Masa Putih Biru


Murid-murid di lorong kelas menolehkan wajahnya ke arahku begitu aku memasuki lorong. Tentu hal ini bukan hal yang baru untukku. Setiap pagi, inilah pemandangan yang aku dapatkan di sekolah. Bukan karena aku terkenal, bukan karena aku sangat cantik. Tetapi karena perempuan di sebelahku. Stephanie Wijaya.

"Steph!"

Salah seorang kakak kelas pria memanggil Steph. Aku tahu siapa kakak ini. Namanya Budi. Nama yang sangat pasaran, yang selalu muncul di semua buku pelajaran anak SD. Ini Bapak Budi. Ini Ibu Budi. Dia adalah senior Stephanie di ekstra kurikuler bulu tangkis.

Stephanie menghentikan langkahnya dan memutar badannya untuk menghadap Kak Budi.

"Iya, Kak?"

Suaranya manis sekali, kalau aku adalah Kak Budi, mungkin jantungku sudah lepas dari tulang rusuk.

"Pulang sekolah aku sama anak-anak badminton mau nonton bareng. Ngerayain kemenangan kita di kejuaraan SMP antar sekolah kemarin." Kak Budi terlihat antusias, namun pipinya jelas terlihat memerah. Pasti dia gugup berbicara dengan Stephanie.

"Iya, aku kemarin udah dikasih tau Kak Rindang. Tapi aku nggak bisa. Sudah terlanjur ada janji. Maaf ya, Kak." Stephanie mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya.

Aku bisa melihat wajah Kak Budi langsung diselimuti kekecewaan. Tetapi dia segera menghapusnya dengan senyuman. "Yaudah, mau gimana lagi. Kita juga dadakan, sih. Kapan-kapan kamu ikut, ya."

Stephanie mengangguk dan berpamitan dengan Kak Budi, lalu mencolek lenganku. "Yuk."

"Kamu ada janji sama siapa?" Tanyaku setengah berbisik, takut terdengar oleh Kak Budi. Aku pun tidak tahu Stephanie ada janji hari ini.

"Janji sama kamu. Kan kita janji tiap hari berangkat dan pulang bareng." Jawabnya polos.

"Dasar, aneh. Padahal aku bisa pulang sendiri, kok." Aku berkata setengah cuek padahal dalam hatiku berteriak kesenangan, temanku yang terkenal ini lebih memilih bersamaku daripada bersama Kak Budi.

"Iya, kamu bisa pulang sendiri. Tapi ntar kamu hampa karena nggak ada aku." Jawabnya sambil menjulurkan lidahnya.

Aku hanya tertawa melihat responnya dan melanjutkan perjalananku menuju kelas dengan Stephanie. Kelas kami berada di ujung lorong ini. Kelas 7-E, kelas yang mempertemukan aku dan Stephanie untuk pertama kalinya. Kelas yang membuat aku dan dia duduk bersebelahan. Kelas yang membuat aku bisa berteman baik dengan bintang sekolah, Stephanie. Kelas yang memulai semua cerita antara aku dan dia.

oOo

"Hei, kamu kok melamun gitu sih?"

Aku menoleh ke sebelah kananku, Stephanie tidur menyamping ke arahku, matanya memandang wajahku. Jemarinya memainkan poniku. Menyingkirkannya dari dahi, lalu mengumpulkannya lagi. Rasanya geli, tapi aku menikmatinya.

"Kamu ngelamunin apa, Nilam?"

Ingin sekali kujawab jujur namun aku memilih untuk menggeleng. Tidak mungkin aku jujur begitu saja padanya. Aku mengalihkan pandanganku pada jendela kamar yang berada tepat di belakang Stephanie. Malam ini pun tidak ada bintang, sama seperti malam-malam sebelumnya. Hanya satu titik yang terlihat terang. Aku pun tak yakin apakah itu bulan atau lampu kota.

"Akhir-akhir ini kamu sering melamun. Tapi aku nggak tahu kamu ngelamunin apa." Bibirnya membentuk kerucut yang membuatnya semakin menggemaskan.

"Udah, nggak usah dipikirin, namanya juga ABG. Sering melamun nggak jelas." Aku berusaha menambahkan tawa kecil di akhir kalimatku. Tapi nampaknya jawabanku tidak membuatnya puas.

