36. Dalem, Sayang
Deru mesin mobil Chandra sedikit memelan saat kendaraan roda empat itu sudah memasuki carport rumah mereka. Hari ini, pria itu pulang sedikit lebih awal dari biasanya. Langkahnya ia ayunkan masuk ke rumah dengan perasaan senang. Senyumnya tentu saja sudah terpatri sempurna.
Chandra tidak memberitahu Wenda jika ia pulang cepat. Sebelum pulang, ia sudah memastikan keberadaan istrinya apakah masih di butik atau di mana. Namun, wanita itu berkata sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Baiklah, jika tiga puluh menit lalu Wenda sudah dalam perjalanan pulang, itu berarti sekarang sudah sampai rumah. Harusnya.
"Asalamualaikum. Sayang, aku pulang."
"Wa'alaikumsalam," sahut Bi Yati berlari tergopoh dari dapur. "Eh, Mas Chandra udah pulang."
"Iya, Bi. Wenda di kamar, Bi?"
Bi Yati mengernyit dahinya mendengar pertanyaan Chandra. "Mbak Wenda belum pulang, Mas."
Sekarang giliran Chandra yang menautkan alisnya. Ternyata, prediksinya meleset tentang keberadaan Wenda. Pria itu mengayunkan kaki panjangnya menuju kamar, merogoh ponsel di saku celana. Menghubungi Wenda lebih baik ketimbang menebak-nebak keberadaan wanita itu. Panggilan pertama tidak ada jawaban, Chandra kembali menghubungi nomor yang sama. Sampai dering ke lima barulah suara Wenda menyapa.
"Halo, Chan."
"Kamu di mana, Sayang?"
"Di rumah. Aku di kamar."
Chandra mengedarkan pandangan, mencari keberadaan istrinya, tetapi nihil. Wanita itu tidak ada di kamar.
"Oh, udah di rumah. Ya udah kalo gitu, aku mau pulang. Mau titip sesuatu?"
Chandra tahu wanita itu berbohong, ia mengikuti permainan yang Wenda ciptakan. Mencari tahu maksud kebohongannya.
"Nggak usah, Chan. Kamu pulang aja cepat."
"Okey, aku sayang kamu," tandas Chandra.
Tidak ada sahutan untuk kalimat terakhir Chandra. Wanita itu mematikan secara pihak sambungan telepon.
Chandra melemparkan ponselnya ke tengah tempat tidur, kemudian menarik handuk dan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Lima belas menit dihabiskan Chandra untuk kegiatan ini. Pria itu keluar dengan rambut yang masih basah, handuk yang melilit hanya batas pinggang. Netranya ia edarkan, masih belum ada tanda-tanda Wenda pulang. Ia bergegas menarik satu kaus putih dan celana panjang hitam, segera mengenakannya.
Selesai dengan itu semua, Chandra meraih laptopnya dan duduk di sofa. Mengerjakan sesuatu sambil menunggu istrinya pulang untuk mengusir rasa bosan.
Di tengah asyik dengan laptopnya, Chandra terperanjat dengan panggilan yang memekakkan telinga.
"Chandraaa ...," teriak Wenda antusias.
"Wa'alaikumsalam, Wenda," sindir pria itu membalas teriakan istrinya.
Wanita itu hanya menyengir, berlari menghampiri Chandra dan tak lupa meraih tangan suaminya untuk ia cium. Wenda duduk di samping Chandra, memeluk lengan pria itu.
"Dari mana? Bohong lagi, ya kamu." Chandra berujar tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
"Maaf ... tadi aku mampir ke toko kosmetik dulu, skincare aku habis."
"Emang selama ini, aku suka ngelarang kamu kalo mau pergi-pergi? Kan nggak pernah. Apa susahnya kalo izin yang bener."
Wenda hanya mengangguk, masih memeluk erat lengan suaminya. Ia sadar yang dilakukannya adalah kesalahan. Sebagai seorang istri tidak sepatutnya ia berbohong.
"Kamu marah sama aku?" cicit Wenda takut-takut.
