Tujuh
Fakir Kuota.
Sore ini gerimis tipis. Di parkiran ruko, abang-abangan gondrong turun dari motornya, terus lari-lari kecil dan hampir kepeleset, tapi ga jadi. Dia masuk ke dalam Mantra Coffee. Bajunya agak lepek, rambutnya juga agak basah kayak model shampo, lagian kagak pake helm.
"Selamat datang di Mantra Coffee," sapa Dirga.
Si gondrong berjalan santai ke arah Dirga. "Bang di mari wifinya apaan dah?"
Dirga senyum. "Di sini ga pake wifi, Mas."
"Oh." Cowok gondrong itu, sekarang lagi asik bacain menu di atas meja kasir. "Passwordnya?"
"Mas, kayaknya lobang kupingnya ketutupan rambut dah," balas Dirga.
"Saya ga pelihara kuping, Mas, ribet soalnya. Perawatannya mahal, makannya lebih mahal daripada saya. Tapi tergantung ras sih. Kalo kuping anggora atau kuping persia, jelas lebih mahal ketimbang kuping kampung."
Dirga ketawa hambar. "Itu kucing, Mas. Saya liat-liat, Mas lucu juga ya, kayak tetangga saya, namanya Pak Andis."
Si gondrong itu ketawa, abis itu jalan ke kursi di deket jendela. Dia naro ranselnya yang udah lepek di lantai, terus mulai ngebongkar isinya, dari mulai kertas-kertas kusut, buku catetan dekil, sampe laptop tua yang kabel chargerannya dililit lakban item. Dirga ngelirik sekilas dari balik bar, nahan ketawa. Di mata Dirga, daripada mahasiswa, itu orang lebih kelihatan kayak guru Kung-fu.
"Bang, numpang cas laptop boleh kagak?" tanya si gondrong tiba-tiba, matanya nyorot ke arah colokan di pojok meja.
Dirga ngangguk. "Boleh aja, Mas."
Si gondrong buru-buru nyolokin laptopnya, soalnya itu laptop kalo ga dicas, ga bisa nyala. Pas dicolok, ada percikan api keluar. "Astagfirullah! Nyetrum dikit ga ngaruh."
Ngeliat tingkah-tingkah binal itu orang, bawaannya si Dirga terangsang mulu mau ngakak. Tapi dia tahan tuh sekuat tenaga, biar ketawanya ga keluar.
Beberapa menit kemudian, si gondrong angkat kepala. "Bang," panggilnya ke Dirga.
Dirga noleh. "Kenapa, Mas?"
Si gondrong ngebawa buku catetannya ke bar. "Gini, Bang. Gua boleh minta tolong kagak? Skripsi gua nih ... udah di ujung tanduk."
Dirga nyender ke meja bar, matanya menyipit. "Emang dari jurusan apa, Mas?"
"Sejarah," jawab si gondrong, sambil naro bukunya di atas bar. "Sebelum gua yang jadi bagian dari sejarah di kampus gua. Tahun ini gua harus lulus, kalo ga lulus di semester ini, di DO."
"Serius, Mas?" tanya Dirga.
"Serius, makanya lu bantuin gua."
"Mas udah semester berapa emangnya?" tanya Dirga lagi.
Si gondrong ngelus jidat. "Udah lebih dari cukup dah pokoknya, Bang. Gua buntu banget. Bisa bantuin ga?"
Dirga keluar dari bar dan jalan di belakang si gondrong ke laptop itu orang. Dirga ngeliatin layar laptop tua di depannya, yang bunyi kipasnya udah kayak pesawat mau lepas landas.
"Mas siapa namanya?" tanya Dirga.
"Sadri," jawab si gondrong.
"Mas Sadri, jangan panggil gua 'bang'. Gua masih mahasiswa semester akhir," kata Dirga.
"Lah, ngapa? Kan sama."
"Kalo lu mah—mahasiswa akhir zaman, Mas," balas Dirga sambil terkekeh.
Sadri ikut ketawa sambil nutup bukunya. "Yaelah, Bang. Jangan gitu dong. Gua serius butuh bimbingan nih. Tanggung jawab lah, Bang, kan di warkop lu ga ada wifi. Seenggaknya, adainlah fitur penggantinya, buat orang-orang kayak gua."
Dirga geleng-geleng kepala, tapi akhirnya sepakat buat bantuin si Sadri. Dalam hati dia mikir, 'ini gua kayak lagi ikutan proyek pelestarian makhluk purbakala, tapi ya udahlah, selagi dia—eh bentar, si kunyuk belom pesen minuman.'
"Ya tapi lu beneran kagak beli apa-apaan nih, Mas?" sindir Dirga.
Sadri nyengir. "Oh iya, lupa. Americano dah, double shot. Jangan pake kiper."
"Kalo pake kiper, nanti shot-nya ga gol?" tanya Dirga yang connect sama jokes si Sadri.
Lonceng di pintu bunyi, tanda ada orang masuk. Andis baru aja pulang dari kampusnya. Abis naro jas ujan di depan toko, dia langsung masuk ke dalem. Si jenaka itu liat Dirga lagi ngobrol bareng cowok gondrong yang mukanya lebih dewasa.
Andis tiba-tiba aja berdiri di sebelah Sadri dan ngajak si gondrong itu salaman. Sadri yang bingung langsung jabanin dah tuh salaman sama si Andis. Begitu tangan mereka ketemu, si Andis langsung cium tangan.
