Di Balik Layar


"Fani!"

Aku menoleh mendengar namaku dipanggil. Dibelakangku terlihat seorang gadis sedang berlari ke arahku. Badannya tinggi, mungkin nyaris 170 cm. Rambut pendeknya yang hanya sampai leher ia biarkan terurai dan melambai-lambai mengikut derap langkahnya saat berlari. Poninya terangkat dari dahi karena tertabrak angin dari depan. Aku tersenyum melihat pemandangan itu.

"Kamu ngapain sih lari-lari gitu?" Aku berujar begitu dia sampai di depanku dengan napas pendek-pendek. Dia sama sekali tidak jago berolahraga.

"Takut kamu kelamaan nunggu." Dia menjawab dengan ceria. Senyum terukir di wajahnya yang tirus. Hidungnya kecil namun mancung. Dan tulang pipinya tajam, membuat wajahnya terlihat tegas tetapi tetap cantik. Dengan tinggi badan dan tipe wajahnya yang seperti ini, mungkin ketika dewasa nanti, dia bisa menjadi seorang model.

"Kamu jalan satu langkah aja itu sama kaya aku lari tiga langkah tau, Nilam." Aku tertawa kecil sambil tanganku terangkat merapikan poninya yang berantakan. Semburat rona merah muda muncul di pipi sawo matangnya. Aku menyadarinya, namun aku tidak berkomentar apa-apa.

"Kan kalau aku lari jadinya bisa lebih cepat." Dia menjawab masih dengan nada yang ceria.

Aku mengangguk sambil mengulum senyum dan mengelus kepalanya untuk merapikan rambut-rambut nakal yang berdiri, hasil dari dia berlarian tadi. Puas dengan hasil tanganku di rambutnya, aku melingkarkan lenganku di lengannya, dan menariknya berjalan bersamaku.

"Aku tadi lihat kamu mukul Teddy," Aku membahas hal yang ku lihat tadi pagi saat upacara di aula. Beberapa kali aku mencuri pandang ke arahnya, dan ada satu waktu aku melihat ia memukul lengan teman sekelasnya.

"Huff..." Dia hanya mendengus. Mungkin tadi Teddy melakukan sesuatu yang membuatnya kesal.

"Teddy isengin kamu ya?" Aku mencoba menebak. Nilam, perempuan yang sedang berjalan di sampingku ini sering sekali bercerita tentang Teddy. Dan hal yang paling sering ia ceritakan adalah setiap kali ia kesal ketika Teddy menggodanya yang sedang melihat ke arahku.

"Ya iya, lah. Dia kan selalu begitu. Masa aku dibilang aku suka nge-stalk kamu." Dia memanyunkan bibirnya. Sungguh lucu setiap kali aku melihat dia memajukan bibirnya seperti itu. Dengan struktur wajahnya yang tegas dan badannya yang tinggi, dia terlihat seperti bayi raksasa ketika dia manyun.

"Masih lanjut itu?" Aku tertawa menanggapi jawaban dia. "Cuma gara-gara dia lihat di handphone kamu banyak foto aku yang kebetulan aku post di instagram itu, kan?" Aku ingat salah satu cerita Nilam tentang kejadian saat Teddy meminta Nilam mengambil foto dirinya untuk avatar instagram. Setelah beberapa kali mengambil gambar, Teddy mengambil handphone Nilam dan kemudian terkaget-kaget melihat banyak foto-foto Stephanie di galeri handphonenya. Sejak itu, Teddy sering sekali menggoda Nilam.

"Padahal aku kan bukan stalker. Foto-foto instagram kamu memang aku yang fotoin." Bibir Nilam semakin maju. Aku yakin dia pasti sedang kesal sekali. Memang betul yang ia katakan. Dia lah yang mengambil kebanyakan foto di media sosialku. Nilam adalah fotografer pribadiku. Jepretan-jepretan Nilam selalu bagus, tak peduli kamera apa yang ia gunakan. Sepertinya bakatnya memang disitu.

"Sebenarnya, lebih mudah kalau kamu bilang sejujurnya. Kalau kamu memang tukang foto aku." Langkah Nilam terhenti begitu kalimatku selesai. Aku turut berhenti dan melihat ke arahnya. Wajah Nilam cemberut, alisnya mengerenyit, menandakan ketidaksetujuannya.

"Kamu lupa kenapa kita pura-pura nggak kenal kalau lagi di sekolah?" Aku hanya bisa diam. Tentu saja aku ingat kenapa kita memutuskan untuk pura-pura tidak kenal di sekolah.

"Kamu masih ingat kan alasan kenapa kita harus janjian di gerbang perumahan ini untuk pulang bareng, bukannya pulang bareng dari sekolah?" Nilam melanjutkan kalimatnya.

"Aku nggak mau kejadian waktu SMP terulang lagi, Fani." Kali ini, wajah Nilam berubah memelas.

Aku menghela nafas dan kembali menarik lengan Nilam untuk mengajaknya melanjutkan perjalanan. "Iya, maafin aku ya."

Dari sudut mataku, aku bisa melihat Nilam mengangguk. Namun dia tak berkata apa-apa. Sejujurnya hatiku pedih setiap kali kejadian saat SMP terbahas antara aku dan Nilam. Jika aku menjadi Nilam, aku pun mungkin akan meminta hal yang sama.

"Nilam..." Aku menempelkan pipiku di pundaknya.

"Iya, Stephanie..." Nilam tak menoleh sedikitpun.

"Jangan marah, dong." Aku menurunkan lenganku yang melingkari lengannya. Tanganku mencari tangan nilam dan menggenggamnya.

"Aku nggak marah." Nilam memanyunkan bibirnya. Gemas sekali aku melihat dia seperti ini.

"Panggil aku Fani, dong. Kamu kan cuma manggil Stephanie kalau lagi marah." Aku menusuk pipinya dengan tanganku yang satunya. Ujung bibirnya terangkat, dan akhirnya dia tersenyum.

"Iya, Faniiiiii." Akhirnya ia memanggilku dengan nama panggilanku. Nama panggilan yang hanya digunakan oleh dirinya. Tidak ada orang lain yang memanggilku Fani. Dan aku pun hanya ingin dia tetap menjadi satu-satunya orang yang memanggilku Fani.

"Naaah, gitu dong. Kesayangan aku manis banget, sih." Aku mengaitkan jemari kami dan menggenggam erat tangan Nilam. Ya, Nilam memang kesayanganku, dari saat kami menggunakan seragam putih biru, saat ini, dan semoga selamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top