22. Critical Decision
Episode kali ini dipersembahkan untuk menemani makan siang Kakak2, baik di rumah atau di kantor.
Eets smakelijk!
Sambil makan siang, bisa sambil klik bintang n komen kali ya? Makasih Kakak2.
* * *
"Saya dengar Iva ingin resign."
Kalimat itu tidak terdengar seperti pertanyaan. Artinya orang itu bukan sedang bertanya. Ia sedang mengonfirmasi. Dan nadanya sangat mengintimidasi. Meski sudah sering menghadapi intimidasi seperti ini dari bos besar, tetap saja Haiva gentar. Suasana di dalam ruang kantor Haris tiba-tiba berubah horor. Haiva tidak mengira, mengajukan pengunduran diri bisa semenyeramkan ini.
"Iya, Pak," Haiva menjawab dengan suara yang diusahakan setenang mungkin. "Setelah menghadap Bu Karin tadi pagi, saya sudah kesini untuk menghadap Bapak. Tapi kata Mbak Vani, sekretaris Bapak, Bapak sedang meeting. Maaf saya baru menghadap Bapak sekarang."
Haiva merasa tatapan Haris kali ini lebih intimidatif. Sejak tadi lelaki itu sama sekali tidak memalingkan matanya dari wajah Haiva, bahkan meski Haiva sudah berkali-kali mengalihkan pandangan karena tidak nyaman ditatap seintens itu.
"Iva ke Hans Pharm?" Haris mendapat info itu dari Naya.
"Iya Pak."
"Tapi bukan di QA atau Factory?"
"Kebetulan ada lowongan Section Head di Regulatory, Pak. Disini saya juga bantu menyusun dokumen mutu untuk registraso produk kan. Jadi saya pikir, saya punya basic yang cukup."
"Kenapa Iva resign sekarang?"
"Saya menunggu TGA audit selesai, Pak. Setelah tanggung jawab yang itu beres, baru saya bisa memulai yang lain."
"Bukan itu maksud saya. Kenapa Iva resign sekarang, padahal Iva bisa punya karir yang bagus disini?"
Haiva tersenyum sedih. "Sampai beberapa bulan yang lalu, saya masih berencana untuk meniti karir disini dalam waktu lama, Pak. Saya bahkan sempat berencana melamar posisi Mas Dito saat Mas Dito pindah. Tapi kemudian, seseorang membuat saya sadar bahwa kemampuan saya masih belum cukup, terutama dalam hal people management dan decision making___"
Kontan wajah Haris menegang. "Apa yang Naya sampaikan___"
"Mbak Naya nggak bilang apa-apa, Pak," kata Haiva berusaha menahan sesak di dada ketika mengingat kejadian di sore hari itu lagi. "Saya sendiri dengar Bapak bilang begitu."
Wajah Haris pias. Tapi dia tidak bisa mengelak.
"Iva menguping."
"Saya nggak sengaja mendengar, Pak."
(author's note: Maaf ini author's note di tengah jalan cerita. Cuma mau nunjukin aja, kalau yang seperti ini masuk akal kl disebut "nggak sengaja". Baru-baru kita disuguhi pemberitaan tentang penggunaan istilah "nggak sengaja" yg sangat nggak masuk akal)
"Jadi karena itu Iva memutuskan pergi? Iva marah pada saya?"
Ketika mengingat lagi sikap Iva beberapa bulan yang lalu, kini Haris mengerti. Haiva yang sempat murung dan menghindari dirinya selama hampir 2 minggu, ternyata bukan hanya karena sedang tidak sehat. Tapi kesadaran Haris datang terlambat.
