28. Soto Lamongan

Lihat judul, belum apa-apa jadi laper duluan.
Ada yang dari daerah Lamongan?

Jangan lupa tandai typo, oke?
.
.
.
*

Siapa yang tidak gelisah, saat pasangan berdiam di kamar dan tidak ingin keluar untuk sekadar makan atau minun. Begitu juga dengan Chandra, segala upaya ia lakukan. Mulai memohon minta dibukakan pintu, membujuk seperti orang gila, hingga berlutut meminta maaf.

Namun, Wenda si keras kepala tidak sedikit pun luluh. Wanita itu mungkin sudah benar-benar membenci suaminya. Semua permohonan Chandra ia abaikan.

Chandra gusar, mencoba menutup matanya untuk beristirahat. Namun, tetap saja gagal ia laksanakan. Pikirannya masih berada di kamar tamu. Memikirkan sedang apa istrinya, kira-kira sudah beristirahat atau belum.

Ia memiringkan tubuhnya, menarik selimutnya. Atensinya teralih saat derit pintu kamar terdengar. Chandra berbalik memastikan, ia mengerjapkan matanya berulang, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Wenda masuk ke kamar, yang membuat Chandra tidak percaya apakah itu istrinya atau bukan adalah penampilan Wanita itu. Istrinya masih mengenakan baju yang sama seperti siang tadi, rambutnya acak-acakan lebih ke arah kusut, dan kakinya hanya mengenakan sebelah kaus kaki. Wenda sedang tidak mengigau, kan? Atau Chandra yang bermimpi.

Wenda masuk ke kamar mandi, entah apa yang dikerjakan wanita itu. Hanya gemericik air yang bisa Chandra dengar. Pria itu tidak menghampiri Wenda, masih mengamati dengan posisi bersandar di tumpukan bantal.

Sepuluh menit berlalu, Wenda keluar dari sana penampilannya masih sama. Hanya saja rambutnya yang sudah digelung asal. Chandra menahan napas, masih tidak punya keberanian untuk sekadar menyapa wanita itu.

Wenda merangkak naik ke tempat tidur, lebih tepatnya menghampiri Chandra. Tangannya seketika memeluk pinggang dan perut suaminya, wajahnya bersandar nyaman di dada Chandra.

Bolehkah Chandra minta dicubit? Atau pukul sekalian, untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Wanita yang ia bujuk seharian, tetapi tidak menggubris segala rayuannya. Kini, menyerahkan diri sendiri. Seolah tidak terjadi apa-apa dengan siang tadi.

"Chan," panggil Wenda dengan suara sedikit serak.

"Iya, Sayang?"

Wenda mendongak, dagunya bertumpu di dada sang suami. "Kepala aku pusing," keluhnya.

Chandra mengusap dahi Wenda, suhu tubuh wanita itu pun sedikit hangat. "Gimana nggak pusing, kamu seharian nggak makan, nggak minum. Nangis aja, dehidrasi nanti."

"Iya, salahin aja terus," ketusnya menyindir.

Chandra ingin memukul mulutnya sendiri. Belum lima menit baikan, masa mau ribut lagi dan berakhir pisah kamar.

"Nggak, Sayang. Bukan salah kamu. Aku nggak nyalahin kamu." Chandra mengusap pipi Wenda, mengecup puncak kepalanya.

"Aku ambilin obat, ya?" tawarnya.

Wenda mengangguk, melepaskan pelukannya. Chandra bergerak ke nakas penyimpanan obat. Meraih obat yang dibutuhkan. Pria itu keluar menuju dapur, mengambil air minum dan air hangat. Lima menit berselang ia telah kembali dengan nampan di tangannya.

Chandra duduk di tepi tempat tidur, membantu istrinya untuk duduk. Kemudian ia angsurkan dua butir pil dan segelas air. Dan Wenda segera meminumnya.

"Minum dulu obatnya, itu sama vitamin biar nggak lemes," ujar Chandra.

Dengan telaten tangannya membasahi handuk kecil dengan air hangat, kemudian mengusap lembut wajah Wenda. Mengeyahkan sisa air mata di pipi istrinya.

"Besok, kalau panasnya nggak turun, kepalanya masih pusing kita dokter, ya," ujarnya seraya menempelkan plester gel kompres penurunan panas dan penghilang rasa nyeri di dahi Wenda.

"Nggak mau ke dokter, Chan. Bosen aku ketemu dokter terus. Kemarin udah ketemu, diperiksa dokter."

Chandra paham dengan kalimat 'Bosan bertemu dokter', mengingat istrinya itu rajin berkonsultasi ke psikiater dan obgyn. Namun, ia tidak paham jika kemarin Wenda baru ketemu dokter. Seingatnya, Wenda belum jadwalnya ketemu dokter Kai atau dokter kandungan yang biasa menanganinya.

"Kemarin ketemu dokter? Siapa?"

"Dokter Andra," jawab Wenda enteng.

Chandra hampir saja tergelak. "Oh, iya. Ayah. Aku lupa ayah dokter."

Masih merasa geli karena melupakan profesi ayah mertuanya, Chandra beranjak ke lemari pakaian. Menarik satu setel piama Wenda. Membantu istrinya mengganti baju yang sudah seharian ia kenakan.

Chandra meloloskan dress Wenda, melemparnya ke keranjang pakaian kotor. Tersisalah underwear yang melekat di tubuhnya.

"Celana dalam sama bra-nya mau ganti, nggak?" tanyanya sembari melepaskan kaus kaki yang hanya tinggal sebelah itu.

