15. Terluka
Sejak menerima undangan pernikahan Arya dua minggu lalu, entah berapa kali Haiva sudah berubah pikiran tentang apa yang akan dilakukannya. Sampai sehari sebelum hari pernikahan Arya, Haiva belum memutuskan akan hadir atau tidak. Hadir atau tidak hadir, hatinya sudah terlanjur patah. Tapi kalau dirinya tidak hadir, barangkali Arya akan curiga. Apalagi karena calon istri Arya adalah teman sekelas Haiva. Tidak mungkin Haiva tidak hadir pada pernikahan teman sekelasnya kan?
Haiva sempat terpikir untuk meminta bantuan Randu untuk menemaninya kondangan. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, tindakan seperti itu hanya akan memperjelas statusnya sebagai pecundang pengecut. Dia tidak butuh ditemani orang lain hanya supaya terlihat baik-baik saja.
Maka pagi itu, ketika bangun tidur di hari Sabtu, tepat di hari pernikahan Arya, akhirnya Haiva memutuskan untuk tidak menjadi pengecut. Lima jam kemudian ia sudah siap dengan dress abu-abunya.
Haiva baru saja akan memesan taksi online ketika tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
Duh Gusti! Apaan sih, hari Sabtu gini telpon. Perasaan gue nggak enak. Pasti mau dikasih kerjaan nih, pikir Haiva ketika melihat nama Haris tertera di layar.
"Assalamualaikum Pak," kata Haiva, menjawab panggilan telepon dari Haris.
"Waalaikumsalam. Haiva dimana?"
Tuh kan, to the point banget. Pasti mau nyuruh sesuatu. Ah ngeles aja ah.
"Di kosan, Pak. Tapi ini saya udah mau pergi. Ada kerjaan apa Pak? Deadlinenya kapan? Saya kerjain kalau saya udah pulang, nggak apa-apa kan Pak? Ga harus sekarang kan?"
Ini trik! Sebelum dikasih kerjaan, harus ngeluh sibuk duluan. Sebelum dimarahin karena telat ngantor, harus ngeluh macet duluan.
"Memangnya saya hanya telepon Iva kalau mau ngasih kerjaan saja?" tanya Haris.
Emang, jawab Haiva dalam hati. Sejauh ingatan Haiva, si bos memang hanya menghubunginya kalau mau ngasih kerjaan.
"Lho? Jadi kenapa Bapak telpon saya kalau bukan mau ngasih kerjaan?"
"Saya mau ngajak Iva makan siang."
Jedyar!!! Bagai mendengar petir di siang bolong, Haiva merasa sudah salah mendengar.
"Gimana Pak?"
"Saya dapat voucher diskon makan dari restoran kenalan saya. Batas waktunya hari ini. Sayang kalau tidak dipakai."
"Yaahhh, tapi saya udah mau pergi ini, Pak," jawab Haiva, menyayangkan kesempatan yang dilewatkannya.
"Bagus kalau begitu. Kebetulan saya sudah di depan kosan Haiv____"
"HAH?!!!" Belum juga Haris menyelesaikan kalimatnya, Haiva sudah berteriak histeris.
"Jangan berteriak di telinga saya, Iva!" Dari nada suaranya, Haris terdengar kesal.
"Eh, maaf, Pak. Saya kaget. Abis Bapak bercandanya aneh."
"Siapa yang bilang saya bercanda? Cepat keluar! Sebelum mobil saya diklakson mobil lain."
Panik karena buru-buru disuruh keluar, tapi juga ragu bahwa Pak Bos benar-benar menunggunya di depan kosan, Haiva menyambar tas tangannya dan memakai flat shoesnya dengan cepat.
Di depan pagar kosannya, dia baru percaya bahwa Haris memang sudah di sana ketika melihat mobil Haris benar terparkir di sana.
***
Haris menurunkan kaca di pintu mobilnya begitu melihat Haiva keluar dari pagar kosan dan melangkah mendekati mobilnya.
Seringnya ia melihat Haiva dengan blouse dan celana panjang saat di kantor. Seingatnya ini pertama kalinya Haris melihat Haiva menggunakan dress atau rok. Dan bagi Haris, hari itu Haiva terlihat cantik bahkan hanya dengan dress dan dandanan sederhana.
Ya kira-kira begini dress-nya Haiva. Tapi ini si bukan cast nya Haiva ya. Jadi bayangin aja cast-nya Haiva pakai baju kayak gini hehehe.
