39. Keputusan Matang

***

"Halo," sapa Chandra setelah membuka pintu markas dan mendapati istrinya berkutat di depan komputer.

Sebelum melajukan mobilnya untuk pulang, wanita itu sudah mengiriminya pesan akan posisi keberadaanya. Itulah sebabnya, tujuan utama Chandra bukan kamar mereka melainkan markas.

Wenda menoleh pada sosok yang dengan wajah cengengesan itu, entah apa yang membuat Chandra bertingkah demikian. Sepertinya bahagia sekali suasana hatinya hari ini.

"Walaikumsalam," balas Wenda.

Chandra mendekat, sedikit membungkuk menelengkan wajah ke komputer yang menyala di hadapan Wenda. Tangan yang ia ulurkan disambut Wanita itu untuk dicium.

"Aku udah salam, ya. Kamu aja yang nggak denger."

"Maaf, aku nggak bilang-bilang pake komputer kamu. Laptop aku ketinggalan di kantor." Tanpa menoleh, Wenda sibuk sekali dengan pekerjaannya.

"Pake aja, Sayang. Kamu kayak apa aja izin gitu." Chandra tertawa kecil, mengusap kepala Wenda.

Tak ketinggalan kecupan gemas ia layangkan pada kedua pipi wanita pujaannya dan berakhir di dahi. Mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Wenda, pria itu masih penasaran dengan yang sedang dikerjakan istrinya.

"Ngerjain apa, sih, Sayang? Tugas kuliah?" Chandra meraih bundelan di depannya.

Ada banyak gambar dan sketsa model pakaian, tapi jika biasanya yang menjadi model busana adalah orang dewasa, kali ini banyak model pakaian anak balita di sana.

"Kerjaan kantor." Wenda menjawab, tetapi fokusnya masih pada komputer dan kertas-kertas yang baru keluar dari printer.

Chandra mengangguk, menyimpan kembali bundelan tersebut pada tempat semula. Punggungnya merosot pada sandaran kursi, tidak berniat mengganggu Wenda, ia meraih ponselnya dari saku celana, memeriksa pesan yang masuk.

Pria itu memejamkan mata, menyimpan ponselnya di atas dada. Benda canggih itu naik turun sesuai dengan laju napas Chandra. Suasana hening, Wenda sibuk dengan kerjaannya, Chandra sibuk mengatur mimpinya.

Sampai ... suara dentuman jatuh di lantai membuat konsentrasi Wenda terbagi. Ia menoleh ke samping, kemudian mencari tahu apa yang jatuh tadi. Netranya menemukan ponsel Chandra di bawah kursi yang pria itu duduki.

"Pi, ponsel kamu jatuh itu," ujarnya dengan sedikit menggoyangkan tubuh Chandra agar terbangun. "Kamu tuh kalo capek istirahat di kamar sana. Ngapain tidur di sini."

Chandra tak menyahut, ia bangkit dari posisinya. Mengambil ponselnya dari bawah kursi kemudian mengayunkan tungkainya ke sofa panjang pojok kanan ruangan. Wenda berdecak melihat kelakuan suaminya yang lebih memilih beristirahat di sana ketimbang kamar mereka.

Wenda menyusun semua kertas-kertas pekerjaannya. Mematikan komputer dan mesin printer, kemudian menghampiri sosok pria yang tertidur di sofa dengan posisi tubuh menyamping.

"Pi, bangun. Ayo pindah kamar, di sini sempit nggak nyaman istirahatnya, aku juga udah selesai."

Tidak ada sahutan dari Chandra, Wenda mengguncang tubuh yang tampaknya sangat lelah itu. Wenda lebih kencang mengguncang tubuh besar itu.Tetap saja masih bergeming.

"Chandra!"

"Ehm? Apa, Sayang?" Sontak Chandra membuka mata, merentangkan kedua tangan. "Sini kelon dulu."

Pasutri itu sama saja. Belum hitungan lima menit, tadi si wanita memberi titah untuk pria agar segera bangun. Lihat sekarang, mereka justru berbagi pelukan di atas sofa yang katanya sempit.

"Chan, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."

Lengan Chandra menarik pinggang Wenda lebih merapat. "Tadi panggil papi. Masnya ke mana?"