"Celana udah ganti, bra mau lepas aja."

Chandra mengangguk tanda menyetujui ucapan wanita itu, melanjutkan membantu Wenda mengenakan piama. Selesai dengan kegiatan itu, Chandra meraih kepala Wenda, meninggalkan satu kecupan di pipi wanitanya.

"Makan, ya. Dari siang kamu nggak makan apa-apa," bujuknya.

"Kata siapa? Aku makan kok, pas kamu nggak di depan pintu aku ambil roti sama camilan di dapur."

"Ya udah kalau gitu, tapi kamu nggak makan nasi, kan? Sekarang makan nasi, ya. Mau aku ambilin ke sini atau ditemani di dapur?"

"Mau soto lamongan," tukasnya.

Chandra mengernyitkan dahi, jawaban Wenda tidak ada dari salah satu yang ia tawarkan.

"Soto lamongan? Tadi Bi Yati nggak masak itu, Sayang. Makan yang ada aja?"

Wenda menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, kakinya menendang-nendang kepala tempat tidur.

"Mau soto lamongan, Chan," rengeknya manja.

Chandra duduk di tepi ranjang. "Mau nyari soto lamongan di mana, Sayang. Ini udah malam. Tuh, udah mau jam sebelas, udah mau tengah malam." Pria itu menunjuk jam digital di atas nakas.

Wenda cemberut, sepertinya malam ini sang suami akan dibuat kesulitan lagi dengan segala permintaan si istri tercinta.

Chandra naik ke tempat tidur, menumpuk bantal untuk ia bersandar. Tangannya terentang agar Wenda ikut bergabung dengannya. Tanpa menunggu lama, Wenda berguling ke arah suaminya. Seketika Chandra memeluk posesif tubuh yang lebih kecil.

"Mau soto lamongan, Papi," rengek Wenda menarik-narik kaus depan Chandra.

"Sekarang makan yang ada aja, ya. Besok kita cari soto lamongan. Atau mau aku bikinin pasta aja?"

Wenda menggeleng kuat, tanda permintaannya tidak mau diganti dengan yang lain. Sekali soto lamongan tetap soto lamongan, tidak bisa diganti soto betawi apalagi makanan dari Itali.

"Papi!" Wenda menyentak kuat kaus Chandra. "Mau soto lamongan."

Alih-alih kesal menaikan tekanan nada suara dan mengencangkan urat leher seperti siang tadi. Chandra justru gemas melihat Wenda yang sekarang.

"Jadi, nggak mau diubah lagi, nih? Fix papi? Nggak mau daddy aja, kayak Clarissa."

"Nggak mau! Maunya soto lamongan, Papi."

"Ya udah aku bikinin."

Wenda menatap Chandra lamat, rengekannya terhenti saat Chandra berinisiatif membuatkannya soto lamongan. Namun, tentu saja Wenda tidak mempercayai jika Chandra bisa membuat makanan khas berkuah kuning yang berasal dari Jawa timur tersebut.

"Emang bisa?" tanya Wenda meremehkan.

"Bisa dong! Kiss dulu biar aku bikinin."

Dasar Chandra, mengambil kesempatan dalam kesulitan. Namun, demi semangkuk yang ia inginkan, Wenda menangkupkan kedua telapak tangannya di rahang Chandra. Mengecup bibir pria itu.

Tangan Chandra refleks menarik tengkuk Wenda, satu kali kecupan lagi rasanya tidak masalah, bukan?

"Bibir kamu masih hangat, Sayang. Cepet sembuh, ya. Jangan sakit."

Wenda mendorong Chandra agar sedikit menjauh. "Kamu beneran bisa bikin soto lamongan?"

"Bisa. Versi hematnya. Ala anak kost."

"Akh! Nggak mau. Mau soto lamongan yang beneran."

Wenda menolak keras, ia tahu versi hemat ala anak indekos yang Chandra maksud. Apalagi kalau bukan dalam bentuk mi instan. Memang benar ada varian soto lamongan, soto banjar,  rendang, ayam geprek, bahkan nasi padang pun ada.

"Kalo yang beneran besok aja, sekarang makan yang hemat aja."

Wenda berguling lagi ke tengah tempat tidur, tangannya memukul kasur. "Kan kamu sendiri yang larang aku makan mi instan kalau udah malem," decak Wenda.

"Untuk malam ini aku izinkan. Asal kamu mau makan."

"Gendong, tapinya ke dapur."

"Iya, hayuk. Sini naik." Chandra memunggunginya.

Wenda segera naik ke punggung kokoh suaminya. Mengalungkan tangannya ke leher, menumpukan dagunya di bahu Chandra.

"Kamu kalo lagi gini gemesin banget sih, Sayang."

Tapi suka nyebelin kalo lagi kumat ngambek enggak jelas.

"Papi," panggil Wenda dengan panggilan yang masih saja membuat jantung Chandra berdebar.

"Iya, Mami."

"Papi," panggilnya lagi menggoda Chandra.

"Ya, Mami Sayang."

"Papi sayang mami?"

"Sayang, dong. Sayang banget."

"Nggak mau soto lamongan, mau pasta aja."

Kan. Mode nyebelin lagi. Kalo enggak sayang aja, udah gue lempar nih dari gendongan.

Tanjung Enim, 9 Oktober 2021

Bukan Wenda ya kalo gak bikin hidup Chandra jadi sulit.
Jadi, apa guna rengekan di atas minta soto lamongan, Wen? Kalau ujungnya berubah makanan Itali. 🙄🙄

Salam Sayang 💋
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top