DUA ✔
Aktivitas SMP dan SMA ternyata jauh berbeda. Hal itu membuat Nada harus membiasakan diri dengan segala hal yang bersifat baru. Seperti sekolah Nada yang tidak hanya menerapkan upacara Senin, tapi juga kegiatan apel setiap paginya. Lalu, di hari Jumat, selesai apel pagi ada ekstrakulikuler wajib yaitu taekwondo. Tidak cukup sampai di situ, Jumat sore adalah waktunya ekstrakulikuler pramuka. Mungkin karena masih belum terbiasa, Nada merasa cukup kelelahan dengan semua itu.
Nada mencoba untuk berpikiran positif. Nyatanya, dengan semua kegiatan sekolah yang padat, Nada jadi terbantu untuk melupakan hal yang tidak penting, yang selama ini menyita pikirannya baik secara sadar maupun tidak sadar.
Meski begitu, tidak selamanya Nada dapat menjalani rutinitasnya dengan tenang. Pasalnya, dua pekan setelah masa orientasi siswa berakhir, Nada mengalami kejadian horor.
Tanpa Nama: Apakah benar ini Nada?
Nada mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali dan tulisan itu tetap ada. Sebelumnya, Nada mengira itu hanya bagian dari mimpinya yang terlewat nyata. Tapi, semakin dilihat-lihat dengan saksama, pesan itu memang benar adanya.
Ini siapa, sih?
Nada pun membalas pesan itu dengan pertanyaan yang baru diajukannya dalam hati. Lama sekali balasan orang itu muncul. Bikin Nada geregetan sendiri.
Apa dia peneror? Atau jangan-jangan dia penggemar rahasia Nada? Sebenarnya keduanya sangat-amat-super-ultra-mega-giga-tidak-masuk-akal, tapi bisa saja, 'kan?
Saat bunyi pesan masuk terdengar, Nada buru-buru membuka pesan itu. Alisnya sedikit terangkat saat membaca satu kata di pesan tersebut.
Tanpa Nama: Arsena.
"Arsena? Arsena siapa? Arsenal klub bola?" komentar Nada dalam hati saat pertama kali membaca pesan orang itu.
Nada: Siapa?
Tanpa Nama: Pemilik topi.
"Pemilik topi?" Detik selanjutnya, barulah Nada menyadari kenyataan yang akan dihadapinya. "HEH, SUMPAH?"
Nyali Nada mendadak ciut. Bisa-bisanya dia berpikir kalau pesan itu dari penggemar rahasianya. Dugaan kalau itu dari peneror, ya, bisa jadi benar. Mungkin saja dia akan meneror Nada setelah dia tahu topinya resmi dinyatakan hilang.
Semenjak mendapat pesan dari seseorang yang namanya mirip dengan klub sepakbola itu, Nada mendadak jadi ketakutan sendiri. Biasanya Nada paling anteng kalau sudah memegang gadget, tapi kali ini berbeda. Belum ada sepuluh menit menatap ponsel saja matanya sudah memanas. Nada takut jika nama Arsena atau siapalah itu akan kembali muncul di kotak masuk.
Dua hari lalu, Nada sudah berhasil mengeluarkan sedikit beban yang mengganjal dengan bercerita ke Koko. Rasanya benar-benar plong, seperti habis mengeluarkan kentut yang tertahan lama secara perlahan-lahan.
"Nad!" Koko masih berusaha mengatur napasnya. "Tadi kamu dicariin." Seperti biasanya, dia menghabiskan sore menjelang maghrib dengan bermain futsal di lapangan terdekat.
Setelah berhasil memusnahkan seluruh nama Arsena di kotak masuk, Nada yang tadi sibuk dengan ponselnya kini mengalihkan pandangan ke Koko.
"Eh, maksud kamu?" Kali ini Nada menggunakan kemampuan indera pendengarannya dalam menangkap pesan secara maksimal.
"Kamu pernah cerita kalau kamu ngilangin topi, 'kan? Nah, temanku ngasih tahu kalau temannya lagi nyari anak kelas sepuluh namanya Nada. Perasaanku, di angkatan kita nama Nada itu kamu doang, deh."