"Bapak serius?! Kirain Bapak bercanda," Haiva menyambut Haris dengan ekspresi kaget. Dia bahkan tidak berbasa-basi menyapa dengan sopan. Meski demikian, ia mengulurkan tangannya ketika menunduk ke arah jendela mobil.
Haris menyambut uluran tangan Haiva, dan Haiva mencium tangan Haris, seperti kebiasannya selama 2 tahun ini.
"Pak, maaf saya nggak bisa ikut Bapak," kata Haiva kemudian. "Saya juga mau pergi."
"Saya bisa antar Iva, kalau begitu."
"Saya mau kondangan, Bapak."
"Kalau begitu jangan makan terlalu banyak saat kondangan. Setelah itu temani saya makan."
"Tapi, Pak___"
Suara klakson mobil di belakang mobil Haris mengagetkan mereka berdua. Gang di depan kosan Haiva memang tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk 1 mobil dan 1 motor. Jika ada 2 mobil yang akan lewat, maka salah satu harus mengalah.
"Cepat naik dulu!" perintah Haris dengan tegas dan cepat.
Klakson mobil yang dibunyikan sekali lagi oleh pengemudi mobil di belakang mobil Haris membuat Haiva tidak punya pilihan lain selain masuk ke mobil Haris. Dengan cepat ia memutari bagian depan mobil, lalu membuka pintu mobil di samping kursi pengemudi.
"Supir Bapak tiap weekend libur ya?" tanya Haiva sambil memasang sabuk pengaman.
"Karyawan bekerja 5 hari seminggu, Iva. Masa supir tidak boleh libur," jawab Haris sambil segera melajukan mobilnya.
"Wah, nasib supir Bapak lebih baik daripada saya. Saya aja sering harus lembur di rumah meski hari Minggu."
"Curhat kamu?"
Haiva manyun.
Ini kedua kalinya Haiva hanya berduaan dengan si bos di mobil. Meski bukan pertama kalinya, tetap saja terasa sungkan hanya berduaan seperti itu.
"Jadi Iva kondangan kemana?" tanya Haris.
"Bapak! Serius ih! Saya turun di sini aja Pak. Saya kesana sendiri aja. Maaf, saya nggak bisa makan siang bareng Bapak."
"Jawab saja! Dimana alamatnya?"
Dengan terpaksa Haiva menyebutkan nama gedung di daerah Jalarta Selatan yang biasa digunakan untuk acara pernikahan. Harispun segera memasukkan alamat gedung tersebut ke GPSnya.
"Kenapa Bapak nggak bilang sebelumnya bahwa Bapak mau ngajak makan hari ini?" tanya Haiva.
"Hmm?"
"Kalau Bapak bilang sebelumnya, kan saya bisa bilang bahwa saya ada kondangan. Jadi Bapak bisa ajak yang lain."
"Ajak siapa misalnya?"
"Mbak Naya, misalnya." Mbak Naya adalah salah satu anak buah kesayangan Pak Haris karena dia selalu bisa diandalkan.
"Ngapain saya ngajak istri orang makan siang?"
"Ya ajak suaminya mbak Naya juga Pak."
"Voucher diskonnya hanya untuk 2 orang."
Haiva manyun lagi. Alasan Pak Haris sangat mengada-ngada. Memangnya semahal apa makanan di restoran itu sampai Pak Haris merasa keberatan kalau harus mentraktir 1 orang lagi.
"Jadi hanya karena saya satu-satunya yang jomlo, saya yang jadi korban?" tanya Haiva.
"Iva sedang merasa sebagai korban?"
"Bukan gitu Pak," jawab Haiva buru-buru, sebelum bosnya tersinggung. "Tapi kan saya kaget. Lagian____"
"Jangan marah-marah terus. Nanti make-up nya luntur," potong Haris cepat.
"Yang bikin make-up luntur itu air, Pak. Emangnya marah-marah bikin wajah berair?"
"Bikin berkeringat," jawab Haris asal.
"Lagian saya nggak marah."
"Tapi wajahnya ditekuk. Seperti kabel kepanjangan."
"Hah?"
Meski sudah 2 tahun lebih berinteraksi dengan Haris, Haiva masih sering tidak paham dengan lelucon yang dikatakan Haris. Bukannya benar-benar nggak paham sih, hanya saja Haiva tidak paham dimana letak lucunya, sehingga Haiva bingung harus tertawa atau tidak. Beda jaman, beda gaya jokes kayaknya.
