44. Perkara Lato-lato

Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Namun, menurut leader dari grup idola yang Wenda sukai, jika menunggu itu menyenangkan maka itulah adalah cinta.

Chandra menghela napas entah yang ke berapa kali. Ia menunggu di pelataran sebuah salon. Menunggu siapa lagi kalau bukan istri tercintanya. Satu hal yang bisa Chandra pelajari dari menunggu ini adalah ... jangan pernah percaya dengan ucapan perempuan yang berkata sebentar lagi selesai, apalagi ini menyangkut hobi mereka berdandan dan ke salon kecantikan.

Pasalnya satu setengah jam lalu Wenda berkata demikian, memintanya untuk menunggu saja di mobil karena hampir selesai.

"Astagfirullah ... seberapa lama gue nunggu di sini. Udah kelar belum, sih," omel Chandra seraya memijit dahinya.

Chandra mendongak ke arah dashboard, ponselnya berdering. Panjang umur! Baru saja dipikirkan nama Wenda muncul sebagai penelepon.

"Belum kelar?" todong Chandra segera. "Aku udah lapar, Sayang. Ini udah mau magrib."

"Pi, bisa ke atas nggak?" Suara Wenda terdengar berbisik.

"Kenapa?"

"Aku mau bayar. Cuma ... uang aku kurang. Pinjem kamu dulu, Pi. Nanti aku ganti."

Menghempaskan napas kasar, setelahnya Chandra menjawab, "Iya, tunggu sebentar aku ke atas."

Panggilan terputus, Chandra bergegas keluar dari mobilnya menuju lantai atas salon tempat di mana wanita itu sejak siang tadi memanjakan diri. Mengedarkan pandangan Chandra mencari keberadaan perempuan itu, tetapi tak ia temukan. Langkahnya dibawa ke arah resepsionis, pegawai perempuan berdiri saat Chandra menyapa.

"Oh, Mbak Wenda. Masih ada di dalam, Mas."

Katanya tadi udah mau bayar, kirain udah selesai. Masih juga belum kelar.

"Masih lama nggak, Mbak?"

"Sebentar saya lihat dulu, ya, Mas."

Chandra mengangguk saat perempuan itu keluar dari tempatnya dan menuju satu ruangan di ujung koridor. Ia mencari tempat untuk duduk. Satu sofa panjang berseberangan dengan resepsionis Chandra temukan. Kaki panjangnya bergerak ke sana, menghempaskan bokongnya di sana. Mengeluarkan ponselnya mengusir rasa bosan.

"Mas," panggil perempuan yang baru saja datang berdiri di depan Chandra yang menunduk.

Chandra terperanjat saat mengangkat kepala, menemukan sosok perempuan yang sangat ia kenali, tetapi dalam tampilan yang berbeda, bahkan belum pernah ia lihat sebelumnya.

Pria itu berdiri, kemudian berbisik, "Sayang, kamu apain rambut kamu."

"Bagus nggak warna rambut aku? Kata mbaknya, aku mirip bule rambut blonde kayak gini," ucap Wenda bangga.

Chandra meringis, entah mau berkata apa pada rambut wanita itu. Sebenarnya, bukan perkara warna rambut saja yang Chandra permasalahkan, tetapi rambut panjang Wenda yang dipotong pendek. Chandra suka rambut hitam panjang istrinya.

Tak juga mendapat respons dari Chandra, Wenda merenggut. Apa yang ia lakukan hari ini berniat memberi kejutan pada sang suami berhasil. Namun, bukan respons itu yang Wenda inginkan.

"Jelek, ya?"

"Nggak, kok, bagus. Kamu cantik dengan model rambut kayak gitu."

Wenda tersenyum lebar, pipinya bersemu.

"Ya, udah. Pulang, yuk. Udah beres, kan?"

Perempuan itu menggeleng. "Belum. Masih ada satu lagi sebenernya ...."

"Apa lagi, Mi? Aku udah kelaparan ini. Pulang kerja langsung ke sini," cicit Chandra menahan jengkel.

"I-itu ... kepalang ada di sini. Ma-maksud aku gini, krim jerawat aku tinggal sedikit lagi, Mas. Sekalian tebus aja, ya? Tadi udah aku masukin ke tagihan, sih."

Memejamkan matanya, menghela napas panjang. "Iya, buruan tebus. Aku capek pengin makan, istirahat."

"Siap! Klinik dokternya ada di lantai tiga. Aku ambil krimnya. Kamu bayar aja di sana." Wenda menunjuk meja kasir kemudian berbalik meninggalkan pria itu.

Chandra mengayunkan tungkai ke arah kasir. Pegawai perempuan yang bertugas itu tersenyum ramah mengangsurkan nota pembayaran atas nama Wenda. Namun, tidak dengan ekspresi Chandra. Jika tadi terperanjat dengan model rambut Wenda lain hal dengan kali ini. Nominal pada kertas tipis berwarna putih itu menjadi alasan Chandra mengerutkan dahi.

Dia ngapain aja dia sini. Sampai ngabisin hampir dua juta. Siapa, sih, yang ngenalin dia ke tempat ini.

"Debit atau credit card, Mas?"

"Pakai debit aja, Mbak."

Chandra mengeluarkan kartu dari dompetnya, menekan angka-angka pada tombol mesin EDC. Selesai pembayaran Chandra berbalik, kembali menunggu wanita itu di tempat semula.

Atensi Chandra teralih pada sosok bocah laki-laki yang duduk di sofa tempatnya tadi menunggu. Bukan bocah laki-laki itu yang menjadi perhatiannya, tetapi sesuatu yang bocah itu mainkan.

Mainan berbentuk bulat keras itu dimainkan dengan cara diadu. Chandra sempat mendengar bagaimana viralnya mainan ini di kalangan masyarakat, tak sedikit yang mengeluh dengan mainan ini karena menimbulkan suara bising.

