23. Cerita yang Harus Berakhir
Orang yang terlalu baik bukan orang yang tepat untuk dinikahi. Orang yang terlalu baik hanya layak menjadi teman.
Buktinya, banyak yang bilang "Maaf, tapi kamu terlalu baik buat aku," kan?
* * *
Dua puluh tahun yang lalu...
"Kalau kamu memang nggak cinta sama Mas Haris, kenapa nggak bilang sama orangtua kita, Hana?"
"Aku nggak tega mengecewakan mereka, Mas."
"Tapi kamu tega mengecewakan aku?"
"Mas Hadi... "
"Kita sama-sama saling mencintai, Hana. Tapi kamu malah mau nikah sama kakakku."
"Tapi pernikahannya tinggal dua bulan lagi, Mas. Aku takut orangtua kita syok kalau aku tiba-tiba minta pernikahan itu dibatalkan. Hubungan orangtua kita juga bisa jadi buruk. Dan setelah semua itu, belum tentu mereka mau merestui hubungan kita."
"Entah hubungan kita akan direstui atau tidak, aku nggak ikhlas lihat laki-laki lain memiliki kamu. Apalagi kalau dia adalah kakakku sendiri."
"Mas... "
"Kenapa kamu nggak mau memperjuangkan kita, Han? Harusnya sejak awal kamu nggak menerima Mas Haris kalau kamu memang nggak ada perasaan sama dia!"
"Aku nggak nerima Mas Haris!"
"Tapi dia bilang.... "
"Mas Haris terlalu baik sama aku, Mas. Jadi saat dia menyatakan cinta, aku bingung bagaimana menolaknya tanpa menyakiti hatinya dan merusak hubungan kedua keluarga. Lalu tiba-tiba Mas Haris mengambil kesimpulan sendiri bahwa aku menerimanya, hanya karena aku belum sempat menolaknya. Lalu sebelum aku bisa mengklarifikasi, Mas Haris sudah minta orang tuamu datang melamar. Aku bisa apa, Mas Hadi?"
Haris berdiri tercenung, di balik dinding yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga.
Ternyata selama ini hanya dia yang jatuh cinta sendiri. Dia sendiri yang terlalu percaya diri menyimpulkan bahwa gadis itu memiliki perasaan yang sama dengannya.
Ironisnya, dua bulan menjelang pernikahan mereka, Haris baru tahu bahwa gadis itu justru mencintai adik kandungnya sendiri.
***
Sepuluh tahun yang lalu...
"Maaf, Mas Haris, kalau sikap saya membuat Mas salah paham."
"Maksudnya?"
"Di kantor, Mas selalu baik sama Novi. Makanya Novi juga perhatian sama Mas karena Novi sudah menganggap Mas seperti abang saya sendiri. Novi juga kagum sama Mas Haris. Tapi..."
"Jadi selama ini saya salah mengartikan semua perhatian Novi pada saya?"
"Maaf ya Mas. Saya sudah punya calon suami."
Setelah sepuluh tahun menutup hati, Haris yang akhirnya memberanikan diri membuka hatinya, harus kecewa lagi karena perempuan yang dianggapnya selalu memberi perhatian kepadanya selama di kantor, ternyata hanya menganggapnya sebagai abang.
* * *
Salah satu sikap Haiva yang selalu dikomentari Haris adalah ketidak-tegasan gadis itu dalam mengambil keputusan, terutama keputusan-keputusan yang berpotensi membuat orang lain tidak senang. Jika menilik hal tersebut, tentu orang akan berekspektasi bahwa Haris, yang selalu mengomentari ketidak-tegasan Haiva, adalah orang yang tegas.
Pada pengambilan keputusan terkait sistem mutu di industri farmasi, kapabilitas Haris tentu sudah tidak diragukan lagi. Sama seperti Haiva, Haris adalah orang yang tidak suka berkonflik dengan orang lain. Tapi sedikit berbeda dari Haiva, jika memang diperlukan Haris tidak pernah takut berkonflik dengan orang lain. Hal itu membuat Haris dapat mengambil keputusan-keputusan dengan tegas, meski tidak selalu memuaskan semua pihak. Tapi sayangnya, ketegasan Haris secara profesional tidak berlaku dalam hal asmara.
Barangkali pengalaman masa lalunya yang membuat Haris takut salah menafsirkan kebaikan perempuan kepadanya. Dia tahu bahwa banyak perempuan yang berusaha menarik perhatiannya, tapi lagi-lagi dia berpikir bahwa barangkali perempuan tersebut hanya kagum padanya, bukan tertarik lebih dari itu.