Nada bengong beberapa saat. Mendadak bingung dan panik karena dia belum punya rencana apa pun jika dia ketahuan. Terlebih, jika ketahuannya lebih cepat dari yang dia duga.
"Tapi, aku udah bilang kok kalau topinya hilang," lanjut Koko santai dan itu membuat Nada menyimpan rasa sesal. Seharusnya dialah yang mengatakan itu, bukan orang lain. Namun, semuanya sudah terjadi. Mau Nada berkeliling kota Sangatta berapa kali pun, yang sudah terjadi tidak akan bisa terulang kembali.
"Oh gitu," ucap Nada, lalu meninggalkan Koko yang kini mempertanyakan raut wajah penuh keresahan Nada.
Tepat malam hari setelah Koko menyampaikan pesan kepadanya, Nada iseng membuka Facebook. Sudah cukup lama Nada tidak pernah membuka akunnya. Terakhir kali saat Nada menjadi silent reader di percakapan Tiga Serangkai saat MOS. Selebihnya, Nada lebih memilih hidup di dunia nyata secara fulltime.
Setelah mengetahui ada notifikasi baru (berjumlah enam, yang sebagian besarnya adalah ajakan bermain game), Nada merasa dirinya mulai penasaran serta sedikit was-was. Mata Nada nyaris keluar saat melihat isi pemberitahuan di akunnya.
Nama Arsena Akbar tertera di sana. Dia melakukan permintaan pertemanan ke akun pribadi Nada.
"HAH? Demi apa? Yang benar saja?!" ucap Nada tak percaya.
Semenjak mendapati fakta bahwa Nada dan Sena telah berteman di Facebook, Nada jadi penasaran dengan segala sesuatu tentang kakak kelasnya itu. Tidak banyak yang dapat diketahui hanya dari menyisiri akun itu hingga ke akar-akarnya.
Nada melengos menyadari bahwa hasil pemantauannya tidak berakhir dengan kata 'memuaskan'. Rupanya Sena bukan tipe narsistik yang hobi mengunggah foto diri ke dunia maya. Terbukti dari foto profil yang sekarang ini digunakan yaitu robot android, si robot hijau yang menggemaskan.
Ketika Nada merasa semua usahanya berakhir sia-sia, tanpa sadar Nada menekan tulisan kumpulan foto yang menandai akunnya. Ah, rupanya ada foto orang itu di sana. Memang tidak banyak. Setidaknya Nada telah tahu wajah Sena seperti apa.
Terhitung mulai hari ini, Nada merasakan sesuatu yang aneh. Entahlah, pokoknya aneh saja. Entah sudah berapa kali wajah Sena muncul begitu saja tanpa diundang. Nada jadi sering melamun dan aksi anehnya itu dipergoki oleh seseorang.
"Ngelamunin siapa? Pasti aku."
Tiba-tiba sebuah dorongan terasa menyentuh bahu Nada secepat angin yang berembus. Nada refleks terperanjat. Dia mengira suara cowok itu berasal dari suara Koko, tapi Nada salah. Orang itu bukan Koko.
Nada langsung membuang muka setelah dua detik keduanya saling bertatapan.
Itu Gio!
"Bukan urusanmu," jawab Nada jutek, tidak peduli dengan perubahan reaksi Gio saat ini.
Nada mempercepat langkah kakinya agar bisa memasuki kelas lebih dulu dari Gio. Kalau bisa, tidak dekat-dekat dengan cowok itu. Realita tidak sesuai harapan Nada, yang ada Gio justru menyusulnya. Bukan salah Gio juga, toh, kini mereka satu kelas. Lagi.
Tangan Gio menarik kuncir kuda Nada dan membuat Nada bergerak mundur mendekati Gio.
"Siapa yang bolehin kamu pergi? Mana PR matikmu? Nyalin dong," tanya Gio sambil melonggarkan tarikan tangan yang masih menempel di rambut hitam Nada. Lalu melepaskannya perlahan.