Sadri yang bingung—iya, kaget—iya, jijik—iya, langsung narik tangannya. "Eh, apaan nih?"
"Lagi bantuin Dirga bimbingan ya, Pak Dosen?" tanya Andis.
Di kiranya si Dirga lagi bimbingan skripsi dan ngajak dosen pembimbingnya ke Mantra buat ngejilat pake gratifikasi kopi gratis.
.
.
.
Berat.
Petikan gitar santai dari Bung Tama jadi instrumen pengiring Mantra Coffee malam ini, bikin suasana agak deep. Di sudut panggung kecil, berdiri seorang pria gondrong dengan rambut diikat. Itu si Beryl. Sesosok pujangga yang sering muncul di acara open mic dengan puisi-puisi yang bikin orang jadi mikir keras abis dengernya.
"Kita ini aktor di atas panggung fana, bermain peran dalam naskah tak tertulis. Dialog ditulis oleh waktu yang tak peduli, dan tirai ditutup tanpa permisi," ucap Beryl pake nada orang baca puisi.
"Topeng-topeng kita penuh warna, tapi siapa tahu warna asli di dalamnya? Di mana batas nyata dan sandiwara, jika segalanya adalah cerita reka?"
"Hidup ini ambigu, berdiri di antara keindahan dan ilusi. Cahaya panggung gemerlap, namun bayangannya lebih pekat dari hitam. Ketika tepuk tangan berhenti, apa yang tersisa dari diri ini?"
"Namun, panggung ini milik kita, sekalipun naskahnya tak pernah diminta. Mungkin, bukan tentang memahami cerita, tapi soal keberanian untuk terus memainkannya."
"Saat tirai perlahan menutup mata, dan tepuk tangan sirna di udara, yang tersisa hanyalah gema jiwa. Bercerita tentang kita, tanpa sandiwara."
Beryl berhenti, nunduk sebentar buat penghormatan ke pelanggan di dalam kafe, yang entah dengerin, entah kagak. Iketan ramubtnya dicabut. Rambut gondrongnya, digerai ke belakang. Penonton yang biasanya cuek, sekarang tetep cuek, tapi kelihatan kayak lagi mikir semua. Diem, larut ke dalam kata-kata si Beryl.
Dirga diri di belakang bar, matanya nyorot ke arah si Beryl, yang emang punya gaya bahasa mantep. Agak delay emang, tapi tepuk tangan langsung membanjiri ruangan Mantra. Beryl membungkuk pelan sebagai bentuk penghormatan, terus turun dari panggung sambil senyum.
Pas dia balik ke bar, Dirga nyodorin segelas kopi gratis. "Nih, buat penyair kesayangan kita."
Beryl ngangguk sopan ala-ala orang Jawa. "Matur nuwun, Mas. Saya hargai ini."
Dirga juga nyelipin amplop kecil di bawah gelas kopinya. "Buat beli rokok, Mas Beryl."
Beryl ketawa tipis. "Ah, baik sekali kau, wahai penjaga kedai."
Mereka akhirnya duduk di salah satu meja pojok Mantra. Beryl niup pelan kopinya sebelum nyeruput, terus liatin Dirga pake tatapan tajem setajem silet. "Apa pendapat, Mas, tentang puisi tadi?" tanyanya, memulai obrolan.
Dirga nyandar di kursi, garuk-garuk kepala. "Berat, berat, berat."
Beryl senyum tipis. "Puisi tadi makananya adalah, bahwa hidup kita semua itu ibarat panggung sandiwara. Kita bermain peran, sampai terkadang, atau bahkan terbiasa lupa sama sejatinya kita sendiri."
Dirga manggut-manggut. "Jadi maksudnya, apa yang kita tunjukin sehari-hari itu bohong semua?"
Beryl menghela napas, suaranya tenang. "Ga semuanya itu kebohongan, Mas. Tapi sering kali, kita tersesat dalam peran yang kita ciptakan sendiri. Saat tirai panggung ditutup, kita harus bertanya, siapa diri kita tanpa peran-peran itu? Apakah kita masih diri kita sendiri?"
Dirga diem, nyeruput kopi punya dia sendiri, sambil mikir. "Jadi, menurut lu, gimana caranya kita tau siapa sejatinya kita?"
Beryl senyum lagi, sekarang lebih lebar. "Mungkin dengan berhenti mencari jawaban di luar. Sebab, makna itu tidak ditemukan, Mas. Dia diciptakan."
Dirga termenung beberapa detik sebelum akhirnya ketawa kecil. "Kalo ngobrol sama lu nih ya, bawaannya berasa dosen filsafat lagi nge-briefing mahasiswa tingkat akhir. Vibesnya kayak lagi ngobrol sama Socrates."
Beryl ikut tertawa tipis. "Intinya ada kopi gratis buat ngobrol. Itu. Sebab, saya belajar banyak dari kopi, Mas Dirga. Kopi tuh jujur. Kalo pahit, ya pahit, kalo manis, ya manis. Minuman yang ga pernah munafik sama lidah."
Setelah perbincangan malam hari ini dengan filsuf seharga americano itu, hidup Dirga berubah. Perkara liatin panci di dapur aja, dia mikir.
'Panci ini pun—mungkin, bagian dari panggung fana. Dan aku, hanyalah aktor yang tersesat, tak memahami dialog para perkakas yang diam-diam menyimpan cerita. Mungkin mereka marah saat ku bakar, tapi bertahan untuk tidak teriak.'
.
.
.
Bersamvung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top