"Iya, Papi. Jangan tidur lagi. Bangun dulu makanya, aku mau ngomong, nih."

"Iya, ini udah bangun, Sayang. Nih ... lihat mata aku udah kebuka." Chandra membuka matanya lebar.

"Ya, nggak melotot juga!" Wenda cemberut melihat mata Chandra seperti melotot.

Chandra tergelak, mencubit bibir wanita itu dengan gemas. "Mata aku emang dari lahir gede, Sayang. Ya, udah mau ngomong apa tadi, hmm?"

"Besok itu jadwalnya aku suntik KB lagi, kan?" Wenda menggigit bibir bawahnya sejenak. "Besok nggak usah datang lagi ke sana, gimana?"

"Kenapa? Mau ganti dokter?" tanya Chandra seraya membenahi kepala Wenda di lengannya.

"Bukan itu ... aku nggak mau suntik KB lagi. Boleh nggak?"

Chandra mengerutkan dahinya. "Jadi, kayak dulu lagi? Aku yang pake pengaman?"

Wenda menarik garis bibir datar, matanya mengerjap beberapa kali menimang ucapan yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Kamu bosan nggak, sih? Dengan ... keadaan kita?"

Pria itu tersenyum lebar, bagaimana bisa ia merasa bosan saat tingkah sang istri tiap harinya ada saja tingkah perempuan itu yang beraneka ragam. Ada saja cerita baru yang wanita itu bagi padanya.

"Nggak! Aku nggak bosan. Ya agak kurang nyaman aja sih kalo pake pengaman. Kurang yahud."

Wenda memukul dada pria itu. "Bukan bahas pengamannya. Maksudnya ... kamu bosan nggak sih dengan kita yang begini-begini aja. Tahun kemarin lebaran berdua, tahun ini masih berdua. Kamu nggak ada kepikiran kita akan bertiga?"

"Aku udah berapa kali bilang. Kita akan punya kalau kamu yang udah benar-benar siap. Aku nggak mau egois dengan keinginan yang itu, tapi nyakiti kamu." Mengecup dahi istrinya dalam Chandra berujar.

Wenda bangkit dari posisinya. Duduk di tepi sofa menatap wajah di bawahnya. "Kalau aku udah siap sekarang, gimana? Maksudnya ... nggak mungkin kita stuck di sini aja, kan? Kita harus maju selangkah, sedikit demi sedikit."

Mengusap lengan sang wanita, binar senyum Chandra mengembang sempurna. "Apa pun yang kamu mau. Ayo kita melangkah sama-sama," ucap Chandra mantap.

Wenda mengangguk kuat. "Hmm ... ayo kita sudahi semua ini."

Candra bangkit dari berbaringnya, berdiri hendak melangkah. Namun, tangan lain mencengahnya.

"Kenapa? Mau gendong?" tawarnya pada wanita berwajah kucing di hadapan. Wajah memelas menjadi andalan Wenda jika menginginkan sesuatu.

"Kamu mau ke mana?"

"Ke kamar. Mau mandi, aku ganti baju aja belum, nih." Chandra mencubit kecil kemejanya, menunjukkannya pada Wenda.

"Aku juga belum mandi. Masih lengket." Wenda mendongak, leher jenjangnya ia pamerkan. "Nih, cium aja kalo nggak percaya."

Mengerti. Tanpa diperjelas lebih detail pria itu sangat peka akan godaan yang Wenda lontarkan. Sedikit membungkuk, menggigit pipi Wenda kemudian beralih mengecup di daerah rahang. Chandra merangkum wajah jahil istrinya ini. Mengalungkan lengannya di leher sang pria, Wenda benar-benar sudah mengambil risiko dengan membangkitkan sesuatu lain dari tubuh pria itu. Tidak ada jalan lain selain menerima segala konsekuensi yang pria itu lakukan padanya.

"Papi!" Wenda berteriak saat tubuhnya disentak menjadi berdiri membelakangi Chandra.

"Dari belakang, biar cepat selesai cepat mandi. Salah sendiri kenapa godain sekarang."

