26. Birthday Party
Di atas lapangan dengan ukuran 15x15 meter terbentang rumput sintetis yang hijau, wahana bermain anak-anak yang beraneka ragam. Mulai dari ayunan, perosatan, jungkat-jungkit dan pagar-pagar kecil yang dicat berwarna indah. Sangat ramah khas dengan anak-anak.
Mata Wenda nanar memperhatikan di hadapannya, hingga panggilan Clarissa pun tak ia hiraukan. Selain permainan anak-anak, juga terdapat sebuah tenda dan kursi-kursi di sudut taman. Mereka menghadiri undangan teman kantor Chandra. Di sana, sudah banyak orang-orang yang bisa Wenda pastikan adalah teman kantor Chandra.
"Daddy, mau main ke sana," tunjuk si mungil—dalam gendongan Chandra— pada wahana perosotan dengan cat hijau terang.
"Chan," panggil Wenda seraya memindahkan kotak hadiah ke pinggang sebelah kanannya. "Jadi, yang ulang tahun anaknya Mbak HRD?"
Chandra tertawa pelan. Tubuhnya sedikit menunduk, menurunkan Clarissa yang sejak tadi bergerak gusar ingin segera bergabung bersama anak yang lainnya.
"Namanya Kak Mira, Sayang."
"Kok nggak bilang?" Wenda menekuk wajahnya.
"Eh, Cha ... tunggu sebentar, kita kasih kado dulu," ujar Chandra pada anak yang sudah tidak sabar berlari ke tempat permainan.
Chandra merangkul bahu Wenda, menuntun istrinya mendekati tempat berkumpulnya para orang dewasa. Senyumnya merekah saat menangkap anak kecil dengan gaun biru muda, rambutnya dikuncir rapi dan terselip mahkota kecil di kepala. Persis tokoh princess dalam sebuah kartun. Namun, ada apa dengan raut wajah anak itu. Seperti sedang merajuk.
"Wah, ada Om Chandra, nih," ujar wanita yang memangku anak kecil itu.
Si anak berontak turun dari pangkuan, kaki mungilnya berlari tergesa menghampiri Chandra. Sesaat Chandra berjongkok, mengusap kepala si kecil.
"Selamat ulang tahun, Sheina." Chandra memberi selamat pada anak perempuan itu yang kemudian dihadiahi cengiran khas anak-anak.
Chandra menoleh saat bahunya disentak dengan kotak yang Wenda berikan. Ia meraihnya, kemudian memberikannya pada Clarissa.
"Cla, kasih ke Sheina, ucapin apa?"
Tangan kecil itu meraih dengan kesulitan kotak hadiah yang cukup besar jika dipelukannya.
"Happy birthday," ucap Clarissa memberi selamat, meski pelafalan bahasa inggrisnya fasih, tetapi nada khas suara balitanya masih melekat sepenuhnya. Namun, orang dewasa yang mendengar itu pasti paham akan bahasanya.
"Bilang apa, Na."
Suara lain menginterupsi mereka, Amirah berdiri di belakang Sheina. Si kecil itu menampilkan deretan gigi susunya, kemudian berucap, "Telima kasih."
Telunjuk Clarissa ia ulurkan ke hadapan Sheina, bergerak ke kanan dan ke kiri.
"No, telima kasih, tapi ter ... rrima kasih. R bukan L, oke?" Clarissa memberi tahu pengucapan terima kasih yang benar.
Mereka tergelak saat mendengar Clarisa mengajari Sheina. Anak itu sejak masuk sekolah TK, semakin hari semakin pintar saja. Belum lagi lagaknya sok lebih dewasa padahal jarak usianya dan Sheina hanya terpaut satu tahun.
Clarissa menoleh, menarik telunjuk Chandra. "Daddy, mau ke sana, mau main. Ayo ke sana, Daddy."
"Cla main sama Sheina aja, ya. Daddy sama momo di sini," bujuk Chandra agar anak itu bermain sendiri dengan anak lainnya.
Tanpa menunggu lebih lama, kedua anak balita tersebut berlari ke wahana bermain. Layaknya kakak menjaga adiknya, Clarissa menggandeng tangan Sheina.
