6. Zainab binti Jahsy

Bismillah...
Happy reading teman-teman :)
***

Azki baru saja menyelesaikan lipatan terakhir seterikaannya ketika bunyi bel terdengar. Segera dicabutnya kabel, lalu berlari ke arah pintu depan. Dari kaca jendela terlihat SUV putih terparkir rapi dan presisi, maka sudah pasti yang berdiri di depan pintu adalah sang suami.

"Assalamualaikum, Sayang," sapa Anas dengan suara lembut yang biasanya Azki rindukan, tapi tidak kali ini.

"Waalaikumussalam." Azki meraih dan mencium punggung tangan suaminya. Senyumnya tampak terpaksa.

"Laper, ya?" goda Anas sambil menusukkan telunjuk ke perut Azki, yang buru-buru ditepis si pemilik perut sambil cemberut.

"Kenapa, sih? Ini tentang bukber nanti sore, kah?" Feeling Anas tepat sasaran. Kali ini Azki mengangguk.

"Aku ke kamar mandi dulu, ya. Habis itu kita bicara."

"Iya. Ki juga mau naruh baju-baju dulu."

"Anak-anak?"

"Tidur di rumah ibu. Kan tadi pagi Mas udah kasih tahu kalau sore nanti mereka ditinggal sama ibu. Eh, habis zuhur udah pada kabur ke sana." Suara Azki sudah lebih hidup, hanya saja mukanya masih tertekuk.

Keduanya berpisah di depan pintu kamar. Anas hendak membersihkan badan, Azki kembali ke laundry room. Tak sampai sepuluh menit keduanya sudah bersama kembali di sofa ruang tengah.

"Mas serius mau ngajakin Ki bukber di kampus?"

"Serius pakai banget, Sayang."

Anas memang tak main-main. Sore itu Azki benar-benar harus menemaninya buka bersama dengan rekan-rekan seprofesi di fakultasnya. Ini yang pertama buat Azki. Sebelumnya ia tak pernah menyertai suaminya di kegiatan yang berhubungan dengan institusi tempatnya mengajar. Memang pernah beberapa kali, tapi bukan di acara formal, misalnya menghadiri undangan pernikahan, mantu, tasyakuran khitan, aqiqah, dan semacamnya. Acara yang lebih kental nuansa profesinya adalah family gathering, itupun kegiatannya dihelat dengan format santai dan bukan di area kampus.

"Bukbernya santai kok, Ki." Anas seperti tahu yang Azki pikirkan. "Kamu udah siapin baju yang mau kita pakai, kan?"

Azki mengangguk ragu. Sebenarnya dia belum menyiapkan baju apapun. Tapi itu bukan sesuatu yang merisaukan baginya. Baju sarimbit mereka cukup banyak, yang tidak couple tapi serasi juga tidak kurang-kurang. Dia pun sudah merencanakan baju mana yang akan dipilih untuk acara sore nanti, hanya saja menyiapkannya baru sebatas dalam benak saja.

"Emm... Kalau Ki nggak usah ikut aja gimana, Mas? Sebenernya Ki tuh nggak pe-de ikut ngumpul-ngumpul sama komunitasnya Mas di luar sana. Apalagi komunitas kampus. Ki kan cuma gini-gini aja, udah macam bumi sama langit kalau dibandingkan sama Mas yang pencapaiannya selalu tinggi. Nanti kalau ada yang tanya-tanya tentang perkampusan gitu, terus Ki nggak bisa jawab, apa nggak bikin Mas malu?"

"Nggak ada yang akan tanya urusan kampus. Kalaupun ada, nggak masalah juga kalau kamu nggak bisa jawab, kan memang bukan kompetensimu. Yang salah yang nanya. Dan nggak ada juga yang harus dibandingkan antara aku sama kamu, Ki. Kita punya peran masing-masing. Aku bisa begini juga salah satunya karena peranmu. Ini baru kemarin kita bahas lho."

"Tapi Ki boleh nggak ikut, kan?"

"Nggak boleh. Apalagi kalau alasannya kayak gitu, aku nggak suka. Kamu harus ikut. Kalau kamu nggak mau, aku akan maksa."

"Memangnya Ki punya peran ya dalam hidupnya Mas?" Mata Azki mulai berkaca-kaca.

