5. Al Ummi

Bismillah.

***

Ada hal yang sejak kemarin sore menjadi ganjalan di hati Azki. Mau bicara pada Anas, suaminya sedang sibuk sekali. Sudah dua hari Anas pergi pagi pulang malam. Ini hari ketiga, Azki tak tahu suaminya akan pulang jam berapa. Kesibukannya di kampus sampai sore hari, entah sibuk apa, yang Azki hanya tahu hanya ada urusan penelitian, tapi tak tahu detailnya. Undangan buka bersama mulai berdatangan, dilanjutkan jadwal menjadi imam selain di Al Jaliil.

"Baru kemarin-kemarin bilang mau ngurangin kesibukan, eh ini malah makin sibuk. Kesel!" Azki menggumam sendiri. Urusan dapur sudah selesai, pun urusan rumah. Ia duduk di sofa teras belakang, memegang novel kesayangan yang sudah berkali-kali ia baca.

"Maaf ya, Ki, ini jadwalnya udah ada dari lama. Nggak bisa distop gitu aja." Azki hampir terlonjak. Jantungnya mau lepas saking terkejutnya.

"Mas kenapa suka ngagetin gitu, sih?! Kalau Ki jantungan gimana?!" Ngegas adalah koentji. Tapi Azki tetap meraih dan mencium tangan suami.

"Ssstt, jangan kenceng-kenceng, nggak bagus kalau anak-anak dengar. Nanti dikira ibunya bentak-bentak bapaknya."

"Ya Mas juga sih, dikira lucu apa ngagetin orang, gitu? Huh!"

"Weekend kita ke Kajen yuk. Kayaknya kamu perlu refreshing. Wajahmu kelihatan lagi banyak pikiran. Kalau di sana kan kamu nggak perlu repot dengan urusan rumah, masak, nyuci, dan segala macam. Mau?"

"Belum tahu."

"Kenapa, Ki? Belum pengen berbagi sama aku, kah?" Anas duduk di samping sang istri, meraih tangan Azki dan mengelusnya lembut.

"Mas bau acem. Mandi dulu sana. Ki nitip anak-anak dulu ke Han dan ibu. Ada yang mau Ki omongin. Ki udah nggak betah."

Ingin bertanya lebih lanjut, tapi Anas memilih menahan. Toh tak lama. Hanya terjeda mandi saja, setelah itu juga dia akan tahu. Ditanyakan sekarang justru bisa berpotensi membuat Azki berubah pikiran. Lebih parah lagi, ngambek.

Sekeluarnya dari kamar, Anas belum melihat Azki. Di teras belakang tak ada. Dapur, ruang tengah, ruang cuci, sampai ruang tamu tak ada. Berarti masih di rumah ibu. Anas kembali ke dalam, menunggu di ruang belakang. Dilihatnya buku yang tadi dipegang istrinya.

"Mendadak Mama. Lucu amat judulnya." Ia menggumam sambil tersenyum sendiri.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, Mas?"

"Astaghfirullah hal adziim. Huff, kaget aku, Ki. Untung cinta." Azki terpingkal-pingkal. Senang karena berhasil membalas Anas yang suka mengagetkannya, juga merasa lucu dengan kalimat 'untung cinta'.

"Seneng ya kalau lihat suami kaget." Gemas. Dicubitnya hidung Azki, lalu menariknya untuk duduk berdua.

"Gimana, Sayang? Tadi mau ngobrol apa?" Anas mulai serius.

"Emm..., anu..., itu..., emm..., g-gimana kalau anak-anak, emm..., kita s-sekolahin?" Azki menundukkan wajah dalam-dalam, tak berani menatap kepada suaminya. Jarinya sibuk memilin-milin daster.

"Ki, jangan menunduk. Kita mau bicara serius. Kalau kamu seperti itu, berarti kamu belum siap bicara." Bagi Anas, bicara serius berarti bicara sebagai orang dewasa. Tak ada wajah yang disembunyikan, mata yang menghindar, dan semacamnya. Hanya boleh gugup dan keringatan saja.

Azki mengangkat muka dengan berat. Tak siap melihat respon Anas melalui air mukanya.

