40. Dari Diet Sampai Ketemu di Pengadilan Agama

***

Gemericik air dari dalam akuarium kaca persegi panjang menjadi nyanyian di telinga Chandra, gerak lincah dan lamban dari kedua hewan kecil berbeda spesies itu menjadi perhatian Chandra sejak satu jam lalu.

Dua anak ajaib milik pasangan itu hidup berdampingan di akuarium kotak yang terletak di pojok ruangan. Rumah bagi makhluk itu telah Chandra bersihkan. Kini, pria itu menaburkan butiran warna pada permukaan air untuk Chabe. Kemudian makanan lain pada akuarium tak berair untuk Chanda.

"Makan yang pinter, ya. Mami kalian lagi sibuk, kalian jangan rewel." Chandra berucap menasihati makhluk yang sungguh tak pernah peduli dengan segala ucapan pria itu.

Sibuk berdiri memperhatikan kedua makhluk kecil itu, Chandra menoleh saat sepasang lengan memeluk pinggangnya dari samping.

"Eh, udah bangun." Chandra sekilas melirik wajah baru bangun sang istri. Mengusak poni wanita itu.

"Kamu kok nggak bangunin aku?" Suara serak khas bangun tidur Wenda lontarkan.

"Emang mau ngapain bangunin kamu?" Chandra memindahkan lengannya ke belakang bahu Wenda.

"Aku kan mau packing baju-baju kamu buat ke Bali."

"Udah nggak usah. Udah selesai juga, lagian kan kamu udah jarang tidur siang. Makanya aku biarin kamu tidur, nggak aku bangunin."

"Selama nikah, baru kali ini kita LDR sampe hampir seminggu, ya." Wenda mendongak, mata kecil wanita itu menelisik wajah dari samping sang suami.

"Ikut aja, yuk?"

Wenda menggeleng. "Kerjaan di butik lagi numpuk. Kita lagi kebanjiran orderan buat seragam nikahan anaknya wali kota. Lagian kamu kan urusan bisnis sama papi."

Chandra menarik senyum datar. Sejak dua hari lalu diberitahu jika besok ia dan papi akan ke Bali untuk urusan bisnis dan tender baru, pria itu mati-matian membujuk sang wanita untuk ikut bersamanya. Namun, ucapan Wenda tetap saja sebuah penolakan. Berbagai alasan Chandra lontarkan agar Wenda mau ikut bersamanya, mulai dari ia khawatir jika wanita itu sendirian di rumah. Sampai tidak ada yang memeluk Wenda saat tidur turut menjadi kompor agar wanita itu berubah pikiran.

"Kamu yakin mau di rumah aja? Nggak mau ke rumah ayah?" Chandra memutar tubuh Wenda agar berbalik, menuntun wanita itu duduk di sofa.

"Kan ada Bi Yati nemenin selama kamu nggak ada. Bi Yati tidur di kamar tamu biar nggak jauh dari kamar kita," kilah Wenda lagi-lagi mematahkan bujuk rayu Chandra.

Menarik tubuh Wenda untuk ia rengkuh, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Wenda. Pria itu berpesan, "Kamu baik-baik ya, selama aku nggak ada jangan bandel. Telepon sama chat aku jangan dianggurin. Oke?"

"Iya. Kamu juga nggak usah genit."

Chandra menguraikan pelukan. "Aku mau genit ke siapa?" Senyum jahil Chandra tercetak jelas menggoda Wenda.

"Ya siapa tahu, nanti di sana ada anak rekam bisnis papi. Emang susah sih punya suami—"

"Suami ganteng kayak aku, ya?"

"Dih! Narsis banget, sih."

Chandra terkekeh dengan tingkah cemburu sang wanita. Mendekatkan wajahnya ke wajah Wenda, menyatukan hidung tinggi mereka. Benar-benar rasa gemas tidak bisa ia tahan lagi jika sudah berhadapan pada sosok mungil yang ia dekap hangat.

"Iya, Mami sayang. Tenang aja, kalau nanti ada cewek di sana aku pura-pura buta."

