2. Abu Darda' Al Anshari
Bismillah.
***
Anas baru pulang dari Al Jaliil. Seperti biasa, bakda subuh ia selalu tinggal sejenak hingga waktu syuruq tiba. Kadang mengisinya dengan dzikir, sering pula berdiskusi dengan jamaah seputar muamalah sehari-hari. Meski Anas sudah tak lagi menjadi marbot, sebab kini mencari marbot untuk Al Jaliil bukan lagi hal yang sulit, selalu ada mahasiswanya yang bersedia menempati posisi yang telah mengantarkan Anas memiliki istri.
Suara Azki terdengar dari ruang kerja Anas sekaligus perpustakaan. Anas suka sekali mendengar lantunan Al Qur'an dari bibir Azki. Katanya, biar didengarkan ratusan kali sehari, hatinya tetap bergetar setiap kali mendengar bacaan Al Qur'an Azki. Lalu Azki akan mengatainya 'gombalan syariah', dan satu cubitan mendarat di pinggang Anas.
Anas tersenyum sendiri. Ia masuk ke ruangan dengan mengendap-endap. Sengaja agar Azki tak menyadari kehadirannya.
"Assalamualaikum, Sayang," bisik Anas di telinga Azki yang tertutup mukena.
"Astaghfirullah hal adzim, Maaass. Iih, ngagetin aja sih hobinya." Azki gemas.
"Salam itu ya jawabnya waalaikumussalam, bukan istighfar."
"Iya, waalaikumussalam. Makanya jangan suka ngagetin. Tadi sampai mana coba bacaannya, ilang kan." Azki manyun, matanya menyusuri bagian tengah halaman tersebut, mencoba mengingat dan menemukan ayat yang baru saja ia baca.
"Anak-anak tidur lagi, kah?"
"Iya. Mas lihat sendiri kan tadi, mereka sahur sambil merem. Payah banget. Ki kasian sebenernya."
"Ya udah sih, Ki, nggak apa-apa. Namanya juga proses. Kita harus bersyukur, mereka sendiri yang minta dibangunkan untuk sahur dan latihan berpuasa."
Ini untuk pertama kalinya Ja'far dan Fakhitah belajar berpuasa. Anas dan Azki sendiri sebenarnya belum menyuruh mereka, hanya sering membahas tentang puasa Ramadhan sejak bulan Rajab tiba. Ditambah cerita-cerita seru dari Hanafi tentang asyiknya berpuasa dan pahala yang menanti bagi orang-orang yang berpuasa, membuat si kembar begitu bersemangat untuk mendapatkan pengalaman puasanya sendiri.
"Tapi habis subuh mereka pada langsung tidur, Mas. Kan nggak bagus. Jadwalnya nanti buyar semua."
"Ibu-ibu kalau tentang anaknya tuh maunya sempurna tanpa cela ya, Ki? Jadwal meleset sedikit aja udah kayak dunia berhenti berputar." Anas malah tertawa.
"Ya nggak gitu, Mas." Azki beralasan bahwa kebiasaan baik yang sudah berlangsung selama ini bisa terganggu polanya. Sedangkan good habit itu bukan dibentuk dalam sehari dua hari.
Anas dengan tenang menjawab, "Sudah lazimnya saat Ramadhan pola keseharian kita berubah, Ki. Nggak masalah. Anak-anak insya Allah bisa menyesuaikan. Yang penting kita selalu mengingatkan bahwa setiap yang mereka lakukan haruslah niatnya karena Allah saja. Mengingatkan mereka itu sekaligus reminder buat kita sendiri juga lho, Ki. Dan aku yakin, everything will be fine.
"Ja'far dan Fakhitah punya ibu yang hebat, yang sabar, yang tawakalnya Masya Allah, luar biasa." Satu kecupan di kening Azki mengakhiri pujian Anas untuknya.
"Puasa nggak usah cium-cium juga, kali?"
"Kan mencium nggak membatalkan puasa, Ki. Apalagi aku cium kamu karena sayang, karena bangga punya kamu, karena bersyukur Allah memberiku istri sehebat kamu."
"Kalau puasa ngegombal batal nggak?"
"Nggak lah. Apalagi aku nggak ngegombal. Ini tuh tulus, Sayang."
"Udah udah udah, Ki mau selesein ngaji dulu. Kurang dua halaman lagi nih. Mas keluar aja gih."