"Kenapa, Ki? Kamu capek, kah? Anak-anak susah dikasih tahu? Atau aku kurang bantu kamu? Atau mungkin kamu pengen berkarir? Maaf, Ki, aku bukan keberatan. Aku cuma pengen tahu alasannya."

Dulu Anas pernah menawarkan hal itu pada Azki, memasukkan Ja'far dan Fakhi ke baby school, day care, atau semacamnya, tapi Azki menolak. Alasannya ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, dan Azki ingin mengambil peran itu. Sedangkan pertimbangan Anas adalah siapa tahu Azki ingin punya waktu untuk me time, paling tidak dua hari sekali selama 3-4 jam. Atau memilih hari sekolah yang selang seling sehingga Azki bisa punya waktu berdua saja dengan Ja'far dan Fakhi bergantian.

"Ki..., emm..., Ki...." Tak sanggup melanjutkan, yang ada malah Azki sesenggukan. Anas diam saja, tak memeluk atau lainnya. Membiarkan Azki sampai bisa tenang dan menguasai dirinya sendiri.

"Maaf, Mas."

"It's okay. Kutunggu sampai kamu siap mengatakannya."

Tak ada pilihan untuk Azki. Resiko mengajak bicara serius dengan Anas ya seperti ini. Dalam beberapa hal, Anas bisa sangat tegas dan cenderung kaku. Termasuk obrolan yang dari awal sudah dibandrol 'serius', apalagi topiknya tentang anak-anak.

"Anak-anak belum bisa baca, Mas." Azki menelan ludah. Seharusnya itu bukan alasan, tapi memang itulah yang mengganggunya sejak beberapa hari lalu.

"Ya, so?"

"Han dulu umur segitu udah bisa baca."

"Lalu apa masalahnya kalau Ja'far dan Fakhi belum bisa membaca di umur sekarang?"

"Ki merasa nggak becus jadi ibu. Nggak kayak Mbak Nina, yang sama-sama di rumah aja tapi bisa menghandle Han sampai kepandaiannya melebihi anak seusianya."

Anas heran, kenapa tiba-tiba itu menjadi masalah buat Azki. Sebelumnya perempuan yang dicintai itu tak pernah risau soal kemampuan kognitif anak-anak mereka.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba jadi risau soal beginian? Masih ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Berbohong pada Anas itu satu hal yang percuma, ini bukan yang pertama buat Azki. Serapat apapun ia menyembunyikan, feeling Anas pasti membuatnya tak berkutik.

"Kemarin budenya anak-anak bilang, Ja'far sama Fakhi nggak pernah kamu kenalkan huruf sama angka to, Ki? Walaupun kamu nggak ada obsesi kemampuan anak-anakmu melebihi usianya, tapi kan itu tetap harus kamu kenalkan sejak dini.

"Padahal kan Ki udah kenalin, udah ajarin. Memang mereka belum tertarik, jadi masih minim banget kemampuannya. Tapi denger budenya bilang begitu, Ki ngerasa bersalah banget. Mas udah percayakan anak-anak sama Ki, udah fasilitasin segala macem, tapi Ki nggak bisa bikin anak-anak pintar. Ki memang ibu yang nggak becus." Tangisnya pecah lagi. Kali ini Anas memberi pelukan yang menguatkan.

"Nggak begitu, Ki. Kamu jangan langsung membandingkan dari keberhasilannya saja. Kamu sama Mbak Nina memang kondisinya beda, maka bukan sesuatu yang harus dirisaukan kalau hasilnya juga beda."

Anas mengurai perbedaan yang ada pada kondisi Azki dan kakak iparnya. Azki tiga tahun lebih menghandle dua anak sendirian, di tempat yang jauh dari keluarga. Masih harus mengurus rumah, juga suami. Semua dia lakukan sendiri. Hampir setahun di Jogja pun satu-satunya yang meringankan Azki adalah tinggal bersebelahan dengan ibunya, yang itu berarti ada bala bantuan menjaga anak-anak saat dia sibuk dengan urusan rumah.