Ini benar-benar gila. Dari mana Chandra tahu segala macam gaya ini. Wenda tidak yakin jika pria yang dulu sahabatnya ini tidak menyimpan beberapa video dewasa untuk mempelajarinya. Hanya saja, yang Wenda tidak tahu adalah di mana pria itu menyimpannya. Sejak dulu ponsel dan laptop semua bisa diakses bebas oleh Wenda, meskipun ada beberapa dikunci dengan nama sang mantan kala itu.

Wenda menutup mulutnya, tangan yang satunya bertumpu pada bahu sofa. Sesekali menggigit bibir bawah menahan suara yang menurut Chandra terdengar menyenangkan.

"Teriak aja, Sayang. Ru-ruangan i-ini kedap suaraaa ...."

***

"Baik-baik di sana, Sayang."

Wenda tertawa geli dengan tingkah Chandra setelah menyelesaikan perjalanan berlayar mereka di markas kedap suara. Setelah membersihkan diri yang lagi-lagi tertunda karena mereka mengulangi aktivitas itu kembali di kamar mandi. Kini pasangan itu berbaring di tempat tidur. Chandra memeluk pinggang sang istri, menempelkan kepalanya di sana dengan sesekali berujar yang mengundang gelak tawa Wenda.

"Kamu ngapain, sih? Emang anak kamu udah tumbuh di sana?"

Chandra mendongak, tatapan mereka bertemu. "Ya siapa tahu bibit hari ini ada yang jadi. Punyaku kan bibit unggul," ungkapnya sombong.

Kepala Chandra mundur beberapa senti akibat ditoyor Wenda. "Aku masih ada KB, Pak."

Pria itu menarik garis bibir datar. "Kan besok harusnya jadwal disuntik ngulang, berarti hari ini udah habis dong obatnya. Kemungkinan jadi dong." Pria itu masih tidak mau kalah dengan argumentasinya.

"Kata dokternya kemarin. Jadwal bulan selanjutnya itu dilebihkan beberapa hari dari tanggal yang dijadwalkan. Jadi, kalau telat dari tanggal jadwal nggak apa-apa karena obatnya masih ada. Lah, aku? Dari tanggal yang dijadwalkan aja baru besok. Jadi, obatnya masih banyak," jelas Wenda perihal ilmu yang ia dapat dari dokter yang dikunjungi bulan lalu.

Chandra beringsut, menyejajarkan tubuhnya dengan Wenda. Memeluk posesif tubuh wangi sang istri.

"Nggak apa-apa. Masih hari ada besok-besok. Setelah obatnya habis, bismillah jadi." Chandra menyengir.

"Amin," balas Wenda.

Memainkan jemari lentik Wenda, menciumi punggung tangan halus itu. Rasanya tidak ada yang lebih bahagia dari ini. Betapa ia sangat bangga pada sosok wanita di pelukannya sekarang.

"Sayang, gimana kalau kita program bayi tabung aja? Biar kita bisa punya kembar."

"Nggak usah serakah! Satu aja dulu. Emang kamu sanggup? Lagian bayi tabung butuh biaya besar. Kamu mau ngandelin siapa?"

"Iya benar juga, ya. Kita juga belum tahu gimana susahnya urus bayi. Sayang, tapi aku anak pertama kita cowok, ya?"

Wenda tertawa, tidak tahan dengan tingkah suaminya yang mendadak bak balita minta adik ke mamanya.

"Request sama Allah, gih. Emang aku Tuhan bisa mengabulkan itu. Cowok atau cewek sama aja."

"Iya, bener. Cowok atau cewek sama aja. Yang penting mereka sehat, maminya juga sehat. Bahagia terus, tapi ya kalau bisa minta ya aku mau anak pertama cowok biar bisa jagain adik kembarnya nanti. Terus nanti namanya ada unsur nama aku."

Tidak ada sahutan dari semua keinginan yang Chandra ucapkan, atau sekadar kalimat mengaminkan seperti yang ia dengar tadi. Chandra merunduk, wajah pulas Wenda bersandar nyaman di dadanya. Lelah sekali kegiatan Wenda hari ini, tetapi ia tidak bisa menyalahkan siapa pun. Itu ulahnya sendiri, kenapa pula memancing singa lapar. Namun, untuk kegiatan di kamar mandi, ia berani bersumpah kalau itu dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain untuk melarikan diri selain pasrah.

Tanjung Enim, 20 Mei 2022
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top