37. Adik Baru
Ada yang bisa tebak?
Clue-nya "Anak Tunggal Kaya Raya."
Ayo tulis Jawaban kalian di kolom komentar postingan aku di IG Literasi.zero4bee_ atau di postingan penerbit Lotuspublisher ya. Ayo ramaikan 😘😘💙
***
Pertikaian antara dua orang wanita menjadi tontonan di sebuah kafe. Tidak ada yang berani melerai kedua wanita itu dari awal adu mulut hingga saling menyakiti satu sama lain.
Wanita yang lebih tinggi mengklaim, bahwa ia bukanlah pengganggu dalam rumah tangga wanita yang satunya. Hubungan ia dan suami wanita itu hanya sebatas bos dan sekretaris.
Namun, bisa dinilai dari rancauan wanita yang satunya—istri sah. Ia berteriak, memaki, bahkan dengan lantang memberi informasi pada orang sekitar, bukan satu dua kali wanita itu kedapatan sedang berduaan dengan suaminya. Kemarin malam, ia memergoki suaminya sedang berada di kamar hotel yang sama dengan wanita itu. Wanita mana yang tidak berprasangka buruk, jika mendapati suaminya di kamar hotel dengan wanita lain dalam keadaan baju yang serba minim.
Wenda masih menikmati camilan dan tontonannya, satu setoples keripik kentang kesukaannya sudah berkurang setengah. Wanita itu benar-benar fokus pada drama tentang perselingkuhan ini, dahinya mengernyit dalam, belum lagi garis senyum sinis meremehkan wanita penggoda itu, beberapa kali Wenda tarik.
Wenda menoleh saat telinganya menangkap suara Chandra yang terbahak tanpa ia ketahui alasannya. Matanya mendelik tajam pada pria yang tertawa heboh sambil memukul pahanya sendiri.
"Sayang, biasa aja nontonnya. Kamu ngaca deh, muka kamu serius banget julidnya."
"Habisnya nyebelin banget itu cewek. Udah tahu laki orang, masih aja ganjen. Lakinya juga sama gatelnya."
Chandra semakin tergelak melihat ekspresi kesal Wenda pada drama yang sedang ia tonton. Pria itu memegang perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Namanya juga drama, Sayang. Memang dibikin begitu, semakin penonton sebel sama tokohnya, berarti aktingnya berhasil dong menjiwai perannya."
Wenda menyimpan stoples yang ia peluk tadi ke atas meja. Ia melipat tungkainya menjadi duduk bersila di atas karpet berbulu lembut. Tubuhnya menghadap Chandra, seperti ada sesuatu serius yang akan ia sampaikan.
"Chan, waktu kita semester satu, aku berantem sama cewek nggak jelas itu di kantin. Kamu malu nggak?"
"Kalo boleh jujur, malu banget. Sumpah! Aku rasanya pengin menghilang aja. Bukan istri aku ... bukan istri aku. Apalagi waktu di ruang konselor, rasanya pengin tukar tambah istri aja."
Mata Wenda mendelik tidak terima, bergegas menghampiri pria itu. Memberi pelajaran ke Chandra rasanya tidak masalah. Wanita itu melingkarkan kakinya di pinggang Chandra, memeluk pria itu dari belakang. Lengannya dikalungkan di leher Chandra, lebih tepatnya mencekik.
"Ngomong apa kamu? Coba ulang, aku cekik kamu."
Chandra menepuk-nepuk lengan Wenda di lehernya. "I-iya, ampun, Sayang. Mati nanti aku kehabisan napas."
Wanita itu melepaskan belitan kaki dan tangannya, Chandra bangkit duduk. Tanganya menepuk-nepuk dadanya sesekali terbatuk dan masih tertawa kecil. Wenda beringsut merebahkan kepalanya di pangkuan sang suami. Pandangannya kembali pada televisi yang masih menyala, tetapi bukan lagi menampilkan adegan pertikaian istri sah dan selingkuhannya.
