31. Mode Mengidam

Tandai typo dan Salah penulisan, ya geng.
💙
***

"Asalamualaikum. Sayang ...."

Suara itu Wenda dengar dari pintu utama. Namun, wanita itu tidak sama sekali berniat menyahuti. Untuk salam, katanya sih dia menyahuti, tapi hanya dalam hati. Wenda duduk di pantry menikmati camilan sore yang Bi Yati siapkan sebelum wanita paruh baya itu pulang.

"Sayang, di mana?"

Lagi-lagi suara lantang Chandra memanggilnya terdengar dari ruang tengah. Wenda tetap tidak menyahuti panggilan Chandra. Ia sibuk memasukkan potongan buah segar ke dalam mulutnya.

"Kamu di sini ternyata. Kalau dipanggil itu nyahut, Wenda," ujar Chandra yang sudah menemukan keberadaan istrinya.

"Kalo nyari itu pake mata, bukan pake mulut. Teriak-teriak aja bisanya," balas Wenda.

Pria itu memeluk Wenda dari belakang, menciumi istrinya dengan gemas, mengusalkan bibir dan hidungnya pada pipi Wenda. Sangking gemasnya, tubuh Wenda sampai terhuyung ke samping.

"Gemes banget sama pipi kamu," gumamnya beralih duduk di kursi samping Wanita itu.

Chandra mengulurkan tangannya dan langsung disambut Wenda. Sejak mendengar nasihat sang bunda, menyalami suaminya sebelum pergi dan pulang kerja sudah menjadi kegiatan yang harus Wenda biasakan.

"Chandra itu suami kamu, Wen. Mau kalian seumuran, tua kamu atau gimana pun, wajib istri mencium tangan suami sebelum kerja, pulang kerja, pamitan sama suami kalo mau keluar rumah."

"Kamu makan apa, Sayang?"

Satu potong buah melon Wenda angsurkan ke mulut Chandra. Pria itu meyambut dengan suka cita.

"Tumben nyemil buah."

"Kalo jajan itu yang bener, Sayang. Kamu nggak boleh makan mi instan kalo udah malam. Jangan makan yang terlalu pedes, Sayang." Wenda menyindir segala larangan yang Chandra ucapkan, lengkap dengan gaya bicaranya Wenda tirukan.

"Habisnya kamu kalau jajan suka sembarangan, yang makan pedes pake level lah, itu makanan atau games sih?"

Wenda mencebik, tidak terima perihal makanan kesukaannya dihina. "Jangan food shamming, ya. Mau gimana pun juga itu makanan enak."

Chandra tergelak mendengar istilah baru yang Wenda ciptakan. "Food shamming itu yang gimana, Sayang."

Pria itu semakin gemas, kembali ia mencium pipi Wenda berulang kali. Menggigitnya seolah itu adalah kue mochi yang manis.

"Chan, kayaknya aku mesti cuci muka lagi. Ini liur kamu nempel semua di pipi aku. Jangan-jangan ini jigong kamu juga ikutan."

"Ya udah sini, biarin aku penuhin sekalian."

Chandra menangkup rahang Wenda dengan telapak tangannya yang besar. Mencecap wajah wanita itu dengan bibir basahnya. Setiap inci wajah istrinya dikecup hingga tidak ada yang terlewat. Pukulan kecil di dadanya tak ia hiraukan. Ia benar-benar melampiaskan rasa gemasnya pada Wenda.

"Chan, berhenti," rengek Wenda. "Kamu kenapa, sih?"

"Habisnya kamu gemesin banget, kayak anak balita."

Di sela ucapannya, Chandra masih mengecup bagian dari wajah Wenda, hanya saja kali ini cuma bibir wanita itu saja yang jadi sasarannya.

"Aku bukan balita, ya. Jadi, berhenti giniin aku."

"Kita bikin aja, yuk? Biar aku nggak gemes-gemes lagi sama kamu."

Mata Wenda membulat, melirik tajam pada sang pelaku. "Masih sore, hei. Udah mesum aja. Heran."

"Itulah enaknya jadi suami istri itu, Sayang. Mau sore, subuh, siang bolong sekalipun. Hukumnya tetep ibadah. Halal." Chandra mengerling, menggoda wanita yang melanjutkan memakan camilannya.

Dengan mulut masih mengunyah buah. Wenda sedikit memutar tubuhnya menghadap Chandra. Lengan kirinya ia bawa ke bahu sang suami.

"Chan, ke rumah mami, yuk?"

"Bikin anak balitanya di rumah mami? Ngapain jauh-jauh sih, Sayang. Kalau kasur di kamar kita aja nggak kalah em—"

Perkataan mesum itu tidak rampung, berganti ringisan karena mendapat cubitan di perut pria itu. Wenda geram dengan sang suami—mesumnya.

