Seperti Bidadari

Tepuk tangan yang sangat meriah memenuhi aula serbaguna SMA Garuda Jaya. Di podium aula tersebut, seorang anak perempuan berdiri sambil tersenyum manis. Matanya menyapu seluruh aula, lalu dia melebarkan senyumnya membuat tepuk tangan semakin gemuruh.

"Stephanie Wijaya," Bapak kepala sekolah menyebut namanya dan memberi gestur supaya ia mendekat, untuk berdiri sejajar dengan Bapak kepala sekolah. Senyum manis masih terukir di wajah orientalnya.

"Ada sesuatu yang Bapak ingin sampaikan pada kalian semua," Bapak kepala sekolah memulai pidatonya. "Bapak percaya murid-murid di sekolah ini punya beragam minat, bakat, dan passion. Percayalah Bapak akan amat sangat mendukung kalian untuk meraih mimpi kalian." Sang kepala sekolah berhenti sejenak dan melihat ke arah Stephanie. "Salah satu siswi sekolah ini, Stephanie, sudah membuktikan kalau anak muda bisa berprestasi. Dia baru saja memenangkan kejuaraan bulu tangkis Junior Grand Prix International, kategori tunggal putri, di Belanda."

Lagi-lagi aula berguncang karena tepuk tangan yang sangat riuh.

"Cieee, nggak bisa lepas nih ye matanya," Aku mendengar suara menyebalkan Teddy, teman sekelasku yang berdiri di sebelahku saat ini. Yang lebih mengesalkan, dia terus-terusan menyenggol lenganku dengan sikutnya sambil terus berkata 'ciee, ciee, ciee'.

"Apaan sih, Ted? Ganggu, tau nggak?" Aku masih tetap melihat ke arah depan, mencoba untuk tidak menggubris Teddy. Tidak lama, Teddy menyerah dan menghentikan gurauannya.

Aku menghela napas diam-diam sambil terus melekatkan pandanganku pada gadis yang berdiri tepat di samping Bapak kepala sekolah. Stephanie Wijaya. Ini bukan pertama kalinya aku melihat dia berdiri di atas podium, untuk menerima penghargaan sekaligus pujian baik dari kepala sekolah, guru, bahkan dari sesama murid. Dia memang berprestasi, terlebih dalam olah raga bulu tangkis. Seakan prestasinya masih kurang untuk membuatnya terkenal, ia juga dianugerahi penampilan yang sangat menarik. Rambut hitam lurus sebahu yang biasa ia kuncir kuda, kulit putih mulus seperti orang Korea, tingginya kira-kira 160cm, cukup tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia, tapi tidak terlalu tinggi sehingga para lelaki tidak minder untuk berdiri di sampingnya. Singkatnya, penampilan Stephanie layaknya standar kecantikan Asia. Namun, yang membuat semua lelaki tergila-gila padanya adalah senyumannya. Setiap kali ia tersenyum, kedua mata sipitnya membentuk dua bulan sabit yang menawan. Bibirnya yang selalu dilapisi lipgloss berwarna merah muda akan membentuk lengkungan sempurna, menunjukkan rangkaian gigi putihnya yang rapi.

"Dia tuh sempurna banget, ya?" Teddy berbisik di telingaku.

"Semua orang juga tahu dia sempurna, Ted. Udah deh, lo diem aja. Berisik."

Aku mendengar Teddy cekikikan. "Gue gemes aja ngeliat ekspresi lo setiap kali gue nyebut apapun yang berhubungan sama Stephanie. Lo tuh nge-fans banget ya sama dia?"

Aku akhirnya memalingkan wajahku dari Stephanie dan memandang Teddy Permana, teman SDku yang ternyata bersekolah di SMA yang sama denganku. Dan kebetulan pula kami menjadi teman satu kelas. Aku memutar bola mataku, kesal terhadap komentarnya. "Kemana aja lo? Kayanya seluruh dunia juga tau kalo gue ngefans sama Stephanie."