Hanya demi sopan santun, demi menghormati si bos yang sudah berusaha melawak saja, jadinya Haiva tertawa terpaksa.
"Nah, kalau ketawa gitu kan cantik," kata Haris ketika melihat Haiva tertawa.
Sontak wajah Haiva memanas. Salah tingkah.
Barusan si Bapak bilang apa? Gue cantik? Wah! Wah! Kalau HFC yang lain tahu bahwa si Bapak bilang gue cantik, bisa dibully gue.
Takut-takut Haiva melirik pada Haris. Lelaki itu tetap berkonsentrasi pada jalanan di hadapannya. Wajahnya biasa saja, seolah dia baru saja mengatakan sesuatu yang normal. Meski bagi Haiva efeknya tidak normal.
Kok bisa sih tampangnya tetep cool gitu, padahal habis bikin jantung gue tachicardi? Itu tampangnya bisa nggak sih biasa aja gantengnya?
* * *
"Iva nanti makannya jangan banyak-banyak ya!" perintah Haris sambil melirik Haiva.
GPS di mobil Haris menunjukkan bahwa dalam waktu 5 menit mereka akan sampai di gedung tempat resepsi pernikahan Arya.
"Supaya masih bisa menghabiskan makanan di restoran?"
Haris mengangguk, meski tidak menoleh pada Haiva. "Lagipula, kalau Iva kebanyakan makan, nanti terlalu lama di dalam. Saya bisa mati bosan menunggu di tempat parkir."
Haiva melirik Haris yang masih fokus menyetir.
"Lho? Bapak ikut masuk juga kan?"
"Nanti saya tunggu di luar saja."
"Kenapa? Baju Bapak udah keren kok untuk kondangan."
Saat Haris berkeras mengantarnya kondangan tadi, Haiva mengira bahwa Haris juga akan ikut menemaninya masuk ke gedung resepsi. Pakaian yang dikenakan Haris saat itupun sangat pantas untuk datang ke acara resepsi pernikahan. Jadi apa alasannya Haris memilih menunggu di parkiran?
"Saya tidak suka datang ke acara pernikahan."
"Kenapa?"
"Tidak suka saja."
"Kalau gitu kenapa mau mengantar saya?"
"Karena setelah itu Iva harus menemani saya."
"Buat apa mengantar saya kalau nggak ikut masuk?" Haiva terus menuntut.
"Pokoknya saya menunggu di parkiran."
"Kalau tahu begitu, saya nggak akan mau diantar Bapak."
"Jadi Iva tidak mau menemani saya makan siang?"
"Ya bukan begitu, Pak. Tapi kan saya merasa nggak enak. Masa Bapak udah jemput dan antar saya kesini, tapi cuma nunggu di tempat parkir."
Haris cuma tertawa. Tapi Haiva merasa tidak ada yang lucu. Tiba-tiba hatinya merasa perih.
"Bapak malu kalau terlihat bersama saya di depan banyak orang?" akhirnya Haiva melontarkan pertanyaan yang ditahannya sejak tadi. Hanya itu alasan yang masuk akal, mengapa Haris tidak ingin ikut masuk ke gedung resepsi itu.
Pertanyaan itu ditanyakan tepat saat mobil Haris berhenti di depan gedung tempat resepsi pernikahan Arya berlangsung.
Haris menoleh dan menatap Haiva. Meski tidak ingin mendengar jawaban yang pasti akan menyakiti hatinya, Haiva menunggu. Tapi Haris tidak juga menjawab sampai terdengar klakson mobil di belakang mobil Haris yang juga ingin drop-off penumpang di lobby.
Dengan kerlingan matanya, Haris menyuruh Haiva turun dari mobilnya.
"Telepon saya kalau Iva sudah selesai. Saya jemput Iva disini lagi. Oke? Ingat, jangan makan banyak-banyak."
Haiva menatap dengan tatapan terluka.
"Iva akan baik-baik saja di dalam sana, tanpa saya," kata Haris. Lalu ia membelai rambut Haiva hati-hati agar tidak merusak tatanan rambut Haiva.
Bagi Haiva, itu hanyalah jawaban melarikan diri. Jika memang Haris tidak ingin terlihat bersama Haiva, Haris harusnya tidak perlu bersikap baik, mengantarnya dan mengajaknya makan bersama.
* * *
Fun fact #6: kejadian antar-jemput kondangan tapi yg nganter nggak turun dr mobil, adl kejadian nyata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top