25. Teman Hidup

  Akhir-akhir ini seperti banyak reader baru. Selamat datang readernim. Boleh kenalan? Absen dong, kalian bisa baca cerita ini tahu dari mana?

Bantu Tokophobia 10k viewers ya, geng. 💙💙

***

"Bunda ...."

Panggilan dengan suara khas bangun tidur menembus rungu Chandra. Pria itu datang dari luar kamar kemudian bergegas mempercepat langkahnya, menghampiri sang istri yang masih dipeluk nyamannya selimut dan kasur.

"Nda ...." Wenda kembali memanggil sang bunda.

Entah sedang mengigau atau apa, lagi-lagi Wenda menyerukan panggilan untuk bundanya. Meski gerak tubuhnya sudah rusuh di atas tempat tidur, nyatanya matanya masih tertutup.

"Ada suami kok manggil bunda sih, Sayang."

Chandra merengkuh tubuh mungil itu, memburas mesra pipi istrinya. Perlahan mata Wenda terbuka, tubuhnya menggeliat kecil.

"Ayo, bangun. Udah mau jam delapan loh ini, kamu baru bangun."

Bukannya menuruti titah Chandra, wanita itu justru membenamkan wajahnya di dada bidang yang sudah terbentuk otot-otot hasil gym.

Telapak tangan Chandra mengusap surai hitam Wenda. "Ayo bangun, kita mau pulang."

"Nanti dulu, pusing kepala aku kalo langsung bangun, tidurnya semalem kurang," keluh Wenda.

"Pucing? Kepala Mami Chabe pucing, iya? Kacian banget, sih." Chandra menggoda Wenda dengan menirukan suara anak kecil. Alih-alih lucu, suara Chandra justru terdengar menjijikan di telinga Wenda.

"Apaan, sih. Nggak lucu!"

Chandra terkekeh, tubuhnya bangkit. Meraih ponselnya di nakas dan duduk di tepi tempat tidur membelakangi Wenda. Sesaat ia fokus dengan layar benda canggih miliknya. Sampai tarikan di kaus belakangnya mengalihkan atensinya.

Chandra menoleh, menatap Wenda sesaat. "Kenapa, Sayang?"

"Mau bangun," jawabnya singkat.

Chandra meraih tubuh Wenda, membantunya duduk bersandar di kepala ranjang.

"Morning kiss, dong," pinta Chandra memajukan bibirnya ke hadapan Wenda.

Wenda mengulurkan lengannya, bertengger di bahu Chandra. "Tapi uang bulanan aku ditambah, ya," bisik Wenda.

"Boleh, tapi jatah malam aku dibanyakin, ya." Chandra tak kalah berbisik.

Sontak Wenda mendorong tubuh Chandra. "Pulang aja sana, mesum banget sih jadi laki, pergi. Aku masih mau nginep di sini."

Chandra tergelak. "Eh, nggak bisa. Perjanjian awal apa? Kamu datang bulan, pulang."

Wenda mencebik tidak terima, tetapi tidak bisa protes. Dalam hal ini, siapa yang harus disalahkan? Ucapan atau tamu bulanannya? Jangan coba-coba menyalahkan Wenda, karena dalam undang-undang peraturan rumah tangga mereka. Wenda selalu benar!

"Sayang, aku dapat undangan dari temen kantor, anaknya ulang tahun ke empat. Jadi, ngundang temen-temen satu devisi, acaranya ntar siang."

"Yang ultah umur empat tahun? Berarti banyak anak-anak di sana?"

"Hmm, kan yang ultah bocah, pasti undangannya ya kebanyakan bocah. Apalagi dia sewa taman bermain gitu, pasti seru. Mau pergi nggak?"

Wenda menunduk, memilin ujung piamanya. "Ta-tapi kan, kita belum punya ... anak, Chan."

Ada rasa tersentil di sudut rongga dada Chandra. Namun, sebisa mungkin perasaan itu tak ia perlihatkan. Ia khawatir dengan Wenda, cemas dengan ucapan yang terdengar lirih.

"Di undangannya, nggak ada tertulis harus punya anak yang datang. Tenang aja, Sayang. Ada Bang Ridho yang jomlo, dia pasti datang juga. Terus juga ada kok di kantor yang udah nikah belum punya sama kayak kita," hibur Chandra pada istrinya.