"Wait... Ini kenapa jadi bahasannya ke sini lagi sih, Sayang? Kuamati beberapa waktu terakhir kamu selalu mempermasalahkan soal ini. Sebenarnya kamu kenapa, Syarifa Tazkiyaku? Apa yang ada di pikiranmu, di hatimu, yang belum bisa kamu bagi ke aku?"

"Ki nggak tahu. Tapi pokoknya Ki ngerasa gitu." Azki mulai sesenggukan.

"Ki, sifat asli seorang laki-laki itu terlihat ketika di dalam rumah. Begitu juga dengan aku sebagai laki-laki, sebagai seorang suami. Kalau aku di luar sana dikenal ini, itu, anu yang baik-baik, tapi ternyata istriku sering bersedih karena aku, berarti sifat asliku ya yang itu. Yang belum baik sama istri."

Tangis Azki makin keras. "Nggak. Mas nggak gitu. Mas udah baik. Baik banget. Sebagai suami, sebagai ayah, anak, menantu, dan semuanya. Mas baik. Aku yang nggak baik. Aku yang gini-gini aja."

Anas meraih bahu Azki, menenggelamkan kepala sang istri di dadanya. Menunggu dengan sabar sampai Azki merasa lega.

"Apa kamu pengen berkarier, Ki?"

"Maksud Mas? Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?"

"Maksudku, apa mungkin kamu pengen punya kegiatan yang bisa membuat eksistensi dirimu naik sehingga kamu nggak merasa kalau kamu tuh gitu-gitu aja, begitu?"

"Kerja maksudnya? Boleh memangnya?"

Anas terkekeh, menowel hidung Azki dengan sayang. "Berkarier kayaknya memang identik dengan bekerja ya, Ki? Lebih spesifik lagi, bekerja di luar. Padahal antara karier dan pekerjaan itu beda, lho."

"Bedanya apa?"

"Kerja itu biasanya untuk tujuan uang. Karier lebih berdasarkan pada passion, yang dicari lebih kepada pencapaian yang berhubungan dengan batin. Misalnya kamu passionnya masak, kamu memilih bekerja di restoran, jadi koki, buka katering, dan semacamnya, tapi selalu berhubungan dengan kesenanganmu, walaupun bayarannya mungkin cuma bisa memenuhi kebutuhanmu, tapu kamu melakukannya dengan happy. Itu karier.

"Nah, kalau kamu passionnya masak, tapi kerjanya jadi marketing property misalnya, yang kamu sebenarnya nggak menikmati selain cuma mengejar gaji. Itu kerja. Tujuannya semata-mata materi. Uang."

"Kalau aku boleh menyimpulkan, mungkin kamu begitu. Pengen punya sesuatu yang bisa dinilai. Dalam hal ini dinilai karena aku, karena kamu adalah pendampingku. Menurutku ya, Ki, perasaan bukan siapa-siapa itu muncul karena kamu melihat pencapaianku, terus kamu melihat ke diri kamu sendiri yang 'cuma' di rumah, ngurusin anak-anak, ngurusin cucian, seterikaan, dapur, nyapu, ngepel, and repeat. Semua itu bikin kamu lupa kalau peranmu yang 'cuma' gitu-gitu aja tuh sebenarnya sudah berarti banget buat segala jenis pencapaianku."

Anas berkata dengan hati-hati. Tak lupa memberi kode tanda petik dengan kedua tangannya setiap kali mengucapkan kata 'cuma'.

"Ya intinya begitu, Ki. Entah kamu setuju apa nggak, kamu merasa demikian apa nggak, tapi kesimpulanku begitu. Maaf kalau salah."

Azki diam. Seperti biasa, kalau suaminya sudah bicara panjang lebar, dia butuh waktu untuk mencerna kalimat demi kalimat yang barusan didengar. Apalagi ini menyangkut dirinya dengan segala ketidakjelasan yang dia rasa.

Mungkin suaminya benar. Perasaan mindernya muncul karena dia sendiri yang membanding-bandingkan dirinya dengan Anas. Lalu merasa tak punya peran, karena segala yang dia kerjakan di rumah lebih bisa dirasakan efeknya oleh suami dan anak-anaknya, bukan oleh dirinya sendiri.