"Tapi!" Teddy menyeringai usil sebelum sedikit menyondongkan badannya ke arahku. "Mereka semua nggak tau kalau lo diam-diam suka stalking." Dia berbisik dengan nada yang sungguh membuat aku semakin kesal. Aku pun serta merta memukul lengannya. Hadiah yang sepadan untuk temanku yang menyebalkan. Teddy hanya cekikikan sambil mengusap lengannya yang baru saja aku pukul.

"Jadi, Bapak harap kita bisa mendapatkan lebih banyak medali, piala, dan penghargaan tahun ini. Untuk masa depan kita semua. Ya, Bapak percaya kalian semua bisa!" Aku mengembalikan pandangannku ke depan. Tepuk tangan lagi-lagi mengisi ruangan aula walaupun tidak seriuh tepuk tangan untuk Stephanie. Bukan hal yang aneh tentu. Pidato kepala sekolah memang cenderung membosankan, dan ia pun tidak cukup tampan untuk membuat para siswi tergila-gila. Dengan itu Bapak kepala sekolah membubarkan upacara hari ini dan mempersilakan Stephanie untuk turun dari podium.

Mataku mengikuti setiap gerak Stephanie. Langkahnya yang penuh percaya diri, badannya yang tegap dan atletis namun tidak mengurangi sisi femininnya sama sekali, rambut hitamnya yang diikat ekor kuda bergerak ke kiri dan kanan mengikuti setiap langkahnya.

"Tuh kan! Ngeliatin teruuusss!" Teddy lanjut menggodaku seraya mengalungkan satu lengannya ke pundakku. Terkadang aku merasa dia tidak menganggapku seorang perempuan. Caranya memperlakukanku lebih seperti teman lelaki daripada teman peremuan. "Lagian kenapa sih lo nggak kenalan aja langsung? Gue denger dia juga orangnya baik dan ramah kok. Nggak sombong juga katanya." Teddy memberikan saran sambil menarikku berjalan keluar dari aula.

"Dia udah tahu gue..." Jawabku bergumam. Aku merasa pipiku sedikit hangat hanya dengan menyebutkan fakta bahwa Stephanie Wijaya faktanya memang mengenalku. Semoga pipiku tidak berubah merah. Teddy bisa terus menggodaku kalau dia sampai melihat.

Teddy cepat-cepat melepaskan lengannya dari pundakku dan melompat ke depanku, menghalangiku untuk melangkah lebih jauh. "Apa lo bilang barusan?" Mimik wajahnya menunjukkan tanda tidak percaya. "Dia tahu lo?"

Aku mengangguk, Teddy benar-benar berisik.

"Dia tahu lo adalah Nilam Maheswara, atau dia tahu kalo lo suka stalking dia?" Suara Teddy sedikit terlalu keras, membuat beberapa murid menengok ke arah kami.

Ingin sekali aku menonjok muka bodohnya saat ini. Kata orang, perempuan itu cerewet dan berisik. Tapi percayalah, jika seribu perempuan digabung sekalipun, mereka tidak bisa mengalahkan betapa cerewet dan berisiknya Teddy.

"Suara lo kurang kenceng, bego!" Aku menyisir rambutku kebelakang dengan jemari. "Pak kepala sekolah nggak denger barusan lo ngomong apa!" Ujarku dengan sarkas.

Bukannya merasa bersalah, Teddy malah tertawa terbahak-bahak. Ia lanjut berjalan ke arah kelas kami, masih sambil berusaha menghentikan tawanya. Sementara aku berjalan dua langkah di belakangnya. Setelah berhasil berhenti tertawa, ia menolehkan wajahnya ke arahku.

"Lam, serius deh. Kalau kalian memang udah kenal satu sama lain, kenapa lo masih..." Ia memberi jeda sambil matanya mengerling nakal. "Nge-stalk dia?"

