35. Pillow Talk

Sibuk menjadi perawat dadakan, mungkin itulah judul yang tepat untuk menamai kegiatan Wenda hari ini. Perempuan itu sejak pagi tadi bolak-balik mengurusi bayi besar yang sedang terserang flu dan demam.

"Sayang, kamu di sini aja. Jangan jauh-jauh dari aku," rengeknya.

Dasar tidak sadar diri, ia lupa sudah umur berapa sekarang. Dari tadi kerjaannya cuma bertingkah manja, bahkan rengekannya melebihi Clarissa yang meminta mainan. Belum lagi hal-hal aneh lainnya yang membuat Wenda semakin geram. Suaminya itu seperti memanfaatkan keadaan.

"Sayang, meler," adunya tanpa berniat menyeka sendiri cairan yang keluar dari hidungnya.

Bergegas Wenda meninggalkan laptopnya, menarik beberapa lembar tisu dan mengelap hidung Chandra yang kemerahan. Lengan pria itu seketika memeluk pinggang Wenda erat.

"Pake lagi maskernya." Wenda membenahi masker yang Chandra kenakan agar menutupi hidung dan mulutnya dengan benar.

"Sayang, kepala aku pusing banget. Kiss dong biar nggak pusing lagi."

"Nggak ada ... nggak ada. Aku nggak mau ketularan flu, ya."

Chandra melemparkan tubuhnya ke tengah kasur. Tangannya memegang kepala seolah rasa sakit itu benar-benar tak tertahan lagi.

"Aduh ... Akh! Sakit banget, Sayang. Kepala aku kayak mau pecah. Sakit, Sayang."

"Siapa suruh kemarin hujan-hujanan. Udah dibilang pulangnya nanti aja tunggu reda. Bandel, sih. Lagian kamu tuh cuma pusing karena flu, ya. Bukan kanker otak stadium akhir, lebay banget, sih," omel Wenda panjang lebar.

"Ya, kan aku pengin cepet-cepet pulang ke rumah, Sayang. Biar cepet ketemu kamu. Ya aku pikir cuma kena hujan dari lobi ke parkiran doang, gak jadi masalah harusnya."

"Iya kata kamu nggak jadi masalah, tapi kenyataannya? Merepotkan."

Wenda kembali duduk di bagian kiri tempat tidur, memangku laptopnya. Di tengah mengurusi suami, wanita itu masih membagi waktunya untuk suami lainnya. Matanya fokus sekali menonton apa yang ada di laptopnya, sesekali tersenyum, berdecak kagum dengan yang apa ia lihat.

"Sayang," panggil Chandra mencoba mengalihkan atensi wanita itu.

Wenda menoleh, memastikan maksud panggilan pria itu. Namun, si pemanggil hanya rebahan di sampingnya dengan tangan melukis pola acak di atas seprai tempat tidur, tanpa berniat melanjutkan arti dari panggilan itu.

"Sayang."

"Apa, sih, Chan? Ya ampun ini aku nggak bisa santai dikit apa?"

"Aku sayang kamu. Love you."

Tidak menjawab Wenda mengabaikan pernyataan cinta pria itu. Merasa tak mendapat jawaban, Chandra kembali berulah. Ia bangkit dari rebahnya, duduk di samping Wenda menyandarkan kepalanya di bahu sempit wanita itu.

"Sayang, aku kangen kamu!"

"Bodo amat!" ketus Wenda.

Jika pasangan lain akan membalas dengan ungkapan yang sama saat mendapat pengakuan rasa rindu, berbeda dengan Wenda. Wanita itu tidak pernah membalas kata rindu Chandra. Ia paham betul makna lain bersembunyi di balik kalimat itu.

"Sayang, setelah dari dokter waktu itu. Kita udah setahun loh, nggak ngelakuin ibadah." Chandra menyimpan wajahnya di ceruk leher Wenda, menggoda telinga wanita itu.

Sontak Wenda menyingkirkan kepala pria itu, matanya tajam melirik Chandra. Dia harus benar-benar banyak mengucap menghadapi mesumnya Chandra. Bisa-bisanya masih kepikiran kebutuhan batin saat tubuhnya saja dalam kondisi yang kurang fit. Belum lagi ucapannya yang terkesan berlebihan.

