3. Utsman bin Affan
Bismillah.
***
Azki menaruh piring terakhir berisi kudapan. Sore ini ia membuat pukis coklat dan keju. Request-nya siapa lagi kalau bukan Bapak Ahmad Nashiruddin. Untuk menu harian semua diserahkan sepenuhnya pada Azki, tapi khusus kudapan, Anas mengambil penuh wewenang untuk menentukan. Itupun tak terjadwal, seinginnya dia saja. Untung istrimu pintar masak, Nas!
"Hmm, bau pukisnya enak banget, Ki. Harusnya bikinnya agak nanti dikit, Ki, jadi pas buka puasa pas masih anget," komentar Anas. Ia baru usai mandi. Lalu meletakkan handuk basah di sandaran salah satu kursi di ruang makan. Kebiasaan --buruk-- yang baru terbentuk sejak Azki mengikutinya ke Riyadh.
"Dih, nggak bersyukur ya. Udah tinggal request dan makan aja, juga." Sengit Azki.
"Kalau bikinnya mepet takutnya malah nggak keburu, Mas. Sebentar lagi kan anak-anak pulang. Ki tadi juga nggak ngerti Mas bakalan pulang awal lagi. Kan jadwalnya Mas malam ini ngimamin di perumahannya Pak Dokter, to?" Yang dimaksud Azki adalah dokter Sadiyo, ayahnya Dokter Alia yang dulu jadi tempat konsultasinya saat hamil si kembar.
Anas pernah bercerita, kalau jadwal dia jadi imam di perumahan tempat tinggal Dokter Sadiyo, ia selalu diminta datang awal untuk buka bersama dengan takmir dan anak-anak TPQ.
"Itu kan dulu waktu masih bujang, Ki. Sekarang udah punya kamu, ya aku memilih buka di rumah."
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari teras, lalu ruang tamu, dan kegaduhan itu makin mendekat bersamaan si kembar berlarian menuju pelukan ayahnya.
"Bapak, Fakhi nggak jadi minta diceritain tentang shahabiyah. Mau diceritain kisah sahabat Utsman bin Affan saja," seru Fakhi. Ia dan Ja'far baru pulang dari TPQ, yang selama Ramadan jadwalnya digeser ke sore hari.
"Bapak, apa benar kalau bapak-bapak itu boleh punya ibu dua?" Ja'far ikut bicara. Sesuatu di luar dugaan bapak dan ibunya.
"Maksudnya gimana, Ja'far? Bapak kan memang punya ibu dua. Ibu juga punya ibu dua. Eyang Kajen sama Nenek."
"Bukan ibu yang seperti itu, Pak. Tapi ibu yang seperti Ibu. Ibu Azki. Jadi Bapak Anas punya ibu Azki dua, begitu."
"Istri maksudnya?"
"Nah, iya. Istri." Jawaban Ja'far membuat Azki melirik pada Anas, dengan lirikan yang mengandung sejuta makna.
"Ja'far habis dengar apa, kok terus tanya begitu?" Anas berlutut, menyejajarkan diri dengan anak laki-lakinya, meraih kedua bahu bocah itu, dan menatap lembut kedua matanya.
"Tadi Mas Ayyub --marbot Al Jaliil-- berkisah tentang Utsman bin Affan. Terus katanya punya julukan dzun nurain, pemilik dua cahaya. Dibilang begitu karena dia menikah dengan dua putrinya Nabi Muhammad. Menikah kan seperti Bapak sama ibu, kan? Tapi kan Bapak menikah ibunya cuma satu."
Anas tersenyum, dia sudah tahu apa yang mendasari pertanyaan Ja'far baru saja. Digiringnya si kembar menuju ruang tengah, lalu ketiganya duduk di karpet.
"Ibu nggak pengen ikut dengerin, nih?"
"Nggak," sahut Azki sambil melempar lirikan setajam pedang pembunuh naga. Anas menyambutnya dengan tawa. Tahu betul istrinya agak sensitif kalau mendengar bahasan tentang 'ibunya dua'.