Berbeda dengan Nina. Dari sejak mulai berumah tangga, Nina sudah tinggal bersama ibu mertua. Beberapa tahun berikutnya ada Azki yang lulus pesantren dan kembali ke rumah untuk kuliah di Jogja. Keluarga besar Nina hampir semua tinggal di Jogja. Anak hanya satu. Tidak mengurus suami karena Harits sedang menyelesaikan PhD di luar negeri. Pekerjaan rumah pun ditanggung berdua dengan ibu mertua.

"Bukan mau membandingkan ya, Ki. Tapi kalau mau melihat secara objektif, itu saja sudah berpengaruh besar lho. Aku nggak keberatan kalau anak-anak harus sekolah, tapi alasannya harus benar-benar bisa diterima. Bukan apa-apa, Ki, aku cuma sayang aja kalau sampai potensi pahala jariyah jadi jatah orang lain, dan bukan kita, khususnya kamu sebagai ibunya anak-anak."

Anas pernah menyampaikan pada Azki bahwa sebisa mungkin pendidikan anak-anak yang paling awal didapat dari ibunya sendiri. Terutama menghafal Al Fatihah, membaca, menulis, juga berhitung. Tak harus sampai si anak menjadi pandai dalam segala hal, tapi minimal dasarnya mereka dapat dari ibunya. Maka sepanjang ilmu tersebut berguna, tak berhenti pula aliran pahala untuk ibunya sebagai madrasah pertama.

Itu pula yang selalu menjadi motivasi bagi Azki untuk meng-handle anak-anaknya sendiri. Qodarullah, mereka berdua belum Allah izinkan pula memiliki adik bagi Ja'far dan Fakhitah, meski Anas sendiri sudah rindu untuk kembali menimang bayi.

"Sekali lagi, aku tak melarang atau keberatan ya, Ki. Yang penting alasanmu kuat dan bukan sekadar karena terpengaruh omongan orang. Percayalah, anak-anak hanya belum tertarik saja. Nanti jika sudah tiba waktunya, mereka pasti akan bisa. Aku tahu persis kamu bukan tak berusaha, kamu hanya kurang menikmati prosesnya.

"Kukasih tahu ya, Ki, biar kamu bisa enjoy dengan step by step-nya."

"Hemm."

"Jangan pasang target untuk sesuatu yang itu tidak disebutkan dalam Al Qur'an atau hadits. Baca tulis misalnya. Nggak perlu risau karena memang tidak ada patokan umur untuk itu. Risaulah ketika kita tidak mengikuti step step yang disebutkan dalam Al Qur'an atau hadits. Aqiqah di usia tujuh hari, misalnya. Lalu menyapih di usia dua tahun atau kurang dari itu.

"Risaulah ketika menjelang umur tujuh anak-anak belum siap dilepas untuk melaksanakan salat, belum mengerti hakikat berpuasa, belum paham tentang thoharoh atau bersuci, dan semacamnya.

"Saat anak-anak umur 2-7 tahun, sibuklah mengajarkan anak ttg ketakwaan kepada Allah, Ki. Menanamkan kepada mereka keimanan. Soal berhitung, membaca, menulis, nggak ada target waktu yang ditetapkan. Apalagi kamu sudah selalu berusaha mengajari dan mengarahkan, Ki. Insya Allah kalau sudah waktunya, anak-anak akan bisa.

"Di alam semesta ini, yang sudah ditetapkan untuk ummi hanya Rasulullah saja. Ummi, tidak bisa baca tulis. Bagi Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam ini bukan kekurangan, sebaliknya ini justru sebuah keistimewaan."

"Wait deh, Mas. Jadi Rasulullah itu memang benar nggak bisa baca tulis kah?"

"Ya. Dan itu adalah keistimewaan. Tersebut dalam firman Allah pada surat Al A'raf ayat 157-158 dan surat Al Ankabut ayat 48."

Anas membacakan ayatnya, disusul artinya. Kemudian menjelaskan tentang Al Ummi dalam surat Al A'raf ayat 157-158. Bahwa dalam kitab-kitab terdahulu yaitu Taurat dan Injil, telah disebutkan tentang utusan Allah yang ummi, yang tak bisa membaca dan juga tak pernah menulis.

