24. Cerita yang Belum Selesai

Yang gregetan sama Pak Haris, mana suaranya?

Yang pengen nampol Pak Haris?

Yang pengen Pukpukpuk Pak Haris?

Yang pengen uwel uwel Pak Haris?

Yang kangen Randu?

Yang seneng karena ceritanya belum selesai, mana suaranya?

* * *

"Saya suka sama Bapak."

Wajar kan kalau seorang anak buah suka sama bosnya? Kalau sampai anak buah membenci bos, pasti suasana kerja tidak menyenangkan.

"Saya suka sama Bapak."

Wajar kan kalau Haiva suka padanya? Dirinya selalu memperlakukan gadis itu dengan baik. Kalau gadis itu malah membencinya, itu artinya tidak tahu diri.

"Saya suka sama Bapak."

Karin, Naya, Bram dan Yuli pasti juga suka padanya kan? Dia sering datang membawakan makanan saat mereka lembur. Makanya Haiva juga suka padanya. Iya kan?

"Saya suka sama Bapak."

Kata Haiva, banyak karyawan Medika Farma yang ngefans padanya. Pasti Haiva adalah salah satu fans itu, iya kan? Makanya Haiva bilang suka padanya.

"Saya suka sama Bapak."

"Suka" itu maksudnya "tidak membenci" kan? "Kagum", itu maksudnya kan? Bukan "suka" yang itu kan? Bukan....

"Pak, yang lain sudah kumpul. Jadi meeting kan Pak?"

"Ya, Va?"

Shit!

Orang yang sedang berdiri di depan pintu ruang kerja Haris kini terlihat sedang berusaha memfokuskan pendengarannya.

"Saya Bram, Pak. Bukan Iva."

"Saya tahu. Saya belum pikun."

"Tapi tadi Bapak manggil saya___"

"Ngantuk ya kamu? Sana cuci muka dulu, baru join meeting!"

Bram, antara pengen ngeledek dan pengen nampol, akhirnya cuma bisa diam saja. Bos kan selalu benar. Kalau salah, ya kembali ke pasal satu.

"Saya segera kesana," kata Haris pada Bram.

Dan Bram segera paham maksudnya bahwa dirinya diusir. Ia pun menyingkir dan menutup kembali pintu ruang kerja sang bos besar.

Haris menghela napas berat.

Sebagai orang yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan tersebut, Haris sudah menyaksikan orang-orang datang dan pergi. Pindahnya seseorang ke perusahaan lain yang menurutnya lebih prospektif adalah suatu kewajaran, sehingga perpisahan dengan salah satu karyawan tidak pernah membuatnya resah. Tapi anehnya, entah kenapa Haris masih terus teringat pada Haiva, padahal gadis itu sudah pergi sejak sebulan yang lalu.

Sejak malam itu, Haris selalu merasa gelisah. Dia merasa bahwa kata "suka" yang diucapkan Haiva hanya rasa suka yang wajar antara karyawan kepada atasannya. Tapi semakin dia berpikir seperti itu, hatinya semakin tidak tenang. Ia ingin menghubungi Haiva lagi untuk menanyakan maksud kata-kata itu, tapi dia khawatir dirinya hanya GR saja. Lagipula, dia tidak punya alasan untuk menghubungi Haiva.

Haris membuka ponselnya dan mencari nama Haiva. Tapi tidak ada pesan baru dari gadis itu. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunnya. Seperti halnya tadi pagi dimana anak buahnya sudah mengucapkan selamat ulang tahun dan membawakan kue untuknya, Haiva dulu juga selalu melakukannya. Bahkan Haiva biasa mengirimi pesan selamat ulang tahun padanya pagi-pagi sekali, sebelum mereka bertemu di kantor. Jadi jika sampai saat ini Haiva belum mengiriminya pesan, apakah artinya Haiva sudah melupakan ulang tahunnya, bahkan meski baru 1 bulan berpisah?