Mungkin suaminya benar. Ada rasa di dalam dirinya yang ingin dipandang orang lain sebagai seseorang yang pantas bersanding dengan Anas. Bukan hanya sebagai seorang istri yang beruntung karena difasilitasi penuh oleh suami, sehingga ketika suaminya mengukir pencapaian-pencapaian yang tinggi, perannya sebagai istri jadi kabur di mata orang lain. Dianggap wajar dan sudah semestinya karena sudah difasilitasi.

Mungkin juga semua itu hanya perasaannya saja. Tapi... Azki tetap merasa perlu melepaskan diri dari semua itu, hanya saja dia tidak tahu caranya.

Jadi, apakah kesimpulan suaminya barusan adalah jawaban atas segala keresahan hatinya?

"Tapi... Apa Ki salah, Mas? Apa Ki salah kalau Ki ada rasa ingin dianggap oleh orang lain sebagai seseorang yang pantas bersanding sama Mas?"

Anas menggeleng. "Sama sekali nggak, Sayang, karena konteksnya memang aku mengajak kamu untuk bertemu banyak orang. Dan aku terlewat mempertimbangkan bagaimana perasaanmu saat harus bertemu orang-orang dari circle-ku, sedangkan selama ini kamu memang lebih banyak di rumah. Boro-boro ngumpul sama circle-ku, ngumpul sama teman-temanmu saja kamu jarang. Kamu lebih memilih ngopeni dan anak-anak, melayani semua kebutuhanku dan mereka berdua, juga membantu ibu.

"Aku bersyukur banget, Ki. Hari ini Allah membuka mataku tentang bagaimana seharusnya aku lebih memperhatikan kamu, agar bisa lebih memuliakan kamu. Nggak cuma di depanku, tapi juga di depan banyak orang. Maafkan aku ya, Ki."

Bicara dengan Anas selalu membuat hati Azki sejuk. Suaminya memang mendekati sempurna, seolah tanpa cela. Tapi justru itu yang menjadi kelemahan Anas di matanya."

"T-tapi, emm... apa Mas bolehin kalau Ki punya pekerjaan atau karier atau apalah itu tadi?"

"Insya Allah boleh, Ki. Ummul mukminin Zainab binti Jahsy juga seorang wanita karier, lho. Meski Nabi memberi nafkah dengan cukup, beliau tetap berkarier dari rumah sesuai dengan keterampilan yang beliau kuasai yaitu menyamak dan menjahit kulit, dan membuat kerajinan tangan. Dari situ beliau bisa menghasilkan uang dan uangnya dipakai untuk bersedekah.

"Kamu nanti juga bisa berperan lebih kalau usahamu sudah menghasilkan, Ki. Nggak cuma berperan buat aku dan anak-anak, tapi kamu juga bisa bersedekah dengan hasil keringatmu sendiri. So, asal kamu berkarier dari dalam rumah, aku mengizinkan dan mendukung. Atau boleh di luar rumah, tapi sama ibu. Bikin toko kue misalnya, atau restoran, atau kafe, atau besarin katering punya ibu, kelola dengan profesional. Keterampilan sekaligus passionmu di kuliner kan, Ki?"

Azki mengangguk. Matanya menghangat oleh rasa haru yang hebat. Anas bukan hanya memberi solusi, tapi juga bisa menjawab keresahan hati yang bahkan dia sendiri tak tahu kemana arah kecamuk pikiran dan perasaannya. Selain itu juga....

"Aku siap modalin, Ki."

Padahal Azki tidak berharap sejauh itu. Tabungannya sendiri masih terbilang cukup untuk memulai usaha.

"Pokoknya kamu nggak usah kuatir soal ini, nanti akan kita bahas lebih lanjut. Secepatnya. Sekarang kita siap-siap dulu. Kamu siapin baju dan lain-lain, aku mau nengokin Ja'far dan Fakhi. Kangen."

"Sama ibunya nggak kangen?" Azki merajuk, melingkarkan lengan di pinggang Anas.

"Dih, pengen banget dikangenin, ya?" Anas balas merangkul sang istri.

