32. No, Baby. You are wrong.
Yang belum follow, bantu follow dong. Gak rugi, kan? Kalau merasa dirugikan follow akun kentang ini. Gausah gpp.
💙💙
.
.
"Chan, mau ini."
Wenda masih saja merengek meminta sesuatu yang ia tunjukkan pada layar ponselnya. Chandra hanya bisa menarik napas mengembuskannya perlahan. Sejujurnya ia menyukai Wenda yang manja, Wenda yang selalu melibatkan dirinya di setiap keinginan wanita itu. Namun, tidak seperti ini juga.
"Sayang, ini udah hampir jam sebelas malam. Tempatnya juga lumayan jauh dari sini. Besok aja, ya, aku beliin." Chandra mencoba kembali membujuk istrinya.
Wenda membalik tubuhnya menghadap Chandra, kedua lengannya bertumpu di dada pria itu, ia merengut menatap suaminya, tangan Chandra refleks melingkar di tubuh Wenda agar tidak terguling.
"Sayang, masa kamu tega biarin aku keluar malem-malem. Nanti ada yang nyulik aku gimana?"
Wanita itu tetap tidak merespon ucapan suaminya, candaan Chandra terdengar garing baginya. Bibirnya masih terkatup rapat. Menatap sengit pria yang menyengir salah tingkah.
"Ya, udah. Ya udah, nggak usah ngambek. Aku beliin."
Chandra hendak bangkit dari posisinya, melepaskan pelukan Wenda. Namun, lengan wanita itu di tubuhnya justru kian mengerat.
"Kenapa? Marah sama aku? Udah dong jangan ngambek." Chandra membujuk Wenda.
"Nggak usah, besok aja," ujar Wenda tiba-tiba.
Kenapa lagi ini, ngambek nih kayaknya.
Chandra masih belum berani membuka suaranya. Wenda berguling ke samping, tangan dan kakinya memeluk tubuh besar Chandra. Kepalanya bersandar nyaman di dada sang suami.
"Tapi, besok beneran beliin, ya?"
"Iya, besok aku janji beliin." Chandra membalas pelukan istrinya. "Kamu beneran nggak apa-apa, Sayang? Nggak marah, kan?"
"Nggak. Besok aja nggak apa-apa. Daripada nanti kamu kena begal."
Chandra terkekeh mendengar penuturan polos dari istrinya. Jadi, wanita itu mengunci mulutnya tadi, bukan karena merajuk atau sejenisnya. Melainkan memikirkan apa yang akan terjadi di luar sana jika suaminya menuruti kemauannya.
Chandra menarik tubuh Wenda, memeluk istrinya dengan gemas. Lagi-lagi pipi Wenda yang jadi pelampiasan dari rasa gemasnya. Wenda berbalik memunggungi Chandra, dengan sigap pria itu memeluk istrinya dari belakang.
"Chan, kok aku baru tau sama ruangan ini? Baru dibikin?" Wenda mengedarkan pandangannya pada ruangan yang untuk pertama kalinya ia masuki.
"Nggak. Dari kita SMA udah ada."
Wenda menoleh, dahinya mengernyit bingung. "Kok aku nggak pernah diajak ke sini?"
Chandra tergelak, apalagi sempat melihat ekspresi kesal sang istri. "Kamu mau ngapain emang, kalo aku ajak ke sini? Ini tuh dulu tempat kita ngumpul."
"Pasti dulu kamu sering bawa cewek ya ke sini. Makanya aku nggak pernah tau sama ruangan ini." Wenda menuduh Chandra.
Chandra mencondongkan wajahnya ke depan, menggigit pelan pipi kanan Wenda. "Kamu kan dari dulu sering masuk kamar aku, sebelum kita pindah juga kan sempet tinggal di sini. Masa nggak tahu ada ruangan ini."
"Ya aku kan nggak pernah kepo-kepo. Chan, kalo dulu pas kita masih sekolah aku sering masuk kamar kamu. Berarti ... Sonya juga?"
"Nggak pernah. Justru Sonya nggak pernah sampe masuk kamar, cuma kamu temen cewek spesial yang masuk sampe wilayah pribadi aku."
Wenda mencebikkan bibirnya. Rasanya ucapan Chandra tidak perlu langsung ia percaya. Bisa saja pria itu berdusta hanya untuk menyenangkan hati istrinya.
"Tapi Sonya pernah sampe ruangan ini, kan?"
"Udah mau bobok belum? Pindah ke kamar, yuk?" ajak pria itu di sela aksinya memainkan pipi sang istri.
Chandra sengaja mengalihkan pembicaraan, agar wanita itu berhenti membahas mantan yang ujungnya akan menimbulkan huru-hara ke depannya.