Tangan Chandra terulur mencubit gemas, memainkan pipi Wenda. Tidak puas dengan pipi kanan, Chandra pun merambat ke pipi kiri hingga bibir wanita itu maju karena kedua pipinya tangkup menggunakan telapak tangannya.
"Terus ... terus. Memang pipi aku nih mainanable," sindirnya.
Wajahnya berputar menghadap perut sixpack Chandra. Menyingkap kaus putih yang pria itu kenakan. Tidak lama kemudian, Chandra terjerit karena ulah Wenda membalas apa yang ia lakukan tadi.
"Sayang, kamu lapar atau gimana? Keripik udah habis setengah setoples. Ngapain gigit perut aku?"
"Mau makan roti sobek," ujarnya seraya ingin kembali menggigit perut Chandra.
Namun, keningnya ditahan oleh tangan Chandra. Gigi Wenda begemelatuk, seperti zombi ingin mengigit mangsanya, tak pelak membuat Chandra semakin gemas.
"Mas Chandra, Neng Wenda," panggil suara di belakang mereka.
Chandra menoleh ke sumber suara, ada Bi Yati berdiri di sana. Tangannya memegang keranjang pakaian, sepertinya sehabis mengangkat jemuran.
"Kenapa, Bi?" tanya Chandra bingung.
"Anu, Mas. Tadi Teh Yani, pengasuhnya Neng Clarissa bilang. Katanya Mbak Ina mau melahirkan."
Wenda bangkit dari posisinya. "Bukannya Clarissa bilang, Bang Cakka pagi tadi ke luar kota, ya?"
"Iya. Itu dia, Neng. Suaminya Mbak Ina nggak ada, tapi udah dalam perjalanan ke sini."
"Berarti nggak ada cowok di sana. Ke sana yuk, Mas. Siapa tahu ada yang bisa dibantu." Wenda menarik-narik lengan suaminya.
Chandra sempat mengerutkan dahinya, ia bingung sekaligus khawatir. Pertama, ia khawatir Wenda tidak bisa mengendalikan pikiran buruknya saat nanti melihat apa yang ia takuti. Ke dua, ia bingung dengan panggilan 'Mas' ia ucapkan tadi. Wanita itu benar-benar ingin mengubah memanggilnya dengan sebutan demikian, atau hanya mengikuti panggilan yang Bi Yati ucapkan.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Chandra menelisik wajah Wenda.
"Me-memangnya, aku k-kenapa?"
Chandra menggeleng. "Nggak apa-apa, ayo ke sana. Kalau nggak nyaman di sana nanti, bilang ya, kita pulang," pesan Chandra.
Wenda mengangguk, tanpa menunggu lebih lama. Pasutri itu bangkit dari duduknya, berjalan ke luar rumah menuju kediaman Kak Ina.
Saat sampai di halaman rumah Kak Ina, seseorang keluar dari mobil yang baru saja sampai. Seorang wanita dengan blouse hitam, menenteng tas kerja. Netra Wenda bertemu dengan milik wanita itu. Senyum lembutnya tersungging.
"Hai, Dokter Cindy. Apa kabar?" sapa Wenda lebih dulu.
"Ah, iya. Saya baik. Kamu apa kabar, Mo?"
Wenda tersenyum. "Panggil Wenda aja, Dok. Kak Ina mau melahirkan ya, Dok?"
"Ah, maaf. Saya suka lupa nama kamu. Hanya ingat Momo seperti yang Cla panggil." Dokter Cindy lagi tersenyum. "Iya, tadi saya ditelepon katanya sudah mulai kontraksi, padahal HPL masih Minggu depan," jelas dokter Cindy.
Wenda hanya mengangguk paham, sementara Chandra bingung tidak tahu kenapa istrinya mengenal sosok wanita di hadapan mereka.
"Mau masuk?" tawar dokter Cindy.
"Boleh?" tanya Wenda masih ragu.
Dokter Cindy memberi isyarat dari mata dan anggukan kepalanya. "Ayo," ajaknya lagi.
"Sayang, siapa?" bisik Chandra.