Sebenarnya Azki ingin ikut mendengar penjelasan Anas juga. Tapi gengsinya lebih tinggi. Dia memilih melanjutkan bersih-bersih dapur. Tentu saja sambil pasang kuping baik-baik bagai bionic woman.
Anas memulai penjelasannya. Bahwa benar Sayyidina Utsman bin Affan menikah dengan dua putri Nabi, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Tetapi tidak dalam waktu yang bersamaan.
"Sayyidina Utsman menikah dulu dengan Ruqayyah, putri Nabi. Lalu Ruqayyah sakit, kemudian meninggal. Sayyidina Utsman merasa sangat sedih, karena kehilangan Ruqayyah. Nabi melihat kesedihan sahabatnya, kemudian menyuruh Utsman untuk menikah dengan Ummu Kultsum, adik dari Ruqayyah, yang juga anak dari Rasulullah.
"Itulah kenapa sahabat Utsman bin Affan punya nama julukan sebagai dzun nurain, pemilik dua cahaya. Yang dimaksud dua cahaya itu adalah dua putri Nabi."
"Berarti bukan ibunya langsung dua gitu ya, Pak?"
"Bukan ibunya, Ja'far. Itu namanya istri." Fakhitah meluruskan.
"Iya. Fakhi betul, bukan ibunya, tapi istrinya." Anas menguatkan pernyataan Fakhitah.
"Iya, maksudnya itu. Tapi kalau istrinya langsung dua itu juga boleh apa nggak, Pak?"
Anas tertawa dalam hati. Pertanyaan anak empat tahun ini kalau tidak dijawab dengan bijak bisa bikin dia didiamkan ibunya semalam suntuk. Dan Anas tahu persis, Azki pasti sedang pasang telinga super untuk turut mendengar percakapan mereka.
"Kalau seperti sahabat Utsman bin Affan, itu tidak boleh. Karena Ruqayyah dan Ummu Kultsum adalah kakak beradik. Menikah dengan kakak beradik dalam satu waktu tidak boleh dalam Islam. Kalau pada sayyidina Utsman bin Affan itu kan kakaknya meninggal, baru menikah dengan adiknya. Kalau seperti itu boleh."
"Nah kalau nggak kakak beradik, gimana, Pak?" Anas tak tahan lagi. Ia tertawa mendengar pertanyaan lanjutan dari Ja'far.
"Ja'far. Dan Fakhi juga. Dalam Islam itu ada peraturan-peraturan yang sangat banyak, dan semua bisa dipelajari. Tapi ada waktunya. Kalau untuk seusia Ja'far dan Fakhi, belajarnya belum seberat itu, nanti kalian bisa sakit kepala. Yang penting sekarang anak-anak bapak belajar dulu adab yang baik, mulai menghafal surat-surat pendek, doa-doa, bacaan sholat, dan semacamnya sesuai usia kalian. Nanti semakin besar, yang kalian pelajari juga akan semakin banyak. Hanya saja waktu itu kalian sudah siap menerima penjelasan yang lebih sulit. Oke?"
"Siap," jawab Ja'far dan Fakhi kompak.
"By the way, tadi Mas Ayyub cerita apa sih tentang Utsman bin Affan?" Anas ingat, ia belum tahu inti cerita yang disampaikan oleh Ayyub di TPQ.
Fakhi buru-buru menyahut, "Tentang sumur untuk orang Madinah, Pak."
Anas mengangguk-angguk, mengusap kepala Fakhi dengan sayang. Kalau Ja'far senang bicara, Fakhi cenderung lebih pendiam. Kalau Ja'far spontan tapi sering lupa, Fakhi adalah seorang perekam yang baik, dia yang akan meralat dan meluruskan kelupaan saudara kembarnya.
"Fakhi mau menceritakan ulang untuk bapak?" Gadis cilik itu mengangguk malu-malu. Wajahnya saat demikian selalu mengingatkan Anas pada masa awal perkenalannya dengan Azki. Bedanya, malu-malunya Azki hampir selalu berujung malu-maluin. Semoga yang demikian tak menurun pada Fakhi.