"Nggak. Aku nggak marah sama kamu. Lain kali bilang kalo mau ke mana-mana."
Senyum Wenda terbit, wanita itu beringsut duduk ke pangkuan Chandra. "Kamu nggak mau cium aku?" godanya dengan mata mengerling.
Chandra tersenyum miring, ia merengkuh tubuh istrinya. Menciumi pipi Wenda berkali-kali, dan terakhir mengecup lama bibir wanita itu.
"Udah turun, mandi sana."
Perintah sang suami tak Wenda indahkan. Ia justru mengalungkan lengannya di leher Chandra lebih erat, tersenyum jahil pada suaminya.
"Kenapa sih, seneng banget duduk di pangkuan aku?"
"Karena Sonya," celetuk Wenda yang seketika membuat Chandra mengerutkan dahi.
"Apa urusannya? Ini bahas masa lalu bukan umpan buat ngambek, kan?"
Wanita itu tergelak, ia menyadari sikapnya akhir-akhir ini yang kadang melampaui batas. Ia sendiri yang memulai membahas, tetapi berujung ia sendiri pula yang merajuk pada Chandra jika sudah membahas mantan suaminya.
"Kamu ingat nggak, waktu kita kelas sebelas. Waktu itu kita study tour ke Bali. Pas di bus, kamu kan duduk sama Sonya. Aku tuh iri di sana, lihat Sonya tidurnya senderan di bahu kamu, kepalanya tidur di pangkuan kamu," cicit Wenda membuka cerita masa sekolah mereka.
"Kamu nggak mau mandi?" tanya Chandra mengalihkan pembicaraan.
"Aku masih mau cerita," rengeknya.
"Ya udah lanjut cerita, tapi janji nggak ada acara ngambek sampe tidur ke kamar sebelah, ya?" Chandra memberi peringatan.
Wenda mengangguk. "Tahu, nggak? Waktu lihat Sonya tidur di pangkuan kamu itu. Aku kayak yang bertekad dalam hati. Lihat aja nanti, aku juga bisa duduk di pangkuan Chandra."
Wanita itu tergelak mengingat kekonyolannya sendiri. "Kalau dipikir-pikir, ngapain ya aku bertekad kayak gitu. Padahal kan dulu kita cuma temen."
Chandra tersenyum, mengusap pipi sang istri. "Oh, makanya waktu itu menghindari aku. Terus lengket banget ke Jaffran. Ceritanya cemburu? Aku pikir kamu sama Jaffran bakal jadian waktu itu."
"Bukan! Jaffran justru bantuin aku. Inget Kak Aldo ketua OSIS kelas dua belas? Dia yang deketin aku, dia udah bilang nanti di Bali mau nembak aku, gitu. Aku nggak suka sama dia, aku cerita sama Jaffran, dia bantuin aku biar Kak Aldo itu nggak jadi nembaknya."
Chandra mengerutkan dahinya. Untuk cerita yang ini, ia tidak pernah tahu. "Kok aku nggak tahu?"
"Kamu kan sibuk sama pacar kamu. Gimana mau tahu soal temennya."
Chandra meraih pinggang Wenda, merengkuh tubuh istrinya lebih erat. Wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher Wenda. "Iya ini temen aku, tapi sekarang jadi kesayangan aku," ucapnya seraya mengecup rahang Wenda.
"Chan, tahu nggak. Dulu aku tuh nggak pernah bermimpi nikah muda, bahkan nikah sama temen sendiri yang seumuran, loh."
"Terus kamu bermimpi nikah sama artis Korea, Park Chanyeol itu, begitu?" Chandra mencibir Wenda jika benar mimpinya adalah menikah dengan idola dari negeri ginseng tersebut.
"Ih, bukan. Aku masih sadar diri kali. Nggak mungkin juga Chanyeol nikahin aku. Dia tau aku idup juga nggak." Wenda berujar dengan penuh kesadaran.
"Aku tuh dulu bermimpi punya suami yang umurnya di atas aku, kayak tiga atau empat tahunan lah. Dan aku tuh, suka sama cowok yang masih keturunan Jawa gitu. Jadi, biar aku bisa panggilnya mas."