"Saya kecewa dan sedih saat mendengar Bapak bilang begitu. Bapak selalu baik sama saya. Jadi saat mendengar apa yang Bapak pikirkan tentang saya, saya____"
Buru-buru Haris memotong kata-kata Haiva, untuk mengklarifikasi. "Bukan itu maksud saya. Saya___"
Tapi Haiva kembali memotong penjelasan Haris."Saya ngerti, Pak. Saya kecewa dan sedih, tapi saya nggak marah. Saya sadar diri. Kata-kata Bapak benar, saya memang belum pantas berada di posisi yang mengharuskan saya memanage banyak orang, apalagi para operator senior."
Haris mengepalkan tangannya di bawah meja. Menahan diri agar sesuatu tidak meledak di dadanya. Saat ini dia benar-benar menyesali kata-katanya pada Naya waktu itu. Andai dia tidak terlalu kaku pada profesionalitas, andai ia bisa sedikit memberi kesempatan pada Haiva, tentu gadis itu tidak akan memutuskan pergi. Dia hanya ingin memberi waktu Haiva untuk belajar sedikit lebih lama lagi, sehingga nanti kalau dia sudah cukup kuat dan siap, dia bisa memanage orang-orang dengan lebih baik. Tapi dia tidak menyangka bahwa perkataannya justru memicu Haiva untuk mengambil keputusan frontal itu.
"Makanya saya merasa perlu belajar untuk memanage orang lebih baik. Di Hans Pharm, saya akan punya anak buah. Hanya dua orang, dan mereka masih muda. Saya bisa mulai belajar untuk memanage mereka dulu, supaya nanti bisa memanage lebih banyak orang," lanjut Haiva.
Haiva diam sejenak. Suaranya mulai terasa bergetar. Entah menahan tangis, atau gentar karena ditatap intens oleh Haris sejak tadi.
"Padahal selama 2 bulan terakhir, saya melihat banyak kemajuan pada Iva," kata Haris. "Iva berani mengambil keputusan meski keputusan itu tidak disukai orang lain. Iva juga mulai tegas pada para operator. Kalau Iva bisa menunggu sebentar la___"
"Itu bukan saya, Pak," kata Haiva. "Saya melakukan semua itu untuk menunjukkan bahwa jika memang dibutuhkan, saya bisa jadi orang yang sangat tegas. Saya berani melakukan hal itu selama 2 bulan terakhir ini karena saya sudah nggak mempertimbangkan hubungan jangka panjang lagi dengan para operator, toh saya sudah memutuskan untuk segera pindah ke perusahaan lain."
Kalau diingat-ingat lagi, perubahan Haiva memang terjadi sejak setelah Haris menolak saran Naya saat itu.
"Tapi sebenarnya saya nggak merasa nyaman menjadi orang seperti itu, Pak. Dalam 2 bulan, saya berkonflik dengan lebih banyak orang dibanding selama hampir 25 tahun hidup saya," kata Haiva kemudian.
"Saat makin dewasa, Iva tidak bisa terus menghindari konflik dengan orang lain."
"Betul, Pak. Saya juga paham bahwa saya nggak bisa menjadi lebih baik kalau nggak berani keluar dari zona nyaman saya," jawab Haiva. "Makanya saya ingin mencoba lingkungan lain. Sepertinya Regulatory lebih cocok dengan kepribadian saya. Saya tidak harus menjadi polisi seperti di QA. Barangkali di divisi Regulatory, saya bisa pelan-pelan belajar menjadi tegas, sehingga saya bisa berubah menjadi lebih baik tanpa kehilangan diri saya sendiri."
Di industri farmasi, departemen Quality Assurance memang terkenal sebagai polisi, yang harus teliti memantau penerapan CPOB dan harus tegas melaporkan dan menginvestigasi penyimpangan. Makanya dibutuhkan seseorang yang tegas, berani dan mampu mengatasi konflik. Dan nggak semua orang memiliki kepribadian yang cocok untuk bekerja di QA.
Seseorang kalau sudah memutuskan untuk jadi polisi, jaksa atau hakim ya memang harus sudah siap untuk berkonflik dengan banyak orang. Kalau hanya karena khawatir diancam orang, lalu mempermainkan hukum, ya mending nggak usah jadi penegak hukum lah. Jadi politikus aja.