Anas tersenyum sendiri. Selalu begitu setiap kali mengingat pertemuannya dengan sang istri. Ia lantas memanggil Azki untuk ikut mendengarkan Fakhi bercerita.
"Dulu di Madinah terjadi kekeringan,---"
"Musim kem..., kema..., kem apa ya?" Ja'far menyela. Hendak menyahut, tapi dia lupa kata-katanya.
Anas mengingatkan bahwa Ja'far harus mempunyai adab yang baik dalam bermajelis, diantaranya tidak boleh menyela saat seseorang sedang berbicara.
Fakhi mengulang kembali dari awal.
"Dulu di Madinah terjadi musim kemarau. Satu-satunya sumur yang masih ada airnya adalah sumur Raumah, yang punya orang yahudi. Orangnya pelit. Dia menjual air dari sumur tersebut, harganya mahal sekali. Kaum muslimin sampai kesulitan untuk membeli. Terus Nabi membuat pengumuman, siapa yang mau bersedekah atau menyumbang untuk beli sumur, Allah akan balas dengan memberikan surga.
"Utsman maju, dia yang mau beli sumurnya. Akhirnya sumurnya bisa dibeli dengan harga yang mahal sekali. Sumurnya disumbangkan untuk orang Madinah. Siapa saja boleh ambil airnya, tidak usah bayar. Gratis.
"Kata Mas Ayyub, dari kisah itu kita bisa belajar tentang sedekah. Kalau sedekah itu selain harus ikhlas juga tidak boleh takut...." Fakhi berhenti, ada keraguan tampak di wajahnya.
"Tidak boleh takut apa, Sayang?" tanya Anas setelah menunggu beberapa saat dan yakin bahwa putrinya sudah tak akan berbicara lagi.
"Maksudnya emm, kalau nggak salah tadi kata Mas Ayyub, tidak boleh takut miskin. Karena, emm..., karena sedekah tidak akan membuat orang menjadi miskin."
"Ah, iya iya. Betul sekali Mas Ayyub. Terus kenapa Fakhi kelihatannya ragu-ragu begitu, Nak?"
"Emm, tapi kata Mas Ayyub, sedekahnya Utsman bin Affan itu banyaaakk banget, Pak. Kalau uangnya dikeluarkan banyak sekali, apa orangnya nggak jadi miskin ya, Pak?" Anas mengusap kepala Fakhi. Anak itu sedang tidak yakin dengan pendapatnya sendiri. Dan kalau lagi seperti itu, Fakhi --lagi-lagi-- mirip sekali dengan ibunya.
"Benar, Sayang. Apa yang dikatakan Mas Ayyub benar, bahwa sedekah tidak akan membuat orang menjadi miskin, karena sedekah itu seperti kita menitipkan uang atau harta kita kepada Allah. Kalau pak satpam saja bisa menjaga dengan baik, apalagi Allah yang Maha Menjaga.
"Sedekah juga melatih kita untuk tidak pelit, tidak memegang erat-erat harta kita, tidak merasa semua harta itu punya kita. Karena Allah memberi kita harta itu menitipkan sebagian juga untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan. Bukan untuk kita sendiri."
"Maksudnya saudara yang mana, Pak? Saudara kita kan sudah punya uang semua. Mas Han saja uangnya lebih banyak dari aku dan Fakhi. Malah dia sudah boleh pegang uang sendiri," ujar Ja'far dengan kening berkerut. Sudah macam orang tua saja. Anas tersenyum lagi.
"Saudara sesama manusia, Nak. Tidak semua manusia atau orang itu punya uang yang cukup, untuk membeli makan misalnya. Nah, kita bisa bantu mereka dengan memberikan uang untuk beli makanan, atau memberi makanan yang sudah jadi."
"Oh, kayak nasi kotak yang tadi ada di masjid ya, Pak? Kata Mas Ayyub selama bulan Ramadan, di masjid ada nasi kotak untuk saudara kita yang berpuasa tapi tidak punya makanan untuk berbuka," kata Fakhi.
