Delapan
Takut ah!
"Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang. Melepas semua~ kerinduan, yang terpendam."
Kangen dari Dewa 19 mengakhiri lagu akustik dari duo maut Tama dan Aqilla. Aqilla Maharani. Sosok cewek berambut bondol di atas bahu dikit itu adalah pelanggan, musisi Mantra, sekaligus pacarnya si ganteng Tama. Borongan.
Tiap malem minggu, dia biasanya ngisi panggung kecil Mantra bareng Tama, atau temennya si Kartika, buat memeriahkan suasana. Jadi, di Mantra tuh tergantung harinya, panggung kecil itu bakal beda fungsi. Kalo malem minggu jadi tempat akustik, kalo malem sabtu jadi tempatnya si penyair gondrong, dan kalo malem Jumat jadi tempat horror side si Andis.
Abis tampil, Aqilla duduk di salah satu meja kosong. Sementara itu si Tama buatin milkshake vanilla kesukaan ceweknya.
Selagi jeda perpisahan singkat itu, mata seorang cowok ga bisa lepas dari jerat pesona Aqilla. Gara-gara di kira sendirian, langsung aja si gondrong primordial bangun dari kursinya, terus nyamperin Aqilla.
"Suara kamu bagus," kata Sadri, memuji Aqilla. Tampangnya dibuat-buat cool, padahal mirip kikil padangan. "Permainan gitarnya juga indah, bagaikan Calliope." Mendadak dia kesurupan Beryl.
Calliope itu ibunya Linus sama Orpheus. Musisi dan penyair terkenal dalam mitolog Dewa-Dewi Yunani. Selain sejarah dunia, rupanya Beryl juga lumayan banyak wawasannya tentang sejarah mitologi.
Aqilla memicing jijik. Dia langsung meluk tas kecilnya di depan dada. Pokoknya Aqilla mikir, itu si gondrong, kalo bukan copet, ya begal tetek. Di tambah, mulutnya ga putus-putus melantunkan doa-doa pagi dan petang. Dia mulai goyah, dan muncul asumsi baru, kalo cowok gondrong itu bukan manusia.
"Saya orang, Mbak, bukan jin," kata Sadri yang ngerasa panas, kayak lagi diruqyah.
"Ehmmm." Tama berdehem.
Sadri langsung duduk di bangku yang semeja sama Aqilla. "Lanjut, Bang," ucapnya ke Tama. Di kira, Tama cuma mau anterin pesenan Aqilla doang.
Tama mendekat dengan wajah datar, sambil naruh milkshake vanilla di depan Aqilla. Tapi matanya jelas-jelas nusuk ke arah Sadri yang udah duduk di bangku yang seharusnya jadi bangku si Tama.
"Mas, ini meja buat dua orang," kata Tama, nada suaranya pelan tapi kentara nyindir. Kayak ada nada-nada ancaman.
Sadri cengengesan sambil duduk makin tegap. "Ga apa-apa, Bang. Kita emang mau berduaan."
Tama narik napas panjang, terus ngelirik ke Aqilla yang udah gelagapan mau ngomong, tapi mulutnya lebih sibuk nyeruput milkshake. Kesadaran itu cewek kayak keisep ke dalem sedotan milkshake.
Sadri nyengir makin lebar. "Ya udah, Bang. Lanjut lagi dah kejanya."
Tama makin geram, tapi temen-temennya gercep. Andis, Dirga, sama Ajay yang ngeliat kejadian itu, langsung buru-buru nyamperin si Sadri, terus ngegotong bangku yang lagi didudukin, sekaligus orangnya.
"Eh, apa-apaan nih?!" Sadri yang berasa lagi naik wahana bangku terbang pun jadi bingung. Mau turun, tapi susah. Mau susah, tapi udah.
Mila juga ikutan jalan cepet dan ngambil satu bangku kosong di meja Sadri, buat gantiin bangku yang ilang di meja Aqilla. Dia ngeliatin si Tama sambil senyum. "Silakan duduk, Tam."
