30. Halo Baby.
Happy 11K Mami Papi Chabe dan Chanda 💙
***
"Call me baby ... call me baby."
Kalimat yang Wenda ucapkan sejak beberapa jam lalu. Wanita itu terlihat sedang bahagia sepertinya, netranya tak henti-hentinya menatap bingkisan persegi panjang dan paper bag yang ia simpan di atas sofa.
Deru mesin mobil dari luar terdengar memecah kegiatan Wenda. Langkahnya berlari ke luar kamar menuju garasi melalui pintu penghubung dalam. Wajahnya tertekuk saat mobil Chandra tidak masuk ke garasi, melainkan terparkir di carport depan saja.
Wenda kembali berbalik, menuju pintu depan untuk menyambut kedatangan Chandra. Namun, lagi-lagi geraknya kalah cepat. Pria itu sudah masuk dan terlihat punggung lebarnya sudah hampir hilang di balik pintu ruang tengah.
"Chandra!" teriak Wenda memanggil.
Pria itu sontak berbalik, cukup terkejut karena diteriaki demikian. Dahinya mengernyit saat Wenda berlari tergesa ke arahnya. Tubuh Chandra sedikit terhuyung ke belakang, merasa tidak cukup siap saat Wenda menubrukkan tubuhnya ke dalam pelukan.
"Hati-hati, Say-Eh, cium-cium."
Ucapan peringatan seketika berubah jadi terkejut. Wenda tiba-tiba berjinjit, mencium bibir sang suami. Sontak membuat Chandra semakin bingung dan was-was dengan sikap Wenda yang tiba-tiba seperti ini.
Kaki Wenda kembali berjinjit, bibirnya sudah kembali meninggalkan jejak di pipi kanan Chandra. Semakin merasa aneh, bergegas Chandra menunduk kemudian mengangkat bokong Wenda untuk ia bawa ke kamar mereka. Tangan wanita itu melingkar di bahu dan leher, sementara kakinya sudah terlatih melingkari pinggang Chandra. Di dalam gendongannya, wanita itu justru lebih gencar membubuhkan kecupan bertubi di bibir dan area wajah Chandra yang lain.
"Sekarang cerita, kenapa?" tanya Chandra seraya mendaratkan bokongnya di tepi tempat tidur dengan Wenda di pangkuan.
"Tadi di butik ...."
Ucapan itu menggantung, wanita itu masih melanjutkan aksinya menciumi setiap inci wajah suaminya. Decakan sebal akhirnya keluar juga dari bibir Chandra.
"Sayang, aku tahu kamu kangen. Nanti aku kasih lebih. Cerita yang bener dulu, di butik kenapa?"
Wenda menyengir, netra mereka bertemu. Sudut bibir Wenda tertarik ke atas. "Kita ke rumah sakit yuk, Chan."
"Rumah sakit?" Chandra mengulurkan telapak tangannya ke dahi Wenda. "Kamu sakit? Kepalanya pusing lagi?"
Wenda menggeleng kuat. "Tadi siang Kak Tia udah lahiran, kita jenguk Kak Tia sama baby-nya, ya, Chan."
"Lahirannya baru tadi siang? Besok aja gimana? Atau tunggu Kak Tia udah pulang aja?"
Wenda memberontak, tangan Chandra menopang pinggangnya agar tidak terjatuh.
"Mau sekarang, Chan. Jenguk sekarang, Papi," rengeknya kembali dengan panggilan yang membuat hati si pria berbunga.
Namun, kali ini Chandra tidak boleh tergoda. Bukan apa-apa, menjenguk orang sakit atau bayi baru lahir memanglah baik, tetapi untuk kasus Wenda agak sedikit berbeda. Apalagi baru tadi siang lahiran, itu berarti masih akan banyak cerita proses melahirkan termasuk kesulitan dan rasa sakitnya. Chandra menghindari itu, dia menjaga agar Wenda tidak mendengar itu dan berpikiran buruk lagi tentang melahirkan.
"Sekarang, ya, Chan. Aku juga udah beli kado buat baby-nya Kak Tia."
"Iya, sekarang. Aku mandi dulu ya, kamu masukin mobil kamu yang bener di garasi. Kenapa kayak gitu parkirnya.
Wenda mendekatkan wajahnya. "Kamu aja yang masukin. Kan biasanya juga kamu."
Chandra menaikkan alisnya. "Iya, biasanya juga aku yang masukin. Aku yang dorong, narik. Kamu cuma enaknya aja." Pria itu berbisik dengan ucapan mengandung makna lain.
Tangan Chandra menarik pinggang Wenda. Mengecup bibir istrinya, menangkup rahang Wenda memperdalam ciuman. Sesaat wanita itu turut larut dalam permainan bertukar saliva.
"Chan ...," desis Wenda sedikit mendorong dada Chandra, merasa tangan pria itu sudah nakal di bagian dadanya.
"Bantar aja, yuk, Sayang." Chandra kembali merapatkan tubuh mereka.