"Hah, keluar? Nggak ah. Aku menikmati banget hatiku yang berdesir-desir setiap kali mendengar bacaan Al Qur'an kamu, Ki."
"Ciee, gombalan syariah keluar lagi." Ditutupnya Al Qur'an setelah memberi batas pada halaman terakhir yang dibaca. Sudah berniat untuk mengulangnya dari ayat pertama, sebab yang terakhir dibacanya tadi sampai mana Azki lupa. Nanti, kalau tak ada Anas yang masih sering membuatnya grogi.
Anas tidak mengajar hari ini. Hari pertama puasa kegiatan belajar mengajar diliburkan. Tapi Anas tetap harus ke kampus, ia sudah ada janji dengan beberapa mahasiswa yang hendak konsultasi. Juga bertemu dengan kepala departemen untuk membicarakan mengenai tawaran mengajar di pasca sarjana atau duduk di jabatan struktural atau apa, Azki lupa.
Kadang rasa rendah diri masih suka terbit di hati Azki, setiap kali Anas membagi cerita tentang aktivitasnya di luar rumah, terutama di kampus. Azki merasa berkecil hati, sebab dirinya yang cuma begitu-begitu saja, jauh sekali kalau disandingkan dengan Anas.
"Kenapa diam, Ki?"
"Eh, ng-nggak. Nggak apa-apa kok."
"Kenapa jadi gugup? Kita udah empat tahun lebih lho jadi suami istri. Bukan lagi Mas Anas marbot dengan Mbak Azki yang diminta bantu ngajar TPQ. Ada apa, Ki?" Azki menggeleng, lalu berdiri, hendak beranjak pergi.
"Ki, duduk di sebelahku sini." Anas tahu ada sesuatu yang Azki simpan sendiri.
"Kalau ada apa-apa, bagilah ke aku, jangan disimpan sendiri. Izinkan aku punya peran buat hidupmu."
"Mas ngomong apa, deh? Memangnya Ki punya peran apa buat Mas? Nggak ada. Mas hebat karena kemampuan Mas sendiri. Ki mah apa? Ibarat Mas tuh kue tart, Ki cuma remahannya. Ada di tray juga pasti ditiup biar ilang. Apa Mas nggak malu punya istri kayak Ki? Mas di kampus dipandang orang, di mana-mana disegani orang. Nah, Ki? Mungkin diajakin ke acara-acara juga malah bikin Mas malu. Cuma di rumah, dasteran, dandan aja nggak bisa, ngertinya urusan dapur sama nyebokin anak-anak doang." Azki merepet. Anas jadi tahu apa yang bikin Azki agak berbeda.
"Kamu haidnya baru selesai lima hari lalu kan, Ki?"
"Hafal sekali Bapak Anas ini? Apa karena perannya Ki cuma di seputaran itu-itu aja? Dapur, sumur, kasur."
"Azki sayang. Ini baru hari pertama puasa, mungkin kamu masih terbawa hari-hari sebelumnya yang---"
"Iya, Ki tahu. Harusnya Ki tuh sehari-hari harus membiasakan hal-hal yang baik. Jadi puasa atau nggak puasa, kebiasaan Ki selalu baik, kayak Mas."
Anas tak bicara lagi, hanya melempar kode pada Azki untuk diam, daripada berbicara yang bukan-bukan.
"Anak-anak tidur di kamarnya masing-masing?" Azki mengangguk.
"Temani aku tiduran di kamar ya, Ki."
"Tiduran aja lho ya."
"Ya Rabb. Istriku kenapa sih ini? Iya, cuma tiduran lah, Sayang. Paling sambil ngobrol. Masa iya puasa gini aku mau---"
"Iya, iya. Bapak Ahmad Nashiruddin kan ilmunya tinggi. Kalau cuma aturan yang begitu-begitu mah udah menguasai."
Digandengnya tangan Azki sampai ke tempat tidur. Mendudukkannya, lalu Anas pergi ke sisi berlawanan. Ia berbaring, Azki menyusul, memunggunginya.
"Kamu merasa perhatianku kurang, kah, Ki?"
"Nggak."
"Aku terlalu sibuk dengan urusan kampus?" Jawaban masih sama.
"Kurang bantu kamu megang anak-anak?" Masih tetap nggak.
"Mas tuh terlalu sempurna buat Ki. Ki dari dulu begini-begini aja. Mas udah jauh ke depan, Ki masih di sini-sini aja. Apa Mas nggak malu punya istri kayak Ki, gini? Pasti malu kan, ya?" Seperti yang sudah-sudah, Azki cengeng kalau sedang begini.