"Tadi di butik mami bilang gini, 'Mami lupa deh, kapan terakhir kalian main ke rumah. Sangking udah lamanya' gitu kata mami."

Chandra tertawa pelan, tangannya masih mengusap bagian perutnya. Mungkin cubitan Wenda tadi menggunakan kekuatan dalam. Namun, bersyukur wanita itu cukup peka. Ia pun menyingkap kemeja Chandra, mengusap lembut kulit yang sedikit memerah itu.

"Kita main ke rumah mami, yuk, Papi."

Chandra sudah khatam dengan Wenda. Jika wanita itu telah mengubah panggilannya, mesti ada sesuatu yang harus dikabulkan.

"Iya, weekend kita nginep ke sana, ya."

Jemari Wenda bergerak nakal di area pinggang Chandra. Senyum yang tak biasa ia keluarkan. Ia memajukan wajahnya, meninggalkan jejak bibirnya di atas bibir Chandra.

"Sekarang aja, Papi. Malam ini aja nginepnya."

Chandra menangkap tangan Wenda yang semakin menggoda nakal di pinggangnya.

"Besok kita kuliah pagi, Sayang. Aku juga langsung kerja. Rumah mami lumayan jauh dari kampus."

"Ya kan kita bisa pergi pagi-pagi."

Chandra tersenyum miring, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ucapan wanita itu.

"Pergi pagi-pagi? Yakin bisa? Kamu aja kalau bangun susah banget."

"Nggak! Di rumah mertua nggak boleh bangun siang."

Chandra tergelak tidak tahan. "Jadi, cuma di rumah mertua aja bangunnya pagi."

"Papi, hayuk nginep di sana."

Wenda merengek seperti biasanya, sementara Chandra hanya bisa pasrah menuruti. Dasar budak cinta.

"Iya. Iya, hayuk. Mulai deh mode mengidamnya kambuh," sindir Chandra.

Wenda hanya tersenyum penuh kemenangan. Merentangkan tangannya minta sesuatu yang Chandra pun paham. Pria itu berjongkok di depannya.

"Gendong depan," ujar Wenda yang membuat Chandra beranjak.

Chandra meraih tubuh Wenda. Wanita itu sedikit melompat ke dalam pelukan, sebelum akhirnya tubuhnya diangkat ke dalam gendongan suaminya.

Wenda mengeratkan pegangannya di leher Chandra, wajahnya mendekat ke telinga kiri suaminya.

"Mami sayang, Papi," bisiknya.

"Sayang banget apa sayang biasa?" goda Chandra di sela mengayunkan tungkainya ke kamar mereka.

Wenda menjauhkan wajahnya. Menatap lekat wajah prianya. "Sayang banget, sealam semesta jagat raya aku sayang Raffa Chandra Dirganis."

Chandra berhenti sejenak. "Kiss-nya dong." Ia memajukan bibirnya.

Wenda mengecup lama bibir tebal itu. Tersenyum manis setelahnya. Kembali ia menyimpan wajahnya ke ceruk leher Chandra. Mungkin ia malu dengan pernyataan cintanya yang seperti anak remaja labil.

"Papi sayang juga sama Mami. Dunia akhirat," ucap Chandra tak kalah—gombalnya.

"Papi, nanti sebelum ke rumah mami, beli brownies yang ada di toko sebelum jalan ke butik, ya."

"Beli di toko lain aja, ya, Sayang. Kalo ke sana kita berlawanan arah mau rumah mami. Masa puter balik."

Wenda berontak protes, kakinya terayun gusar. "Nggak mau! Maunya yang di sana. Soalnya aku sama mami suka brownies dari toko itu."

Mulai mode mengidamnya kumat. Gimana nanti kalo beneran hamil.

***

"Eh, ada apa, nih? Kalian nggak lagi berantem, kan? tanya mami panik.

Bagaimana tidak panik, jam besar di tengah ruang keluarga baru saja berdentang nyaring. Menunjukkan sudah pukul sepuluh malam.

Sang asisten rumah tangga mengetuk kamar mami, memberitahu bahwasanya ada anak menantunya baru saja datang.

Harusnya, pasangan itu bisa sampai sebelum pukul delapan jika Wenda tidak merengek ingin membeli brownies di toko yang ia tunjuk. Jarak tempuh yang memakan waktu dua kali lipat. Belum lagi mau makan di dulu.

"Mami berharap banget kita ribut, atau gimana sih, Mi?"

"Ya, siapa tau kamu nggak bener jadi suami. Makanya dikembalikan ke mami papi lagi sama Wenda."

Chandra menghempaskan tubuhnya ke sofa. Wenda duduk di sebelahnya. Mami menggeser posisi berdirinya menjadi ke hadapan Wenda.

"Sayang, Chandra baik kan sama kamu? Kalian baik-baik aja, kan?"

Wenda tertawa pelan, matanya menyipit. Ia tidak bisa membayangkan jika benar terjadi, saat mereka ribut justru ia yang akan mengembalikan Chandra ke orang tuanya, bukan dia yang pulang ke rumah ayah.