* * *

Haiva memandang ramen yang baru saja disajikan dengan mata berbinar. Lalu ia tersenyum pada lelaki di hadapannya.

"Selamat makan!" kata lelaki itu. Kode untuk mempersilakan Haiva menikmati makanannya.

"Itadakimasu!" jawab Haiva bersemangat. "Makasih traktirannya, Mas Randu yang tampan!"

Randu tertawa, lalu mengambil mangkuk ramennya sendiri.

"Rasanya pengen jadi ramen," kata Randu. "Yang dilihat dengan mata berbinar-binar sama lo."

Haiva tertawa. "Panjang-panjang dong."

"Panjang dan enak."

"Dasar!"

Mereka tertawa bersama.

"Di Hans, lo sama sibuknya sama di Medika ya? Gue pikir setelah lo nggak di factory lagi, jadi lebih mudah ngajak lo keluar gini. Ternyata sama aja," kata Randu sambil menyuap ramennya.

"Beda jenis kerjaan doang, Mas. Sekarang saya kebanyakan di depan komputer. Tapi kesibukan mah sama aja."

"Syukurlah. Bukan karena menghindari gue kan?"

"Apa harusnya saya menghindari Mas?"

"Entahlah. Cewek-cewek biasanya gitu. Abis nolak cowok, trus menghindar."

Haiva memang telah menolak pernyataan cinta Randu waktu itu. Beruntung Randu tampak tidak terlalu terpukul dan tetap bersikap biasa pada Haiva, sehingga Haiva juga tidak terlalu canggung lagi kepada Randu.

"Sebenarnya bukan bermaksud menghindar sih, Mas. Biasanya cewek menjauh setelah nolak itu karena nggak mau ngasih harapan palsu aja."

"Jadi kalau sekarang lo masih mau gue ajak makan bareng, apa artinya gue masih punya harapan?"

Haiva meletakkan sumpitnya dan menatap Randu. "Mas..."

"Ada orang lain yang lo suka ya?" tembak Randu tiba-tiba.

Haiva mengambil sumpitnya dan mulai makan lagi. Tidak berniat menjawab.

"Iya ya?" tanya Randu, mengejar jawaban.

Haiva mengangguk.

"Dia suka juga sama lo?"

Kali ini Haiva menggeleng.

"Trus kenapa lo tetep nggak mau sama gue?"

"Kalau saya nerima Mas Randu hanya karena saya ditolak cowok lain, emangnya Mas nggak merasa dimanfaatkan, cuma dijadiin pelarian?" Haiva balik bertanya.

"Gue nggak keberatan jadi pelarian sekarang. Nanti lama-lama lo juga bisa cinta sama gue. Gue bisa nunggu."

Randu menatap Haiva. Tatapannya terlihat bersemangat, namun tidak menuntut.

"Mas Randu udah lebih dari 30 tahun. Bukan waktunya nunggu buat sesuatu yang nggak pasti. Lagian, Mas Randu terlalu baik kalau cuma untuk jadi pelarian," jawab Haiva hati-hati.

Dia menghargai dan menikmati pertemanannya dengan Randu. Dia tidak mau hubungan mereka jadi rusak hanya karena dirinya menolak Randu dengan cara yang tidak baik. Jika setelah ia mengusahakan cara yang baik tapi Randu tetap sakit hati dan menjauh, dia tidak bisa mencegahnya. Tapi setidaknya ia ingin mengusahakan cara yang baik dulu.

Randu memegang dada kanannya, dan mengerang, "Aduh!"

"Kenapa Mas?"

"Kalau cewek udah bilang Kamu terlalu baik buat aku, itu tandanya si cowok nggak punta kesempatan lagi. Orang yang terlalu baik biasanya nggak akan dinikahi, paling mentok cuma dijadiin temen."

Haiva terpaku sesaat sebelum akhirnya tertawa. "Jantung itu letaknya di kiri, Mas."

"Makanya gue pegang sebelah kanan. Paru-paru. Gue jadi sesak napas abis ditolak," kata Randu ngeles.