"Ya nggak gitu juga. Tahu akh, nyebelin banget." Wenda mendorong dada Chandra. Merebahkan tubuhnya berbantal lengan sofa.

Chandra bergabung dengan tidak tahu malu, merapatkan tubuh besarnya pada sang istri. Memeluk erat si mungil meski mendapat penolakan, tubuh kecil dalam kungkungannya memberontak dengan tenaga yang tentu kalah besar.

"Makan, yuk? Kamu belum makan dari siang."

Memeluk lengan besar suaminya, kepalanya menggeleng ribut. "Nggak mau makan."

"Kenapa? Mau makan di luar?"

Menggeleng lagi. "Aku mau diet," sahut Wenda tanpa ekspresi yang berarti.

Menyentil hidung istrinya, kemudian menggigit kecil pipi Wenda. "Nggak usah diet-diet. Aku nggak ngizinin kamu diet."

"Tapi aku mau diet. Aku bukan sedang minta izin ya sama kamu. Udah dua hari aku diet!"

Bangkit dari posisinya, tubuhnya bertumpu di kedua sikunya agar tidak menindih tubuh si kecil di bawahnya. "Kamu diet buat apa? Kamu udah kecil gini, mau diet lagi. Nggak usah diet-dietan, udah lebih cantik kalo pipinya bulet kayak gini."

"Tapi aku diet biar sehat aja gitu." Wenda mengalungkan lengannya di leher Chandra, mencoba merayu dengan berbagai cara. "Emang kamu nggak mau liat istri kamu lebih segeran?"

"Kamu sehat, Sayang. Aku nggak izinkan, ya. Awas aja kalau sakit gara-gara diet nggak guna ini. Aku bener-bener marah sama kamu!" Suara Chandra sudah mulai tegas, diuraikannya lengan Wenda di bahunya.

"Tapi aku mau diet, Chan. Seminggu ini aja, ya."

"Terus aja keras kepala nggak usah dengerin suaminya."

Chandra benar-benar bangkit, berjalan ke arah akuarium tanpa air milik Chanda. Meninggalkan wanita itu tanpa menggubris panggilannya. Chandra mengetatkan rahangnya. Wanita yang ia nikahi ini tetaplah Wenda si keras kepala. Tidak akan mudah menuruti ucapan lain jika sudah berkehendak.

Kenapa harus begini, sih. Bukannya besok mereka akan berjauhan untuk beberapa hari. Harusnya, hari ini mereka habiskan bermesra-mesraan membangun suasana yang hangat. Bukan justru beradu argumen.

"Chan," panggil Wenda menarik-narik lengan kaus Chandra.

Chan ... Chan ... Chan lagi. Susah bener kayaknya panggilan itu ditinggalkan. Udah bener kemarin-kemarin panggil papi, mas gitu.

Pria itu tak menghiraukan wanita di sampingnya. Ia sibuk menelisik makhluk dengan cangkang keras yang ia keluarkan dari akuarium persegi di hadapannya. Entah apa yang membuat Chandra tertarik menelisik rumah berlindung bagi kura-kura tersebut.

"Chan!" Wenda berjongkok, memeluk sebelah kaki Chandra. Tangannya menarik-narik celana Jogger yang pria itu kenakan.

"Kamu ngapain? Mau melorotin celana aku?"

Menyimpan Chanda di tempat semula, pandangan Chandra menelisik tingkah wanita itu sejenak. Kemudian kembali mengalihkan atensi pada makhluk yang berjalan lamban menyebrangi jembatan kecil di dalam akuarium.

"Chandra!" teriak Wenda kesal karena merasa tak diperhatikan.

"Apa, Wenda? Apa?"

"Kok Wenda?"

"Ya kamu mau dipanggil apa? Nama kamu Wenda, kan?"

"Kan biasanya kamu panggilnya sayang."

Chandra menarik senyum miring. "Ya kan kamu juga udah janji, nggak mau panggil nama aku lagi. Mau diubah apa kemarin, hayo?"

Wenda mencebik, wajahnya merengut. "Sambutin," ucapnya mengulurkan tangan minta disambut.