Kemudian dalam surat Al Ankabut ayat 48, ditunjukkan bahwa Rasulullah tidak pernah membaca kitab apapun sebelum Al Quran, juga tidak pernah menulis satu kitab pun dengan tangannya.

Ini adalah bagian dari keistimewaan, sebab Rasulullah itu memiliki kecerdasan yang luar biasa. Logikanya, belajar baca tulis pun bukan sesuatu yang sulit bagi beliau. Tetapi inilah satu tanda kerasulan yang telah disebutkan kepada kaum-kaum sebelumnya.

"Jadi kalau Ja'far dan Fakhitah belum bisa membaca, tak perlu khawatir, Sayang. Sebab selain Rasulullah, orang yang tak bisa baca tulis itu kemungkinannya hanya dua. Pertama tidak pernah belajar, kedua tidak punya kemampuan untuk belajar. Itu saja. Sedangkan anak-anak kita, mereka belajar dengan ibunya, dan insya Allah mereka punya kemampuan untuk menerima pelajaran. Semua hanya soal waktu saja.

"Tentunya suatu saat nanti Ja'far dan Fakhi akan dan harus menguasai kemampuan dasar tersebut, sebab bagi orang biasa, tidak bisa membaca dan menulis bisa jadi adalah kekurangan. Tapi tidak demikian bagi Rasulullah. Kenapa begitu? Sebab kalau Rasulullah bisa membaca dan pandai menulis, maka mereka yang tidak beriman akan mengatakan bahwa Al Qur'an adalah karangan Rasulullah dari hasil membaca kitab-kitab sebelumnya, lalu menambah dan menuliskan dengan tangannya.

"Itulah salah satu kekhususan, yang membedakan Rasulullah dengan orang biasa."

Azki mengangguk-angguk. Kalau ditanya siapa idolanya setelah Rasulullah, bapak, ibu, dan Mas Harits, pastilah jawabannya Mas Anas. Eh, bukan. Ahmad Nashiruddin bahkan sudah menggeser kedudukan Syarif Al Harits sebagai idola di hati Syarifa Tazkiya.

"Tapi bukan berarti aku melarang kamu memasukkan anak-anak ke sekolah ya, Ki. Semua terse---"

"Ki memilih untuk ngajarin mereka sendiri, Mas. Terima kasih udah selalu mengingatkan dan mengajari istrimu yang bodoh ini."

"Kan, mulai kaan. Udah, besok sore ikut aku buka bersama keluarga besar dosen FE. Kali ini aku nggak mau tahu dan nggak mau dibantah. Pokoknya kamu harus ikut."

"Tapi, Mas...."

"Tadi jadi bikin onde-onde kan, Ki?" Anas membahas yang lain, tandanya sudah tak ada kesempatan bagi Azki untuk mengajukan alasan apapun kecuali pasrah.

"Ehk, Mas tuh mintanya onde-onde apa wedang ronde sih?" Azki kaget.

"Onde-onde."

"Lah, Ki bikinnya malah wedang ronde."

"Gimana sih, Ki. Aku kan udah bilang dengan jelas kalau onde-onde. Aku tuh dari tadi udah ngebayangin kumbu kacang ijo bikinan kamu yang enak itu. Kok malah wedang ronde sih." Wajah Anas terlihat bete. Satu kelemahan yang selalu muncul kalau kudapan yang direquestnya tidak tersaji sesuai harapan.

"Cieee, Pak Ustadz bete nih ye. Lupa habis tausiyah nih?" Azki tertawa menggoda.

"Iya deh, insya Allah Ki bikinin nanti habis maghrib, waktu Mas nemenin anak-anak ngaji. Tapi mungkin baru jadi besok pas mau sahur."

"Kok lama, Ki?"

"Ya kan Ki mesti nempelin wijennya satu per satu, Mas."

"Azkiii...."

Azki cekikikan. Buru-buru ngibrit menjemput anak-anak di rumah ibunya untuk berdoa bersama menjelang bedug maghrib tiba.

