6. Perkara Lasagna

Mobil Chandra berjalan pelan, memasuki kawasan komplek perumahan yang sudah dua tahun dia lewati. Lelah, cukup jelas tergambar di wajah Chandra. Mobilnya sudah terparkir rapi bersebelahan dengan mobil Wenda di garasi rumahnya.

Chandra meraih tas ranselnya yang tersandar di jok samping kirinya. Bersiap turun masuk ke rumah. Langkahnya kian dipercepat, sudah tidak sabar bertemu istrinya. Chandra meraih handel pintu, mendorong pintu ke dalam.

"Say-astagfirullah."

Chandra terperanjat, saat netranya menangkap Wenda yang sudah berdiri di depan pintu. Matanya memperhatikan Wenda dari kepala hingga ke bawah. Wenda dengan senyum bahagia menyambut kedatangan Chandra. Bukan senyum itu yang membuat Chandra bergeming menatap Wenda heran, melainkan penampilan Wenda.

Wenda masih mengenakan piama yang sama, Chandra lihat pagi tadi sebelum dia berangkat kerja. Tangan Wenda terulur mengadah ke depan. Chandra menyambut tangan itu, tangan yang entah sudah ribuan kali dia genggam, ribuan kali pula dia kecup.

"Ish! Siapa yang mau salim, sih," sungut Wenda saat Chandra menyambut uluran tangan itu, kemudian mengarahkan punggung tangannya sendiri ke hidung Wenda.

Chandra terkekeh. "Aku pikir mau salim. Biar berasa kayak pasangan soleh dan solehah gitu. Suami pulang kerja cium tangannya."

Chandra meraih kepala Wenda, mencium dahi dan pipi Wenda. "Kenapa belum mandi?"

Wenda tidak menjawab pertanyaan Chandra, justru melemparkan pertanyaan lain, seperti Wenda yang biasanya. Chandra terus berjalan menuju kamar mereka, melewati Wenda.

"Chan, lasagna-nya mana?"

Chandra berbalik menghadap Wenda yang masih tertinggal di belakangnya. "Lasagna raja di laut? Kan bersemayam di bukit batu," canda Chandra yang sukses membuat Wenda merengut.

"Itu laksmana! Ish, pasti lupa beliin. Tahu akh. Nyebelin."

Wenda menghentakkan kakinya di lantai, berjalan mendahului Chandra masuk ke kamar mereka. Chandra hanya bisa mengernyitkan dahi tidak mengerti dengan keadaan. Langkahnya dibawa menghampiri Wenda yang sudah berbaring tengkurap di tempat tidur.

"Kamu kenapa?" tanya Chandra lembut, berusaha memecahkan misteri yang membelitnya.

"Lasagna aku mana?" Pertanyaan itu lagi yang meluncur dari mulut Wenda. Wenda menjawab tanpa berniat mengubah posisinya.

"Lasagna apa, Sayang? Kan kamu tadi siang bilangnya nggak mau makan itu. Makanya aku beliin yang lain, lagian udah habis juga kan kamu makan?"

Wenda berbalik, mengubah posisinya menjadi telentang. "Itu kan tadi siang. Tadi aku chat kamu. Minta beliin itu."

"Chat?" Chandra bergegas meraih tas yang tadi dia letakkan begitu saja di lantai, tangannya merogoh tas mencari ponselnya.

Chandra menyengir saat memeriksa ponselnya, ada pesan dari Wenda yang belum dia baca. "Maaf, Sayang. Aku nggak tahu kalo kamu chat minta beliin ini," jelas Chandra tanpa ada yang ditutupi.

"Bohong! Bilang aja sengaja," tuduh Wenda dengan wajah merengut.

"Ya udah kita pesan delivery aja gimana?"

"Aku mau lasagna yang di pertigaan jalan mau ke butik, kan kamu lewati kalo pulang kerja. Makanya aku chat tadi." Wenda masih saja membahas kesalahan yang tidak sengaja Chandra lakukan.

"Iya, tapi di sana nggak bisa delivery, Sayang. Beli tempat lain aja, gimana?"

Wenda berbalik, memunggungi Chandra. "Nggak mau! Aku mau yang dijual di sana."

Chandra duduk di tepi tempat tidur, meraih belakang kepala Wenda untuk dia usap dengan sayang. Namun, ditepis kasar oleh wenda.

"Nggak usah elus-elus. Aku mau lasagna!"

