Satu

Aurat.

Toko kopi yang bernama Mantra Coffee ini letaknya di Ruko Casa Grande, Maguwoharjo, Yogyakarta. Cuma toko kopi kecil biasa, punyanya empat mahasiswa perantauan Jakarta.

Yang pertama namanya Dirga, dia itu bosnya di sini. Wajar, duitnya banyak, jadi dia ga mau ngekos dan milih buka toko kopi sendiri, sekaligus jadi tempat tinggal di lantai dua. Hmmm ... biar hemat, sekalian mandiri.

Dirga ga sendirian, dia bawa tiga temen sedari kecilnya buat jadi barista di Mantra Coffee. Sebut aja Andis si cowok jenaka bertopi beanie, Tama si ganteng pendiem, sama Ajay si paling anjay.

Selain keempat manusia itu, ada juga Mas Abet sama Mila, yang jadi pegawai eksternal buat bantuin jaga toko. Wajar, bocah-bocah yang punya tokonya kan kerja sambil kuliah, jadi sesekali jadwalnya bentrok sama shift jaga.

Mas Abet ini orangnya serem, tatonya banyak. Tapi biar pun gitu, dia jago banget nyeduh kopi dan buat latte art. Di luar penampakannya yang garang, sebetulnya Mas Abet baik kok. Oh iya, sebetulnya juga dia ga tua-tua banget, tapi mukanya agak boros, jadi dipanggilnya pake 'Mas' biar tersinggung.

Terus ada Mila, pegawai paling cantik dan aduhay di Mantra Coffee. Body-nya itu loh baaahhhh, yahud pisan! Mila ini asli Bandung, jadi maklumin aja kalo di toko kopi ini dia sering nge-teh.

Noh, orangnya baru dateng jam segini, hadeh Mila, Mila.

"Maaf, Mila teh telat gara-gara kesiangan," ucap Mila lembut.

Kan! Baru dibilangin udah nge-teh aja si Mila, hadeh. For Your Information, Mila ini cuma part time buat ngisi waktu luang, soalnya dia mahasiswi tingkat akhir di Atmajaya.

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu bunyi, tanda kalo ada pelanggan yang nongol. Para anggota organisasi hitam itu langsung menyambut pelanggan yang datang. Enggak usah dipikirin kenapa disebut anggota organisasi hitam, tapi kalo maksa ya udah deh, karena semua kopi itu base-nya espresso, jadinya item kan? Hehehe cukurukuk kukruuu.

"Selamat datang di Mantra Coffee," sapa semua punggawa Mantra.

Seorang cewek berkacamata hitam dateng dan langsung ke depan bar buat liat menu. Di balik Bar ada si Tama yang ganteng abieezzz. Tama ini ekspresinya datar, tapi memikat kaum hawa. Dia selalu gunain sarung tangan hitam di kedua tanganyna, jadi terkesan misterius.

"Mau pesen menu apa?" tanya Tama dengan suara beratnya. Sebetulnya dia pendiem dan hemat ngomong, ga jarang cuma ngebales omongan orang pake gestur badan, tapi udah jadi SOP Mantra buat nanya kalo ada pelanggan yang dateng, jadi kepaksa deh dia ngeluarin suaranya yang aurat itu.

Si cewek mendongak karena suara berat Tama yang terdengar sexew. Sepersekian detik, dia mematung. "Menu-nggumu, Mas," ucapnya.

"Ga ada menunya," balas Tama singkat dengan ekspresi datar.

"Oh, sorry. Kalo gitu menu-mpang hidup denganmu aja."

"Ga ada juga," balas Tama. "Di sini jualnya kopi, Mbak."

"Boleh deh kopinya satu," tutur si Mbak.

"Kopi apa?" tanya Tama dengan intonasi yang tenang seperti air mengalir. Aroma jigongnya teduh bagai angin yang menderu membelai mesra, anjayyy.

Si cewek ini membuka kacamata hitamnya sambil menatap Tama ga berkedip, sampe matanya merah-merah iritasi sama beraer-aer netes. Sakinggg ... mantepnya muka si Tama.

"Kopi-nang aku dengan bismillah, Mas."

Andis, Ajay, dan Dirga sibuk nontonin aja di pojok toko sambil taruhan.

"Mati sih gua rasa," ucap Andis.

"Ga kedip berapa lama tuh orang?" tanya Ajay. "Gua rasa sih bola matanya cair bentar lagi, jadi sipit tuh orang."

Dirga tampak berpikir. "Paling sekalinya kedip ketiduran saking capeknya."

Di sisi lain Tama masih melayani pelanggan itu dengan sabar, sementara antrean mulai panjang sampai ke sebrang Ring Road.

Singkat cerita pelanggan tadi bener ketiduran kayak jawaban Dirga. Dia lebih milih terjebak di alam mimpi biar bisa lama-lama sama Tama daripada ngelawan realita.

Pelanggan kedua pun maju, seorang mahasiswi berhijab yang lumayan cantik. Ia dan tama bertatapan.