"Adik Bang Cakka. Istri Dokter Bisma yang dulu tetangga sebelah kita. Dulu datang di resepsi kita." Wenda menjelaskan.
Wenda dan Chandra mengikuti langkah dokter Cindy masuk ke rumah Kak Ina. Hal yang pertama Wenda tangkap adalah bocah balita lima tahun berdiri di depan pintu sebuah kamar, memeluk dalam gendongan sang pengasuh.
"Momo ...," panggilnya antusias, memberontak minta diturunkan.
"Uwaah ... Cla mau punya adik, ya? Bentar lagi jadi kakak dong?"
Clarissa hanya tersenyum malu, menyembunyikan wajahnya ke balik tubuh Wenda. Dokter Cindy masuk ke kamar itu, diikuti Wenda menggandeng tangan Clarissa. Sementara Wenda hanya menunggu di ruang tengah, duduk di sofa.
"Gimana, Kak? Kontraksinya makin intens?" tanya dokter Cindy.
Wanita bermata sipit itu duduk di tepi tempat Kak Ina, mengeluarkan steteskop dari tasnya.
"Kayaknya cuma kontraksi palsu deh, Cin. Soalnya masih suka ilang-ilangan mulesnya."
Kak Ina meringis, mengusap perutnya yang besar. Dokter Cindy memeriksa Kak Ina, menempel steteskop di dada wanita hamil itu, memberi instruksi menarik dan mengembuskan napas. Kemudian mengeluarkan alat untuk mengukur tekanan darah. Dengan profesional dokter Cindy meraih tangan Kak Ina, memasang alat itu sampai ke lengannya dan menekan tombol pada alat hingga menunjukkan angka pada layar kecil itu.
"Semua normal. Detak jantung juga bagus. Nanti kalau misal kontraksinya lebih sering, kita langsung ke rumah sakit aja, ya, Kak."
Dokter Cindy memanggil ART, memberi titah agar menyiapkan semuanya. Sementara Wenda masih terpaku memperhatikan ringisan tiap ringisan yang Ina keluarkan. Ikut menarik napas panjang saat Ina melakukannya.
"Wen, sendiri ke sini?" tanya Kak Ina di sela menahan sakit pada perutnya.
"A-apa, Kak? Ah, iya. Aku sama Chandra, Kak," ucap Wenda gagap.
Wanita itu gugup, telapak tangannya berkeringat. Berusaha tetap tenang, tetapi sulit sekali Wenda lakukan. Bayangan buruk tentang betapa mengerikannya proses melahirkan kembali mengusik kinerja otaknya.
Wenda berbalik, berjalan keluar kamar tanpa memedulikan tatapan bingung dokter Cindy. Tenggorokannya terasa mencekat, butiran keringat dingin seketika membanjiri pelipisnya.
"C-chan," panggilnya pada sosok pria yang duduk di sofa memainkan ponselnya.
Sontak Chandra berdiri, menggenggam tangan wanitanya dengan erat. Ia paham, bahkan sudah sangat hafal dengan keadaan seperti ini.
"Pulang, Chan. Mau pulang, Pi. Mas ...," ucapnya tidak karuan dengan panggilan mana yang ia pakai.
"Iya ... Iya, Sayang. Kita pulang ya."
Lengan Chandra terbentang, memeluk posesif bahu Wenda. Menuntun wanita itu berjalan menuju pintu keluar. Tangan Wenda di genggamannya terasa bergetar dan basah.
"Udah, tenang, ya. Ada aku nemani kamu. Nggak apa-apa, kamu kuat. Aku sayang kamu."
Chandra memberi semangat pada istrinya di sepanjang berjalan menuju rumah mereka. Memberi kecupan hangat pada punggung tangan Wenda.
Tanjung Enim, 23 Februari 2022
Sudah sampai mana tabungan? Jangan lupa ikut PO yang akan dibuka tanggal 1-15 Maret 2022
Karena akan ada freebies gemoy lucuk kiyowok di pesanan masa pre order.
Ada yang mau bertanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top