"Oh iya. Sama yang sedang dalam perjalanan, Pak. Misalnya pas waktu buka belum sampai rumah. Boleh ambil nasi kotak yang ada di situ." Ja'far menyahut dengan semangat.
"Nah, betul. Itu nasi kotak dari sedekah jamaah masjid. Jadi tidak hanya satu orang, tapi ada banyak yang menyumbang atau bersedekah. Ada yang sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima puluh ribu, dan seterusnya. Uangnya dijadikan satu, kan jadi banyak tuh, terus dipakai untuk membuat nasi kotak."
"Berarti bersedekah itu nggak harus banyak seperti Utsman ya, Pak?"
"Betul, Sayang. Bersedekah juga tidak harus banyak. Bisa semampunya, sepunyanya. Bisa mulai dari yang kecil, tapi kalau sudah mampu yang besar, yang banyak, ya sedekah banyak lebih baik. Kalau Sayyidina Utsman bin Affan sedekahnya memang selalu banyak, karena harta beliau juga sangat banyak."
"Berarti orang miskin nggak bisa sedekah dong, Pak. Kasihan ya, Pak? Padahal kan balasannya surga ya? Seperti pengumumannya Nabi, kalau bersedekah untuk beli sumur dapat balasan surga dari Allah."
"Masya Allah, anak ibu pintar-pintar sekali." Azki terharu melihat kepedulian anaknya. Ia sama sekali tak menyangka, pertanyaan seperti itu akan keluar dari anak empat tahun seperti Fakhi.
"Anak bapak, Bu," goda Anas.
"Iya deh, kalau pintar anak bapak." Anas terkekeh, mengacak rambut Azki dan menatapnya dengan penuh cinta
"Ada salah satu hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Jagalah diri kalian dari api neraka sekalipun hanya sedekah setengah biji kurma. Barangsiapa yang tak mendapatkannya, maka ucapkanlah perkataan yang baik.
"Jadi sedekah bisa menyelamatkan kita dari api neraka, walaupun cuma mampu bersedekah kurma separuh saja. Kalau separuh kurma juga tidak punya, maka bisa bersedekah minimal dengan perkataan yang baik. Ngomong yang baik-baik. Tidak menyakiti orang lain."
"Berarti tidak harus dengan uang atau harta ya, Pak?" Ja'far kembali bertanya.
"Iya. Bahkan kamu tersenyum kepada saudaramu itu sudah termasuk sedekah. Atau bisa juga bersedekah tenaga. Misalnya ada pembangunan masjid, ada orang yang ingin sedekah tapi nggak punya uang, dia punyanya tenaga atau kekuatan. Maka waktu dia punya hari libur, dia gunakan untuk ikut membantu pembangunan masjid, misalnya dengan membantu pak tukang membawakan pasir atau batu. Seperti itu."
Si kembar mengangguk-angguk. Tak sepenuhnya paham, tapi mereka tahu bahwa sedekah itu tidak sulit, dan semua orang memiliki kesempatan untuk melakukannya.
"Ibu, besok pagi tolong bantu Fakhi buka kencleng yang punya Fakhi ya, Bu. Fakhi mau ikut sedekah untuk buat nasi kotak yang di masjid."
"Punya Ja'far juga ya, Bu." Ada yang tak mau kalah.
"Masya Allah. Anak-anak ibu yang sholih sholihah mau langsung mencontoh sahabat Utsman bin Affan." Azki memeluk kedua buah hatinya. Memeluk dan mengecup kening masing-masing dari mereka.
Waktu berbuka puasa hampir tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya saat di Riyadh, Anas mengajak keluarganya untuk berdoa. Karena waktu menjelang buka puasa adalah salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa.