Tama ngelirik sinis ke Sadri, terus duduk di bangku itu. Begitu arah tatapnya keganti, nyorot Aqilla, mukanya langsung berubah. Tampang cool-nya mendadak anget, hati bekunya tiba-tiba cair, ekspresi datarnya tau-tau nyengir, dan mulutnya yang biasa kekunci, sekarang banyak bacot. Dia antusias ngobrol sama Aqilla. Emang, kalo di depan Aqilla, si Tama jadi mas-mas ganteng biasa.
"Lu pada ngapa sih? Kagak demen banget liat orang seneng," protes Sadri.
"Itu cewek, pacarnya Tama," kata Andis.
"Coba lu liat sekitar," timpal Ajay.
Sadri noleh ke sekitarnya, dan baru nyadar, kalo cewek-cewek yang lagi nongkrong di Mantra lagi ngeliatin dia sinis, kayak mau neror. Dia nelen ludah, terus ngeliatin sohibnya, si Dirga. "Mereka pada kenapa? Kok rasanya gua kayak lagi dikutuk?"
"Meskipun mereka ga suka liat Tama ngebucin, tapi seenggaknya, momen di mana Tama bareng Aqilla itu adalah momen di mana para cewek itu bisa liat senyum tulus si Tama, dan lu gangguin momen itu. Bikin Tama murka, sama aja lu musuhin seluruh cewek di negeri ini," jelas Dirga.
Sadri nelen ludah. Keringet dingin membanjiri mukanya. Ga kebayang, kalo semua cewek musuhin dia, terus jodohnya gimana? Masa belum nikah, tapi udah berantem. Sejak saat itu, si Sadri takut sama Tama. Takut nikmat jodohnya diambil.
.
.
.
Filsuf.
Sepakat ga sih, kalo cowok gondrong itu kebagi dua? Antara dua 'man', kalo ga preman, ya seniman. Tinggal diliat aja tampang sama perawakannya gitu. Kalo sangar berarti preman, kalo dekil ya seniman. Meskipun ga secara harfiah, tapi secara vibes, iya.
Sadri itu salah satu manusya yang vibesnya seniman abis. Meskipun dia mandi, tapi selalu kayak belom. Nah, kebetulan orangnya udah addict sama Mantra, dari pagi udah nangkring, padahal belom buka. Bukan karena kopinya, tapi karena di sini, dia dibantuin ngerjain skripsi.
"Dirga ke mana, Bang?" tanya Sadri ke Andis.
Andis yang duduk di depan Sadri, noleh. Orang yang sempet ngira itu cowok gondrong adalah bentuk sejati dari dosen pembimbing Dirga, padahal Dirga aja belom mulai skripsi. Dia jadi kejebak urusan Sadri gara-gara Dirga ada kelas hari ini.
"Ngampus dia," jawab Andis.
Hari ini, Andis di minta Dirga buat gantiin dia bantuin Sadri ngerjain skripsi. Soalnya, kata Dirga, si Sadri itu idiot. Nulis pake Microsoft Word aja tulisannya jelek, mencong-mencong. Tapi, sebetulnya, highlight utamanya itu adalah hotspot. Selain rada-rada pasif otaknya, ternyata si Sadri juga kismin. Dengan kapasitas otaknya, dia sanggup ngopi di kafe setiap hari, tapi ga sanggup isi kuota.
"Bang, emangnya gua jelek, ya?" tanya Sadri random.
Andis menatap muka Sadri dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya. "Jelek sih kagak, tapi bukan selera wanita."
Sadri jadi insecure, gara-gara kejadian kemaren malem.
"Sabar. Meskipun bukan selera wanita, tapi jodoh ga ke mana kok," kata Andis.
"Makasih, Bang, saya agak tenang dengernya."
"Ya abis—mau ke mana? Orang ga ada jalan lagi, nyahaha," lanjut Andis.