"Kamu lagi mikirin cowok ya?" Matanya memicing ke arahku penuh selidik. Aku ingin sekali menghindari tatapan matanya. Namun cahaya dari lampu belajar yang sengaja tidak dia matikan membuat ruangan ini jadi cukup terang walaupun lampu kamar sudah dimatikan. Aku terpaksa memalingkan pandanganku pada langit-langit kamar.

"Nggak, nggak mikirin cowok." Aku menjawab dengan jujur. Aku sama sekali tidak memikirkan lelaki. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan laki-laki. Bagaimana bisa aku memikirkan laki-laki jika pikiranku selalu dipenuhi oleh sahabatku sendiri. Sahabat yang sekarang sedang menginterogasiku.

"Beneran?" Kali ini Stephanie bergeser mendekat ke arahku. Kedua sikutnya ditempelkan di atas kasur, sementara kedua tangannya ia buka untuk menopang kepala. Wajahnya hanya terpaut beberapa centimeter dari wajahku. Terlalu dekat. Aku merasa jantungku berdebar terlalu cepat. Aku takut jika wajahku bersemu, ia nanti curiga.

"Beneran, Fani..." Aku iseng mencolek hidung mungilnya. Dia tersenyum dan membalas mencolek hidungku. Lagi-lagi jantungku berdegup cepat. Aku tidak pernah menyangka akan seperti ini. Waktu-waktu yang aku habiskan bersama Stephanie selalu menyenangkan, dia teman terdekatku di sekolah. Karena kebetulan rumah kami pun berdekatan, maka berangkat dan pulang sekolah pun kami selalu bersama. Ada pula malam-malam dimana kami menginap di rumah satu sama lain untuk bertukar cerita atau membicarakan hal-hal remeh sampai kami tertidur. Namun, sesuatu yang berlebihan itu selalu tidak baik. Waktu yang ku habiskan dengan Stephanie terlalu banyak. Saking banyaknya, sebuah perasaan perlahan-lahan mulai tumbuh dalam diriku. Ada rasa ingin selalu bersama, ingin selalu melindungi, dan ingin memiliki. Aku sadar seutuhnya aku dan Stephanie sama-sama perempuan. Namun, mengapa hatiku selalu berdesir ketika bersama Stephanie. Ada rasa tidak nyaman setiap kali ada kakak kelas atau teman lelaki yang menyatakan perasaan kepadanya. Ada rasa cemburu ketika ia menerima banyak perhatian dari para lelaki. Tanpa sadar aku menghembuskan napas panjang.

"Tuh kan, melamun lagi. Sampai buang napas gitu." Stephanie lagi-lagi merengut. "Kamu kalau lagi naksir cowok, kasih tahu aku ya." Wajahnya masih cemberut.

"Emang kenapa aku harus kasih tahu kamu?" Aku mengerenyitkan dahiku. Sebelumnya Stephanie tidak pernah memintaku untuk memberi tahu apakah aku sedang menyukai seseorang atau tidak.

Wajah Stephanie semakin masam mendengar pertanyaanku. Ia lalu melempar tubuhnya ke atas kasur dan membelakangiku. "Ya kalau nggak mau ngasih tahu juga nggak apa-apa." Kali ini ia jelas merajuk.

"Kok ngambek? Aku kan cuma nanya." Aku menggeser posisi tidurku mendekati Stephanie yang masih membelakangiku. Aku usap punggungnya dengan jari telunjukku.

"Ya biar aku bisa siap-siap aja." Jawabannya lebih terdengar seperti gumaman.

"Siap-siap buat apa?" Aku menghentikan usapan di punggungnya, dan mulai menusuk-nusuk punggungnya dengan jari telunjukku. Hal itu akhirnya membuat Stephanie membalikkan badan menghadapku.

"Siap-siap kalau kamu nggak sama aku."

Aku melihat ke dalam matanya, ada kesedihan di sana. Aku tahu maksudnya. Aku sudah menemaninya setahun ke belakang sejak kami masih kelas tujuh. Pasti sedih jika teman dekatmu memiliki pacar lalu menghabiskan banyak waktu dengan pacarnya, dan waktumu bersama temanmu menjadi lebih sedikit.

"Ya kalau aku punya pacar ntar aku tetap nemenin kamu. Ntar aku kasih jadwal pacaran aku ke kamu." Aku menjawab asal. Tidak ada laki-laki yang sedang mendekatiku. Aku pun tidak memiliki lelaki yang sedang aku dekati. Jadi aku hanya menjawab asal saja, supaya Stephanie tidak sedih lagi.