Anak-anak berlarian ke meja makan begitu beduk Al Jaliil terdengar. Anas memandangi mereka dengan bahagia. Syukur tak henti mengalir dari lisannya, juga dalam hatinya. Diraihnya kedua tangan Azki, lalu mengecup kedua punggung tangan itu. Seperti yang sudah-sudah, mata Anas berkaca-kaca. Sejak menikah, Azki selalu menjadi sesuatu yang rasa syukur karenanya tak pernah berhenti Anas sampaikan kepada Rabb-nya.
"Terima kasih sudah hadir di hidupku ya, Ki. Terima kasih sudah selalu sabar memberi kebahagiaan untukku. I love you."
"Waah, Bapak sama Ibu cie cieee." Dari meja makan, duo bocil itu meneriaki bapak ibunya dengan gembira, tanpa rasa berdosa. Kepolosan mereka membuat Anas dan Azki ikut tertawa.
***
Sedikit informasi tentang sahabat mulia Utsman ibn Affan.
- Utsman bin Affan adalah khalifah yang ketiga dari khulafaur rasyidin.
- Mendapat julukan dzunnurain atau sang pemilik dua cahaya sebab pernah menikah dengan dua putri Rasulullah. Yang pertama dengan Ruqayyah, kemudian setelah Ruqayyah wafat, Rasulullah meminta Utsman menikah dengan Ummu Kultsum. Bahkan setelah Ummu Kultsum wafat, jika Rasulullah masih punya putri lagi beliau sangat ingin untuk menikahkannya dengan Utsman.
- Utsman bin Affan terkenal dengan kedermawanannya. Beliau identik dan ikonik dengan sedekah, sebab sedekah beliau tak hanya banyak tapi juga fenomenal.
- Utsman pernah membeli sumur Raumah. Pada masa itu Madinah sedang dilanda paceklik. Satu-satunya sumur yang masih memiliki persediaan air melimpah adalah sumur Raumah. Pemiliknya adalah seorang yahudi yang kikir dan pelit, yang kemudian menjual air tersebut dengan harga yang sangat tinggi hingga para penduduk Madinah kesulitan membeli.
Kemudian Rasulullah bersabda, "Wahai Sahabatku, siapa saja di antara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat maka akan mendapat surga-Nya Allah Ta’ala.” (HR Muslim).
Utsman mengajukan diri. Datanglah ia kepada yahudi pemilik sumur. Setelah melalui tawar menawar yang alot, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Utsman akan membeli separuh sumur tersebut dengan harga 12.000 dirham. Membeli separuh sumur maksudnya berbagi hari, di mana satu hari menjadi hak Utsman atas air sumur tersebut, dan hari berikutnya menjadi hak si yahudi kikir. Begitu seterusnya bergiliran.
Si yahudi merasa menang, bisa menjual sumur dengan harga tinggi sekaligus bisa tetap menjual airnya untuk kepentingannya sendiri. Tetapi saat giliran hari sumur itu menjadi hak Utsman, Utsman menyuruh masyarakat mengambil air bersih untuk stok dua hari, sehingga esoknya tak perlu membeli air dari si yahudi kikir.
Si yahudi kikir tersebut merasa rugi, dan akhirnya menjual separuh haknya atas sumur tersebut dengan harga 8.000 dirham.
Utsman kemudian mewakafkan sumur tersebut untuk warga Madinah.
*Fyi: 1 dirham setara dengan sekitar 65.000 rupiah.
*Mengenai harga sumur, banyak yang menyebutkan nominal berbeda-beda
*Keberadaan sumur Raumah masih ada hingga sekarang. Letaknya di dekat masjid Qiblatain, di kota Madinah Al Munawarah.
- Utsman bin Affan juga memiliki rekening atas namanya.
Ceritanya adalah sebagai berikut:
Setelah membeli dan menyedekahkan sumur, Utsman kemudian membeli kebun yang luas di area sekitar sumur tersebut. Setelah Utsman tiada, bertahun-tahun kemudian kebun tersebut diambil alih kepengurusannya oleh Departemen Pertanian Kerajaan Saudi Arabia. Kebun tersebut memiliki sekitar 1550 pohon kurma yang hasilnya dibagi dua yaitu sebagian untuk disedekahkan kepada fakir miskin, dan sebagian lainnya dimasukkan ke dalam rekening atas nama Utsman bin Affan. Dari hasil kebun tersebut, pihak kerajaan juga mendirikan hotel di area masjid Nabawi dengan nama hotel Utsman bin Affan di mana penghasilannya juga untuk disedekahkan dan dimasukkan ke rekening Utsman bin Affan.
