43. Tak Terganti

"Papi!"

Chandra tersentak, bergegas bangkit dari rebahnya setelah mendengar jeritan Wenda dari ruang tengah. Baru saja mengistirahatkan tubuhnya sehabis perjalanan dari Bali, bahkan koper mereka saja baru ia simpan di dalam kamar. Wanita itu sudah gaduh entah karena apa.

"Kenapa, Mi?"

"Papi ... Chabe kenapa begini." Wenda menunjuk makhluk merah itu di dalam akuarium.

Ikan kecil itu sudah dengan posisi tak biasanya. Tubuhnya terbalik hampir mengapung tak lagi lincah bergerak ke sana kemari berenang.

"Pi, Chabe meninggal?"

"Iya, Sayang. Kayaknya baru, sih, ini matinya."

"Meninggal! Kasar banget ngatain mati."

Chandra mengernyitkan dahi, tidak berlebihan jika Chandra memilih kata demikian. Bagaimana pun sayangnya Wenda pada makhluk bernama Chabe itu, tetap saja itu adalah hewan.

Wajah Wenda sendu menyaksikan anak ikannya sudah benar-benar mengapung di permukaan akuarium. Tangannya menempel pada kaca, bergerak seolah sedang membelai makhluk yang sudah tak bernyawa itu.

Sesaat kemudian mata Wenda membulat, ia menoleh pada Chandra yang berdiri di belakangnya.

"Pi, lihat nggak tadi? Dia gerak tadi, aku lihat Chabe hidup lagi, Pi. Kita bawa ke vet aja, yuk."

Tak kalah lebar mata Chandra terbuka, ia terkejut dengan kalimat terakhir yang Wenda ucapkan.

"Bawa ke vet gimana, Sayang. Itu ikan bukan kucing. Gerak tadi karena kena sirkulator pemompa udaranya. Lagian itu udah mati, Mi."

"Meninggal!" Bibir Wenda turun, mimik wajahnya seperti anak kecil yang ingin menangis. "Tapi dia anak aku, Pi."

Ah, tidak. Bukan seperti ingin menangis, sekarang wanita itu benar-benar menangis kehilangan. Tidak berlebihan bukan, jika Wenda merasa sedih kehilangan peliharaan yang bahkan sudah dianggap seperti a anaknya sendiri. Menemani hari-hari Wenda yang mungkin terasa sepi.

Chandra memeluk sang istri, mengusap punggungnya agar sedikit tenang. "Udah ... udah, nanti kita ganti ikan yang baru lagi aja, ya?"

Wenda menggeleng di dalam dekapan Chandra. Meskipun sedang tersedu ia masih tetap menyahut, "Nggak mau. Chabe nggak akan terganti."

"Iya, udah. Akuarium buat Chanda aja. Kan masih masih ada satu anak kamu."

"Bukan! Chanda anak kamu, bukan anak aku."

"Anak aku nggak di akuarium, tapi di perut kamu ... nanti. Sekarang masih usaha bikin adonannya biar jadi. Mau  nambah adonannya lagi nggak?" bisik Chandra menggoda Wenda. Ia tidak serius, hanya bercanda.

"Papi! Nggak mau mesum-mesum," rengek Wenda semakin menjadi.

Chandra tergelak, menguraikan pelukannya pada sang istri. Ia mengangkat Chabe dari permukaan air dan dipindahkan ke atas lapisan tisu di atas meja. Wenda duduk, tangan kanannya menopang kepala, menelisik makhluk yang sudah banyak membuat kenangan bersamanya.

"Papi, Chabe dikubur aja, ya. Di belakang rumah di bawah lampu taman." Wenda mendongak, menatap penuh harap agar mendapat izin dari sang suami.

"Iya, kita kubur. Yuk, kubur sekarang."

Ada-adanya bangkai ikan dikubur. Mending kalau ikan besar, ini ikan segede jempol kaki.

Mau tak mau Chandra mengikuti permintaan konyol sang istri daripada wanita itu tambah merengek melebih anak kecil. Chandra membawa Chabe berserta tisu-tisu yang tadinya dijadikan alas. Menggali tanah di bawah lampu taman sesuai titah Wenda. Chabe telah terkubur damai di kedalaman tanah lima senti meter.

"Istirahat yang tenang, ya, Be. Tenang aja ada papi yang jagain adik kamu si Chanda."

"Kenapa nggak kamu aja yang jagainnya, Sayang? Kan anak kamu juga."