Sekarang giliran Chandra yang terkekeh, mendengar mimpi istrinya yang sangat sederhana membuatnya merasa geli.
"Eh, aku masih ada darah keturunan Jawa, loh, Sayang. Dari sebelah papi."
Wenda semringah, matanya berbinar. "Chan, coba ayo. Nanti aku panggil kamu Mas Chandra, kamu jawab, ya."
Wanita itu berdeham, mempersiapkan suara untuk panggilan yang menjadi impiannya sejak lama. "Mas Chandra," panggilnya.
"Iya, Sayang."
Seketika bibir Wenda cemberut, jawaban sang suami tidak sesuai dengan ekspektasinya.
"Jawabnya kayak orang Jawa, Chan. Lemah lembut gitu." Wenda mengajari suaminya.
"Mas Chandra ...."
"Dalem, Sayang."
"Aaaahhh ... lucu, kiyowok, Chan!" teriak Wenda antusias.
Chandra merengkuh tubuh Wenda, mencubit pipi sang istri. Kemudian menciumi dan berakhir menggigitnya. Ia gemas sekali dengan tingkah Wenda.
Wenda turun dari pangkuan Chandra, duduk di lantai sebelah kaki Chandra. Sibuk membuka kantong plastik yang ia bawa tadi. Lama wanita itu berdiam dan sibuk sendiri. Chandra kembali pada laptopnya.
"Chan, kuku aku lepas." Wenda menunjukkan kuku palsu di jarinya yang terlepas.
"Ya nggak gitu juga, Sayang. Nggak sopan banget, masa suaminya diacungi jari tengah."
"Ya, kan emang yang lepas jari tengah," sanggah Wenda membenarkan.
"Iya, tapi kan bisa semua jari kamu angkat. Jari tengahnya ditunjuk pake tangan lain."
Wanita itu hanya menyengir, tidak begitu tertarik dengan nasihat sang suami. Ia kembali pada kuku-kuku cantiknya. Sesekali bibirnya bersenandung yang tentunya tidak Chandra pahami lagu apa yang wanita itu nyanyikan.
"Chan, bagus nggak?" Wenda menunjukkan kesepuluh jarinya ke hadapan Chandra.
"Iya, bagus. Lebih bagus nggak pake kuku palsu begituan. Kamu suka ceroboh," cibir Chandra.
"Cuma bentaran aja, kok. Tadi aku beli karena lucu."
Tidak ada sahutan dari Chandra. Pria itu masih pada laptopnya sementara Wenda asyik menghiasi kukunya. Sampai ... wanita itu tiba-tiba berbalik, menyimpan dagunya di paha Chandra. Wajahnya mendongak, netranya menelisik wajah sang suami.
"Kenapa?" tanya Chandra heran.
"Kamu nggak cemburu, tadi aku cerita tentang Kak Aldo?"
Chandra menggeleng mantap. "Nggak. Ngapain cemburu. Kan dia juga nggak jadi pacaran sama kamu."
Wenda mencebik. "Kalau sama Chanyeol? Kamu nggak cemburu aku lebih sayang Chanyeol?"
Chandra mendekatkan wajahnya. "Chanyeol boleh lebih kamu sayang, tapi dia bisa nggak kayak aku? Aku bisa buat kamu mandi wajib subuh-subuh karena kegiatan malam, hayo bisa nggak," bisik Chandra menggoda Wenda.
"Chandra!" teriak Wenda.
"Dalem, Sayang."
Tanjung Enim, 10 Februari 2022
Selamat pagi, apa kabar semua? Yang mau peluk SNY versi cetak sudah sampai mana tabungan kalian? Ingat 3.3 Cekout Novel Pasangan ajaib ya.
Kemarin aku habis dikirimi contoh cover SNY. Cakep banget Wenda Chandra. 😭 Jadi nggak sabar pengen kasih liat ke kalian.
Nanti bantu aku vote cover ya gengs. Terima kasih.
Salam Sayang 💋
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top