4. Dokter Kai
Chandra berdiri saat matanya sudah menangkap keberadaan orang yang sudah lama tidak dia temui. Tangan Chandra terentang menyambut pasangan suami istri yang sudah berdiri di depan meja mereka. Pelukan singkat terjalin antara kedua orang pria dengan warna kulit yang sangat kontras.
"Om Kai, Apa kabar? Sehat?"
"Puji Tuhan. Sehat, Chan. Kamu sendiri gimana, sehat?"
"Alhamdulillah, sehat, Om."
Chandra mengalihkan pandangannya ke sosok yang dengan setia berdiri di samping Kai. "Onty gimana kabarnya? Tambah cantik aja, pantesan om betah nih," goda Chandra, yang digoda hanya tersenyum anggun.
Tangan Chandra memberi isyarat mempersilakan kedua orang di hadapannya ini untuk bergabung pada meja yang sejak tadi dia huni bersama Wenda.
"Sayang, kenalin ini Om Kaizhen dan istrinya, Onty krystalia," ucap Chandra pada Wenda yang bergeming sejak tadi.
Kaizhen, Kai. Krystalia, Krystal. Tempat ini, Kaistal's Bar and Restaurant. Jadi mereka owner-nya.
Wenda mengulurkan tangannya, menarik senyum ramah. "Halo Om, Tante. Aku Wenda."
"Halo, kamu cantik banget. Kok, bisa sih mau sama Chandra," puji Krystal pada Wenda, tapi terdengar ejekan untuk Chandra.
"Hei, Onty juga kenapa suka sama Om Kai. Ganteng nggak, item pula. Untung dokter," cibir Chandra.
Wenda menyikut lengan Chandra. Matanya melotot seolah memberi syarat 'berhenti bercanda', tapi Chandra memilih bebal tetap saja melemparkan candaannya pada Kai.
"Aku yakin nih, kalo Om Kai nggak berprofesi dokter, atau eksekutif muda yang punya baik bisnis. Aku rasa Onty nggak akan tertarik. Melirik pun nggak. Akh-" Chandra meringis saat lengannya di cubit mesra oleh Wenda.
"Sakit, Sayang."
"Makanya stop," desis Wenda.
Mereka tergelak sesaat, sebelum akhirnya suara pelayan mengantarkan pesanan mereka, menginterupsi kegiatan di antara dua pasang berbeda generasi itu.
Selesai pelayan menyimpan semua pesanan mereka di atas, kemudian berlalu meninggalkan mereka.
"Sayang, Om Kai ini psikiater lho." Chandra menjelaskan profesi Kai di sela-sela acara makan malam mereka.
"Om Kai sama Onty Ital nih, baru balik dari Swiss. Mereka dua tahun di sana. Pulang ke Jakarta bikin bisnis baru. Emang nggak ada lawan Om Kai soal duit."
Kai terkekeh renyah, jika tidak mengingat Chandra adalah anak dari seniornya saat masih mengenyam perkuliahan, mungkin saat ini Chandra sudah Kai lempar ke luar gedung dari jendela kaca di hadapannya.
"Ini ide Onty ital, Chan. Bukan punya om," Kai melirik istrinya di samping duduknya.
Krystal tersenyum. "Iya, onty mau ada bedanya sama kafe yang di Bandung. Kalo yang di Bandung kan tongkrongan anak muda banget tuh, jadi onty pengin konsepnya beda."
"Ah, iya Kaimong!" teriak Chandra sontak membuat Wenda terperanjat.
"Maaf. Maaf, Sayang. Kaget, ya?" Tangan Chandra mengusap belakang kepala Wenda.
"Gimana nggak kaget, Chan. Kamu tiba-tiba teriak. Om aja kaget dengernya. Untung nggak kesedak istri kamu."
Chandra menyengir menampilkan deretan giginya. "Sori, Om. Kelepasan."
Atensi Chandra beralih kembali ke Wenda. "Sayang, di Bandung, Om Kai punya kafe, keren banget, ala-ala kafe yang di drama Korea gitu. Tempatnya juga nggak jauh dari vila papi. Kapan-kapan kalau kita liburan ke Bandung, kita ke sana ya?"
Wenda hanya menarik seulas senyum, tapi matanya berbinar berkata lain saat mendengar kafe dengan nuansa Korea.
"Wen, kalau ada apa-apa. Kalian pengin konsultasi. Datang aja ke kantor om, ya. Ajak Chandra. Jangan sungkan."
Lagi-lagi Wenda hanya menarik seulas senyuman. Mengangguk isyarat mengerti dengan yang diucapkan Kai.
"Baik, Om. Makasih tawarannya."