- Kisah sedekah fenomenal Utsman yang lain adalah saat Madinah dilanda paceklik di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Utsman mendatangkan kabilah dagang dari negeri Syam yang membawa seribu unta. Unta-unta tersebut membawa gandum, minyak, kismis, dan bahan makanan lain. Melihat hal tersebut, para pedagang Madinah (yang saat itu kesulitan stok dagangan) mendatangi Utsman dan menawar barang-barang tersebut dengan harga tinggi. Tapi Utsman menolak semua tawaran itu sebab ia mendatangkan barang-barang tersebut untuk disedekahkan pada penduduk Madinah.
Maka sore itu, seluruh warga Madinah mendapatkan persediaan bahan makanan untuk waktu yang cukup lama.
- Masih ada satu lagi sedekah Utsman yang fenomenal, yaitu pada perang Tabuk di mana jumlah pasukan kaum muslimin 30.000 orang akan berperang menghadapi pasukan Romawi yang jumlahnya 200.000 orang.
Rasulullah meminta kaum muslimin turut menginfakkan harta mereka di jalan Allah yaitu untuk mempersiapkan perang Tabuk. Kaum muslimin berlomba-lomba menyedekahkan harta sesuai kemampuan yang mereka miliki. Umar bin Khattab menginfakkan separuh hartanya, Abu Bakar Ash Shiddiq menyedekahkan seluruh hartanya. Lalu datang Utsman, ia bersedekah 900-an ekor unta dan 50-an ekor kuda perang lengkap dengan perlengkapan perangnya. Jumlah totalnya sekitar 1000 kendaraan perang.
Tak hanya itu, Utsman juga menambahnya dengan 1000 dinar lagi. Konon total sedekahnya saat itu jika dirupiahkan saat ini mencapai 2,4 triliun. Dan itu baru sepertiga dari harta kekayaannya.
*Fyi: nilai 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas.
- Meski termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dalam hal ibadah Utsman bin Affan juga tak tanggung-tanggung. Ada riwayat yang mengatakan bahwa beliau pernah mengkhatamkan Al Qur'an dalam satu rakaat salat witir. Masya Allah.
Wallahua'lam bishawab.
***
Demikian sedikit informasi mengenai sahabat Utsman bin Affan yang identik dengan sedekah dengan jumlah fenomenal.
Tentang beliau, insyaAllah referensinya sangat banyak, bahkan ada buku yang khusus membahas tentangnya. Aku hanya menulis sedikit dari membaca beberapa referensi yang juga sedikit.
Sebenarnya mau ku-post kemarin menjelang buka puasa. Tapi aku belum sempat nulis informasinya. Dan aku udah janji sama anak-anak mau beli es krim buat dimakan setelah buka puasa. Hehe... Setelah waktu buka, biasanya gak sempet ngetik dsb sampai anak-anak tidur. Ya sudahlah, ku-post-nya sekarang aja alias sesempatnya.
Kalau ada kesalahan dan kekurangan mohon dimaafkan yaaa. Terima kasih sudah membaca tulisanku ini. Semoga bermanfaat.
Jangan lupa untuk meneladani beliau, Utsman bin Affan dengan semangat bersedekahnya yang warbiyasak. Meski mungkin belum bisa bersedekah dengan nilai yang fenomenal, paling tidak sudah bernominal. Bahkan no-nominal pun tak apa. Menjaga lisan dari menyakiti saudaranya, misal. Seperti kata Bapak Anas. Hehe...
Tetap semangat untuk memanfaatkan kesempatan beribadah dg sebaik-baiknya di bulan yg mulia ini, yaaa
Jazakumullahu khairan.
Semarang, 22042021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top