"Maafin aku ya, Ki. Ini alert buatku. Kalau sampai istriku merasa seperti ini, berarti aku memang sudah terlalu banyak mengurusi sesuatu di luar rumah. Tapi kalau kamu bilang bahwa kamu cuma begitu-begitu saja, aku sangat tidak sepakat, Ki. Kamu nggak begitu-begitu saja. Kamu itu hebat, Ki.
"Kamu tahu kenapa aku bisa punya pencapaian sampai sejauh ini? Ya semuanya karena ada kamu yang selalu mendukungku. Laki-laki beristri, yang bisa berkembang dan maju sampai punya pencapaian signifikan itu salah satunya karena peran istri, Ki.
"Kalau nggak ada kamu, aku masih harus memikirkan mengurus diriku sendiri. Mengurus rumah, anak-anak, dan sebagainya. Tapi aku punya kamu, Ki, yang dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari shampo sampai kaus kaki, semua kamu yang mengurusi. Anak-anak, kamu yang handle. Aku lapar, ada makanan di meja makan. Aku mau pakai baju, nggak pernah sampai buka lemari, selalu sudah tersedia di atas kasur. Aku pulang, anak-anak sudah menyambut dengan bersih, wangi, dan happy. Aku capek, aku sakit, kamu yang merawat. Semua, Ki. Semuanya kamu.
"Kalau Allah nggak kasih istri sebaik, sesabar, sekuat kamu, apa aku bisa tenang menjalani aktivitasku sampai bisa seperti sekarang ini? Nggak, Ki."
Semua yang dikatakan Anas ada benarnya. Kalaupun Anas tak menyinggung secara syariat, logika yang dia gunakan pun selalu bisa diterima.
"Aku akan mengurangi kegiatanku di luar, Ki. Untuk yang sudah terjadwal, mungkin aku nggak bisa stop begitu saja. Tapi yang belum, aku akan diskusikan dulu dengan kamu."
Selama ini Anas memang jarang sekali mendiskusikan dengan Azki. Soal penunjukannya, jadwalnya, berapa mahasiswa yang menjadi bimbingannya, dia diminta mengisi tausiyah di mana, dan semacamnya. Hanya jadwal saja yang ia bikin dan tempelkan di board yang memang disediakan untuk itu.
Tiga tahun lebih di Riyadh tanpa jadwal dan urusan pekerjaan apapun selain akademik dan penelitian membuat Anas sedikit oleng. Ia lupa, ada Azki yang seharusnya ia mintai pertimbangan juga.
Meski Anas tak sepenuhnya salah, sebab Azki seringkali menunjukkan respon tak antusias kalau itu berkaitan dengan pekerjaan atau aktivitas Anas di luar rumah. Ia percaya dan menyerahkan urusan sepenuhnya pada Anas. Bukan Azki tak tertarik, tapi makin ke sini ia makin merasa kecil kalau Anas sudah bicara tentang sepak terjangnya di luar sana.
"Eh, nggak harus begitu juga, Mas." Azki membalikkan badan, menemukan Anas sedang memandangi langit-langit kamar.
"Ya kalau menurutku harus begitu, Ki." Bagi Anas, ini sudah hal yang prinsip. Mau sengeyel apapun Azki, dia bisa lebih ngeyel lagi dari sang istri.
"Tahu Salman?"
"Salman siapa, nih? Al Farisi?"
"Ya masa aku bahas Salman Khan? Memangnya aku Bollywood mania?" Tangan Azki terjulur mencubit pinggang suaminya yang nggak serius.
"Kenapa Salman Al Farisi?"
"Dia pernah menasihati Uwaimir Al Anshari."
"Siapa lagi itu?"
"Kalau Abu Darda' pernah dengar?" Azki mengangguk.
"Ya itu. Abu Darda itu nama beken. Nama aslinya Uwaimir. Tahu kan kalau beliau itu oleh Rasulullah dipersaudarakan dengan Salman Al Farisi?" Azki mengangguk lagi.
"Suatu hari Salman berkunjung ke rumah Abu Darda, kemudian dia melihat Ummu Darda yang penampilannya lusuh, terlihat letih, dan kurang terawat---"
"Kayak Ki ya, Mas?" Azki menyahut, Anas cuek saja. Nggak perlu didengerin, istriku cuma lagi baper, batinnya. Lalu melanjutkan cerita.