"Wen, aku capek baru pulang kerja, baru sampe rumah harus ngadepin kamu yang kayak bayi tantrum." Chandra menghela napas panjang. "Tolonglah jangan gini, Wen."

Wenda masih bergeming, tidak menjawab ucapan Chandra tidak pula mengubah posisinya. Suara geraman Chandra sudah terdengar di telinga Wenda.

"Kamu mau aku marah? Iya, mau aku marah?"

Wenda menggeleng meskipun masih dengan posisi yang sama. Tidak berani berbalik, suara Chandra di belakangnya seakan mengintimidasi agar tidak melakukan pergerakan.

"Wenda! Lihat aku sini kalau aku lagi ngomong," tegas Chandra yang mutlak tidak bisa dibantah.

Wenda berbalik, tetapi tidak berani menatap Chandra langsung. Tatapan Chandra masih memperhatikan Wenda dengan ekspresi datar.

"Sekarang kamu bangun. Mandi sana," perintah Chandra lagi-lagi membuat Wenda takut.

Tangan Wenda terulur meraih tangan Chandra, menggenggam telunjuk Chandra dengan jari-jari mungilnya. "Mandinya nanti aja, ya. Habis makan lasagna-nya, boleh ya?"

Kalau sudah begini, sekesal apa pun Chandra tetap saja kalah dengan tatapan andalan Wenda. Tatapan seperti anak kucing minta dikasihani.

"Terserah kamu. Aku mandi duluan kalau kamu belum mau mandi."

Chandra menyimpan ponselnya di nakas samping tempat tidur, berjalan ke kamar mandi. Membersihkan tubuh dan pikiran dibawah guyuran air shower adalah pilihan tepat.

Wenda bangkit dari posisinya, meraih ponsel milik Chandra. Membuka atau lebih tepatnya memeriksa aplikasi chat, sosial media milik Chandra. Sejak kejadian dua tahun lalu, kesalahpahaman yang membuat rumah tangganya hampir terancam, kini Wenda lebih sering memeriksa ponsel Chandra.

"Aman," gumamnya, menyimpan ponsel Chandra ke tempat semula.

Wenda berguling menjelajahi tempat tidur mereka. Tangannya memainkan ponselnya. Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok Chandra yang hanya mengenakan handuk melilit di pinggangnya. Chandra bergerak membuka lemari mencari pakaian rumahan.

Selesai mengenakan pakaiannya, Chandra berjalan menghampiri Wenda yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang.

"Udah pesan lasagna-nya?" tanya Chandra mendaratkan bokongnya di tepi tempat tidur, Wenda hanya menggeleng sebagai jawaban.

Chandra meraih ponselnya, menggulir jarinya di atas touchscreen benda canggih miliknya. "Mau lasagna aja?" tanya Chandra memunggungi keberadaan Wenda.

Wenda beringsut menyelinap dibawah rangkulan Chandra, dagunya bertumpu di paha Chandra. Mata Wenda masih fokus memperhatikan gerakan ibu jari Chandra di atas layar ponsel.

"Chan, mau puding ini," tunjuknya pada layar yang menampilkan berbagai macam puding dengan varian rasa berbeda.

Ibu jari Chandra menyentuh gambar yang Wenda maksud. "Mau yang ini?" tanya Chandra lagi.

Wenda hanya mengangguk, beranjak dari posisinya ke balik punggung Chandra. Tubuhnya merapat ke tubuh segar Chandra, Wenda memeluk Chandra dari belakang. Tangan, kakinya melingkari perut dan pinggang Chanda.

"Nggak usah peluk-peluk, akh. Kamu belum mandi," sindir Chandra.

Seakan menulikan indera pendengaran, Wenda justru mengeratkan pelukannya, menempelkan pipinya di punggung lebar Chandra, menghidu segarnya aroma sabun mandi yang melekat di tubuh Chandra.

"Kalo aku udah mandi, bukan kamu lagi yang aku peluk."

Chandra menanggapi ucapan Wenda tanpa menoleh. "Emang siapa yang mau kamu peluk?"

"Chanyeol Exo."

"Emang dia mau kamu peluk, huh?"

Tangan Wenda merenggang di tubuh Chandra. Namun, tubuhnya masih seperti anak panda menempel pada pawangnya.

"Mau dong! Kamu nggak lihat bunda cantiknya mirip Irene Redvelvet gitu. Anaknya pasti cantik jugalah." Wenda menyombongkan dirinya.