"Eh, by the way, Mas... Zainab binti Jahsy itu yang pernah menikah sama Zaid bin Haritsah anak angkatnya Nabi bukan, sih?"

"Yes, kamu bener banget, Sayang."

"Yang terus bercerai, habis itu dinikahi sama Rasulullah?"

"Bener lagi."

"Hebat ya, Mas, Nabi dan para sahabat sahabiyah itu. Bener-bener punya level ketaatan yang tinggi kepada Allah. Padahal Zainab sebenernya nggak suka kan ya disuruh nikah sama Zaid karena merasa beda level. Dia dari kalangan bangsawan, sedangkan Zaid aslinya seorang budak."

Azki benar. Sejatinya Zainab dan Zaid sama-sama keberatan, namun karena ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, meski dengan berat hati keduanya akhirnya bersedia untuk dinikahkan. Hanya saja dalam perjalanan rumah tangga keduanya, Zainab selalu membanggakan kedudukam keluarganya hingga sering menyinggung perasaan Zaid. Zaid yang merasa tidak kuat beberapa kali menyampaikan kepada Nabi ingin berpisah dengan Zainab, beberapa kali pula Rasulullah menahan niat itu. Namun pada akhirnya mereka bercerai juga.

Setelah keduanya bercerai, Zainab dinikahi oleh Nabi berdasarkan wahyu dari Allah. Pernikahan ini sekaligus menjadi penjelasan tentang nasab anak angkat yaitu tetap bernasab pada ayah kandungnya. Maka mantan istri anak angkat tidak ada hubungan mahram dengan ayah angkatnya sehingga boleh dinikahi.

"Nah, kayak gitu kan Nabi juga pasti sempat ada galaunya ya, Mas? Secara lho, menikahi mantan istri anak angkatnya, kan rentan banget kena fitnah. Apalagi zaman itu sebagian orang masih dalam kejahiliyahan. Kalau bukan karena taat kepada Allah, pasti nggak akan sekuat itu menjalankan perintah yang termasuk berat. Ya nggak, Mas?"

"Kamu betul lagi, Sayang. Tapi semuanya Allah balas dengan kebaikan. Bagi Nabi, beliau mendapatkan seorang istri yang menjadi salah satu teladan bagi para wanita muslimah. Bagi Zainab, perintah Allah untuk menikah dengan Nabi menjadi hiburan sekaligus kebanggaan tersendiri baginya setelah gagal membina rumah tangga dengan Zaid.

"Sedangkan untuk Zaid, Allah menghiburnya dengan memberikan kemuliaan dan kebanggaan yaitu menjadi satu-satunya sahabat yang namanya disebut dengan jelas dalam Al Quran. Semua buah manis itu mereka peroleh karena ketaatan kepada Allah dan Rasulullah.

"Sama seperti kamu, Ki, yang tetap mau menerima aku walaupun kamu tahunya aku cuma seorang marbot. Itu karena kamu taat kepada Allah dan Rasulullah, sehingga kamu nggak sekadar melihat orang lain dari sisi idealismemu sebagai seorang manusia. Semoga ketaatanmu itu akan berbuah manis juga, di dunia dan di akhirat nanti."

Anas tak pernah bisa lupa kejadian di malam itu, saat Azki bersedia menerima lamarannya meski Anas hanya seorang marbot. Dan ketika tahu siapa sesungguhnya Anas, Azki justru berniat mengundurkan diri, merasa tidak pantas bersanding dengan Anas.

Peristiwa itu begitu membekas di hati Anas dan membuat cintanya selalu berkobar untuk Azki. Perempuan istimewa yang telah berkhidmat sepenuh hati untuknya dan untuk anak-anak mereka.

"Aku berharap kamu bisa meneladani Zainab binti Jahsy dalam hal produktivitas beliau yang tetap dalam koridor syariat, tanpa menyalahi kodrat. Juga kedermawanan beliau. Aku yakin, kamu sangat bisa untuk itu." Satu kecupan menghangatkan kening Azki.

"Doakan Ki terus ya, Mas. Semoga Ki bisa selalu mencontoh para sahabat. Dan semoga Ki bisa selalu pantas bersanding sama Mas."

"Udah ah, nggak usah mulai lagi. Pokoknya i love you, Sayang. Sekarang kita siap-siap. Aku nggak mau dengar alasan ini itu anu lagi. Kamu harus bahagia sama aku."