Setahun? Wenda benar-benar tidak terima, seingatnya baru satu minggu yang lalu mereka melakukan di ruang rahasia kamar Chandra di kediaman papi, bahkan ingatan bagaimana pria itu memperlakukan tubuhnya di sempitnya sofa bed pun masih teringat jelas.

"Setahun dari mana, sih? Kamu amnesia dengan kejadian di rumah mami?"

"Iya, itu kan terakahir kita ngelakuin, waktu itu masih tahun 2021. Sekarang udah 2022 loh, Sayang. Udah setahun kan?"

Wenda berdecak kencang, tidak mau menanggapi ucapan suaminya lebih jauh. Terserah pria itu mau berkata apa, ia benar-benar ingin menikmati hari liburnya dengan tenang.

"Wenda ... oi, Wenda."

Astagfirullah, kuatkanlah hamba ya Allah. Ini laki kenapa lagi, sih!

"Apa? Lama-lama emosi juga aku ngadepin kamu, ya."

Chandra menyengir, beringsut memeluk Wenda dari samping. "Sayang, aku terasa lapar. Temenin aku, ya?"

Wenda menguraikan pelukan Chandra, beranjak menuju ruang makan. "Ayo, buruan! Malah tiduran lagi."

Pria itu semringah, berjalan mengikuti langkah istrinya. Wenda menyiapkan makan siang Chandra yang sudah sangat terlambat, mengingat sekarang sudah pukul dua siang. Bagaimana tidak, pria itu menolak makan siang lantaran katanya hidungnya tidak bisa mencium aroma apa pun, hingga mengurangi selera makan.

"Sayang, suapin, ya," pintanya tak tahu diri.

"Tangannya nggak kenapa-kenapa kan, Pak? Nggak lumpuh atau sejenisnya?" sindir Wenda seraya menyimpan piring di hadapan Chandra.

"Sayang ...."

"Iya ... iya. Stop kayak anak kecil, nggak pantes! Kamu nggak malu sama Bi Yati?" Wenda mengambil satu sendok nasi beserta lauk-pauk ke dalam piring Chandra.

"Aku kan minta suapin sama kamu, bukan Bi Yati. Ngapain malu?"

Wenda berdecih, ada saja jawabannya. Ia malas berdebat lebih jauh, kalau dipikir-pikir saat dirinya demam lebih merepotkan dari ini. Chandra tidak pernah mengeluh tentang itu. Suaminya dengan tulus menjaganya, memenuhi keinginannya—walau terkadang sangat di luar nalar.

***

"Chan, kita aneh, ya?"

"Kita? Kamu aja, aku nggak aneh," sahut Chandra tanpa berdosa seraya menarik kembali cairan hidungnya yang akan jatuh.

"Oh, iya. Benar ... bener, cuma aku yang aneh. Sana nggak usah peluk-peluk orang aneh kayak aku."

"Aah ... sayang banget sama kamu," ucapnya mengeratkan pelukan.

Setelah selesai dengan urusan makan siang terlambatnya, minum obat dan vitamin. Kini saatnya pria itu kembali bermanja-manja dengan istrinya, menyandarkan kepalanya di dada Wenda, lengannya melingkar posesif di pinggang dan perut Wenda.

Wenda menghempaskan belitan tangan Chandra, wanita itu ingin beranjak pergi dari sana. Namun, pergerakan pria itu lebih cepat ternyata. Di raihnya tubuh mungil itu ke dalam dekapan hangat, memeluk istrinya dari belakang.

"Maaf ... maaf tadi bercanda doang, Sayang."

"Nggak usah peluk-peluk. Lepasin nggak? Aku teriak, nih," ancam Wenda.

"Jangan sekarang dong teriaknya. Nanti didenger Bi Yati. Gimana kalau nanti malam aja kita adu vokalnya?"

Wenda menoyor kepala Chandra. "Otak kamu bisa nggak sih, sehari aja nggak usah mesum. Heran punya suami kok modelan begini banget."

Chandra gemas, menyapit bibir Wenda dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Emang kamu mau suaminya model kayak mana. Hmm?

"Oh, tentu yang modelannya Park Chanyeol."

"Haluuuu ...," goda Chandra pada Wenda yang tidak akan pernah berhenti mengangumi sang idola.