"Emang anaknya mirip siapa?" tanya Chandra masih menanggapi ucapan ngawur sang istri.

"Son Wendy alias Wendy Redvelvet."

Punggung Chandra bergetar, dia tidak tahan untuk menahan gelak tawanya mendengar ucapan Wenda dengan percaya dirinya.

"Kamu seharian di rumah ngapain, sih, Sayang. Sampe nggak mandi dari pagi gini. Mentang-mentang libur kuliah libur juga mandi."

Chandra berucap di sela-sela kegiatannya menekuri ponselnya, membalas pesan yang masuk pada ponselnya.

"Di sini hujan, dingin mau mandi tuh," jawab Wenda membuat alasan.

"Ya kan bisa pakai shower air hangat."

"Mager."

Chandra diam jika kata itu sudah keluar dari mulut Wenda. Itu berarti Wenda sedang benar-benar berada di titik yang namanya malas. Chandra melanjutkan kegiatannya, Wenda hening sesaat sebelum akhirnya kembali membuka suara.

"Chan, dingin-dingin makan bubur kacang ijo anget enak kayaknya." Wenda mengubah posisi pipinya yang menempel di punggung Chandra. "Tapi yang nggak ada kacang ijonya."

Chandra mengerutkan dahi, jarinya berhenti sejenak dari ponsel. "Bubur kacang ijo tanpa kacang ijo itu yang gimana, Sayang.

"Ya yang cuma kuahnya aja gitu," jelas Wenda.

"Kenapa nggak minum sari kacang ijo aja. Sama aja kan?"

Wenda bergerak, tubuh Chandra sedikit terhuyung ke depan. "Ih, beda lagi, Chan. Bubur kacang ijo kan anget. Sari kacang ijo kan nggak."

"Sayang, kita gelut aja, yuk. Kita baku hantam aja sekarang." Chandra bercanda, dia tidak akan benar-benar melakukan itu terhadap Wenda.

"Suami macam apa itu. Istri diajak baku hantam," cibir Wenda.

"Habisnya dari tadi kamu mintanya yang aneh-aneh, lasagna yang harus di tempat itu, ini bubur kacang ijo tanpa kacang ijo. Besok apa lagi? Bubur ayam tanpa ayam?"

Wenda terkekeh menyadari betapa anehnya permintaannya.

"Udah, akh. Aku mau ke markas," ujar Chandra.

"Ikut ...," rengek Wenda.

"Ya udah lepas, jalan."

"Mau gendong."

Chandra menghela napas. "Ya udah ayo, pegangan yang kuat. Aku nggak pegangin kamu. Jatuh tanggung sendiri."

Wenda beringsut, melingkarkan tangannya di leher Chandra. Wajahnya bertumpu di bahu Chandra, satu kecupan dia daratkan di pipi kanan Chandra.

"Nggak usah cium-cium. Kamu belum mandi, masih bau asem."

Lagi-lagi Wenda menulikan telinganya, dia tetap saja menggoda Chandra dengan mencium pipi Chandra kanan dan kiri tanpa henti.

"Udah, akh! Nanti jatuh. Yang bener kamu pegangan."

Baru saja mereka melangkahkan kaki di depan pintu markas, suara bel berbunyi nyaring.

"Chan? Itu pasti abang ojol. Lagsana-nya udah nyampe, Chan!" seru Wenda. "Aku aja yang buka."

Chandra sedikit merendahkan tubuhnya agar Wenda turun dari gendongan. Wenda berlari semangat menuju pintu utama.

"Yeyey, lasagna. Yeyey ... lasagna."

Chandra tersenyum, antara lucu dengan tingkah Wenda dan bingung. Perasaan dari SD dia nggak semanja itu deh. Sekarang manjanya nambah jadi.

Chandra duduk menunggu di meja pantry, Wenda bingung dengan isi kantung yang diberikan driver ojek online tadi.

"Chan, kamu cuma pesen satu?"

"Iya, kenapa?"

"Kurang, Chan. Kamu nggak ada dong. Aku mau satu sendirian."

"Itu porsi gede aku pesen, Sayang. Kamu nggak akan habis."

"Habis! Pasti habis," ucap Wenda pasti.

"Ya udah, habisin itu. Awas kalo nggak habis. Aku marah!" ancam Chandra.