Wenda menepis telapak tangan Chandra di pipinya. "Katanya mau main?"
Chandra menyeringai, satu alisnya terangkat. Wajahnya lebih mendekat ke telinga kiri Wenda. "Mau main apa, kita malam ini?"
Wenda mendorong dada Chandra, tangannya tergerak menoyor kepala suaminya. "Main PS, Pak. Katanya tadi kan kamu mau main dulu."
"Udah main PS-nya. Main yang lain aja yuk, Sayang." Chandra menarik pinggang Wenda agar merapat lagi ke tubuhnya.
Tangan Wenda terulur, mengusap lembut dada Chandra. Wanita itu menarik senyum tipis. Jarinya yang lentik sudah menyusup ke dalam kaus Chandra. Membentuk pola abstrak di sana.
"Kenapa sih kamu mesum banget? Heran aku tuh, perasaan dulu waktu kita masih sekolah nggak gini. Kalau Jaffran, iya. Udah kelihatan bibit mesumnya."
"Kenapa sih kamu tuh bikin aku mesum. Heran aku tuh, perasaan kalo deket kamu pengin aku kekepin terus," balas Chandra menirukan nada ucapan Wenda.
Wenda tertawa, mengalungkan lengannya di leher Chandra. Meninggalkan jejak basah bibirnya di pipi Chandra.
"Jadi, malam ini kita mau main apa, Daddy? Mau berapa lama kekep-kekepannya, Daddy?" tanya Wenda sengaja dibuat menggoda.
Chandra menahan tawanya agar tidak pecah. Wanita ini, punya sejuta tingkah laku yang bisa membuatnya bahagia. Kadang bersikap manis, kadang kala manja tidak ada obatnya, dan sekarang menjelma menjadi penggoda kecil.
"Sayang, nanti aku khilaf, loh?"
Wenda mengecup rahang Chandra, berbisik. "Khilaf aja, Daddy. Aku ikhlas kok di khilaf-in. Halal juga, ibadah," ucapnya lebih berani menarik ujung kaus Chandra dan menanggalkannya.
Merasa tertantang, Chandra menyentak pinggang Wenda. Kini, posisi sudah ia balik dengan Wenda berada di bawah kungkungannya. Melahap langsung bibir sang istri yang membuatnya candu.
"Nakal banget, sih. Belajar dari siapa?"
"Dari Chandra," ucap Wenda masih memancing singa lapar.
"Aku khilaf, jangan minta ampun, ya?" Chandra menyeringai menatap wajah polos yang akan ada di bawah kuasanya.
Cumbuan Chandra sudah menyebar ke setiap inci wajah dan leher Wenda. Dengan sangat lihai, tangan pria itu melucuti atasan istrinya hingga menyisakan tanktop hitam yang Wenda kenakan.
"Sayang, ke kamar aja, yuk. Lutut aku harus nekuk gini," keluh Chandra tentang sofa bed yang membuat pergerakannya menjadi terbatas.
"Kalau bisa di sofa, ngapain ke kamar, Daddy." Wenda semakin memancing dengan mengecup bibir pria itu sekilas.
Chandra bangkit, lututnya menopang bobot tubuhnya. Netranya menatap lurus perempuan yang sejak tadi gemar sekali memancing gejolak dari dalam tubuhnya. Tangan Chandra meraba saku jeans-nya, mencari sesuatu yang ia simpan di sana.
"Aku cuma bawa satu, jangan merengek minta tambah, ya," ujar Chandra menunjukkan benda yang berhasil ia keluarkan dari saku celananya.
Wenda bangkit terduduk. Matanya melotot pada pengamanan yang ada di tangan Chandra. "Kok, kamu bawa?"
"Iya, tadi aku ambil pas sebelum berangkat."
Wenda refleks menyilangkan tangannya di depan dada. Chandra mendekat, perempuan itu semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya.
"Ngapain kamu kayak gitu? Sini ... tadi nantangin." Chandra berujar seraya menarik tubuh Wenda.
Pria itu mencium bahu Wenda, naik ke leher. Mengangkat tubuh kecil itu ke atas pangkuan pahanya. Seketika Wenda bergedik entah karena apa.
"Kamu kenapa?" tanya Chandra saat menyadari ada yang aneh pada Wenda.
"Chan, aku tuh orangnya kan mudah geli, ya."
"Iya, terus?"
Tangan Chandra meraba punggung Wenda, mencoba membuka kaitan bra. Tubuh Wenda meliuk, merasakan sensasi geli saat kulit punggungnya bersentuhan dengan telapak tangan Chandra. Lagi-lagi pria itu memiliki keahlian di atas rata-rata jika urusan melucuti pakaian istrinya.