Anak tersebut sedang tidak memainkan, tetapi menarik rasa penasaran Chandra bagaimana cara memainkan. Ia duduk di sebelah bocah tersebut, hanya memperhatikan saja.

"Mas, udah bayarnya?"

Chandra menoleh, Wenda sudah berdiri di sampingnya. Tangannya menenteng satu kantong plastik berwarna biru.

"Udah kelar?"

"Hmm ...."

"Kelar semuanya, nggak ada lagi, kan?"

"Iya, udah beres semua. Ayo, katanya mau pulang."

***

"Berisik Chandra!"

"Language, Wenda!"

"Ya habis dari tadi kamu mainan itu. Berisik tahu, nggak! Aku nggak bisa denger apa-apa lagi."

Sudah tahu apa yang membuat Wenda murka? Ya, apalagi kalau bukan lato-lato. Mainan yang bisa didapatkan di mana saja. Saat di lampu merah tadi, seorang anak pedagang asongan menjajakan mainan tersebut. Chandra yang sudah penasaran sejak di klinik kecantikan tadi tanpa pikir dua kali membeli satu mainan tersebut. Alasannya kasihan pada sang anak penjual.

"Seru, Sayang. Kamu cobain, deh. Sini aku ajarin."

"Nggak, berisik! Buang nggak itu, lama-lama lato-lato kamu aku adu di kepala kamu, ya."

Chandra tergelak dengan ucapan istrinya. "Sayang, siapa yang ngajarin kamu ngomong gitu?"

"Apa?"

"Lato-lato aku? Mesum banget kamu?" Chandra menatap Wenda dengan tatapan jahil.

"Otak kamu yang mesum. Itu mainan kamu, kan? Lato-lato punya kamu."

Chandra mencebik. "Oh, lato-lato mainan. Aku kira kamu nyebut lato-lato yang lain. Ambigu, sih."

Wenda tak menggubris ucapan Chandra. Kembali melanjutkan menonton drama yang ia sukai, bahkan tangan Chandra yang memainkan rambutnya pun tak ia hiraukan.

"Cantik banget, sih. Rambut baru, kukunya juga cantik." Chandra beralih ke jari-jari lentik Wenda.

Wanita itu menarik tangannya, matanya mendelik tajam. Yang dipelototi hanya cengengesan, ia justru menempelkan dahinya di bahu Wenda. Tangan Wenda mendorong kepala Chandra.

"Nggak usah deket-deket. Main aja lato-lato, tidur di luar sana."

"Jangan dong, Sayang. Nanti kamu kangen nggak liat lato-lato ... aku."

Wenda semakin geram, ia berdiri meninggalkan suaminya ke kamar. Pria itu mengikuti ke mana langkah istrinya, memeluk Wenda dari belakang meski mendapat penolakan dari pria itu.

"Sayang, jangan ngambek gitu, dong. Iya ... iya. Aku nggak mainin itu lagi."

"Bodo amat! Nggak usah peluk-peluk, risih."

Chandra menguraikan pelukannya, berbalik mengayunkan tungkai ke tempat tidur. Duduk bersandar di kepala ranjang sembari memperhatikan gerak Wenda di depan kaca meja rias.

Sepuluh menit berlalu, Wenda selesai dengan rutinitas malamnya. Langkah Wenda dibawa ke ranjang, berdiri di samping Chandra dengan tanga dilipat di depan dada.

"Ngapain masih di sini? Tidur di luar sana. Main aja sana lato-lato sampe pagi."

"Sayang, kalau aku tidur di luar nanti siapa yang meluk kamu? Nggak ada yang usap-usap punggung kamu."

Wenda merangkak naik ke tempat tidur, melewati tubuh Chandra yang masih duduk. Pria itu menjerit kesakitan, tangannya memegang daerah bawah selangkangannya. Saat merangkak ingin ke tempat sebelah Chandra, lutut Wenda tidak sengaja menekan daerah selatan pria itu.

"S-sayang, sakit."

Terlampau kesal, Wenda tidak menghiraukan Chandra yang meringis menahan sakit. Ia justru berbalik membelakangi Chandra dan menarik selimut hingga tersisa kepalanya saja yang kelihatan.

Lengan besar melingkar di pinggang Wenda, tubuhnya dibalik menghadap Chandra. Seperti biasa, posisi paling nyaman bagi Wenda adalah bersandar di dada sang suami.

"Nyaman begini, kan? Nggak boleh tidur belakangi suami."

"Tidur, nggak usah banyak omong lagi."

"Nggak mau kiss aku?"

"Nggak ada kass ... kiss."

Chandra berbalik, meraih sakelar lampu utama kemudian menggantikannya dengan lampu tidur. Kembali memeluk posesif Wenda, bahkan tubuhnya sedikit menindih istrinya.

"Main lato-lato aku, yuk?"

"Papi!" Wenda terjerit saat sesuatu sudah masuk menelusup ke balik piamanya tanpa bra.

Tanjung Enim, 5 Februari 2023
RinBee 🐝

Bagaimana ... Bagaimana? Yang nonton fescon SC kemarin coba cerita gimana Mas Chakra dan Sultan.
Kenapa dia milih chakra ya? Padahal ada Chandra 😆😆😆

Salam dari mas lato2. Wkkwkwk


Btw, ini sudah aku singgung sebelumnya. Jadi, cerita ini tidak punya tujuan pasti. Dengan kata lain cerita ini hanya sebagai bentuk rindu kita dengan kisah Wenda dan Chandra. Alurnya akan terasa lambat dan otomatis memiliki banyak bab. Karena gak tau kapan tamatnya. Wkwkwkwk. 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top