Itulah yang dipikirkan Haiva. Barangkali kepribadiannya bukan jenis kepribadian yang tepat untuk bekerja di bidang itu. Barangkali bidang lain akan lebih cocok dengan kepribadiannya.
Mereka kemudian sama-sama terdiam. Haiva tidak menduga, mengundurkan diri bisa seberat ini. Saat bertemu Mbak Naya dan Bu Karin, beliau berdua memang menanyakan alasannya resign. Tapi kemudian beliau berdua dengan mudah mengijinkan Haiva mencari tantangan baru dan mendoakan kesuksesan Haiva. Tapi entah kenapa saat bicara dengan Pak Haris, rasanya jadi menyesakkan begini.
"Apa tidak ada kemungkinan Haiva membatalkan kepindahan Haiva ke Hans Pharm?" tanya Haris kemudian.
Suaranya rendah. Seperti menahan sesuatu. Tapi juga menuntut sesuatu.
Lalu sekonyong-konyong, sebelum Haiva bisa mencegahnya, air mata Haiva luruh begitu mendengar pertanyaan Haris.
"Maaf ya Pak, saya malah nangis, hahaha," kata Haiva sambil memaksakan tawa. Ia buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Pasti saya anak buah Bapak yang pertama yang nangis pas resign ya Pak? Hehehe. Maaf ya Pak."
Ketika beberapa bulan lalu Haiva mendengar bahwa Haris menolaknya, Haiva rasanya sangat membenci laki-laki itu sampai-sampai berniat pergi dan tidak mau lagi bertemu dengannya. Tapi ketika sekarang perpisahan di depan mata, Haiva malah merasa sangat sedih.
Dasar labil!, Haiva memaki dirinya sendiri.
Di sisi lain, Haris dengan kaku menyerahkan kotak tissu di mejanya kepada Haiva. Ia tidak menjawab pertanyaan Haiva. Dirinya sendiri sedang sekuat tenaga menahan diri agar tidak secara frontal berjalan menghampiri dan memeluk gadis yang sedang menangis di hadapannya itu.
"Makasih banyak ya Pak," kata Haiva, setelah air matanya berhenti, "Selama saya disini, saya belajar banyak dari Bapak. Maaf, saya masih banyak kekurangan dalam bekerja. Karena kata-kata Bapak kemarin, saya juga jadi termotivasi untuk memaksa diri keluar dari zona nyaman dan berusaha menjadi lebih baik. Akhirnya saya tahu bahwa saya mampu, meski perlu banyak diasah kembali. Makasih banyak Pak."
Ironisnya, Haris justru menyesal untuk hal yang membuat Haiva berterima kasih. Harusnya dia tidak berkata seperti itu sehingga gadis itu tidak termotivasi untuk pergi.
"Haiva sudah tandatangan kontrak di Hans Pharm?" tanya Haris akhirnya. "Berapa penalty yang harus dibayar jika Iva ingin membatalkan kontrak? Saat ini saya tidak bisa menawarkan posisi yang lebih tinggi di sini karena tidak ada posisi yang kosong. Tapi begitu ada kesempatan lagi nanti, saya pasti akan merekomendasikan Iva. Atau Iva minta kenaikan gaji?"
Haiva mengangkat kepalanya dan menatap bosnya dengan heran. Apa itu yang barusan? Apakah barusan Pak Haris sedang berusaha menahannya untuk tetap di Medika Farma? Sampai-sampai beliau menawarkan penggantian biaya penalty dan kenaikan gaji? Tapi kenapa?
"Kenapa Pak?" akhirnya Haiva menyuarakan keheranannya, "Apa saya seberharga itu untuk mendapat semua penawaran itu?"
Bagi saya, kamu seberharga itu.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top