***

Sedikit informasi tentang Al Ummi yang menjadi salah satu tanda kerasulan Nabi Muhammad.

- Terdapat dalam QS. Al A'raf: 157-158

QS. Al A'raf: 157-158

- Terdapat dalam QS. Al Ankabut: 48

QS. Al Ankabut: 48

- Ada riwayat bahwa Rasulullah pernah menulis sesuatu yaitu pada perjanjian Hudaibiyah.
Pada waktu itu Rasulullah melakukan perundingan dengan wakil dari Quraisy yaitu Suhail bin Amr. Setelah terjadi kesepakatan mengenai isi perjanjian, Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan isi perjanjian tersebut.
Rasulullah mendiktekan kepada Ali, "Bismillahirrahmanirrahim." Lalu Suhail menyela, "Tentang Ar Rahman, aku tidak tahu siapa dia. Karena itu, tulislah 'Bismika Allahumma.' Nabi pun memerintahkan Ali menulis seperti itu.
Kemudian beliau mendiktekan lagi, "Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad, Rasulullah." Suhail kembali menyela, "Kalau kami mengakui bahwa Engkau adalah utusan Allah, tentunya kami tidak akan menghalangimu memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Maka tulislah, Muhammad ibni Abdillah."
Rasulullah berkata, "Bagaimanapun aku adalah utusan Allah sekalipun kalian mendustakanku." Lalu beliau memerintahkan Ali agar menghapus kata Rasulullah dan menulis sesuai usulan Suhail, tetapi Ali bin Abi Thalib menolak hal tersebut.
Akhirnya Rasulullah yang menghapus tulisan tersebut dan menggantinya menuliskan dengan tangan beliau sendiri.
(Sumber: hal. 610-611 buku Sirah Nabawiyyah - Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri - Penerbit Ummul Qura)

- Ada pula yang menyebutkan, ketika Ali bin Abi Thalib menolak menghapus dan mengganti tulisan 'utusan Allah' maka Rasulullah meminta kepada Ali untuk menunjukkan di mana letak kata yang harus beliau hapus, lalu menghapus dan menuliskan 'Ibni Abdillah' dengan tangan beliau sendiri.

- Al Ummi pada Rasulullah menunjukkan bahwa Al Qur'an adalah benar-benar diturunkan oleh Allah, sebab Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan menulis apapun sebelum turunnya Al Qur'an (Perjanjian Hudaibiyah terjadi satu tahun menjelang Fathu Makkah, dan saat itu Al Qur'an sudah -lama-  diturunkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam).
Jika Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis, maka akan menimbulkan dugaan bahwa beliau yang menulis Al Qur'an dari hasil membaca isi kitab-kitab sebelumnya.

- Ini juga menunjukkan bahwa Al Qur'an bisa dihafalkan oleh siapa saja, sekalipun ia tak bisa membaca dan atau menulis

Demikian sedikit informasi tentang Al Ummi, sebuah keistimewaan yang melekat pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam. Sesungguhnya segala kebenaran adalah dari Allah saja. Jika ada kesalahan dan kekurangan, maka semua berasal dari aku, mohon dikoreksi.

***

Alhamdulillah. Akhirnya kelar juga nih nulis part ini. Hehe...

Ketemu lagi sama keluarga Bapak Anas yaaa. Semoga teman-teman senang.

Kali ini pengen coba angkat tentang Al Ummi pada Rasulullah. Karena anak pernah bertanya, benarkah Nabi Muhammad itu nggak bisa membaca dan nggak pernah menulis? Karena setahu mereka, Nabi Muhammad itu manusia yg paling dimuliakan, masa iya nggak bisa baca tulis?

Jadi memang benar. Cumaaa, nggak bisa baca tulisnya Rasulullah itu justru adalah sebuah keistimewaan atau kekhususan. Bukan kayak kita-kita yang manusia biasa (biasa saja) ini :)

Baiklah, begitu dulu ya. Kurang lebihnya mohon maaf, dan mohon bantu koreksi kalau menemukan kesalahan ya teman-teman.

See you.

Semarang, 04052021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top