"Nggak ah. Enak aja. Kan katamu kemarin terakhir," kata Nada berusaha untuk tidak membantu anak orang dalam hal negatif yang ditakutkan Nada akan membuat ketergantungan.
Gio berjalan dan memosisikan diri tepat di hadapan Nada. Tangannya seperti sedang melempar kode keras mana-buku-tugasmu-kemarilah.
"Tenang! Kali ini aku udah kerjain kok. Cuma mau periksa doang."
Alis Nada terangkat sebelah. Nada sendiri sudah hafal sama kebiasaan Gio yang hampir setiap hari mendatangi Nada hanya untuk menjemput buku-buku tugasnya. Nada hafal mati soal itu.
"Beneran!" ucap Gio berusaha meyakinkan berhubung lama sekali Nada tidak angkat suara.
Bahkan ketika Nada belum merespons sedikitpun (kecuali, kalau menaikkan satu alis itu bisa disebut respons), Gio langsung masuk ke dalam kelas dan mencari tas yang digunakan oleh Nada. Setelah berhasil menemukan, Gio membuka tas Nada tanpa izin terlebih dahulu dan mengambil buku tugas yang ia butuhkan saat ini.
Nada mengepalkan kedua tangan yang tersembunyi di balik tubuhnya. Dia benar-benar kesal dengan kelakuan Gio. Kebiasaan Gio yang seperti ini selalu berhasil membuat Nada naik pitam. Sayangnya Nada tidak pernah meluapkan emosinya secara blak-blak-an. Nada berusaha sekuat tenaga untuk meredam sendiri emosinya.
"Udah? Lima menit lagi apel pagi," kata Nada akhirnya, setelah was-was setengah mati saat melihat jarum panjang hampir mendekati angka dua belas.
"Oke. Udah kok. Cepet, kan? Hehe," ucap Gio tepat setelah menutup buku tugas Nada.
"Hmm," balas Nada tanpa ekspresi lalu memasukkan kembali buku tugas ke dalam tasnya.
Nada memperhatikan tubuh Gio yang beranjak keluar kelas. Sampai sekarang Nada heran kenapa seorang Gio selalu bisa masuk peringkat sepuluh besar padahal kelakuannya seperti itu.
Nada bukannya iri sama peringkat Gio yang terkadang malah melampauinya. Hanya saja Nada merasa dia seperti dikhianati. Entahlah. Gimana sih rasanya pas tahu orang yang mengambil hasil kerja kerasmu secara instan nyatanya hasilnya jauh lebih baik daripada kamu? Tentunya menyakitkan.
Nada tahu perasaan seperti itu. Sangat tahu.
Satu hal yang Nada tidak tahu adalah Gio tidak berniat mencontek tugas Nada. Cowok itu melakukannya supaya bisa berdekatan dengan Nada setiap saat. Gio selalu punya cara sendiri untuk berdekatan kembali dengan Nada. Sayangnya, semua cara yang dilakukan Gio justru membuat Nada semakin muak dengannya.
"Nad, apel woy! Buset, malah ngelamun lagi. Masih pagi loh!" kata Mia sambil menyenggol Nada.
Sudah dua kali Nada terciduk saat melamun. Kalau tiga kali, bisa dapat piring cantik.
Sejak Nada dan Sena berteman di Facebook, Nada selalu mencuri waktu untuk stalking. Sesekali Nada menarik napas kecewa saat tidak menemukan jejak terbaru Sena di sana.
"Kenapa? Lagi ada masalah?" tanya Mia saat memergoki tingkah aneh Nada.
Nada menggeleng sambil menyembunyikan ponsel di balik tubuhnya. Bisa gawat kalau Mia tahu Nada lagi stalking cowok sampai segitunya.
Untungnya sikap Nada tidak terlalu ganjil setelah itu. Pergerakannya terlihat alami hingga Mia tak curiga sedikit pun dan menganggap itu hal biasa.
"Lagi galau ya? Kenapa? Jangan bilang gara-gara tugas menggambar dari Bu Lia?" tebak cewek berambut panjang itu. Dari ekspresi wajahnya, ia terlihat sangat berharap lawan bicaranya akan setuju dengan prediksinya.