Melihat Ummu Darda yang tak seperti dulu, Salman bertanya, "Ada apa denganmu Ummu Darda?" Dan Ummu Darda menjawab, "Saudaramu Abu Darda tidak butuh dengan dunia karena dia sibuk dengan ibadah."
Kemudian Salman menunggu sampai Abu Darda datang. Abu Darda menyuguhkan makanan untuk Salman. Dia berkata, "Makanlah wahai Salman, aku tidak makan karena aku sedang berpuasa." Salman berkata kalau ia tak akan makan jika Abu Darda juga tidak makan. Akhirnya Abu Darda ikut makan.
Lalu Salman menginap di rumah Abu Darda. Di awal malam Abu Darda bangun hendak sholat malam. Maka Salman menyuruhnya untuk tidur lagi, Abu Darda pun tidur lagi.
Kemudian dia bangun lagi untuk sholat malam, Salman kembali menyuruhnya tidur. Dan di sepertiga malam terakhir, Salman yang membangunkan Abu Darda. Ia berkata "Sekarang waktunya engkau untuk sholat."
Setelah salat, Salman menasihati Abu Darda tentang sibuknya ia beribadah. Di siang hari Abu Darda selalu berpuasa, malamnya berlama-lama melakukan salat malam, hingga ia tak sempat memberi perhatian kepada istrinya.
Kata Salman kepada Abu Darda, "Wahai Abu Darda, Rabbmu punya hak, dirimu juga punya hak, istrimu juga punya hak, dan keluargamu punya hak. Maka berikanlah kepada masing-masing haknya."
Mendengar perkataan Salman, Abu Darda tidak marah, tidak pula membantah. Beliau pergi kepada Rasulullah dan menceritakan tentang nasihat Salman untuknya. Kemudian Nabi berkata, "Salman benar."
Maka nasihat Salman pun masuk ke dalam hati Abu Darda. Setelah itu Abu Darda lebih perhatian kepada Istrinya. Meski sibuk beribadah, ia tak lagi melalaikan istrinya.
"Begitulah, Ki. Semua punya hak. Aku sudah pasti belum semulia sahabat Abu Darda, ibadahku pun belum sebanyak beliau. Masa iya yang bisa kucontoh justru bagian dari beliau yang kurang tepat? Aku nggak mau begitu, Ki.
"Masih mending Abu Darda lalainya karena sibuk mengejar akhirat. Nah aku? Benarkah hanya akhirat yang kukejar sampai aku tak sadar sudah membuat istriku merasa kecil begini? Aku nggak mau begitu, Ki. Jangan sampai aku begitu, mendzolimi kamu, dan mungkin anak-anak kita."
"Maafin Ki ya, Mas. Mungkin Ki yang lebay ya? Tapi memang gitu kenyataannya. Ki merasa gini-gini aja, sedangkan Mas.... Sampai setiap kali Mas cerita tentang progres-progres Mas di luar rumah, Ki makin ke sini makin ngerasa bukan siapa-siapa. Ki jadi males kalau Mas bicara soal itu. Maaf ya."
"Nggak sama sekali, Ki. Mungkin ada pengaruhnya dari kebiasaan kita yang berubah sejak kembali ke sini. Awal-awal mungkin nggak terlalu terasa, tapi setelah hampir setahun di Indonesia, baru mulai terasa kesibukan dan perhatianku yang berbeda dengan saat di Saudi dulu."
"Bisa jadi. Ki sampai agak stress akhir-akhir ini. Mau curhat takut salah pilih tempat. Curhat ke Mas, Ki malu."
"Alhamdulillah. Itu saja sudah menunjukkan kalau kamu itu punya adab yang baik, Ki. Meski mungkin nggak terpikir sampai ke sana, tapi secara tidak langsung kamu sudah meneladani Ummu Darda tadi."
"Maksudnya?"
Bagi Anas, Azki sudah melakukan hal yang sama dengan Ummu Darda. Beliau tidak berkoar-koar ke mana-mana tentang suaminya yang kurang perhatian sebab sibuk beribadah. Tapi ketika seorang sahabat --yang memiliki keilmuan baik-- bertanya, ia tak segan mengatakan yang sebenarnya. Dia memilih waktu dan orang yang tepat untuk menyampaikan kegundahan hati akan keadaan dirinya dan suaminya.