-o0o-
Acara makan malam bersama Kai dan istrinya sudah selesai sejak dua jam lalu, Wenda dan Chandra sudah kembali ke rumah mereka, kamar hangat mereka.
Wenda duduk bersandar pada tumpukan bantal, jarinya bergulir pada layar ponselnya, membuka aplikasi belanja online. Ada pergerakan dari tepi hingga ke tengah kasur. Chandra merangkak naik ke tempat tidur mereka, tubuhnya yang besar dengan tidak tahu malunya bertumpu pada tubuh Wenda. Kepalanya bersandar di perut dan dada Wenda, tangannya memeluk pinggang Wenda posesif.
"Gimana? Suka? Keinginannya udah dituruti." Wenda memeluk kepala Chandra, mengusap rambut yang sudah mulai gondrong.
Chandra hanya mengangguk manja, masih dengan kegiatannya memeluk Wenda, bermanja-manja ria. Wenda masih menekuri kegiatan pada benda canggih miliknya.
"Sayang," panggil Chandra.
"Hmm?" Wenda menggerakkan tangannya ke samping, mengalihkan layar ponselnya dari depan wajahnya yang menghalangi pandangan menatap wajah Chandra.
"Makasih, ya. Ah, sayang banget sama kamu." Chandra berucap tanpa menatap Wenda. Hanya pelukan yang dia eratkan.
Wenda kembali berselancar pada kegiatan yang sempat tertunda. Sesekali bibirnya berdecak kagum, bergumam, yang Chandra tidak mengerti apa itu.
"Chandra, tangannya jangan travelling." Wenda memberi peringatan karena dirasa tangan Chandra sudah nakal menelusup ke balik piama, mengusap punggung Wenda dengan gerakan yang tidak biasa, tangannya sudah bergerak ke atas memisahkan pengait bra yang Wenda kenakan.
Chandra mendongak, menatap Wenda sesaat. "Kalo tidur, dilepas aja. Kata dokter, nggak baik juga untuk dua anak kembar."
Wenda terkekeh, dia jelas tahu 'dua anak kembar' yang Chandra maksud. Hanya saja Wenda tidak habis pikir, Chandra dapat nama julukan dari mana untuk menamai bagian tubuhnya.
"Alasan! Sok-sokan ngomongi kesehatan. Bilang aja biar kamu lebih leluasa pegang-pegang. Iya, kan?"
Chandra tergelak. "Eh, kok tahu, sih? Pinter banget sih Mami Chabe." Wajah Chandra sedikit condong ke depan, meninggalkan jejak bibirnya di rahang Wenda. "I love you," lanjutnya mengecup bibir Wenda sekilas.
"Sayang banget sama aku?"
Chandra mengangguk antusias.
"Cinta banget sama aku?"
Lagi, Chandra memberi respon semangat. Chandra menaik turunkan alisnya, menarik senyum terbaik yang dia punya.
"Kalo gitu, beliin ini dong." Wenda membalikkan layar ponselnya menjadi ke hadapan Chandra.
"Liptint? Apa ini, Sayang? Spidol? Oh, ini pensil untuk kamu gambar sketsa, iya?" Chandra bingung dengan gambar yang tertampil pada layar ponsel Wenda.
Wenda merengut dengan tebakan asal Chandra. "Ini bukan spidol atau pensil gambar. Ini tuh liptint, lip ... tint," jelas Wenda dengan penuh penekanan di akhir.
"Lip, bibir. Tint, tinta. Tinta buat bibir? Bibir ditintain? Hah? Gimana sih, maksudnya?"
"Ah! Susah deh punya suami nggak paham. Pokoknya ini buat bibir lah. Buat merahin bibir."
"Oh, lipstik?"
Wenda menghela napas panjang, menjelaskan pun rasanya percuma. "Iya, sejenis begitulah. Beliin ya, Chan. Aku belum punya photocard Chanyeol yang ini. Gemes banget dia di sini, pake hoodie pink gini," puji Wenda mengetuk-ngetuk layar ponselnya yang menampilkan idolanya.
Chandra berguling ke samping Wenda, seolah tidak mempedulikan yang Wenda ucapkan. "Nggak tahu, akh. Nggak denger aku."
"Chan," rengek Wenda, menggoyangkan bahu Chandra yang berbaring membelakanginya.
Chandra sedikit menegakkan tubuhnya. Telunjuknya mengarah ke meja rias Wenda. "Itu kosmetik kamu sebanyak itu mau di apain?"
Wenda turun dari tempat tidur. Meraba dalam piamanya, melepaskan bra yang pengaitnya sudah terpisah berkat bantuan tangan nakal Chandra. Menyimpannya pada keranjang kotor di sudut kamar.