"Nggak mau, Chan. Mau pergi, mau jenguk Kak Tia," rengeknya dengan binar mata berkaca-kaca. Tubuhnya di pangkuan bergerak gusar.
"Iya ... iya, nggak. Nggak. Aku minta maaf. Udah jangan gitu lagi." Chandra mencekal tangan Wenda yang memukul bahunya, melonggarkan kepalan tangan wanita itu.
Wenda menenggelamkan wajahnya di bahu Chandra, tangan Chandra mengusap lembut punggungnya. Mencoba menenangkan wanitanya.
"Aku sayang kamu," bisiknya tulus. "Udah ya, jangan gitu lagi. Kita kan mau pergi, mau jenguk baby, kan?"
Wenda menguraikan pelukan. Kepalanya mengangguk. Sudut matanya berair yang kemudian Chandra seka dengan ibu jari.
"Kamu mandi, ya. Aku mau masukin mobil kamu dulu. Terus siap-siap ke rumah sakit. Oke?"
Wenda kembali hanya mengangguk, tetapi sudah terbit senyum samar kali ini. Tidak seperti tadi.
***
"Chan, buruan ...."
"Sabar, Sayang. Ini aku kerepotan, udah gendong Clarissa. Ini kamu aja bawa kadonya."
Langkah tidak sabaran diayunkan Wenda di sepanjang koridor rumah sakit. Cukup membuat Chandra kesulitan, tangan kanannya harus menopang berat tubuh bocah lima tahun yang semakin hari semakin berisi. Belum lagi tangan kirinya menenteng bingkisan yang Wenda siapkan untuk bayi Kak Tia.
"Daddy, kita mau ke mana?"
"Kita mau lihat adik bayi," sahut Wenda menimpali.
"Adik bayi seperti di perut mama?"
Wenda mendongak, menatap Chandra bingung. "Chan, Kak Ina hamil?"
"Mana aku tahu, Sayang. Kan aku suaminya kamu bukan Kak Ina."
"Iya juga, ya. Kamu kan papinya Chanda dan Chabe." Wenda menyengir.
Obrolan mereka tidak terasa sudah membawa mereka berdiri di depan pintu kamar ruang inap Kak Tia, tangan Wenda sudah bersiap mengetuk pintu berwarna putih itu. Namun, dengan sigap Chandra menarik kembali tangan ramping wanita itu.
"Dengerin aku dulu. Kamu tahu kan yang kita jenguk ini apa?"
"Bayi," sahut Wenda polos.
"Iya aku juga tahu kita mau jenguk bayi. Kebiasaan suka motong ucapan suami."
Chandra menurunkan Clarissa dari gendongnya. Memegang bahu Wenda. "Kita jenguk orang habis melahirkan. Nanti di dalam sana, kalau mereka bahas yang bikin kamu nggak nyaman. Nggak usah terlalu didengerin, oke?"
Wenda mengangguk, paham akan sesuatu yang Chandra khawatirkan. Chandra selalu menjaga, bahkan menghindari sesuatu yang masih menjadi bayang-bayang menakutkan bagi Wenda, yaitu proses melahirkan.
"Asalamualaikum," sapa Wenda riang saat hendel pintu sudah diputar dan mendorong pintu itu.
"Eh, walaikumsalam, masuk ... masuk, Wen," balas seseorang di atas bed pasien.
Langkah Wenda dipercepat lebih mendekat, wanita yang masih mengenakan pakaian rumah sakit itu tampak tersenyum ramah, meski wajahnya terlihat sekali kelelahan dengan lingkar mata yang menghitam.
Netra Wenda langsung jatuh pada box bayi yang keberadaannya di samping tempat tidur pasien. Wenda bergegas menatap bayi yang baru berumur beberapa jam itu.
"Halo, baby. Lucu banget sih kamu."
"Mas, kenalin, ini Wenda sama Chandra, anak menantunya Bu Sisca pemilik butik," ucap Kak Tia pada seorang laki-laki yang-tidak mereka sadari keberadaannya-duduk di sofa.
"Oh, iya. Silakan ... silakan." Suami Kak Tia mempersilakan tak kalah ramah.
"Selamat malam." Suara Chandra yang berada di belakang Wenda menimpali ucapan itu.
"Eh, siapa ini, Chan?" tanya Kak Tia menatap Clarissa yang berdiri di samping kaki kanannya.
"Baby sugar-nya Chandra, Kak," celetuk Wenda tertawa pelan. "Bercanda, Kak. Itu anak tetangga sebelah rumah. Emang suka ikut kita ke mana-mana." Wenda memperbaiki ucapannya.
"Kamu ini ada-ada saja, Wen." Netra Kak Tia beralih pada Clarissa. "Cantik banget, main sama Kak Elea ya," ucap Kak Tia memberi titah pada putri pertamanya yang berusia enam tahun.
"Selamat ya, Kak Tia atas kelahiran ...." Chandra menggantungkan ucapannya.