Azki mengangguk. Untuk kesekiankalinya ia merasa sangat bersyukur. Dia yang biasa-biasa saja, Allah sandingkan dengan Anas yang selalu bisa membuatnya merasa teristimewa.

***

Sedikit informasi tentang Zainab binti Jahsy.

- Zainab binti Jahsy adalah sepupu Rasulullah dari jalur ibu. Ibunya bernama Umaimah binti Abdul Muthalib, saudara perempuan dari Abdullah bin Abdul Muthalib (ayah Rasulullah). Ayahnya Jahsy bin Ri'ab adalah kolega dari Abdul Muthalib. Abdul Muthalib sendiri adalah pembesar Quraisy. Secara nasab, harta, dan kedudukan, Zainab binti Jahsy adalah seorang perempuan terhormat atau bisa disebut sebagai bangsawan.
Sedangkan Zaid bin Haritsah dulunya adalah seorang budak yg dihadiahkan oleh keponakan Khadijah, kemudian oleh Khadijah dihadiahkan kepada Rasulullah. Zaid lalu dibebaskan oleh Rasulullah, bahkan disebutkan pula sebagai anak angkat beliau. Namanya sempat dinisbatkan kepada Rasulullah sehingga menjadi Zaid bin Muhammad.
QS. Al Ahzab: 5 menerangkam bahwa anak angkat tidak bernasab pada ayah angkatnya, melainkan tetap mengikuti nasab ayah kandungnya.

- Zaid menikah dengan Zainab hanya sebentar. Perbedaan status membuat rumah tangga keduanya tidak harmonis. Zainab dan keluarganya sebenarnya keberatan dinikahkan dengan Zaid, begitu pula Zaid yg merasa kedudukannya tidak sejajar dengan Zainab. Di masa itu masyarakat masih sangat menjunjung tinggi strata sosial. Nabi ingin meruntuhkan tradisi yang demikian dg menikahkan Zainab dan Zaid.

- Perceraian Zaid dan Zainab yg kemudian setelahnya Zainab dinikahi oleh Nabi terdapat dalam QS. Al Ahzab: 37. Ayat ini menjelaskan bahwa diperbolehkan menikahi mantan istri anak angkat sebab tidak termasuk mahram.
Dalam ayat ini nama Zaid disebutkan secara jelas. Ini menjadikan Zaid sebagai satu-satunya sahabat yg namanya disebutkan secara terang dalam Al Qur'an.

- Kisah ini juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi Zainab, khususnya di depan istri-istri Nabi yg lain. Dalam sebuah riwayat, Zainab pernah berkata, "Kalian dinikahkan oleh bapak-bapak kalian. Sedangkan aku langsung dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh."

- Pelajaran yg bisa diambil dari pernikahan Zaid dan Zainab adalah tentang pernikahan yg sebaiknya sekufu/sepadan. Sepadan bisa dalam hal nasab, kedudukan, harta, ilmu, kesholihan, dsb. Tidak sekufu pun tidak mengapa, tetapi perlu kesabaran dan upaya yg lebih keras, juga menurunkan ego masing-masing agar tidak ada yg merasa direndahkan, dsb.

***

Alhamdulillah ketemu lagi sama keluarga Anas.

Harusnya mau update pas 3 Ramadan, terus tiap 3 hari sekali gitu. Tapi karena beberapa alasan, aku sempat maju mundur. Sempat kepikiran untuk berhenti menulis (lagi) barang sejenak dan merenung, karena aku merasa....

Ah, syudahlah. Biar kusimpan sendiri saja alasannya. Hehe.

So, aku nggak bisa janji akan update berapa hari sekali, atau malah nggak update lagi sama sekali. Lihat gimana nanti. Jadi nggak usah ditunggu-tunggu yaaa.

Pokoknya aku mengucapkan terima kasih banyak dan mohon maaf yg sebesar-besarnya kepada teman-teman pembaca semua. Semoga tetap suka dg tulisan-tulisanku dan semoga ada manfaat yg bisa diambil.

Kita saling mendoakan yaaa.

See you :)

Semarang, 29032023
(8 Ramadan 1444H)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top