"Nggak, Mi. Kita akur-akur aja. Kan mami yang bilang kita udah lama nggak main ke sini."

"Alhamdulillah kalo baik-baik aja. Ya mami bingung aja, kok malem banget ke sininya."

Mami menyepak betis Chandra. "Chan, kalau bawa istri ke sini ya mbok dari sore, kan mami bisa makan malam bareng Wenda."

Chandra bangkit, mengayunkan tungkainya. "Mami tanyalah aja sendiri sama mantu kesayangan Mami," ucapnya berlalu dari sana menuju kamarnya.

"Wen, beneran kalian nggak ada apa-apa?" tanya mami lagi.

Wanita itu menatap cemas mantu kesayangannya. Duduk di samping Wenda.

"Beneran, Mi. Mungkin Chandra sebel sama Wenda. Soalnya tadi sebelum ke sini Wenda minta dibeliin brownies yang biasa kita beli itu loh, Mi."

"Lah? Berarti harus puter balik dong?" Mami terkekeh membayangkan Chandra harus menuruti keinginan istrinya.

"Chandra itu mirip banget sama papi, dulu papi waktu masih muda, semua apa yang mami kepengin dikabulin semua. Apalagi pas mami mengidam hamil Chandra."

Wenda antusias untuk cerita ini. "Emang dulu mami pengin apa waktu hamil Chandra?"

Mami berdeham sesaat. "Sayang, kamu nggak ngantuk? Istirahat aja gih. Eh, udah makan belum? Mau mami temenin makan?"

Mami mengalihkan pembicaraan, ia takut jika membahas seputar mengidam dan hamil, nantinya akan membuat Wenda ketakutan. Padahal yang Wenda takutkan itu adalah proses dan kesulitan melahirkan.

"Wenda udah makan kok, Mi. Tadi sempet makan. Oh, iya, Wenda bawa ini buat Mami." Wenda mengangsurkan satu kantong plastik berisi brownies yang mereka beli tadi.

"Ah, repot-repot banget. Makasih ya, Sayang." Mami meraih kantong itu dengan senyuman tulus.

"Ya, udah. Wenda nyusul Chandra ke atas ya, Mi."

Mami mengangguk, Wenda meninggalkan ruang tengah. Menapaki undakan anak tangga satu per satu. Netra wanita itu menyapu kamar Chandra yang luas. Mungkin luasnya dua kali lipat dari kamar mereka di rumah. Namun, tak ia temukan juga.

"Chandra," panggil Wenda, tetapi tidak ada sahutan dari si empu nama.

Ia meraih ponselnya dari sling bag miliknya. Menekan angka satu untuk panggilan cepat nomor suaminya.

"Iya, Sayang?"

"Di mana? Aku di kamar kamu nggak ada."

"Oh, kamu jalan ke samping lemari besar. Nanti di sana ada pintu kecil, masuk aja. Aku di dalam."

Wenda berjalan menuruti titah Chandra. Ia mendorong pintu itu, matanya terbelalak. Di dalam sini, peralatan musik serta set gaming lebih banyak dibandingkan dengan markas di rumah.

Chandra menoleh ke pintu, tangannya memberi kode agar Wenda mendekat.  Pria itu duduk di sofa bed menghadap televisi berukuran 32 inc, di tangan satunya memegang game stick.

Wenda mendekat, memisahkan paha Chandra hingga terbuka lebar. Kemudian dia masuk bersandar di perut dan dada Chandra.

Tanpa komando, kaki panjang Chandra membelit paha dan kaki Wenda, memeluk dengan gemas.

"Aku main PS bentar, ya. Udah lama nggak main PS."

Wenda mengangguk, ia pun sibuk dengan ponselnya. Tak menghiraukan punggungnya bergetar saat pria itu mengeram karena permainannya sendiri di PlayStation.

"Chan," panggil Wenda.

Namun, netranya tetap memperhatikan barisan menu jajanan dari salah satu restoran cepat saji yang buka 24 jam. Chandra sempat melirik layar ponsel Wenda.

"Iya, Sayang."

"Mau ini," tunjuknya pada gambar yang tertampil di ponsel.

Chandra melemparkan game stick ke sofa. "Kamu nggak asyik, akh. Sumpah nggak asyik banget kalo mode mengidamnya kumat lagi."

Pria itu cemberut, sungguh mode mengidam Wenda tombol matinya di mana? Chandra ingin sekali mematikan tombol mode tersebut.


Tanjung Enim, 28 Oktober 2021.

Selamat siang. Sudah makan siang? Maaf jarang update Pasangan ajaib, karena sibuk rl dan fokus sejenak ke Lintang Bumi.

Yang mau mampir ke Lintang Bumi. Silakeun. 💙

Salam Sayang 💋
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top