"Cewek lagi, Chan."
Kak Tia seakan paham dengan kalimat terjeda itu. Pria itu tidak mengetahui jenis kelamin bayi yang mereka jenguk ini. Chandra menyimpan kado yang ia bawa ke atas nakas, bergabung dengan istrinya.
"Nggak apa-apa cewek lagi, Kak. Aku nanti ya, kalo bisa anaknya cewek semua aja."
Entah Wenda sadar atau tidak dengan ucapannya, tapi yang jelas ada perasaan hangat di dada Chandra mendengar penuturan istrinya.
"Kenapa nggak pengin cowok, Wen?" goda Chandra seraya mengusap puncak kepala Wenda.
"Enakan cewek biar bisa didandani, lucu," ucapnya dengan mata berbinar.
"Kan cowok juga bisa, Wen. Model-model anak cowok juga nggak kalah gemesin." Kak Tia menimpali lagi.
"Tapi anak-anak cowok suka susah diatur, Kak. Aku punya tiga abang, yang di atas aku tuh suka nyebelin, berantem mulu sama aku," cibir Wenda mengingat kelakuan Dhika.
Wenda mengalihkan atensinya menatap wajah Chandra sekilas. "Pokoknya anak aku nanti cewek semua."
Chandra bergerak menarik kursi kosong yang terletak tidak jauh dari sana, duduk di sebelah Wenda.
"Iya, siap! Cewek semua nanti anak kita. Berapa? Enam cukup?"
Wenda memukul lengan Chandra gemas. "Ya nggak banyak-banyak juga!"
Mereka tergelak bersama, tingkah wanita itu terkadang masih terlalu polos layaknya anak balita. Padahal usianya sudah menginjak dua puluh tahun.
"Kak, boleh gendong baby-nya, nggak?"
"Kamu mau gendong? Boleh kok. Gendong aja."
Wenda menyengir, bola matanya berbinar. Ia menoleh ke arah Chandra di sebelahnya, memberi kode dari tatapannya.
"Chan, gendong, Chan. Ayo ambil baby-nya," desak Wenda.
"Nggak bisa, Sayang. Aku cuma bisanya gendong kamu doang," bisik Chandra yang dihadiahi cubitan di perutnya.
Kak Tia hanya menggeleng saja dengan tingkah mereka. Ucapan Chandra masih bisa ia dengar meski terkesan berbisik.
"Mas, bantu Chandra mau gendong dedeknya," titah Kak Tia.
Suami Kak Tia mendekat, meraih tubuh kecil berbalut kain motif hewan kecil-kecil. Sesaat mata kecil itu mengerjap, menggeliat karena tidurnya terganggu.
"Gimana caranya? Ini aku bingung. Aku nggak ngerti cara gendongnya, Wen." Chandra panik, mengatur posisi tangannya hendak menyambut bayi itu.
"Santai aja, saya juga anak pertama dulu juga sama kayak gini," ucap suami Kak Tia karena menyadari gestur tubuh Chandra yang terlihat kaku.
Bayi merah itu sudah di dalam gendongan Chandra. Wenda Mendekatkan wajahnya, telunjuknya mengusap pipi makhluk yang baru pertama hidup di dunia.
"Halo, Baby," sapa Wenda.
Seakan merespon ucapan Wenda, bayi itu membuka matanya perlahan, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. Namun, mampu menghangatkan hati siapa saja yang melihatnya.
"Ih, dia senyum, Chan. Aaah ... gemesin banget, sih kamu."
Wenda mendongak menatap lekat wajah Chandra. Pria itu hanya mengernyitkan dahinya. Tidak paham arti tatapan istrinya.
"Chan, nanti kalau anak aku cewek pasti lucu dan cantik banget. Mirip aku," ucapnya bangga.
"Anak kita, Sayang. Kamu mana bisa bikin adonannya sendiri," goda Chandra yang lagi-lagi membuat pipi Wenda ikut bersemu merah karena ucapan itu terlalu frontal.
"Mulutnya, Chandra!" geram Wenda bersiap ingin memukul lengan Chandra, tetapi ia urungkan. Karena ada tubuh kecil yang ditopang kedua lengan Chandra.
"Nggak mau nambah anak cowok, Sayang? Nanti anaknya pasti cakep kayak papinya. Dokter yang bantu kelahirannya pasti terkagum-kagum."
"Iya, asal nggak mewarisi kuping caplangnya aja," ejek Wenda. "Telinga kamu kayak makhluk yang ada di film sihir."
Chandra diam saja, tidak tahu harus merespon apalagi. Ada saja jawaban Wenda untuk mengejek telinga lebarnya.
Untung sayang, kalau nggak udah lama gue kutuk jadi batu. Eh, tapi kalo dikutuk nanti gue nggak punya temen ngadon bayi, dong?
Tanjung Enim, 18 Oktober 2021
Selamat malam. Aku mengantuk syekali epribadeh. Aku tidur ya. Bye. 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top