1. Ja'far bin Abi Thalib
Bismillah
***
Hari ini hari terakhir bulan Sya'ban, Ja'Far dan Fakhi sibuk membantu ibunya membersihkan rumah. Keduanya bersemangat sekali, sebab tahu malam nanti Ramadhan tiba. Bulan yang dinanti-nanti seluruh umat muslim di penjuru bumi.
Azki sudah menyiapkan bunting flag dan ornamen lain untuk ditempel pada dinding kreasi milik dua kembar yang sekarang menjelang usia empat tahun. Meski belum lancar membaca, Ja'far dan Fakhi tetap gembira menyusun huruf demi huruf membentuk kata Marhaban Yaa Ramadhan. Juga menempelkan ornamen lain yang membuat suasana Ramadhan makin terasa, khususnya di sudut tempat mereka bermain dan belajar.
"Ibu, nanti waktu bapak pulang ini sudah jadi belum, ya?" tanya Fakhi.
"Nggak usah banyak tanya, Fakhi. Kita kerjakan sekarang saja, biar nanti bapak pulang sudah jadi." Ja'far menasehati.
"Bapak pulangnya agak malam, Sayang. Karena nanti malam insya Allah sudah masuk bulan Ramadhan, dan bapak dapat jadwal untuk jadi imam tarawih di masjid kampus."
Ini Ramadhan pertama si kembar di Indonesia, setelah tiga tahun lebih Anas menjalani program doktoralnya di Riyadh. Azki ingin Ramadhan anak-anak tetap mengesankan, bahkan lebih menyenangkan.
Kegiatan Ja'far dan Fakhi selesai tepat sebelum adzan asar berkumandang. Mereka senang dan sangat puas dengan hasil karya mereka. Lalu berhamburan memeluk ibunya dan meminta salat asar ke Al Jaliil.
Keluarga Anas sekarang tinggal di Jogja. Di rumah mereka sendiri, tepat di sebelah rumah ibu Azki. Rezeki tak akan ke mana, rumah tersebut dijual sehari setelah mereka sampai di rumah ibu.
"Ja'Far, Fakhi, ayo ke masjid sama nenek." Suara ibu Azki memanggil cucu-cucunya. Disusul suara Hanafi melantunkan adzan dari Al Jaliil.
"Ja'far juga nanti mau adzan di masjid kayak Mas Hanafi," celetuk Ja'far antusias.
"Fakhi juga mau ngajar ngaji kayak bapak." Fakhitah tak mau kalah.
"Buah jatuh nggak jauh-jauh dari pohonnya ya, Ki. Anaknya marbot ya cita-citanya nggak jauh-jauh dari memakmurkan masjid," canda ibu pada Azki. Lalu ketiganya berangkat ke masjid, menyisakan Azki yang memilih salat di rumah saja.
Sampai jam setengah lima anak-anak tak juga pulang. Tapi Azki tak khawatir, sebab suara canda tawa Ja'far, Fakhi, dan Hanafi terdengar sampai ke dapur rumahnya. Azki sendiri sedang membuat kudapan sesuai request suaminya. Nagasari.
"Assalamualaikum, Sayang. Lagi bikin apa, sih? Suami tiga kali salam sampai nggak denger." Azki terlonjak. Tangan Anas sudah melingkari pinggangnya. Dagunya mendarat di bahu Azki.
"Lho, katanya mau bablas sampai habis tarawih, ini kok pulang?"
"Nggak suka ya aku pulang?"
"Dih, ya nggak gitu, Bapak Anas sayang. Cuma tadi aku bilang anak-anak kalau bapak pulangnya malam. Mereka mau pamer hasil karya. Tuh, di wilayah kekuasaan mereka." Dagu Azki menunjuk ke sudut bermain anak-anaknya.
"Mereka di rumah ibu ya?" Azki mengangguk.
"Harusnya di sini dijebol dan dikasih pintu, Ki." Anas menepuk bagian tembok yang dia maksud.
Sudah sejak awal Anas bermaksud membuat connecting door ke rumah ibu, tapi Azki belum acc. Dia masih bersikeras ingin merasakan berumah tangga sendiri dan punya rumah sendiri. Seperti biasa, Anas mengalah. Azki kalau punya mau suka ngeyel. Sedangkan Anas, asalkan bukan hal yang prinsip, ia tak keberatan menuruti kemauan istrinya.
"Bapak..., Bapak..., Bapak sudah pulang." Duo kembar berlarian menuju Anas. Mereka sedang berkejar-kejaran sampai luar rumah neneknya, bablas pulang karena melihat SUV putih sudah terparkir di depan rumah mereka.
Keduanya heboh menarik-narik Anas untuk melihat hasil karyanya. Anas memeluk anak-anaknya, memberikan pujian setinggi langit. Tak lupa menyebut jasa ibunya, agar anak-anaknya juga tak lupa menghargai peran ibunya.