Azki pun demikian. Ia sampai rela menahan kegalauan dan rasa tertekan karena takut akan bercerita pada orang yang salah.
"Lain kali jangan disimpan sendiri. Bicaralah pada ibu. Ibumu, atau ibuku. Atau juga pada Mas Harits. Jika butuh nasihat yang harus diteruskan padaku, aku lebih suka kalau kamu memilih mereka yang punya otoritas di atasku sebagai penyambung lidahmu. Tiga orang yang kusebutkan tadi menurutku sudah mewakili. Kamu bisa pilih salah satunya."
Anas sadar diri. Bukannya sombong atau memandang sebelah mata pada selain yang tiga tadi. Tetapi untuk menasehati, memang sebaiknya oleh orang yang dianggap punya otoritas yang lebih tinggi, entah itu kedudukan, keilmuan, status, dan semacamnya.
"Eh, Mas. Ummu Darda itu yang dulu nolak Salman terus malah jujur kalau maunya sama Abu Darda itu, bukan?"
Rupanya fokus Azki justru bergeser ke salah satu kisah cinta yang menyesakkan dada.
"Aku kurang tahu, Ki, karena aku belum pernah dapat lanjutan dari kisah itu. Apakah Abu Darda kemudian menikah dengan wanita Anshar tersebut atau tidak. Setahuku Abu Darda hanya pernah menikah dua kali. Yang pertama dengan Khayrah, dilakukan dari sejak Abu Darda belum masuk Islam. Yang kedua dengan Hujaimah, dilakukan setelah Khayrah wafat.
"Dua perempuan tersebut sama-sama dipanggil Ummu Darda. Ummu Darda Al Kubro, untuk Khayrah. Ummu Darda As Sughra untuk Hujaimah.
"Kalau wanita yang dilamar Salman itu aku sampai sekarang tidak tahu namanya. Tapi kalau melihat masa terjadinya lamaran tersebut, Abu Darda sudah dipersaudarakan dengan Salman, itu berarti keduanya sudah masuk Islam. Kemudian Hujaimah ini adalah anak angkat Abu Darda, diangkat anak karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Sedangkan dalam kisah, wanita yang dilamar Salman itu masih punya orang tua. Wallahua'lam. Yang kita bahas tadi bukan itu ya, Sayang."
Azki tertawa, ternyata ada juga yang Anas tak tahu. Dia pikir suaminya selalu bisa memberi jawaban yang meyakinkan.
"Satu hal lagi yang bisa kamu teladani dari Ummu Darda, Ki."
"Apa itu, Mas?"
Setelah Abu Darda meninggal, Muawiyah bin Abu Sufyan pernah datang melamar Ummu Darda. Tapi Ummu Darda menolak lamaran tersebut. Dia berkata, "Aku telah mendengar Abu Darda berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wassalam bersabda : Seorang wanita akan bersama suaminya yang terakhir diakhirat." Dan Ummu Darda tak mau menggantikan Abu Darda karena keberadaan Muawiyah.
"Jadi kalau kamu pernah dengar pertanyaan, "Jika seorang istri menikah lagi setelah suaminya meninggal, nanti di akhirat dia bersama suaminya yang mana?" Nah, itu jawabannya, Ki.
"Jadi kalau kamu ingin bersamaku di dunia dan akhirat, kalau aku meninggal lebih dulu, kamu jangan nikah lagi, Ki." Anas cemburu, membayangkan Azki mempunyai penggantinya saja ia tak sanggup.
"Apa sih, Mas. Ki tuh paling nggak suka bahas kayak gini."
"Ya udah. Pokoknya aku bersyukur sekali punya kamu dalam hidupku, Ki." Anas menutup pembicaraan dengan kuap. Rupanya kantuk mulai menyerang. Ramadhan berarti waktu tidur malam Anas jauh berkurang, dan Azki sudah hafal dengan kebiasaan itu.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum..., Assalamualaikum..., Bapak, Ibu..., Apa Bapak sama Ibu di dalam?" Suara si kembar bersahut-sahutan, disusul pintu yang terbuka.
Azki turun dari tempat tidur, menghalau keduanya dengan mengikuti di belakang mereka. Mengajak berkegiatan di luar kamar agar tak mengganggu tidur ayahnya.
"Ki," panggil Anas sebelum pintu kamar tertutup.
"Iya, Mas?"
"Terima kasih, sudah selalu memberiku ketenangan. I love you, Zaujati."