"Mau pesen menu apa?" tanya Tama.

"Menu-mbuhkan kasih sayang, Mas."

"Ga ada," jawab Tama ketus.

Sisi ketus Tama itulah yang menjadi tantangan tersendiri untuk para gadis. Bukannya alon-alon mundur, si cewek hijab ini makin bersemangat.

"Oke, kalo gitu aku mau yang ...." Dia tampak sedang berpikir.

Tama memicing. "Yang?"

Dia langsung nyamber ngeliatin muka Tama. "Apa, Yang?"

"Boleh, boleh." Andis, Ajay, dan Dirga bertepuk tangan.

Ini sebenernya toko kopi apa take me out sih? Woy elah.

Tapi santai dulu ga sih? Soalnya abis si pelanggan cewek tadi kelar, sekarang pelanggannya cowok.

"Mau pesen menu apa?" tanya Tama.

"Menu-a bersamamu," jawabnya.

MALU SAMA KUMIS WOY! Ckckckck sama aja. Ya gitu dah kalo Tama yang jaga. Makanya sejak kejadian itu dia ditaro di belakang buat pure jadi barista aja. Tama enggak boleh keluar kandang, karena berbahaya kalo ditaro di garda depan. Auratnya banyak.

.

.

.

Penikmat senyum.

Besoknya Andis yang jaga di depan gantiin Tama. Meskipun dia jauh dari kata ganteng, tapi sifatnya lucu. Itu sih yang bikin orang demen. Gampang akrabnya, tapi sulit lebih dari akrab. Makanya selama ini dia jomblo dan belum pernah punya pacar, tipikal badut tongkrongan dah.

Lonceng di pintu berbunyi, tanda pelanggan nongol. Seorang gadis masuk dan berjalan sampai di depan Andis. Dia enggak baca menu, tapi langsung blak-blakan nanya.

"Menu signature di sini apa?"

Andis senyum. "Sebetulnya kalo ditanya gitu, setiap barista di sini punya jawaban masing-masing, Kak, karena setiap lidah punya presepsi. Beda lidah, beda rasa. Tapi kalo saya yang ditanya, signature versi saya ada di ramuan cinta, Kak."

Gadis itu memicing. "Sorry?"

Andis mengambil menu dan menunjuk satu menu bernama Love Elixir.

"Jadi dia tuh Coldbrew yang disempurnakan dengan syrup strawberry, Kak. Perpaduannya cukup unik, tapi memikat. Mau coba?"

"Boleh, tapi kalo ga enak gimana? Signature loh ini," balas si gadis.

"Kalo ga enak?" Lagi-lagi Andis terseyum, mukanya emang ramah parah sih. "Bawa saya pulang."

Gadis itu tersenyum sampe-sampe deretan giginya keliatan. Manis deh, sampe ga bisa berpaling dari senyumnya tuh si Andis.

"Mending saya beli air putih biar aman," balas gadis itu.

"Air putih di sini juga signature loh, Kak. Jernih deh, bening gitu kayak Kakaknya." Et alah, malah gombal si Andis.

Gadis itu lagi-lagi dibuat tersenyum, sayang senyumnya bukan buat Andis hiyahiyahiya. Bedain pembuat sama pemilik ya, men-temen.

Singkat cerita, gadis itu pergi memilih meja kosong dan duduk di sana sambil buka laptop. Au dah dia ngapain, tapi keliatan sok sibuk gitu.

Sedari dia dateng, sampe detik ini, Andis ga bisa lepas dari pesonanya. Dia suka senyum gadis tadi, soalnya manis.

Tapi yaaaa ... Andis cuma berani liat cewek itu dari jauh.

Ga lama berselang, dateng lagi pelanggan cowok. Dia jalan aja ngelengos kagak pesen apa-apa, dan main duduk di bangku samping gadis tadi.

'Aishhhh shibal saekki!' Jerit hati Andis.

Mereka tampak akrab dan itu bikin Andis cemburu.

Tama dateng dan ngasih menu yang baru aja dia beresin ke Andis, buat dibawa ke pelanggan tadi. Perjalanan Tama cukup sampai di situ, karena dia ga boleh keluar dari dapur. Tapi sayangnya, yang awalnya berbunga-bunga, sekarang malah berguguran. Andis justru berharap dia bukan orang yang dateng buat bawain menu si mbak manis tadi.

Andis menghela napas panjang. Dia coba bersikap profesional dan bawain itu menu ke pemiliknya.

"Love elixir-nya, Kak," ucap Andis dengan senyum palsu. Dia letakin itu cangkirnya pelan-pelan.

"Makasih," balas si gadis.

Ya udah lah ya, namanya juga hidup ini adalah perjalanan yang ga melulu mulus. Kadang di rumah, kadang diusir. Ga apa-apa kecewa, toh, kita ga harus memiliki sesuatu biar dapet kebahagiaan. Sometimes ... menjadi penikmat senyum aja udah cukup.

.

.

.

Bersamvung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top