Wenda tak menjawab, masih sibuk memeluk lututnya sembari menatap gundukan tanah yang tak seberapa itu. Diterpa hujan semalam saja sudah lenyap kuburan makhluk itu.

Chandra mengerutkan dahinya, sepeninggalnya setelah mencuci tangan, wanita itu masih saja di posisi yang sama.

"Sayang, masuk, yuk. Bentar lagi magrib."

Wenda mendongak, bibir bawahnya kembali turun. Kali ini kedua bola matanya pun ikut berkaca.

"Chabe, Pi. Chabe udah nggak ada lagi. Nanti aku nggak punya temen cerita lagi."

Ini bini mau dibilang lebay nanti ngamuk.

"Ya udah ikhlaskan aja, Sayang. Nanti kalau mau cerita apa-apa sama aku aja."

"Kamu kan jarang di rumah, sibuk kerja terus. Apalagi sekarang sering ke luar kota."

Menelan kasar salivanya, Chandra tak tahu harus berbicara apa. Tungkainya terayun masuk, meninggalkan istrinya yang mungkin masih ingin berlama-lama di sana.

Chandra membereskan akuarium Chabe, tempat di mana makhluk kecil itu tinggal selama ini. Senyum samar terukir di wajah Chandra. Wenda benar, sudah banyak sekali kenangan bersama makhluk kecil itu dari mulai awal pernikahan mereka. Ia jadi ingat asal muasal mengadopsi ikan berwarna merah itu. Sampai diberi nama Chabe yang sejujurnya sangat pedih untuk Chandra ingat arti dari namanya.

"Papi," panggil Wenda tak jauh dari posisi Chandra.

"Hmm? Aku nguras air ini dulu, ya. Kamu mau apa?"

"Lapar," ujarnya seraya menjatuhkan bobotnya di sofa panjang menghadap televisi.

"Ya udah, ayo makan. Kamu dari siang belum makan nasi emang. Kan udah aku bilangin makan masih bandel."

Pergerakan tangan Chandra terhenti saat ocehan panjangnya tak digubris oleh wanita itu. Tumben sekali Wenda tidak menyela. Biasanya baru sepatah kata Chandra berbicara, sudah sepuluh kalimat Wenda menyanggah.

Chandra menoleh ke arah sofa, matanya terbuka lebar saat menyadari jika tadi ia sedang berbicara sendiri. Punggung Wenda masih sempat Chandra lihat, sebelum akhirnya hilang di balik dinding menuju dapur.

"Pantesan nggak ngejawab, ternyata aku ditinggal."

Chandra menyusul wanita itu, langkahnya semakin dipercepat mendekati meja pantry tempat di mana Wenda sudah duduk di sana.

"Kok, belum ngambil nasi?" tanya Chandra pada wanita itu.

Bukankah tadi Wenda berbicara lapar, kenapa tidak segera mengisi kekosongan perutnya. Wanita itu malah asyik duduk menopang dagunya, pandangannya mengawang entah ke mana.

Wenda tersentak saat satu kecupan mendarat di ubun-ubunnya. Ia menoleh pada sosok yang sudah memegang satu piring dan sendok di dalamnya.

"Nasinya cukup?" Chandra menunjukkan nasi yang pindahkan dari rice cooker ke piring yang ia pegang.

"Cukup." Wenda menyahut singka. Setelahnya, semua pertanyaan Chandra hanya dijawab dengan anggukan oleh wanita itu.

Chandra menyimpan satu piring nasi beserta lauknya di hadapan Wenda. Ia duduk di bar stool sebelah istrinya.

"Mi, tolong ambilin tisu di sebelah kamu itu, dong."

Tidak ada pergerakan atau pun sahutan dari wanita itu. Ia tidak sedang sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya, bahkan piring yang Chandra siapkan tadi pun belum ia sentuh.

"Sayang, tolong ...."

Akhirnya, Wenda bangkit. Tangan kanannya meraih kotak tisu yang ada di sebelahnya. Bukannya memberikan benda itu pada Chandra, tetapi ia justru lebih menjauhkan kotak tisu tersebut sehingga Chandra semakin jauh untuk menjangkaunya.

Bini oh bini. Ini kalau dijahilin balik, pasti ngamuk nangis kejer sampe besok pagi.

***

Tanjung Enim, 16 Januari 2023

Selamat membaca gengs.
Maafkan jika lapak ini jarang terisi.

Oh, iya. Yang ketinggalan PO pasangan ajaib kemarin, ada stock ya di Grassmediaofficial

Jangan lupa cekout ya bestie. 🥰😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top