Chandra meraih tangan Wenda, mengecup punggung tangan wanita itu. "Ya udah kalau kamu nggak mau pergi, kita nggak pergi, tapi kalo kamu mau, kita bisa ajak Clarissa."

Wenda menegakkan kepalanya. Seketika matanya berubah berbinar. "Iya, mau, Chan. Kita ajak Clarissa ya. Mau pergi ke sana."

Wenda sudah merangkak duduk di pangkuan Chandra, mengalungkan lengannya di leher pria itu. Senyumnya merekah.

Chandra gemas dengan tingkah sang istri. Ia menyatukan hidung mereka, mengecup sekilas bibir ranum itu. Dengan jahilnya, bibir Chandra beralih ke pipi kanan Wenda, menggigit kecil dengan bibirnya. Wenda tergelak, sensasi geli melingkupi wajahnya karena ulah suaminya.

Wenda menutup wajah dengan telapak tangannya untuk menghindari bibir Chandra. Namun, pria itu tak kehabisan akal, semua yang dapat dijangkau bibirnya ia kecup.

Wenda mendorong wajah Chandra, membekap mulut Chandra sesaat, agar pria itu menghentikan aksinya dan mendengarkan ucapannya selanjutnya. "Chan, temen kantor kamu udah pada tahu semua, kalo kita udah nikah?"

"Sebagian ada yang tahu, tapi kalo ruangannya jauh-jauh kurang tahu, mungkin belum tahu," ungkap Chandra.

Wenda tersenyum jahil. "Nanti kalo ada yang tanya, aku siapanya kamu. Jawab aja pacar, ya. Pura-puranya kita masih pacaran."

Chandra tergelak, ada angin apa yang meniup kepala Wenda. Hingga otaknya bisa menghasilkan pemikiran demikian.

"Nanti aku jawab teman. Teman hidup."

Kini giliran Wenda yang tergelak kencang. Saking kencangnya perempuan itu tertawa, ketukan di pintu kamar tak terdengar oleh mereka. Belum lagi ulah tangan Chandra yang menggelitik di pinggangnya.

"Wen, Chan. Ayo turun, sarapan dulu."

Itu suara bunda yang menginterupsi mereka. Chandra memberi kode pada Wenda, agar wanita itu turun dari pangkuan. Namun, tak diindahkan oleh wanita itu.

"Iya, Nda. Nanti kita turun, sebentar lagi," teriak Chandra ke arah pintu kamarnya yang tertutup.

"Ya udah, bunda turun ya."

Wajah Wenda kembali berhadapan dengan Chandra. Laki-laki itu sudah menaikkan alisnya sebelah, melihat istrinya bertambah posesif mengalungkan lengan di lehernya.

"Kamu nggak mau turun nih dari pangkuan, nanti ada yang bangun loh? Masa aku solo karir lagi, mending collab sama kamu," desis Chandra.

Wenda gemas, rasanya halal saja pagi-pagi menoyor kepala suami mesum seperti Chandra. Bergegas Wenda turun, berlari ke kamar mandi untuk sekadar mencuci muka dan menggosok gigi, lalu turun untuk sarapan.

***

"Morning, everybody."

"Dih, gayaan banget si hitam pake morning-morning segala," cibir Wenda pada Dhika yang baru saja bergabung di meja makan.

Dhika tersenyum miring, menatap Wenda sekilas. "Wah, body shaming nih bocah," ujar Dhika seraya sibuk meraih piring dan mengambil nasi goreng di tengah meja.

"Eh, Chan. Kemarin malem sebelum lo anterin gue pulang, cewek yang sama lo itu siapa? Cantik banget, kenalin dong." Dhika berucap tanpa melihat ke pasangan di depannya.

Sontak Wenda menoleh tajam ke Chandra, menuntut penjelasan dari pria yang konon membawa wanita—cantik—yang bukan istrinya.

"Nggak ada, Wen. Kamu dikerjain Kak Dhika itu." Chandra menjawab santai.

"Chan, siapa? Cantik banget ya? Kenalin dong ke aku," ucap Wenda lirih.

Wenda memalingkan wajahnya, berhenti menatap suaminya. Senyumnya tertarik datar. Usapan lembut di kepalanya pun tak ia hiraukan.

"Kak Dhika bohong, Sayang. Kemarin aku sendirian ke kafe Kak Dhika."