"Bapak mandi dulu ya, habis itu kita berkisah. Jadi nanti malam habis tarawih, kalian bisa langsung tidur, nggak perlu nunggu bapak pulang." Sekali lagi Anas mengecupi kepala si kembar.
Ja'far dan Fakhitah segera berlarian ke ruang tengah, menunggu bapaknya selesai mandi, kemudian menceritakan pada mereka sebuah kisah. Ini biasa dilakukan menjelang tidur, tapi kali ini berbeda. Ramadhan di Jogja berarti Anas padat agenda. Menjadi imam dan mengisi tausiyah di beberapa tempat sudah pasti ada dalam jadwalnya.
Kedua anak itu masih berdebat soal kisah siapa yang akan diceritakan oleh ayahnya. Fakhitah ingin mendengar kisah shahabiyah, tapi Ja'far ingin ayahnya berkisah tentang sahabat yang menjadi inspirasi pemberian namanya, Ja'far bin Abi Thalib.
"Ada apa ini? Kenapa anak bapak berdebat-debat sampai ramai begini?" Anas menghentikan perdebatan si kembar. Wajahnya terlihat segar.
"Ja'far maunya kisah Ja'far bin Abi Thalib. Fakhi nggak mau, Pak. Fakhi maunya kisah shahabiyah." Fakhi angkat bicara.
"Fakhi maunya kisah shahabiyah siapa?" tanya Anas.
"Emm, siapa yaa, emm...."
"Ya sudah, begini saja. Karena Fakhi belum ada nama shahabiyah yang mau dipilih, hari ini kita berkisah tentang Ja'far bin Abi Thalib. Besok silakan Fakhi mengajukan nama. Lusa giliran Ja'far yang memilih, dan begitu seterusnya bergantian. Gimana? Agree?"
Fakhi menerima walau wajahnya menunjukkan agak terpaksa. Ja'far bersorak, anak laki-laki itu seperti tak ada bosannya mendengar kisah tentang orang yang sama. Entah sudah kali ke berapa Anas bercerita tentang kakak dari Ali bin Abi Thalib itu pada jagoannya. Tak terhitung.
Anas memulai kisahnya.
Suatu hari Rasulullah merencanakan untuk melakukan peperangan terhadap orang Romawi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan wibawa kaum muslimin, sebab sebelumnya utusan kaum muslimin dihina oleh pimpinan mereka, bahkan sampai menemui kematian. Maka Rasulullah bersama kaum muslimin merencanakan perang untuk membela kehormatan dan memberi pelajaran.
"Namanya perang Mu'tah. Tapi Rasulullah sendiri tidak ikut berperang. Terus Rasulullah menunjuk pemimpin, nggak cuma satu, tapi langsung tiga." Ja'far menyahut, tiga jari tangan kanannya turut pula diacungkan. Ayahnya mengacak rambut si jagoan dengan gemas.
"Siapa nama ketiga pemimpin tersebut?" Anas mencoba menguji ingatan Ja'far.
"Zaid bin Haritsah. Nanti kalau dia meninggal, akan digantikan sama Ja'far bin Abi Thalib. Terus kalau Ja'far juga syahid, digantikan sama Abdullah bin Rawahah."
"Masya Allah, pintar sekali anak bapak. Kalau begitu, coba Ja'far yang berkisah. Bapak sama Fakhi yang mendengarkan. Nanti kalau ada yang kurang tepat, bapak betulkan. Tapi bapak yakin, Ja'far sudah hafal di luar kepala kisah sahabat yang satu ini."
Anas menepuk bahu anak laki-lakinya dengan bangga. Anak itu memang sudah menampakkan tanda-tanda kalau dia mewarisi kesenangan dan kemampuan berbicara seperti ayahnya.
Dengan perasaan bangga, Ja'far melompat dari sofa dan berlari memanggil ibunya. Azki terheran-heran mengikuti langkah bocah kecil yang menyeretnya dengan tidak sabaran.
"Ibu..., Ibu harus lihat aku berkisah. Kata Bapak, aku yang disuruh berkisah tentang Ja'far bin Abi Thalib, Bu. Makanya Ibu harus ikut dengarkan." Azki mengangguk sambil tersenyum lebar. Mengambil posisi duduk di sebelah Fakhi yang langsung bersandar pada ibunya.
Dengan antusias, Ja'far memulai debutnya.
"Setelah Zaid bin Haritsah syahid, sesuai perintah Nabi, Ja'far yang menjadi pemimpin perang. Ja'far berhadapan sama orang Romawi, terus tangan kanannya kena pedang sampai putus. Tapi masih tetap berperang dengan tangan kirinya. Terus tangan kirinya kena pedang lagi sampai putus lagi. Akhirnya Ja'far nggak punya tangan, tapi nggak menyerah. Dia tetap bertahan sampai akhirnya mati syahid.