Wenda duduk pada stole mulai menikmati lasagna yang sejak tadi dia tunggu. Chandra duduk di sebelahnya, menikmati puding cokelat dia pesan bersamaan dengan lasagna.

"Chan, kayaknya aku harus ikut kelas masak deh," ucap Wenda yang sontak membuat Chandra memutar wajahnya menghadap Wenda.

"Kelas masak?"

"Iya, biar aku bisa masak kalo lagi kayak gini, jadi kita nggak usah delivery. Biar hemat aja," usul Wenda.

Chandra mengulurkan jempolnya, mengusap saus lasagna di sudut bibir Wenda, kemudian Chandra cecap ibu jarinya.

"Emang Bi Yati nggak masuk tadi?"

"Masuk, tapi tadi dia belum sempet masak karena ditelepon sama keponakannya dari kampung. Keponakannya itu ada anak, tiba-tiba anaknya panas. Dan dia bingung mau dibawa ke dokter karena dia baru dua hari di Jakarta."

Wenda mengambil satu sendok Lasagna, menyuapi Chandra yang jelas Chandra terima dengan suka cita. "Aku nggak tega, daripada nanti ada apa-apa sama anak keponakannya, jadi aku suruh Bi Yati pulang aja," jelas Wenda, Chandra hanya mengangguk.

Chandra mengeryit saat tangan Wenda terus menyuapinya, tanpa memasukkan ke mulutnya sendiri.

"Kamu pasti udah kenyang, kan?" tebak Chandra membuat Wenda terkekeh.

"Kamu udah kayak ibu ngidam tahu nggak. Tadi Bang Arya cerita tentang pengalamannya ngadepin istrinya yang ngidam. Ngerengek minta dibeliin makanan, tapi dimakan sedikit. Persis kayak kamu ini."

"Iya aku lagi ngidam," celetuk Wenda.

"Oh, ya? Perasaan kita belum bikinnya, deh, Sayang. Emang kapan kita bikinnya?" goda Chandra pada Wenda.

"Besok! Sekarang ngidamnya aja dulu."

Chandra mendekatkan wajahnya, berbisik sensual di telinga Wenda. "Kalo bisa sekarang, kenapa nunggu besok? Habis ini cobain yuk? Siapa tahu kali ini gol."

Wenda berdiri dari duduknya. "Emang lagi tanding bola," sungut Wenda.

Chandra menarik lengan Wenda, membawanya duduk di pangkuannya. "Mau ke mana?"

"Mau mandi. Kan katanya tadi disuruh mandi."

Chandra membenamkan wajahnya di ceruk leher Wenda. "Nanti aja mandinya. Nanti juga kotor lagi, keringatan."

Wenda mendorong wajah Chandra, menjauh dari lehernya. "Dasar, mesum. Heran!"

Chandra menyambar bibir Wenda, melumatnya hikmat. Wenda? Tentu tidak punya pilihan selain antara pasrah dan menikmati.

"Chan, jangan di dapur. Ke kamar aja," ucap Wenda memberi usul.

Tangan Chandra menyelinap masuk ke balik piama Wenda. "Cie, yang malu-malu tapi mau," goda Chanda, pipi Wenda bersemu malu, tangannya menoyor kepala Chandra gemas.


Tanjung Enim, 31 Januari 2021

Huaaarggh... Gila! Bab ini hampir 2k. Wkwkw.

Hai, apa kabar? Tetap sehat dan jaga kebersihan ya.

Pertama ada yang mau aku sampaikan.
Jadi Cerita Sahabat ... nikah, yuk! Setelah kemarin nggak lolos di event sebelumnya. Aku kirim ke event penerbit lain. Udah lewat seleksi naskah dan tes tahap 1.

Dan hasilnya ..... Taaarrraaa....

Pasangan ajaib lolos jadi peserta di antara 1.252 peserta. ❤️❤️

Jadi nanti akan ada masa unpublish. Jangan kaget ya kalo nanti ada notip pasangan ajaib di publish ulang. Mau aku revisi. Dan aku perbaiki.

Itulah kemarin aku minta Pendapat kalian tentang sahabat ... nikah, yuk! Komenan kalian aku pertimbangan untuk perbaikan di kedepan.

Sekali lagi, terima kasih atas antusias kalian nungguin cerita ini sampai sequel. Tetap dukung pasangan ajaib ya.

Sayang kalian banyak-banyak. ❤️❤️❤️

Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top