Dia juga tidak pernah lagi berani mengungkapkan perasaannya. Khawatir kalau dia akan memaksakan perasaannya kepada perempuan itu, hanya untuk menerima kenyataan bahwa pada akhirnya sang perempuan bukan menerima perasaannya, tapi hanya karena tidak tega menolaknya.
Hal itu juga yang membuatnya merasa ragu pada perasaannya terhadap Haiva. Juga tidak yakin pada perasaan Haiva terhadapnya. Sikap Haiva yang terbuka terhadapnya, juga selalu menerima ajakannya makan bersama, pasti hanya karena gadis itu menghormatinya sebagai bos. Tidak mungkin Haiva membalas perasaannya kan?
Membalas perasaan?, Haris tercenung.
Memangnya bagaimana perasaannya selama ini pada Haiva? Bukankah tidak pantas baginya untuk tertarik pada gadis semuda itu? Umur Haiva bahkan tidak berbeda jauh dengan usia beberapa keponakannya.
Maka ketika Haiva mengatakan bahwa ia akan pindah kerja ke perusahaan lain, Haris tidak berani menahannya. Haiva sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa membatalkan kontrak yang sudah ditandatanganinya. Itu berarti Haiva memang sudah bertekad keluar dari perusahaan itu.
Waktu 1 bulan berjalan begitu cepat justru ketika Haris ingin waktu berhenti saja. Dalam sebulan, Haiva disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum ia pindah. Hal itu menyebabkan pertemuan Haris dan Haiva sangat terbatas. Ketika Haiva lemburpun, Haris tidak berkesempatan mengajak Haiva makan malam di luar karena Haiva selesai kerja terlalu malam dan sudah terlalu lelah.
Di masa-masa sibuk tersebut, Haris hanya 2 kali berkesempatan mengantar Haiva pulang. Mereka berbincang ini dan itu, tapi Haris tak kunjung juga mengungkapkan perasaannya. Perasaan apa yang bisa diungkapkan ketika dia tidak yakin perasaan apa yang dimilikinya pada gadis itu.
* * *
Bu Karin sengaja menyiapkan acara perpisahan Haiva di hari terakhirnya bekerja di Medika Pharma. Beliau memesan beberapa loyang pizza, martabak dan beberapa kue lain untuk dimakan bersama di sore terakhir Haiva bekerja.
Hari itu Haiva sudah menyerahkan laporan seluruh pekerjaan yang sudah diselesaikannya pada Bu Karin. Ia juga sudah berpamitan kepada Bapak Ibu operator dan staf di departemen produksi, gudang, PPIC, TSD dan QC. Sore itu, Haiva hanya tinggal perpisahan dengan kru QA.
Haris, meski bukan staf QA, dengan tidak tahu diri ikut hadir pada acara tersebut. Ia datang membawa beberapa gelas kopi dan minuman kekinian. Tentu saja tidak ada seorangpun yang tega mengusirnya setelah dirinya membawa minuman-minuman itu, meski Haris sebenarnya tidak diundang.
Haiva yang sebelumnya juga sudah berpamitan kepada Haris, jadi bertanya-tanya kenapa Haris datang lagi ke acara perpisahan tersebut. Tapi tentu saja ia tidak keberatan jika Haris hadir bersama dengan minuman-minuman kekinian itu, sebagai pelengkap makanan yang sudah dibelikan Bu Karin.
Acara perpisahan itu sebenarnya hanya acara ngobrol santai sambil menghabiskan makanan. Demi mengenang masa-masa lembur bersama. Setelah semua makanan habis dan mereka bersiap pulang, Bu Karin menyerahkan sebuah buku kecil. Ketika membukanya, Haiva sontak menangis, karena di tiap halamannya berisi foto-foto dirinya bersama kru Medika Pharma yang lain, baik saat meeting, audit, maupun saat gathering dan jalan-jalan.
"Semoga sukses di kantor baru ya," kata Bu Karin sambil memeluk Haiva saat mereka sudah akan berpisah untuk pulang.
"Jangan dikit-dikit nangis kalau nanti udah jadi bos. Latihan jadi galak dikit ya," pesan Naya sambil memeluknya juga.
"Semoga sukses ya Va," lanjut Yuli, sambil memeluk juga.
Lalu yang terakhir, Bram, "Maaf, gue nggak meluk ya. Dunia farmasi kecil, jadi kita pasti ketemu lagi segera."
Haiva menangis dan tertawa menerima kebaikan semua orang padanya. Rasanya berat sekali meninggalkan orang-orang itu, yang pertama kalinya menerimanya dan mengajarinya di dunia kerja.