Chandra bergerak mengatur posisi tidurnya, tubuhnya dibawa ke tengah tempat tidur, kepalanya ditopang oleh tangannya. Chandra menepuk sisi kosong di depannya. Tanpa komando berlebih, Wenda segera merangkak naik memposisikan tubuhnya menghadap Chandra. Tangannya menyelinap di bawah ketiak Chandra, melingkar memeluk erat.
Kepalanya mendongak. "Aku belum punya koleksi photocard yang itu tapinya, Chan. Lagian tadi di kafe kamu janji mau beliin."
Wenda sudah tampak cemberut, bibirnya sudah turun membentuk lengkung ke bawah.
"Kamu koleksi foto aku aja, bonus tanda tangan. Bonus dinner romantis deh." Chandra masih berusaha bercanda.
Wenda menatap Chandra datar, kemudian wajahnya dia tundukkan. Tangannya sudah tidak memeluk Chandra lagi, dia gunakan menarik selimut menutupi tubuhnya.
Ngambek, nih. Fix ini ngambek. Kalo didiemin alamat sampe seminggu ke depan nggak akan ngomong.
Chandra menarik pinggang Wenda merapat ke tubuhnya. "Iya besok kita beli, ya."
Wenda masih bergeming, matanya tertutup. Namun, Chandra tahu Wenda belum tidur, hanya menutup matanya saja.
"Sayang, jangan ngambek, ya. Besok beli liptint-nya. Oke?"
Wenda membuka matanya, mendongak menatap wajah Chandra. Senyumnya tercetak di bibirnya. Chandra mendaratkan satu kecupan di pipi Wenda.
"Chan," panggil Wenda, melingkarkan kembali lengannya di tubuh Chandra.
"Iya, Sayang."
"Om Kai, baik ya. Ngobrolnya juga enak."
Chandra menumpukan dagunya di puncak kepala Wenda. "Nanti kita konsultasi sama Om Kai, ya," ajak Chandra lembut, takut Wenda tersinggung saat membahas seputar fobianya.
Wenda mengangguk dalam pelukan Chandra. "Oh, iya, Chan. Sebelum pergi tadi, kamu bilang kafe temen kamu. Tapi nyatanya itu temen papi. Kok bohong sih?"
"Sayang harus banget itu dibahas?"
Wenda menyengir, tentu Chandra tidak bisa melihatnya.
"Chan, tadi di kafe waktu kamu ke toilet. Kayaknya aku lihat, siapa tuh cewek yang ngejar-ngejar kamu waktu kita semester satu dulu. Mikala ... Mikaila. Siapa sih namanya, lupa aku."
"Alika, Sayang."
"Nah, iya Malika. Keledai hitam."
"Kedelai, Sayang," ucap Chandra membenarkan ucapan Wenda.
Chandra memulai aksi nakalnya, telapak tangannya sudah menyelinap masuk ke piama Wenda, mengusap punggung Wenda dengan gerakan yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Emang kenapa kalo kamu lihat dia? Itu kan wajar, namanya juga tempat umum. Siapa tahu dia makan sama temennya atau bahkan pacarnya."
Wenda sedikit mengurai pelukan, matanya memicing menatap netra kelam Chandra.
"Nggak usah mikirin yang aneh-aneh, ya. Aku beneran ke toilet tadi, aku nggak tahu kalo ada dia. Pikiran kamu suka nakal, ih." Chandra seolah bisa membaca isi kepala kecil Wenda.
Wenda mendekatkan bibirnya ke telinga Chandra. "Tangan kamu tuh yang nakal. Ngapain di dalam sana?"
Chandra terkekeh renyah, mengikuti cara Wenda. Bibirnya berbisik dengan suara berat. "Mumpung malam jumatnya belum habis. Mau main sama anak kembar dulu."
Kepala Chandra masuk ke bawah selimut. Wenda menarik napas panjang, mengembuskan dengan kasar. Dia paham maksud dari kalimat Chandra.
Tangan Wenda memukul kepala Chandra dari luar selimut. "Chan, pelan-pelan, nggak usah rakus," desis Wenda menahan sesuatu dari ulah Chandra.
Tanjung Enim, 22 Januari 2021
Hayooo.... Chandra ngapain di dalam selimut. 😂
Selamat sore, maaf updatenya kelamaan.
Jangan lupa kasih love yang banyak untuk Wenda Chandra.
Dokter Kaizhen n Krystalia ada di lapak My (ex) Wife is bipolar. Tapi sayang ceritanya masih belum aku lanjut. 😂
Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top