Di tengah hinaan itu, gemerincing lonceng di pintu bunyi. Sadri sama Andis noleh barengan. Sekarang, si Beryl yang dateng. Dia narik bangku, terus duduk semeja sama mereka.
Nih ya, gua kasih tau. Sekarang, di mata Andis, berkumpulnya dua gondrong ini adalah pertanda bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Kenapa? Karena mereka keliatan stoic abis! Parah! Udah kecium sama penciuman Andis yang bapuk, kalo arah obrolan di meja ini bakal jadi menarik.
"Reinkarnasi Aristoteles dan Plato," gumam Andis lirih.
Asli, mereka berdua kayak dua orang seniman dari zaman renaisans yang bakal berdebat filsafat.
Si Beryl nguncir rambutnya, tanda dia bakal mikir berat. Ngeliat itu, Andis nyengir. "Kelaaaaas."
"Bang, ada kunciran lagi kagak? Minjem dong," tanya Sadri.
Beryl merogoh kantong jaketnya. "Ada nih."
"Bang Sadri," panggil Andis. "Bagi lu, filosofi dari sebongkah kunciran rambut itu apa?"
"Ga ada, Bang," jawab Saddi singkat.
"Gila!" umpat Andis. "Tingkat filosofi tertinggi adalah ketiadaan."
Sadri ngacungin jempolnya ke Andis. "Keren lu, Bang," sarkasnya.
Keadaan hening seketika. Di saat itulah, Andis membuka obrolan serius. "Ber. Tumben lu dateng pagi-pagi."
Beryl noleh ke arah Andis. "Iya nih, Mas, lagi kosong kelas. Terus kebetulan punya duit."
"Tapi kalo gua kasih kopi gratis, mau?"
Beryl senyum sama ngangguk. "Mau."
"Kalo gitu, jawab dulu. Bagi lu, hidup itu apa?" tanya Andis.
Sadri langsung nyaut tanpa mikir, padahal bukan dia juga yang ditanya. "Hidup itu kayak permen. Manis awalnya, tapi lama-lama, bikin sakit gigi."
"Analogi, Mas, ga salah, tapi kurang tepat," balas Beryl. "Hidup itu, tidak sesederhana permen. Dia adalah perjalanan dialektika antara esensi dan eksistensi."
Andis ngakak. "Anjassss! Ini baru filsafat."
Beryl nyengir tipis. "Filsafat itu memandang hidup sebagai proses menemukan makna. Seperti yang dibilang Nietzsche, manusia adalah tali yang terulur di antara binatang dan Ubermensch."
Sadri ngekerut alis. "Ubermensch apaan, Bang? Jenis ojol baru?"
Andis ngakak sambil nabok meja pelan. "Itu Uber, anjay!"
Beryl ngusap wajah. "Bukan. Ubermensch itu adalah konsep manusia yang melampaui dirinya sendiri. Individu yang berani menciptakan nilainya sendiri, menolak moralitas tradisional, dan—"
Sadri motong. "Berarti kayak tukang tambel ban dong, Bang? Hidupnya mandiri, nyiptain nilai sendiri. Gua pernah kenal tukang tambel ban yang bijak banget, Bang. Dia bilang gini, kalo bisa nambel ban sendiri, kenapa harus ke bengkel. Pikir gua gini, Bang. Kita ini ibarat ban bocor, nunggu ditambel sama takdir. Tapi kadang takdir suka ga niat nambel, jadi bocornya makin lebar."
Beryl narik napas panjang, kayak guru TK yang mau ngejelasin konsep warna ke anak-anak. "Hidup ga bisa dianalogikan dengan barang atau jasa. Hidup adalah—"
Sadri angkat tangan, kayak lagi minta izin ngomong di kelas. "Bang, sorry motong nih. Lu—kenapa ngomongnya kayak KBBI dah?"
Andis makin ngakak. Emang sih, Beryl itu kayak kamus berjalan. Gaya bahasanya baku, si paling PUEBI.
.
.
.
Bersamvung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top