"Anak siapa, Chan?" tanya Amirah kemudian, saat yang tersisa hanya mereka bertiga.
"Anak kami," celetuk Wenda menyambar sebelum Chandra menjelaskan siapa Clarissa.
"Keponakan, Kak. Anaknya Kakakku." Chandra bangkit dari posisinya.
Amirah tampak mengerutkan dahinya kemudian kembali melemparkan kalimat tanya. "Kakak? Bukannya kamu tunggal?"
"Tunggal bukan berarti nggak punya sepupu." Wenda lagi-lagi menyambar ucapan Amirah.
"Oh, kakak sepupu. Pantesan aja panggilnya daddy, emang jatuhnya masih keyak anak sendiri."
Kalo anak tetangga kenapa emang? Nggak boleh panggil daddy. Ribet banget ini mbak-mbak satu.
"Eh, kok kita ngobrol di sini. Hayuk ... hayuk, gabung sama yang lain, Chan. Wen, jangan sungkan ya. Dicicipin makanannya ada di sana," tunjuk Amirah pada tenda kecil menyajikan beberapa jenis makanan dan minuman.
Wenda menarik lengan baju Chandra, sontak membuat pria itu menoleh. "Kenapa, Wen?"
"Kita di sini aja, Mbak. Biar deket sama anak-anak." Wenda berusaha ramah, bagaimanapun posisinya di sini tamu.
"Oh, ya udah. Kakak tinggal ya."
Sepeninggalan Amirah, Chandra menarik dua kursi plastik untuk mereka tempati. Posisi mereka tepat menghadap wahana bermain, agak sedikit jauh dari kumpulan yang lainnya.
"Sayang, mau aku ambilin minum?"
Wenda menoleh kemudian mengangguk tanda setuju. Netranya kembali memperhatikan anak-anak bermain dan tertawa bersama. Chandra bangkit dari duduknya membuat Wenda mengalihkan sejenak atensinya, sebelum ke tempat makanan pria itu berjalan ke tempat di mana teman kantornya berada. Menyapa, bahkan sedikit basa-basi pada mereka.
Wenda kembali memperhatikan anak-anak di hadapannya. Entah apa yang ada di pikirannya, netranya terpaku di sana. Seolah menjadi kegiatan menyenangkan baru baginya.
"Mbak, temen kantor Mbak Mira, ya?"
Wenda terperanjat saat suara dari seseorang yang tak ia sadari kehadirannya, menyapa tiba-tiba. Mata Wenda mengerjap seperkian detik, masih menetralkan rasa terkejutnya. Wanita yang tidak bisa dikatan muda lagi ini berdiri di belakang Wenda.
"Bukan, Bu. Aku cuma ikut, yang temen kantor Mbak Mira itu su—"
"Oh, si Mas ganteng itu yang satu kantor sama Mbak Mira."
Wenda tersenyum canggung, menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia sudah bisa menebak gelagat ibu aneh di hadapannya ini.
"Mbak, temennya itu udah punya pacar belum?"
Belum, Bu. Kalo udah punya bini, iya udah. Gue, Bu bininya, gue.
"Maaf, ibu siapanya ...."
Wanita itu menunjuk wajahnya sendiri. "Saya? Saya tetanggaan sama Mbak Mira. Kebetulan cucu saya dari anak yang pertama temenan sama Nana yang berulang tahun itu."
Wenda kemudian mengangguk paham. "Terus ibu mau aku kenalin sama temen aku?" goda Wenda pada wanita itu.
"Bukan untuk saya, tapi untuk anak saya yang bungsu. Dia udah kuliah, tapi belum punya pacar, Mbak. Masa calon bidan nggak punya pacar."
"Oh, anaknya calon bidan, Bu? Udah mau kerja di rumah sakit, dong."
Si ibu tertawa kecil, tangannya mengibas udara. "Ya belum, Mbak. Baru juga masuk kebidanan dua bulan lalu. Baru semester satu."
"Oh, gitu. Cocok banget sama temen aku itu, Bu. Kebetulan temenku itu lagi cari istri."