Bagi Haiva, teman seperti Randu ini sangat berharga. Lelaki itu selalu tahu cara untuk membuatnya tertawa.

"Ngomong-ngomong, lo tahu darimana bahwa cowok yang lo suka itu nggak suka sama lo?" tanya Randu tiba-tiba.

Haiva hanya mengangkat bahunya dengan gaya cuek. Namun Randu menangkap sesuatu dari wajah gadis itu.

Randu menutup mulutnya dengan ekspresi lebay.  "Jangan bilang bahwa lo udah nembak cowok itu?"

Dengan wajah sedih, Haiva mengangguk.

Mata Randu makin melotot lebar. "Trus cowok itu terang-terangan nolak lo? Astaga! Buta kali tu cowok. Parah!"

Haiva memutuskan untuk tidak menjawab dugaan itu. Terlalu sakit hatinya jika mengingat malam perpisahannya dengan Haris. Barangkali lebih baik jika Haris terang-terangan menolaknya. Tapi Haris justru tidak mengatakan apa-apa. Haiva jadi berprasangka, jangan-jangan Haris menganggapnya perempuan murahan karena tiba-tiba menyatakan cinta lebih dulu. Bagi beberapa orang, apalagi yang seusia Haris, pasti masih berpendapat bahwa harusnya pria yang menyatakan cinta duluan, dan perempuan yang menyatakan cinta adalah perempuan yang tidak tahu malu.

Kalau mengingat lagi ekspresi kaku Haris saat itu, Haiva rasanya ingin menenggelamkan diri saja. Dia rasanya tidak punya wajah lagi kalau bertemu Haris. Memalukan sekali.

* * *

Haiva berbaring di kasur di kamar kosnya sambil membuka aplikasi WhatsApp. Ia mengetikkan nama Haris. Sudah lebih dari sebulan sejak terakhir mereka berkirim pesan. Itupun pesan terkait pekerjaan.

Haiva mengetukkan jarinya di foto profil Haris, lalu memandangnya berlama-lama.

Kalau dipikir-pikir lagi, dirinya tidak sepantasnya suka pada pria yang hanya beberapa tahun lebih muda daripada ayahnya sendiri. Apalagi orang itu juga adalah bosnya. Tidak tahu diro sekali kan kalau kita naksir bos sendiri.

Tapi namanya hati, tidak tahu kemana ia akan jatuh. Kalau boleh memilih, Haiva pasti akan memilih jatih cinta pada Randu. Tapi bagaimanapun dipikirkan, dia tetap menyukai bosnya.

Barangkali jika ia tetap bekerja di Medika Farma, seumur-umur ia akan memendam perasaannya pada Haris. Hanya saja, hari itu, karena dia merasa bahwa itu adalah kali terakhir bertemu Haris, Haiva jadi memberanikan diri bersikap frontal.

Haiva membelai wajah Haris yang terpampang di layar ponselnya sambil menimbang-nimbang, apakah ia bisa menjadikan ulang tahun Haris hari ini untuk mencari alasan mengirim pesan WA kepada lelaki itu? Setelah pengakuannya malam itu, apakah Haris akan merasa terganggu jika sekarang dirinya mengucapkan selamat ulang tahun?

Haiva sedang membelai bibir Haris dalam foto ketika tiba-tiba ponselnya bergetar, tanda panggilan masuk dan menampilkan foto Haris di layarnya.

Kaget dan panik, Haiva langsung menekan tombol merah, lalu ponsel itu terjatuh dari tangannya dan mendarat di kasur.

Astaga! Tadi gue nggak sengaja tekan icon call ya?, rutuk Haiva panik.

Seingatnya, ia tidak menelepon Haris. Tapi kenapa tadi tiba-tiba muncul wajah Haris? Itu tadi telepon keluar atau telepon masuk? Nggak mungkin Haris yang meneleponnya kan?

Eh? Haris meneleponnya?

* * *

Yang masih harus kerja di hari Minggu, mana suaranya? 😩😩








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top