombong! Kau tidak setua itu, dan aku juga bukan anak kecil seperti yang kau pikir selama ini.
Apa sekarang aku sudah boleh mulai berharap?
* * *
Author's note:
Ada yang pernah ketemu bos yang ngasih kado ke anak buahnya seharga gajinya sebulan?
Siapa yang mau jadi anak buah Pakde? Kali aja dapet kado handphone juga kan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top