Haris tidak ikutan mengucapkan salam perpisahan pada Haiva. Tapi begitu semua orang bubar menuju kendaraannya masing-masing untuk pulang, Haris berkata, "Haiva pulang sama saya."
"Eh?"
Itu bukan kalimat tawaran. Itu kalimat pernyataan. Artinya Haris tidak ingin dibantah.
Haivapun mengangguk dan mengikuti Haris menuju mobilnya. Namun ketika Haiva ingin membuka pintu belakang, Haris mencegahnya.
"Haiva duduk di depan," kata Haris memberi penjelasan.
Biasanya di hari kerja, Haris diantar supirnya, sehingga biasanya saat nebeng, Haiva akan duduk di kursi belakang bersama Haris. Haiva kira kali itu Haris menyuruhnya duduk di depan supaya tidak mengganggu Haris di kursi belakang. Namun ternyata perkiraannya salah.
"Supir Bapak hari ini nggak masuk?" tanya Haiva ketika membuka pintu kiri depan, dan ternyata Haris juga sedang membuka pintu depan di samping kursi pengemudii.
Alih-alih menjawab, Haris hanya bergumam, sambil langsung masuk ke mobilnya.
Kali itu, karena tidak ada supirnya, Haris dan Haiva jadi bisa mengobrol lebih santai dan leluasa. Tapi seperti halnya setiap hal yang dinikmati selalu berlalu dengan lebih cepat, kali itu, anehnya jalanan tidak macet. Padahal itu hari Jumat malam, yang biasanya sangat macet. Haris yang ingin menghabiskan saat-saat terakhirnya lebih lama bersama Haiva, harus kecewa karena mobilnya sampai dengan lebih cepat.
"Saya pasti kangen sama Bapak," kata Haiva ketika mobil Haris sudah tiba di depan kosannya. "Di kantor baru nanti, belum tentu ada bos yang baik seperti Bapak, suka mentraktir anak buahnya, juga mengantar pulang seperti ini."
"Hanya itu yang akan Haiva rindukan?"
Haiva menoleh pada Haris. Pria itu sudah mematikan mesin mobilnya. Haiva juga sudah membuka seat beltnya.
"Saya bakal kangen sama semua hal tentang Bapak. Kebaikan Bapak, teror Bapak, nasehat Bapak, kenyinyiran Bapak, traktiran Bapak... " jawab Haiva.
Haris menatapnya. Bahkan di bawah penerangan lampu jalan yang tidak terlalu terang sehingga wajah Haris tidak terlihat jelas, tapi tatapan lelaki itu tetap mampu membuat Haiva gugup.
Haiva meremas tasnya dengan gugup. Lalu tiba-tiba sebutir air mata jatuh membasahi pipi Haiva.
Haiva buru-buru akan mengeringkan air mata itu, tapi ternyata tangan Haris lebih cekatan. Tanpa Haiva sadari, tangan Haris sudah berlabuh di pipinya, mengusap dan mengeringkan air mata itu.
"Jangan nangis___" kata Haris dengan suara dalam.
Ia mengusap air mata itu hingga kering. Matanya tidak lepas dari mata Haiva. Jantung Haiva berdetak bertalu-talu menerima sikap semanis itu.
Tapi satu menit berlalu dan Haris hanya diam menatapnya. Haiva tetiba sadar, bahwa inilah waktunya, terakhir kalinya ia akan bertemu Haris.
Haiva menggigit bibirnya, meremas tasnya, lalu menguatkan hati dan memberanikan diri.
Dia mengambil tangan Haris yang masih berada di pipinya. Lalu mencium punggung tangan itu, seperti yang biasa dilakukannya. Tapi biasanya setelah itu ia akan mengucap salam dan perpisahan. Kali itu, ia memutuskan untuk mengatakan hal lain.
"Saya suka sama Bapak."
Haris terpaku. Seluruh tubuhnya kaku. Juga dengan lidah dan bibirnya.
Haiva menunduk. Menunggu respon dari Haris. Tapi selang beberapa detik, hanya keheningan yang terasa. Sampai akhirnya terdengar bunyi klakson dari mobil yang berada di belakang mobil Haris. Mobil itu ingin lewat di gang sempit itu, sehingga Haris juga harus buru-buru pergi.
Saat itu Haiva tahu apa yang harus dilakukannya.
"Makasih banyak sudah mengantar saya, Pak____ Selamat tinggal."
Dengan cepat Haiva keluar dari mobil itu. Lalu berlari masuk ke rumah kosnya.
Tidak ada lagi "Sampai jumpa".
Bagi Haiva, cerita tentang Haris memang harus berakhir. Meski tidak pernah dimulai.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top