"Aku tuh kegelian, tahu! Kamu nggak usah pegang-pegang. Aku geli, Chan!" seru Wenda menahan tangan Chandra yang bergereliya merambat ke bagian depan dadanya.
"Nggak usah alasan. Aku bukan pertama, ya, nyentuh bagian ini. Bukan tangan, lidah aku juga pernah main-main di sana."
Wenda gemas, tangannya menoyor kepala suaminya. Bisa-bisanya Chandra mengucapkan kalimat frontal tanpa merasa berdosa.
"Makanya, siapa suruh tadi nakal, Sayang. Tadi nantangin, kok sekarang lemah."
Wenda tergelak, tangannya masih mencoba menghalau tangan Chandra yang ingin kembali masuk ke balik tanktop-nya. "Ya aku kan cuma godain kamu. Aku kira kamu nggak bawa pengaman. Aku mau ngerjain kamu, biar dikuras di kamar mandi."
"No, Baby. You are wrong!"
Sejak kejadian di Bandung tanpa pengaman, yang berujung wanita itu merajuk pulang ke rumah orang tuanya. Chandra tak pernah melupakan benda kecil berbahan karet tersebut. Dan dia tidak akan melakukan tanpa itu.
Chandra meraih ujung tanktop Wenda, menarik ke atas hingga yang tersisa hanya bra hitam senada dengan tanktop yang sudah tergeletak di lantai. Usapan seduktif di paha Wenda kian gencar Chandra lakukan. Rok yang wanita itu kenakan pun sudah tersingkap hingga paha atas.
"Chan, di sini sempit. Pindah ke kamar aja, yuk."
"Yang sempit lebih menyenangkan, Sayang. Kalo bisa di sini ngapain ke kamar." Chandra mengembalikan ucapan Wenda yang sempat ia lontarkan saat menggoda Chandra tadi.
"Chan," rengek Wenda mencoba menghindar dari usapan di paha dalamnya.
Pria itu menurunkan Wenda dari pangkuannya. Bangkit dari sana, ia menarik sofa ujung kakinya agar tempatnya sedikit panjang. Chandra menyeringai, tidak ada alasan lagi bagi wanita itu.
Chandra merangkak naik ke sofa bed, tangannya bertumpu di sisi samping tubuh Wenda. Kini, wanita itu benar-benar di bawah kungkungannya. Ciuman demi ciuman ia tinggalkan di setiap inci tubuh wanita itu.
Siapa yang tidak terpancing, jika gerakan dan usapan di bagian sensitif itu sangat lembut membelai. Termasuk Wenda sekalipun. Lengannya melingkari pinggang dan bahu Chandra. Tubuhnya merespon memberi izin saat tangan Chandra berhasil menemukan karet underwear-nya. Ia sedikit mengangkat pinggulnya agar memudahkan Chandra melemparkan kain segitiga itu.
Chandra bersimpuh di antara kedua paha Wenda. Entah sejak kapan, Wenda sama sekali tak menyadari jika jeans yang pria itu kenakan telah tanggal dari tubuhnya, hanya tersisa bokser hitam menutupi bagian pribadi pria itu.
Chandra menekuk kedua tungkai Wenda, memisahkan paha istrinya, hingga ia bisa menyelinap di antara kedua paha.
"Are you ready?" tanyanya seraya mengecup bibir Wenda.
Wanita itu tentu saja dapat merasakan sesuatu ganjil di antara kedua pahanya. Sesuatu yang mengganjal.
"Chan." Wenda mendorong dada Chandra.
"Apalagi, Sayang?"
Chandra geram, ada-ada saja alasan Wenda dari tadi, agar menghentikan niatnya kali ini.
"Bismillah dulu."
Chandra terkekeh, ia bangkit. Sibuk melucuti penghalang terakhir. Mengenakan pertahanan untuk berperang. Kembali menindih tubuh kecil nan seksi itu.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Wenda terperanjat, membekap mulutnya agar tidak terpekik saat senjata perang sudah Chandra luncurkan tepat mengenai pertahanannya.
Tanjung Enim, 04 November 2021.
Selamat sore. Halo, bagaimana kabarnya?
Cuma mau bilang, terima kasih sudah mendukung saya sampai sejauh ini. 💙
Ah, iya. Apa kalian tidak ingin memberi selamat pada Bee (kucingku yang ada di PP) udah melahirkan 4 anak. Baby zerofour. 😂
Pas banget ya, lahirnya tanggal 4 pula. Zerofourbee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top