Mata si ibu seketika berbinar mendengar penuturan Wenda. Dalam hati ia sangat ingin tertawa kencang. Istri macam apa Wenda ini, suami sendiri malah ia kenalkan pada ibu-ibu mencari menantu idaman.
"Sayang."
Kompak kedua wanita berbeda generasi itu mendongak pada sosok tinggi di hadapannya. Mata Wenda bergulir ke tangan Chandra yang membawa dua piring kertas berisi makanan ringan yang ia tumpuk jadi satu dan yang satunya memegang cup besar minum menyegarkan.
"Mas, mau kenalan sama anak saya tidak?"
Chandra tersedak ludahnya sendiri, belum juga bokongnya menyentuh kursi plastik yang hendak ia duduki. Pernyataan to the point dari si ibu membuatnya kikuk.
"Maaf, gimana, Bu?"
"Iya, saya lagi cari pacar untuk anak bungsu saya. Barangkali Mas mau berkenalan."
Wenda acuh tak acuh, menahan tawanya agar tak meledak. Menyibukkan kegiatannya pada makanan yang Chandra bawa tadi.
"Maaf, Bu. Saya sudah punya istri." Chandra menarik tangan kiri Wenda, memamerkan cincin kawin di jari manis istrinya.
"Owalah ... sudah suami orang. Mbaknya nggak bilang kalau itu suaminya."
Gimana mau ngomong, Bu. Udah dipotong duluan.
Senyum canggung tercipta di wajah wanita itu, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan pasutri yang tertawa geli.
"Nakal kamu, ya. Ngerjain orang tua. Kualat nanti," bisik Chandra seraya menjawil hidung istrinya.
"Tapi, Chan. Kata ibunya tadi anaknya itu calon bidan, lho."
"Ya terus? Istri aku calon desainer, mau apa hayo?"
Wenda mencebikkan bibirnya, netranya kembali ke anak-anak yang bermain riang di sana.
"Chan, biasanya cewek yang kuliah di kebidanan itu suka anak kecil loh. Seandainya, kalo kamu punya istri bidan, pasti nanti langsung punya baby. Kerena mereka suka."
"Aku udah punya dua anak di rumah, Chanda dan Chabe."
Wenda memukul lengan Chandra gemas. Setiap ucapan Wenda selalu saja Chandra patahkan.
"Ih, orang serius juga. Malah bercanda. Tauk, akh. Sebel aku!"
Tangan Chandra menepuk pelan puncak kepala Wenda. "Istri aku cuma Wenda, kalau aku mau baby ya harus dari Wenda. Nggak usah mikir yang macem-macem, oke?" tandas Chandra menatap dalam kedua netra sang istri.
"Daddy ...."
"Om Chandla!"
Panggilan dari kedua anak perempuan menginterupsi kegiatan mereka. Clarissa melompat girang ke pangkuan Chandra, Sheina pun tak mau kalah. Hingga akhirnya mereka duduk di paha kiri dan kanan Chandra.
"Om Chandla, main?"
"Om Chandra, bukan Candla." Clarissa lagi-lagi memperbaiki ucapan Sheina.
"Iya tuh, pake R bukan L. Gitu aja nggak bisa, iya kan, Cha?" Wenda menimpali.
"Nana nggak bisa. Kata mama, Nana masih kecil."
"Minta ajarin dong sama mamanya, jangan ngubah nama orang," cibir Wenda.
Entah apa yang ada di kepala Wenda, ataukah Sheina dianggapnya bagian dari fandom musuh bebuyutan fandomnya, rasanya gatal jika tidak war.
Chandra gemas dengan tingkah Wenda yang melebihi kedua balita ini. "Sayang, ini anak kecil, loh."
Telunjuk Wenda mencolek lengan kecil Sheina. Tanpa mengindahkan ucapan Chandra. "Hei, ini suami aku ya, ngapain duduk di pangkuan suami orang."
"Sayang, udah. Seneng banget bikin anak orang nangis," tegur Chandra pada Wenda saat melihat air muka Sheina ingin menangis.
