9. Anterin Suami.
Jangan lupa tandai typo ❤️❤️
***
Suara bising dari pengering rambut terdengar memenuhi setiap sudut kamar, Chandra mengarahkan benda itu ke belakang kepalanya. Meski suara ribut itu memekakkan telinga di pagi hari, nyatanya seorang wanita yang masih terlelap itu tak sedikit pun terganggu.
Chandra mematikan hairdryer, menyimpan kembali benda itu ke dalam laci meja rias istrinya. Wenda benar, rambut Chandra sudah mulai panjang, terbukti saat ia selesai mandi. Rambutnya tidak bisa lagi langsung kering hanya mengenakan handuk, perlu bantuan pengering rambut.
Pria itu bergerak ke arah tempat tidur, Wenda masih bergelung di bawah nyamannya selimut. Chandra merangkak naik ke tempat tidur, sedikt mencondongkan wajahnya ke depan, tangannya menopang tubuh agar tidak terjerembab dan menindih sang istri.
"Sayang, bangun ayo. Udah pagi ini loh," bisik Chandra di telinga Wenda.
Kecupan ia tinggalkan di pipi kanan dan kiri Wenda. Wanita itu menggeliat, terganggu dengan ulah Chandra. Mata Wenda mengerjap pelan, tangannya terulur memeluk leher Chandra. Wajah keduanya hanya berjarak kurang dari lima inci.
Chandra terkekeh memperhatikan wajah mengantuk Wenda, gemas sekali dengan pipi bulat sang istri. Pria itu menyatukan hidungnya dengan milik Wenda, beralih menggigit kecil pipi kiri sang istri.
"Sayang, aku pinjem mobil kamu, ya. Mobil aku kemarin kayaknya ada masalah sama ban belakang, belum sempat aku bawa ke bengkel," jelas Chandra seraya mengusap dahi Wenda.
Mendengar penuturan itu Wenda membuka matanya lebar. "Nanti aku ke kampus gimana?"
"Loh? Bukannya kamu libur hari ini?"
Wenda memiringkan tubuhnya, tangannya menyingkap piama hingga menampilkan punggung mulusnya. "Chan, gatal," adunya.
Chandra paham kode ini, tangannya terulur menurunkan kembali piama Wenda, telapak tangannya mengusap punggung sang istri dari luar piamanya.
"Nggak jadi. Dosennya nyebelin, dia sendiri kemarin yang telat, eh malah masuk cuma tiga menit terus kasih pengumuman kuliahnya diganti hari ini," tukas Wenda.
Wanita itu kembali ke posisi semula, tangannya terentang. Chandra lebih mendekat, meraih tubuh Wenda agar bangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur.
"Chan, gimana kalau aku nganter kamu kerja? Sekali-kali doang aku yang anterin." Wenda menyengir mengutarakan idenya.
"Emang nggak telat kuliahnya?"
Wenda menggeleng cepat. "Kuliahnya jam satu siang, masih lama juga."
"Ya, udah. Ayo bangun. Aku tinggal ganti baju aja ini."
Chandra bergerak turun dari tempat tidur, melangkah ke lemari besar samping meja rias Wenda. Pria itu meraih satu kemeja untuk ia kenakan bekerja hari ini.
"Jangan pake kemeja putih!"
Gerakan tangan Chandra terhenti saat teriak Wenda berdengung di telinganya, ia menoleh ke sumber gaduh itu.
"Aku mau nganter suami kerja, ya. Bukan mau antar peserta tes CPNS."
Chandra terkekeh, niatnya mengenakan kemeja putih di hari Senin ia urungkan. Kembali ia meraih satu kemeja panjang dengan warna soft blue.
"Kalau yang ini?" Chandra mengangkat hanger di depan dadanya, meminta pendapat sang istri tentang penampilannya.
"Itu aja, cakep."
Chandra berjalan menghampiri Wenda yang duduk di tepi tempat tidur, berlagak bak model peragaan busana. Dulu semasa sekolah, ia sering sekali menjadi model dadakan dari rancangan mami.
"Aku cakep, ya, Sayang?"
Pria itu mengangkat tangan kanannya, mengusap sisi kepalanya sekilas dan berakhir di tengkuknya, ekspresinya sengaja ia atur sedatar mungkin, tanpa senyum, tatapan tajam lurus di satu objek.
Wenda tergelak, tidak tahan dengan tingkah suaminya. "Iya, cakep. Kamu cocok pake warna itu, tapi masih cakepan Chanyeol di pemotretan Dior."