Wenda cemberut, menatap Chandra marah. Pria itu sadar jika wanitanya sedang dalam siaga satu.

"Nggak ... Nggak. Maaf, ya, Sayangku. Tadi mau cerita apa, hm? Apanya yang aneh?"

Wenda berbalik menghadap Chandra, matanya mengerjap beberapa kali. Chandra mengusap dahi hingga belakang kepala istrinya.

"Aneh kenapa, Sayang?"

"Ya aneh aja. Saat temen-temen sebaya kita asyik dengan tongkrongan. Kita malah sibuk ke dokter kandungan, psikiater. Kamu suka iri nggak, sih lihat mereka? Temen aku bahkan ada yang belum punya pacar, masih sibuk nonton konser sana sini," ungkap Wenda lirih.

Chandra meraih tubuh Wenda agar sejajar dengan wajahnya. Di balik masker yang ia kenakan, senyumnya terlukis di sana.

"Kenapa harus iri? Mereka harusnya iri sama kita. Mereka nggak bisa ngelakuin lebih dari kita. Bisa sih, tapi dosa. Kita? Malah dapat pahala."

Wenda memukul dada Chandra, wanita itu cemberut. "Ih, bukan itu. Bisa nggak sih semuanya nggak usah nyangkut ke hal itu."

Chandra tergelak, entahlah mana yang patut disalahkan. Setiap ucapannya selalu dianggap mesum oleh Wenda, tetapi salah dia sendiri kenapa selalu mesum ke Wenda.

"Kita nggak aneh, Sayang. Kita normal kayak pasangan lainnya. Justru kita melangkah maju di depan." Tatapan Chandra tak lepas dari wajah Wenda.

"Terus juga ... mereka nggak pillow talk kayak kita nih," goda Chandra berbisik di telinga Wenda. "Mereka nggak bisa kayak gini nih ...."

"Dih! Gayaan pillow talk." Wenda mencibir ucapan Chandra.

Chandra mencium pipi kanan Wenda berulang-ulang. "Ih, bener kan?Temen-temen aku harusnya iri nih, mereka nggak punya  istri gemesin kayak gini."

Wenda tergelak, bukan karena ucapan Chandra, tapi juga karena ulah pria itu yang menyerang setiap inci wajahnya dengan ciuman yang masih mengenakan masker menutupi mulut dan hidungnya.

Chandra membuka masker, tetapi tidak sepenuhnya ia buka. Sengaja agar adegan mengecup bibir sang istri ia tutupi di balik masker, seolah agar tidak dilihat orang lain secara langsung.

"Ini maksudnya apa coba?" Wenda benar-benar tidak mengerti dengan tingkah sang suami.

"Ada kamera di sana, Sayang," tunjuknya pada sudut kanan atas kamar. "Kiss-nya harus ditutupi biar nggak kelihatan orang."

Wenda menggeleng, ia tahu suaminya hanya bercanda. Pun sudut yang ia tunjuk tentu tidak ada kamera yang terpasang di sana.

Pria itu tiba-tiba diam menatap istrinya. Merasa ada yang aneh, Wenda beringsut merapatkan tubuhnya pada Chandra, baru saja akan menangkupkan telapak tangannya pada wajah sang suami tiba-tiba Wenda terpekik.

"Chandra! Kenapa harus bersin di wajah aku, sih. Nyiprat semua ini liur sama ingus kamu. Jorok banget, sih"

Semakin kencang pria itu menertawakan Wenda yang sudah mengomel. Diamnya tadi ternyata mengumpulkan hajat ingin bersin. Bukannya meminta maaf dan membujuk sang istri, ia justru menikmati segala ocehan Wenda seraya sibuk mengusap kasar wajahnya yang terkena bersin.

Tanjung Enim, 06 Januari 2022

Halo, apa kabar?
Sudah baca pengumuman di lapak Sahabat ... Nikah, yuk!
Yang belum baca aku ulangi lagi ya.

Sahabat ... Nikah, yuk! Akan terbit bulan Maret 2022.
Yuk ... peluk Wenda Chandra. Mulai menabung dari sekarang. 😘

Ada pertanyaan?
Silakan di kolom komentar, ya 👇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top