Dahi Stephanie berkerut saat mendengar jawabanku. Ia lalu menyentil hidungku. membuatku meringis kesakitan.

"Kamu tuh ya!" Stephanie mengatupkan mulutnya rapat-rapat sebelum akhirnya menghembuskan napas berat. "Kamu tuh nggak ngerti maksud aku apa!" Stephanie lagi-lagi mendengus kesal sebelum mengacak-acak rambutnya sendiri. Aku semakin bingung dibuatnya. Akhirnya aku memegangi tangan Stephanie, menghentikannya dari mengacak-acak rambutnya yang sekarang terlihat seperti habis disasak.

Stephanie hanya terdiam saat aku memegangi tangannya. Matanya melihat ke arah tangan kami, lalu ia menggenggam balik tanganku dan menariknya ke bawah dagu. Ia sandarkan dagunya diatas tanganku, sebelum menutup matanya. "Aku nggak suka kalau harus lihat kamu pegangan tangan sama orang lain selain aku." Gumamnya tanpa membuka mata.

Untuk sesaat aku merasa jantungku berhenti berdetak lalu kemudian kembali berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Aku tidak tahu apa yang ia maksud saat itu. Namun, kalimatnya itu membangunkan keberanianku yang selama ini aku pendam.

"Ya kalau gitu, kamu terus pegang tangan aku, ya. Jangan pernah dilepas." Aku merasa jantungku semakin menggila ketika bibirku mengucap kalimat tersebut. Tetapi bibirku lebih gila lagi karena ternyata ia belum selesai berbicara. "Kamu jadi pacar aku aja ya, Fani?"

oOo

Tahun ketiga menjalani masa SMP, aku dan Stephanie masih ada di kelas yang sama. Ntah mengapa bisa begitu. Mungkin memang takdir berkata kami tidak boleh terpisah. Stephanie semakin terkenal di sekolah. Prestasinya di olah raga bulu tangkis ditambah wajah cantiknya, juga kelembutan tingkah lakunya membuat dia terlihat seperti dewi yang jatuh dari khayangan. Terlalu sempurna untuk ukuran manusia.

"Nilam, Steph mana?" Salah satu teman sekelasku bertanya ketika mendapatiku sedang makan sendirian di kantin.

"Lagi ditembak." Jawabku ringan. Dalam sebulan ini sepertinya sudah ada lima laki-laki yang menyatakan cintanya pada Stephanie. Mungkin bukan lima, mungkin enam. Ntahlah, aku malas menghitungnya. Tapi yang jelas jumlahnya sudah jauh berkurang dibandingkan waktu kelas tujuh dan kelas delapan dulu. Antrian saat ini hanya berisi teman-teman seangkatan. Adik-adik kelas nampaknya tidak ada yang berani menyatakan cinta.

Teman sekelasku langsung duduk di kursi kosong di depanku. "Siapa lagi yang nembak sekarang?" Wajahnya penuh keingintahuan. Tentu saja ia ingin tahu, sama seperti semua orang di sekolah ini yang penasaran kepada siapa akhirnya Stephanie akan memberikan hatinya.

"Si Imam." Aku melahap telur gulung yang sudah aku beli sebelumnya.

"Ya elah, Imam ngapain sih? Mereka kan beda agama. Nggak bisa dibawa kemana-mana juga kalo jadian. Susah nanti nikahnya."

Aku nyaris tersedak telur gulung mendengar komentar temanku ini.

"Masih SMP, hey! Udah ngomongin nikah aja, lo."

"Kita kan gatau mereka bakal langgeng atau nggak, Lam. Kalau langgeng pacaran sampai bertahun-tahun terus harus selesai karena beda agama kan sedih."

"Bodo amat, deh..." Aku lanjut memakan telur gulungku, namun diam-diam aku memikirkan omongan temanku ini. Bagaimana mungkin tidak aku pikirkan. Kejadian malam itu, dimana aku menyatakan perasaanku pada Stephanie, tanpa sepengetahuan siapapun telah membuat aku dan Stephanie melangkah terlalu jauh, namun mungkin seperti perkataan temanku barusan, 'nggak bisa dibawa kemana-mana.'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top