Chandra berbalik, mengabaikan Wenda jika sudah membahas seputar laki-laki Korea. "Buruan siap-siap, Wen. Udah jam berapa ini, nanti kejebak macet."
***
Suara penyetel musik di mobil Wenda turut meramaikan suasana pagi jalanan kota Jakarta. Wanita itu terus bersenandung mengikuti nyanyian. Meski terdengar hapal dengan liriknya, tetapi tetap saja aneh di telinga Chandra.
"Sayang, lagu kamu Korea semua. Nggak ada yang lain gitu? Ngerti juga nggak bahasanya," protes Chandra di sela-sela membagi fokusnya pada jalanan.
Namun, protes Chandra sama sekali tidak digubris perempuan itu. Ia justru semakin melancarkan aksi menyanyikan lagu dari idolanya. Hingga mobil yang Chandra kendarai berbelok ke sebuah restoran cepat saji pun, Wenda tak menyadarinya.
Mobil mereka merayap ke sisi samping bangunan, tempat memesan tanpa harus turun dari mobil. Chandra mengecilkan volume penyetel musik, menurunkan kaca mobil.
"Selamat datang di Bunki' Donuts, mau pesan apa, Kakak," sapa seorang pegawai dari balik jendela.
Netra Chandra menelisik barisan menu di sana. "Kak, menu breakfast ini aja?" Chandra menunjuk banner kecil yang terpajang di dekat jendela.
"Iya, Kakak. Silakan."
"Kak pesan croissant sandwich with hot cappucino satu. Toasted bread with hot choco matcha satu."
Chandra menoleh ke belakang. "Sayang, mau donat nggak?"
Wenda menaikkan bahunya, menjawab dengan acuh tak acuh. "Terserah."
Pria itu kembali menghadap ke sang pelayan, merasa percuma menanyai wanita di belakangnya yang sedang asyik dengan ponselnya.
"Kak, tambah classic donuts dua kotak."
"Baik, Kak. Donatnya mau isi sepuluh atau dua puluh?"
"Sepuluh aja, Kak."
"Baik silakan, Kakak." Sang pelayan memberi titah Chandra untuk menuju ke tempat pengambilan pesanannya.
Pria itu menarik tuas rem tangan, menginjak gas mobil pelan. "Perempuan tuh kenapa sih, kalau ditanya mau makan apa, jawabnya nggak jauh-jauh dari 'terserah'."
Merasa tersindir, Wenda mencondongkan tubuhnya mendekat ke Chandra. "Kamu mau tahu kenapa?"
Chandra menarik kembali tuas rem tangan saat mereka sudah sampai di tempat yang ditunjuk pegawai tadi, wajahnya menoleh ke Wenda. Dahinya mengkerut menunggu penjelasan wanita itu.
"Karena dulu, Siti Hawa sebagai wanita pertama yang Tuhan ciptakan, saat dia yang memilih makanan berakibat mereka diusir dari surga. Ternyata Siti hawa memilih buah kuldhi. Makanya, cewek-cewek sekarang bilangnya terserah. Karena takut kesalahan lagi, lagian mereka percaya pasangannya pasti akan memilihkan makanan terbaik."
Chandra memicingkan matanya, tidak percaya dengan jawaban Wenda yang begitu serius. "Tahu dari mana? Tumbenan pinter."
"Dari akun fanbase meme Indonesia," jawabnya ringan.
Chandra seketika menunduk, menyatukan dahinya di setir. Kirain tadi udah beneran serius. Ujungnya tetap lawak.
Suara di samping kanan Chandra menyeretnya untuk kembali ke fokusnya. Chandra mendongak, seorang pegawai pria dengan senyum terbaik menyerahkan pesanan Chandra.
Chandra meraih satu per satu kantung plastik berisi makanan mereka, dua kantung besar dengan gambar brand restoran ini Chandra simpan di jok belakang.
"Ini donatnya buat di rumah aja, satu kotak kasih ke Bi Yati, ya."
Pria itu mengangsurkan satu kantung berukuran sedang ke pangkuan Wenda. Wanita itu hanya mengangguk-angguk mendengarkan pesan sang suami.
"Ini sarapan kamu. Sarapan dulu, punya aku nanti aja di kantor aku makan."
Selesai dengan segala urusan sarapan, Chandra melajukan lagi mobil Wenda, menerjang embun pagi jalanan kota Jakarta. Chandra melirik jam digital di dashboard, sudah menampilkan angka 08.02. Wenda? Tidak usah ditanya, wanita itu fokus menghabiskan sarapannya di jok samping Chandra.