"I love you too, Bapak Ahmad Nashiruddin."
Zzzzz....
***
Sedikit informasi tentang Abu Darda' Al Anshari:
- Abu Darda mempunyai nama asli Uwaimir bin Zaid bin Qais (ada yang menyebutkan bin Amir, ada juga yang menyebutkan bin Malik). Dikenal sebagai Abu Darda Al Anshari Al Khazraji karena berasal dari kaum Anshar, dan dari suku Khazraj.
- Mempunyai putri bernama Darda, sehingga nama qunyahnya adalah Abu Darda.
- Termasuk sahabat yang terakhir masuk Islam di Madinah, yaitu setelah perang Badar (ada yang menyebut setelah perang Uhud).
- Abu Darda mempunyai hubungan yang dekat dengan Abdullah bin Rawahah (kemarin ada disebut di part 1 ttg Ja'far bin Abu Thalib). Abdullah bin Rawahah juga yang menjadi salah satu yang mendakwahi Abu Darda sehingga bersyahadat.
- Sebab merasa terlambat masuk Islam, Abu Darda berusaha mengejar ketertinggalannya dengan fokus untuk beribadah dan belajar Al Qur'an seoptimal mungkin. Bahkan Abu Darda termasuk salah satu dari sedikit sahabat yang berhasil menghafal Al Qur'an seluruhnya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Kesungguhan Abu Darda menjadikan beliau termasuk ke dalam orang-orang yang mahir dalam Al Qur'an meski awalnya tertinggal.
- Abu Darda pernah menikah dua kali. Yang pertama dengan Khayrah atau dikenal sebagai Ummu Darda Al Kubro (termasuk shahabiyah karena masih bertemu dengan Nabi). Yang kedua dengan Hujaimah, yang dikenal sebagai Ummu Darda As Sughra (termasuk tabi'iyah, karena tidak bertemu langsung dengan Nabi).
- Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Abu Darda dikirim ke negeri Syam (Damaskus) untuk menjadi pengajar Al-Quran. Kemudian diangkat menjadi qadi (hakim yg mengambil keputusan berdasarkan syariat Islam) di Damaskus pada kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan.
- Abu Darda meninggal pada tahun ke 32 Hijriyah di Damaskus.
- Seperti dipersaudarakannya kaum Anshar dengan kaum Muhajirin yg lain, Abu Darda dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Salman Al Farisi.
- Salah satu kisah yang terkenal dari keduanya (Abu Darda dan Salman) adalah lamaran Salman Al Farisi kepada seorang gadis dari Anshar. Ketika akan melamar gadis tersebut, Salman meminta bantuan kepada Abu Darda yang lebih tahu kebiasaan orang Anshar. Lamaran Salman ditolak, tetapi kepada orang tuanya, gadis tersebut menyampaikan bahwa "Jika Abu Darda yang melamarku, maka aku akan dengan senang hati menerimanya."
Salman ikhlas, justru mendukung Abu Darda dengan menyerahkan harta yang ia siapkan untuk menikahi gadis tersebut.
Tapi referensi lebih lanjut mengenai kisah ini sangat sedikit. Tentang siapa nama gadis tersebut, juga kelanjutan kisahnya, apakah Abu Darda kemudian menikah dengan gadis tersebut, dsb.
Wallahua'lam bishawab.
Hanya Allah yang Maha Mengetahui yang sebenarnya.
***
Itu sedikit cerita tentang sahabat mulia Abu Darda' Al Anshari. Aku mencoba membaca dan menggabung-gabungkan dari beberapa artikel. Kalau ada kesalahan, mohon dimaafkan dan dikoreksi.
Abu Darda Al Anshari ini ternyata punya banyak kelebihan dan keistimewaan. Masya Allah.
Silakan browsing sendiri kalau ingin tahu lebih banyak tentang beliau.
Yang agak sulit menulis beginian sebenarnya bukan cari datanya, karena di google dan di buku banyak. Tapi mereka-reka ceritanya Anas Azki sehingga bisa masuk ke kisah yang akan disampaikan ini. Tantangan banget. Hehe... Semoga dimudahkan yaaa.
Maaf agak panjang. Semoga ada manfaatnya untuk teman-teman yang membaca.
Baiklah, begitu dulu. Jika ada kebenaran, itu hanya milik Allah semata, dan jika ada kesalahan, itu sepenuhnya berasal dari diriku saja.
Semarang, 20042021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top