Chandra menarik tubuh itu agar berdiri dari posisi jongkoknya. Wenda  melingkarkan lengan memeluk Chandra, mencoba agar pria ini tidak berkelanjutan marah padanya.

"Iya ... iya, nggak jadi dietnya. Papi, jangan marah." Wenda mendongak, dagunya di dada sang suami.

"Aku nggak akan nyuruh kamu janji untuk nggak ngulangin, kalau kamu tetep mau ngelakuin terserah, tapi ingat tanggung sendiri konsekuensinya."

Wenda menggeleng heboh, dua jarinya terangkat simbol bersumpah. "Nggak! Aku nggak akan ngulangi. Jangan marah lagi, Pi." Wajah memelas Wenda turut mewarnai mimiknya.

"Iya, aku nggak marah."

"Kiss," pinta wanita itu tersenyum penuh kemenangan.

Chandra mengecup pipi kiri si wanita yang mengaku dewasa, tetapi tingkah lakunya sering kali serupa bak anak balita.

"Akh, bohong! Itu masih marah." Wenda menghentakkan kakinya.

"Apa lagi? Kan udah dibilang nggak marah. Udah dicium juga."

"Kan aku bilang kiss, bukan cium."

"Sama aja, Sayang. Letak bedanya di mana coba?"

Wenda mengangkat kedua tangannya yang terkepal. "Bedalah. Kalau cium di pipi, di kening. Kalau kiss di bibir."

Chandra menaikkan satu alisnya. "Kenapa nggak kamu aja yang kiss?" Pria itu memajukan bibirnya.

Wenda berjinjit, mengecup sekilas bibir prianya. Bukan bermaksud pelit atau apa, hanya saja kecupan itu disponsori oleh tinggi badan yang sangat jauh timpang. Belum lagi, Chandra yang tidak menekuk tungkainya agar lebih banyak merendah.

Terkekeh dengan aksi Wenda menggapai wajah Chandra. Pria itu bergantian menangkap wajah Wenda, wajahnya merunduk lebih banyak, mendekati si pendek. Sedikit melumat bibir yang sejak tadi sesungguhnya menggoda sekali dengan kalimat-kalimat bantahan yang membuat Chandra gemas.

"Ikut ke Bali aja, yuk, Sayang. Sekalian bulan madu," bisik Chandra.

"Udah dibilang di butik banyak kerjaan."

"Kamu nggak kasihan gitu sama aku? Nanti di hotel aku tidur nggak ada yang bisa aku kelonin."

Wenda mengerutkan hidungnya. "Emang di hotel sana nggak punya guling? Lagian aku ikut juga mau ngapain? Kamu pasti keluar ketemu kolega bisnis papi, ketemu orang perusahaan."

"Ya, kan setidaknya pas balik ke hotel aku seneng karena ada kamu nungguin." Chandra menyingkirkan poni Wenda yang menutupi alis rapi wanita itu. "Nanti kalau aku ada yang ngelonin, gimana? Kamu nggak marah emangnya?"

"Coba aja kalo berani! Pulang dari Bali kita ketemu di pengadilan agama."

"Allahuakbar. Amit ... amit. Jangan sampe ya Allah." Chandra mengeratkan pelukan, menyimpan dagunya di bahu Wenda. "Nggak, akh! Serem banget ending-nya."

"Ya, siapa tahu aja kamu pengin nyobain jadi du—"

Tangan Chandra memegang kedua bahu Wenda. Mengecup cepat bibir yang berucap kalimat keramat itu. "I love you. Sayang kamu, aku cinta maminya Chabe dan Chanda."

"Chanda anak kamu! Anak aku Chabe."

"Terserah anak siapa itu. Pokoknya ini istri aku tercinta."

Merampungkan ucapannya, Chandra menghujani wajah Wenda dengan ciuman di setiap inci tanpa terlewat. Tidak berhenti sampai wanita itu menggeram kesal dan berakhir menoyor bibir si pria.

Tanjung Enim, 31 Mei 2022

Halo .... apakabar? Selamat hari Selasa. Besok libur ya tanggal merah ya. 😊


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top