Aku segera mencubit pinggangnya sebelum ia sempat tertawa. Teddy langsung menjerit kesakitan.

"Kali berikutnya lo nyebut kata stalk atau stalking atau sejenisnya, yang gue cubit biji lo ya, Ted!" Ancamku seraya melepaskan cubitanku dari pinggangnya.

"Oke, oke..." Teddy memegangi pinggang yang baru saja kucubit sambil merengis kesakitan. "Tapi, serius deh, Lam. Maksud lo dia udah tahu lo tu gimana? Kenal gitu?"

Kali ini Teddy mensejajarkan langkahnya denganku. Aku menghela napas panjang, tidak berniat menoleh ke arah Teddy. Mataku melekat pada ujung lorong menuju kelas kami. Agak sulit menjelaskan hubunganku dan Stephanie.

"Bohong ya lo?" Teddy lanjut berbicara.

"Bodo amat, mongki!" Aku menggerutu kesal. Mulut Teddy sepertinya memang tidak bisa diam.

"Ya terus kenapa sampai harus napas dulu?"

"Kalo nggak napas nanti gue mati."

Teddy lagi-lagi tergelak. "Cepetan dong, curut! Lama banget sih jawab pertanyaannya."

Aku membuang napas dengan keras. Lama-lama aku kesal dengan perilaku Teddy yang selalu ingin tahu dan terus mendesak sampai ia mendapat jawaban. "Dulu kita satu SMP." Akhirnya aku menjawab singkat.

Mulut Teddy membentuk huruf O, sementara kepalanya manggut-manggut. "Dia dari SMP udah cakep gitu, Lam?"

Aku mendelik ke arahnya. Kadang aku tidak tahu apa isi kepala makhluk ajaib di sebelahku ini. Terlalu acak, sampai-sampai banyak teman-teman yang berkata jika otak Teddy dijual ke pasar gelap, pasti harganya mahal sekali karena seperti baru, saking jarangnya dipakai.

"Dari dulu cakep dia." Jawabku singkat. Dan memang itu adalah fakta. Dari dulu Stephanie Wijaya memang begitu menawan. Prestasinya membuat orang kagum, dan parasnya membuat orang terbuai. Banyak sekali hati yang jatuh padanya. Ntah berapa banyak lelaki yang menyatakan cinta pada Stephanie, dan ntah berapa banyak yang sudah ditolak dengan alasan ia hanya ingin fokus pada bulu tangkis dan sekolah.

"Lo dulu sekelas sama dia?" Teddy melanjutkan interogasinya. Aku tidak pernah merasa perjalanan dari aula menuju kelas bisa terasa selama ini.

"Sekelas. Sebangku." Aku mengeluarkan desahan pelan. Tidak hanya sekelas ataupun sebangku. Aku dan Stephanie bahkan sering menghabiskan malam-malam bersama, tidur di atas kasur yang sama. Mengobrol dan tertawa sampai kami larut dalam mimpi masing-masing.

"Kok sekarang kayak nggak kenal gitu, sih?" Teddy mengerenyitkan dahinya. Namun aku sudah cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dia. Tidak ada gunanya juga Teddy mengetahui apa yang terjadi antara aku dan Stephanie. Cerita kami, biar hanya kami yang menjalani.

"Kok lo berisik banget sih jadi laki?" Jawabku ringan.

"Yeee, nyinyir!" Teddy memanyunkan bibirnya tanda ia kesal. Dia memang selalu kesal jika disebut lelaki berisik. Tapi ada baiknya juga dia kesal, setidaknya interogasinya tentang Stephanie berakhir di situ. Dan aku bisa melanjutkan perjalanan ke kelas dengan tenang.

----

Segini dulu aja ya, aku deg-degan nulis pakai Bahasa Indonesia. Semoga aku kuat dan bisa! Hiing~ Jangan lupa feedbacknya ya, temen-temen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top