Wenda menepis tangan Chandra, rasanya kunyahan nasi goreng di mulutnya sulit sekali ia telan.

"Kak, jangan buat huru-hara lah. Adik lo susah dibujuknya. Ada apa-apa sama rumah tangga gue, lo duluan gue cari." Chandra melirik Dhika yang cengengesan di depannya.

Kalau bukan kakak ipar, sudah lama gue dilempari botol saus.

Dhika tergelak salah tingkah, ia menyadari ucapannya tidak bisa lagi dianggap sebagai bahan candaan. Ia menyimpan sendok dan garpu di atas piringnya.

"Nggak, Dek. Gue becanda doang, Chandra datang ke kafe gue sendiri kok." Dhika kembali melahap sarapannya.

"Lagian lo sih, pake bawa-bawa warna kulit. Gue juga bingung, kenapa gue over cook. Ayah putih, bunda putih, Bang Lay, Bang Jo putih, lo apalagi, kulit lo turunan ayah bunda banget. Seputih kapas kayak kata orang-orang." Dhika melanjutkan ucapannya dengan gerutuan panjang perihal kulitnya yang berbeda sendiri.

Tidak ada sahutan dari Wenda, ia masih enggan menatap kakaknya itu. Semua ucapan Dhika tidak sama sekali ia gubris. Entah terlanjur sebal atau ada sesuatu yang menggangu pikirannya.

Dhika kembali berujar, "Kalian tahu nggak, sih. Dulu waktu kita SD sampe SMP lah, ya. Karena SMA Chandra ada cewek."

Wenda seketika mengangkat kembali wajahnya. Menatap serius wajah Dhika.

"Kak ...." Peringatan dari Chandra, melalui kode matanya Chandra memberi isyarat, 'jangan bahas mantan'.

Namun, Dhika tetaplah Dhika. Ia melanjutkan ucapan yang sempat terjeda.

"Dari dulu gue selalu ngebayangi kalian beneran kawin. Sampe gue mikir, kalo kalian nggak kawin, gue yang paksa kalian kawin. Soalnya aneh aja gitu lihatnya, kalian ke mana-mana beduaan aja, kayak nggak ada temen lain."

"Kawan. Kawin. Kawan ... kawin. Lo nggak bisa nyebut nikah atau married gitu? Kasar banget, dikira kita hewan," sungut Wenda.

Dhika tergelak heboh, wajah kesal adiknya adalah hal yang paling Dhika sukai, itulah sebabnya ia selalu saja menggoda, bahkan sering menjahili Wenda.

"Dek, lo ada temen nggak sih? Yang jomlo gitu, kenalin lah sama gue. Sumpek bat idup gue, kampus kafe ... kampus kafe. Kan gue pengin juga ada yang neleponin nanya kabar, kasih perhatian. Ini yang neleponin kalo nggak temen kafe, ya supplier kopi."

"Ada," sahut Wenda singkat.

"Kenalin dong, Dek." Dhika berharap penuh pada adik satu-satunya.

Wenda menunjuk Chandra dengan dagunya. "Itu temen gue. Temen hidup! Kan lo tadi bilang, kita nggak punya temen lain."

"Ya ... cewek dong, Dek. Temen kampus lo, gitu. Masa gue main perang-perangan sama laki lo. Ngukur pedang sapa paling panjang, gitu. Gila aja," seloroh Dhika tak berakhlak.

"Kak ...," panggil Chandra memberi isyarat agar berhenti.

"Ya kali, gue nyuruh pedang laki gue dimainin sama lo. Itu punya gue ya, nggak ada yang boleh nyentuh selain gue. Termasuk lo."

"Sayang ...."

Dhika menutup mulutnya tak percaya, matanya mengerjap beberapa saat. "Wah, sejak kapan mulut lo begini, Dek."

Dhika menatap Chandra dengan penuh selidik. "Wah, kerjaan lo, Chan. Nggak nyangka gue."

Chandra diam, ia tak kalah terkejut Wenda bisa berkata demikian.

Kenapa di sini ngomong gitu, sih, Wen. Giliran sama aku aja, kepala aku kamu toyor terus, dikatain mesum.

Tanjung Enim, 1 Oct 2021.

Halooow selamat pagi, Jumat berkah.

Bantu aku ramaikan cerita baru dong.
Para bucin Jaehyun, Doyoung, dan Yeri mari berkumpul.

Blurb



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top