"Waktu Ja'far meninggal, lukanya banyak sekali. Kata Bapak luka-lukanya sampai berjumlah 90-an. Dan kata Bapak juga, luka-lukanya semua di badannya yang sebelah depan. Jadi Ja'far itu beneran menghadapi musuh dari depan.
"Waktu Nabi Muhammad dikasih tahu kalau Ja'far sudah meninggal, Nabi sedih sekali. Karena Ja'far saudara sepupu Nabi. Ja'far kan kakaknya Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi juga. Seperti aku dengan Mas Hanafi."
Anas dan Azki terkekeh. Meski ceritanya mulai ke mana-mana, tapi Ja'far cukup baik dalam menyampaikan kisah tersebut dengan bahasanya.
"Terus Nabi menghibur keluarganya Ja'far dan kasih kabar gembira untuk sahabat-sahabat yang lain. Kata Nabi, Ja'far memang kehilangan kedua tangannya, tapi di surga nanti, Allah akan mengganti kedua tangannya yang putus dengan dua sayap di surga.
"Jadi, biarpun nggak termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, Ja'far juga akan masuk surga, karena Allah sudah kasih janji seperti itu. Allah kan kalau berjanji selalu ditepati, nggak kayak manusia, yang kadang suka PHP."
"Eh, apa itu PHP? Anak ibu dapat bahasa itu dari mana?" Azki kaget, ia merasa tak pernah menyebut istilah-istilah demikian di hadapan anak-anaknya.
"Dari Mas Han. Katanya di kelasnya Mas Han ada yang bilang kalau jadi korban PHP. Bu Gurunya mau bagi nilai hari Senin tapi nggak jadi. Terus temannya Mas Han bilang, 'Kita jadi korban PHP'. Harapan palsu harapan palsu gitu, Bu."
Azki melirik Anas, sekuat tenaga menahan tawa. Tak hendak menyalahkan siapa-siapa. Ia justru sadar, anaknya sudah mulai fasih mendengar dan mengulang apa yang dia dengar. Maka Azki --dan Anas tentu saja-- harus mulai lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, sebab anak adalah peniru yang handal.
***
Beberapa informasi tentang Ja'far bin Abi Thalib.
- Ja'far adalah kakak kandung dari Ali bin Abi Thalib. Ali kecil diasuh oleh Rasulullah, sedangkan Ja'far diasuk oleh Abbas bin Abdul Muthalib, pamannya sekaligus paman Rasulullah.
- Ja'far adalah salah satu dari lima orang yang secara fisik dikatakan paling mirip dengan Rasulullah. Bahkan Rasulullah pernah berkata kepadanya, “Engkau wahai Ja’far, wajahmu mirip dengan wajahku dan akhlakmu mirip dengan akhlakku.”
- Dalam salah satu riwayat dari Abu Hurairah, riwayat Abu Hurairah: “Tidak ada seorangpun memakai sepatu dan sandal, menaiki kendaraan serta mengendarai unta dengan cara yang lebih baik setelah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam selain Ja’far bin Abi Thalib.”
- Ja'far termasuk salah satu sahabat yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan cukup lama tinggal di sana. Ia bahkan menjadi juru bicara kaum muslimin untuk berdialog dengan Raja Najasyi (pemimpin Habasyah saat itu)
- Ja'far kembali ke Madinah pada tahun ke 7 Hijriah, bersamaan dengan kabar kemenangan kaum muslimin dalam perang Khaibar. Rasulullah sangat gembira, beliau memeluk Ja'far dan berkata, " Aku tidak tahu, manakah yang lebih menggembirakanku, apakah penaklukan Khaibar atau kepulangan Ja'far.
- Ja'far ditunjuk sebagai satu dari tiga orang sahabat untuk memimpin perang Mu'tah pada tahun ke-8 Hijriah. Ja'far menemui syahid dalam perang tersebut dengan 90-an luka di tubuhnya, ia juga kehilangan kedua lengannya akibat tebasan musuh. Dan Allah menggantinya dengan dua sayap di surga (tentang ini bisa disearching sendiri ya)
- Ja'far meninggal pada usia 33 tahun. Meninggalkan seorang istri yaitu Asma' binti Unais, dan empat orang anak yaitu Muhammad bin Ja'far, Abdullah bin Ja'far, Aun bin Ja'far, dan Nu'ma binti Ja'far (atau ada yang menyebutnya Na'mi)
- Ja'far juga mendapat julukan dari Rasulullah sebagai Abul Masakin atau bapaknya orang-orang miskin, sebab semasa hidupnya Ja'far gemar bersedekah harta untuk kaum miskin. Ia juga menyedekahkan jiwa dan raga untuk kejayaan Islam.
***
Post pertama nih. Kerasa kayak cerita anak-anak ya? Wkwk
Ya udah, maafkan yaaa. Baru pertama ini, masih pemanasan. InsyaAllah yang berikut-berikutnya akan...,
Sama sajaaa... Hahaha...
Baiklah, terima kasih banyak yaaa. Mohon maaf kalau ada salah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top