Enam
Suasana Hujan.
Kandungan hujan terdiri dari 99% kenangan dan 1% air. Buktinya, Dirga lagi bergeming di sudut ruang Mantra, menatap keluar jendela dalam lamunan.
Dirga emang ga seganteng Tama, tapi punya daya tarik tersendiri. Khususnya buat gadis yang lagi duduk sambil megangin daftar menu. Sering kali dia ngelirik ke arah Dirga. Entah penasaran, atau kecanduan, ga tau lagi dah.
"Mil, diliatin terus, nih mending kasih gih." Andis memberikannya segelas mokacino panas.
"Hah? Kok aku?" kata Mila heran.
"Kita semua sibuk." Andis tersenyum, terus jalan ke meja kasir, lalu sepik-sepik menghitung uang. Ajay tampak sedang membaca buku, tapi kebalik, dan Tama lagi ngelapin gelas-gelas kaca yang sebetulnya udah bersih mengkilap.
Ga punya pilihan, Mila ngambil gelas itu dan memberikannya ke Dirga.
Kedatangan Mila membuyarkan lamunan Dirga. Pria itu menatap gelas yang Mila berikan. "Apa nih?"
"Buat kamu," ucap Mila. "Kandungan coklat itu bisa nenangin dan ngurangin keresahan yang timbul dari efek kafein kopi. Biar semangat dikasih kopi, tapi ngejaga biar tetep rileks pake coklat. Mokacino."
Dirga tersenyum. "Makasih, ya."
Mila membalas senyuman itu dan membalik tubuhnya, tapi pas baru aja muter badan, tangannya ditarik Dirga. "Mau ke mana? Tanggung jawab. Temenin sampe mokacinonya abis."
'Yaudah deh kalo maksa.' Batin Mila yang berpasrah diri. "Oke." Dia duduk di sebrang meja Dirga sambil sesekali ngelirik Dirga yang lagi-lagi ngelamun.
"Ga diminum mokacinonya?" tanya Mila heran, waktu ngeliat Dirga yang masih aja ngelamun dan ga kunjung nyentuh gelasnya.
Sambil mandang hujan di luar tanpa mengalihkan tatap, Dirga tersenyum. "Sengaja. Biar ga abis-abis."
Wajah Mila memerah. Dia ga berkomentar dan lanjut nemenin Dirga nontonin teater hujan yang tayang membasahi bumi. Tanpa kata, sama rasa.
.
.
.
Edan.
Retsa Pratama, panggil aja dia Mas Tama. Mas Tama ini cowok paling ganteng dan cool di kafe Mantra. Ga jarang bikin cewek-cewek yang sebenernya ga doyan kopi, jadi mampir gara-gara terjerat pesonanya.
Sore ini seorang wanita masuk ke dalam kafe. Dia pesen es teh manis doang, padahal ga ada menunya.
"Siram aja, Tam," ucap Dirga yang geram pada pelanggan tersebut.
Tama membawakan pesanan ghaib pelanggan itu ke mejanya, tetapi karena keselimpet kakinya sendiri, Tama terjatuh dengan aesthetic. Alhasil, cowok tampan itu menumpahkan setengah gelas es tersebut ke pakaian si wanita.
Alih-alih marah, wanita itu malah kegirangan. "Siram aku lagi, Mas. Siram aku."
Tama Tak berkomentar. Pelanggan adalah Raja dan Ratu. Permintaan mereka—adalah mutlak.
Pria tampan itu menumpahkan sisa es teh di gelas yang ia pegang ke wajah wanita tersebut.
"Terima kasih, Mas," kata wanita itu. Gara-gara disiram, dia jadi berbunga-bunga.
.
.
.
Tersandung.
Andis emang gitu, dia suka ngegombal dan godain cewek. Sayangnya, dari jutaan jurus ampuh yang dia tulis di dalam blognya yang berjudul sejuta jurus ampuh memikat hati wanita, ga ada satu pun cewek yang nempel sama dia.
Padahal nih, buat orang lain, jurus-jurus itu berhasil. Banyak yang berterima kasih sama Andis si dewa cinta, tetapi buat dirinya sendiri Andis selalu gagal. "Sampah." Begitu ujarnya ketika terus gagal saat mencoba dan terus mencoba jurus ampuh yang dia tulis sendiri.
Pada satu momen, Andis tersandung kaki seorang wanita dan jatuh. Dia tampak kesakitan dan megangin kakinya. "Aduh."
"Maaf, Mas."
"Aaaaa ... sakit," lirih Andis menringis.
Wanita itu langsung panik dan coba buat bertanggung jawab. "Eh, serius sesakit itu?"
"Duh patah nih," lanjut Andis yang semakin uring-uringan megangin kakinya.