Chandra berbelok mengambil jalan sebelah kanan, menyebrang jalan menuju kantornya. Sudah banyak karyawan baik bagian kantor ataupun pabrik baru datang, berjalan seraya bercerita dan mengobrol ringan.
Mobil Wenda Chandra bawa ke tempat lenggang tidak ada manusia berlalu lalang. Ia memarkirkan mobil, melepaskan sabuk pengaman, meraih tasnya di jok belakang, lalu menyandangnya.
"Kamu hati-hati pulangnya, ya. Nggak usah ngebut-ngebut. Ke kampus nanti juga hati-hati," pesan Chandra yang hanya diangguki oleh Wenda.
Tangan Chandra terentang. "Peluk dulu sini," pintanya.
Wenda beringsut menggeser duduknya, masuk ke dalam pelukan sang suami. Kecupan hangat Chandra bubuhkan di pelipis dan pipi Wenda.
"Langsung pulang, ya. Jangan ke mana-mana lagi. Kamu mau kuliah siangnya. Denger?"
"Iya, bawel banget, deh."
Chandra terkekeh, menguraikan pelukan. Ia membuka pintu dan turun dari mobil. Wenda bergegas menggeser tempat duduk, langsung ke balik kemudi tanpa repot-repot turun dari mobil.
"Chan," panggil Wenda mengulurkan tangannya ke arah Chandra.
"Oh, mau salim." Chandra menyambut telapak Wenda kemudian mengarahkan punggung tangannya ke bibir Wenda.
"Ih, bukan salim. Minta uang bensin." Wenda menunjuk spidometer bahan bakar mobilnya. Jarum indikator menunjukkan di posisi berkurang satu kotak dari huruf F, itu berarti bahan bakar mobilnya masih sangat cukup.
Chandra berdecak, tangannya meraih dompet di saku belakang. Ia tahu itu hanya akal-akalan Wenda. Namun, ia tidak mempermasalahkan itu, mungkin saja Wenda butuh sesuatu untuk ia beli.
"Kan tadi yang bawa mobil aku. Jadi, ongkosnya bagi dua, ya," goda Chandra mengeluarkan dua lembar uang pecahan lima puluh ribu. Ia mengangsurkan satu lembar ke Wenda yang satu kembali ia simpan.
"Ih, kok cuma lima puluh ribu! Chan ...," rengek Wenda memelas.
Chandra gemas melihat ekspresi wanitanya, pipi chubby Wenda menempel di kaca jendela mobil, tidak tahan dengan rasa gemasnya Chandra mengacak poni Wenda. "Kiss dulu, aku tambahin."
Wenda cemberut, bibirnya mencebik. "Nggak!"
Chandra kembali mengeluarkan uang dari dompetnya. "Emang kamu butuh apa, sih, Sayang."
Chandra menoleh saat suara dehaman menginterupsi.
"Selamat pagi, Chan." Wanita itu tersenyum ramah. "Nganterin suami, ya, Wen."
Chandra tersenyum membalas keramahan wanita itu. "Iya Kak Mira. Selamat pagi juga," balas Chandra.
Perempuan itu berdiri tidak jauh dari keberadaan Chandra. "Belum mau masuk, Chan? Udah hampir setengah sembilan, loh," ucapnya mengingatkan.
"Oh, iya, Kak. Sebentar lagi, masih ada urusan sama istri aku."
Amirah mengangguk mengerti. "Baiklah, kakak duluan ya, Chan. Permisi, ya, Wen."
Wenda hanya menanggapi dengan senyuman. Matanya kembali menatap nyalang Chandra yang tak kunjung memberikan uang tersebut.
"Chan, uangnya mana?"
"Masih inget aja, sih." Chandra mengangsurkan selembar lagi. "Jangan jajan sembarangan, ya."
"Dikira aku anak kecil apa, pake jajan sembarangan," gerutu Wenda tidak terima.
Chandra tergelak, istrinya sangat tidak menyukai dianggap atau diperlakukan seperti anak kecil. Namun, terkadang tingkahnya tidak bisa dikatakan orang dewasa.
"Dah, pulang gih. Hati-hati," tukas Chandra mengusap pipi istrinya.
Wenda melambaikan tangan sebelum menutup pintu jendela. Mobilnya bergerak perlahan meninggalkan Chandra yang masih berdiri memperhatikan hingga mobil itu hilang di balik gerbang tinggi.
Tanjung Enim, 23 Juli 2021
Selamat sore, apa kabar?
Ada cerita apa kalian hari ini? Hayo sini cerita.
Salam Sayang
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top