Kepala Nada bergerak turun naik sebanyak dua kali. Tidak sepenuhnya dia berbohong. Memang tebakan Mia agak meleset namun kalau tugas gambar yang diberikan oleh Bu Lia memang bikin galau sih iya.
Kemampuan Nada dalam pelajaran matematika memang patut diacungi jempol. Tapi dia bukanlah manusia super yang dapat menguasai keseluruhan pelajaran. Ada kalanya dia tidak menyukai pelajaran, salah satunya adalah pelajaran keterampilan.
Baru minggu awal saja sudah ada saja tugasnya. Kalau minggu lalu tugasnya disuruh menggambar objek yang ada di sekitar, minggu ini tugasnya malah lebih ribet hingga Nada tidak bergairah sama sekali untuk mengerjakannya.
"Tuh kan, bener. Kemarin aja aku sampai bela-belain begadang demi gambar batikku jadi," curhat Mia dengan antusias.
"Kalau kamu mah dasarnya udah jago gambar, nggak perlu diraguin lagi. Gambarin buat aku dong! Ya, ya?" Nada mendesak Mia dengan menyenggol tubuh ramping Mia.
"Enak aja. Gambar sendiri dong. Hehe," tolak Mia tanpa basa-basi.
Tanpa sengaja layar ponsel Nada tertangkap oleh Mia dan tepat sekali halaman profil Facebook Sena yang tampak. Alis Mia saling bertautan seperti ribuan pertanyaan muncul dan ingin ia tanyakan saat itu juga tapi bingung harus bertanya yang mana dulu.
Begitu menyadari reaksi Mia, Nada langsung mematikan ponselnya hingga layarnya memunculkan satu warna yaitu hitam. Nada jadi salah tingkah sendiri.
"Itu kakak kelas kita bukan, sih?" tanya Mia tanpa memedulikan tingkah aneh Nada saat ini.
Setelah memastikan Nada tidak bersuara untuk waktu yang cukup lama, Mia kembali mendesak Nada. "Aku nggak mungkin salah lihat. Pasti kakak kelas kita, kan?"
Akhirnya Nada mengangguk pasrah. Sia-sia juga kalau ia harus berbohong pada Mia. Mia pasti akan tahu dari gelagat aneh Nada. Nada memang tidak jago berbohong, sama halnya dengan menggambar. Mia tahu itu.
"Dulu dia pernah sms aku. Dikiranya aku itu kamu, Nad. Makanya waktu itu aku langsung kasih nomermu," jelas Mia yang disambut dengan raut wajah bingung Nada.
"Oh. Gitu," respons Nada datar.
"Kok cuma oh aja sih responsnya. Yang lain, kek?" Mia cemberut mendapati mood sahabatnya kalau jelek pasti nada suaranya jadi datar sedatar-datarnya.
"Maunya gimana? Wow, kamu duluan yang disms sama kak Sena. Selamat ya!" kata Nada sambil menirukan ekspresi heboh Mia waktu dia disms cowok kapten basket dari sekolah lain.
Mia tersenyum meledek. "Oh. Jadi namanya kak Sena."
"Apaan sih?" Nada berusaha tidak tergoda dengan ledekan Mia. Tapi kalau sudah gini, ujung-ujungnya pasti Mia akan terus meledekinya hingga Mia merasa puas.
"Udahan ah ngeledeknya!" kata Nada mulai sebal begitu nama Sena selalu disebut-sebut oleh Mia.
"Bodo amat! Aku belum puas ngeledeknya. Siniin hapemu! Aku pengen lihat sms-sms kalian."
Tangan Mia terlihat elastis seperti terbuat dari karet saat bergerak-gerak merebut kepemilikan ponsel Nada. Tidak sampai semenit, ponsel Nada kini sudah berada di tangan Mia. Nada memohon dengan wajah memelas agar Mia tidak lancang melihat sesuatu yang dianggap Nada sebagai privasinya. Namun, Mia tidak peduli.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top