"Saya harus ngapain?" tanya wanita itu bingung, wajar dia bukan dokter. Dia kelihatan bingung perihal pertolongan apa yang harus diberikan. Kurang ajarnya ga ada satu pun yang peduli dan mau bantuin dia nonlongin Andis.
"Ayo jadian!" jawab Andis.
Wanita itu dan seisi Mantra memasang wajah datar menatap Andis. Bukannya ga mau nolong, tapi emang semua orang kecuali si wanita tadi, udah apal betul tabiat si Andis.
"Yeeuu ... mati aja lu. Ga jelas. Kirain sakit beneran. Dasar caper," ucap wanita itu sambil beranjak pergi meninggalkan Andis.
Andis kemudian berdiri dan berjalan tanpa efek apa pun. Yaaaa—emang ga sakit juga sih karena jatuhnya pelan. Cuma kebiasaannya aja yang aneh begitu.
"Sok-sokan mau tanggung jawab, tapi malah pergi," umpat Andis yang keliatan kecewa.
"Ya, elu aneh," balas Dirga yang dari tadi diam di balik meja kasir.
"Dia ga tau aja, yang kesandung tuh hati gua! Sampe terjatuh sedalam itu. Waktu gua bilang sakit, gua paham ... kelak dia yang akan menyakiti hati gua. Waktu gua bilang patah ... itu yang terjadi sekarang. Hati gua patah."
"Iye, iye, iye. Semoga lekas sembuh ... otak lu," balas Dirga.
Jangan kasihan sama si Andis. Percayalah, dia selalu melakukannya di hari Minggu.
.
.
.
Refleksi Rasa.
Ajay punya cerita. Anjay.
Seorang cewek pake almamater UGM masuk ke dalam kafe. Dia celingak-celinguk sebentar sebelum duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Ngeliat itu, Ajay yang lagi sibuk bengong di balik bar pun gercep nyamperin.
"Selamat datang di Mantra Coffee. Silakan, mau pesan apa, Kak?" tanya Ajay nyodorin buku menu.
"Mas, di sini menu signaturenya apa?" tanyanya sambil nyender di bangku.
Ajay senyum tipis. "Refleksi rasa."
Nah, ini. Signature versi Ajay sama Andis tuh beda. Kalo Andis selalu nawarin love-elixir, karena dia dewa cinta. Kalo Ajay namanya refleksi rasa. Ada 10 menu khusus yang cuma bisa dibuat sama Ajay pribadi, dan menu-menu itu ga ada di buku menu. Ajay bakal bikinin minuman di antara 10 refleksi rasa, berdasarkan cara dia ngebaca karakter atau mood orang tersebut di hari itu.
Cewek itu ngangkat alis. "Apaan tuh?"
"Kopi spesial dari Mantra, diseduh berdasarkan karakter mbaknya," jawab Ajay sambil nyengir.
Cewek itu ngebaca tagline di katalog menu, tepatnya di bawah tulisan menu refleksi rasa. 'Temukan dirimu dalam setiap tegukan. Anjay.' Ada sepuluh secret menu refleksi rasa, yang ga bisa dibeli manual.
"Ya udah, aku pesen satu. Mau cobain," katanya sambil ngelepas tas dan duduk di kursi bar.
Tanpa babibu, Ajay langsung ngeracik pesenan itu. Tangannya cekatan kayak lagi main rubik.
Beberapa menit kemudian, Ajay balik ke meja cewek itu bawa satu cangkir minuman. "Satu Badai Sunyi buat mbaknya."
Cewek itu nyorot kopinya terus ngelirik Ajay. "Kenapa namanya badai sunyi?"
Masih posisi diri, Ajay nyender di pinggiran bar, keliatan santai tapi matanya tajem. "Dari cara mbaknya duduk, keliatan tenang tapi ada sesuatu yang mbak simpen di dalam. Badai sunyi ini punya rasa pahit yang kuat, merefleksikan beban yang dipendam. Ditambah sentuhan dark chocolate dan almond, ngasih rasa hangat yang bikin nyaman. Saya rasa ini cocok buat mbaknya yang keliatan kalem tapi sebenernya punya banyak cerita di balik sorot matanya."
Cewek itu ketawa kecil, kelihatan antara kagum sama geli. "Kamu cenayang apa barista, sih?"
"Dua-duanya bisa, tapi digaji buat jadi barista," kata Ajay sambil nyengir lebar.
Dia ngeliatin Ajay, terus ngambil kopinya dan nyeruput pelan. Mata cewek itu merem sebentar, kayak lagi ngehayatin rasa kopinya.
"Gimana? Sesuai ekspektasi?" tanya Ajay.
Cewek itu buka mata dan senyum lebar. "Lumayan. Besok-besok aku balik lagi deh buat diramal sambil ngopi."
"Silakan. Pintu Mantra selalu terbuka buat cerita selanjutnya," bales Ajay.
.
.
.
Bersamvung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top