"Iya emang anak orang, bukan anak kamu, kan? Biasa aja doang belain anak orangnya," balas Wenda mendengkus.
Chandra menoleh pada wanita yang sudah terlanjur merajuk itu. "Aku bukan belain, Sayang. Kamu kenapa? Sini lihat dulu," bujuk Chandra mengusap belakang kepala Wenda.
"Wah, ternyata di sini. Nana asyik bener di pangkuan Om Chandra."
Ibu dari anak yang disapa Nana itu menginterupsi mereka. Chandra menoleh pada Amirah yang sudah berdiri di depannya, tangan wanita itu membawa sepotong dalam piring kecil. Bisa dipastikan itu adalah kue ulang tahun.
"Nana, katanya tadi potongan pertama mau disuapin ke Om Chandra."
"Buat Om? Wah ...." Air muka Chandra seketika dibuat senang, demi menghibur di mata sang balita.
"Iya, Mama. Mau suap Om Chandla!" serunya senang, kaki tangannya bergerak heboh.
Amirah menyerahkan kue beserta garpu kecil pada anak semata wayangnya. Dengan tangan mungilnya ia memotong cokelat itu, menyuapkan ke mulut Chandra yang disambut senang oleh pria itu.
"Katanya tadi mau kasih ke kamu, Chan. Sampe sempet cemberut tadi karena Om Chandranya belum datang."
"Suapin juga ... siapa namanya, Chan?" tunjuk Amirah pada Clarissa yang bersandar nyaman di dada Chandra.
"Clarissa."
Tangan kecil itu memotong kembali brownis, menusuknya menggunakan garpu dan mengarahkan ke mulut Clarissa, kemudian disambut Clarissa dengan senang hati.
"Tante Wenda, Sayang," titah Amirah.
Sheina sudah bersiap mengangsurkan garpu ke arah Wenda, tetapi tangan mungilnya tergantung di udara. Mumgkin ada rasa sedikit ragu pada anak itu.
"Maaf, lagi nggak makan manis," ujar Wenda datar.
Amirah menggangguk, senyum tipisnya terlukis wajah wanita itu. Matanya fokus pada Sheina dan Clarissa yang memakan kue itu, berbagi dari garpu yang sama.
"Mbak, ada yang mau pulang itu." Suara laki-laki terdengar.
"Chan, kakak tinggal dulu, ya."
Amirah berbalik meninggalkan Wenda dan Chandra. Perempuan itu akan sibuk dengan tamu yang mulai berpamitan pulang.
"Chan, pulang!" tegas Wenda meski dengan nada suara pelan.
Chandra mengerutkan dahinya. "Bentar ya, Sayang. Kak Mira lagi ngelayani tamu yang ini."
"Ya udah kalo kamu nggak mau pulang. Sini kunci mobil mana? Aku mau ke mobil aja."
"Sayang, nggak sopan itu namanya. Kita pamitan dulu ya. Kunci mobil kan ada di tas kamu." Chandra menegur wanita itu. Meski bagaimanapun apa yang Wenda lakukan tetap salah.
Wenda bangkit, berjalan meninggalkan Chanda. Dari dalam tas kecilnya, ia mengeluarkan kunci mobil Chandra yang disimpan di sana.
"Sayang," panggil Chandra yang tidak mendapat sahutan sama sekali.
Chandra menghela napas panjang, ada wanita yang bersikap seperti orang cemburu itu. Pria itu hanya bisa menatap punggung yang menjauh. Tidak bisa mencegah ataupun menyusul, karena posisinya yang memangku dua anak sekaligus.
Kenapa lagi, sih, Wenda. Pusing aku lama-lama.
Tanjung Enim, 05 Oktober 2021.
Salam Sayang 💋
RinBee 🐝
Selamat malam semuanya. Dalam keadaan mengantuk aku menyelesaikan bab ini..
Terima kasih sudah menunggu.
💙💙
Selamat ulang tahun, makhluk hitam berkaki empat ini.
Silakan yang mau mengucapkan selamat untuk si anjing.
***
Clarissa dan Daddy Chandra.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top