24. Disusulin
Mau tanya dong, kalian bisa baca Tokophobia dari mana?
Dari SNY terus disusulin ke sini atau langsung loncat ke sequel ini?
💙💙
"Chan, di mana?"
"Udah pulang?"
"Aku lagi nyemil puding buatan bunda. Enak."
"Kamu kalo nggak ada aku jangan genit-genit, ya."
"Sekarang kamu lagi ngapain."
Itulah sederet kalimat yang Wenda ucapkan saat bertelepon dengan suaminya. Ah, tidak! Ini harus diperjelas. Lebih tepatnya adalah wanita itu yang selalu menelepon Chandra.
Sejak diantar ke rumah ayahnya kemarin malam, Wenda tak hentinya memberi dan menanyakan kabar sang suami. Untuk hari ini saja, dari pagi hingga sekarang menunjukkan pukul 20.45 WIB, sudah tak terhitung lagi berapa kali Wenda menghubungi Chandra. Entah kenapa, akhir-akhir ini wanita menjadi posesif terhadap Chandra.
"Pulang ajalah, Sayang. Aku jemput, ya?"
"Nggak! Belum mau pulang. Masih mau di sini, nggak apa-apa ya aku di sini lebih lama."
Chandra menghela napas berat. "Iya, nggak apa-apa." Asal enggak tiap jam juga kamu neleponin aku, Wen.
Melalui layar ponselnya, Chandra menatap senyum istrinya terkembang sempurna setelah mendapat izin darinya.
"Kamu lagi di mana?"
"Menurut kamu?" Chandra sedikit menyingkir dari layar kamera, agar Wenda bisa mengamati di mana Chandra berada.
"Sofa kamar?"
Chandra mengangguk, membenarkan tebakan Wenda. "Kamu belum mau bobo?"
Pertanyaan itu bukanlah bermaksud agar Wenda mengakhiri panggilan videonya, tetapi karena sejak tadi wanita itu berapa kali menguap.
"Chan," panggilnya dengan nada melirih.
"Iya, sayangku."
"Tadi perut aku sempet sakit, melilit. Sekarang udah mendingan, sih. Tadi diperiksa ayah."
Chandra membenahi posisi duduknya menjadi lebih tegak. Wajahnya serius mendengarkan cerita Wenda di seberang sana.
"Terus, kata ayah gimana? Perlu diperiksa lebih lanjut nggak ke rumah sakit. Besok kita periksa ke dokter ya, Sayang."
"Aku udah nggak apa-apa, ngapain ke dokter. Lagian udah minum obat jug—"
Kalimat Wenda tidak rampung, lagi-lagi wanita itu menguap. Matanya berair, mengerjap beberapa kali.
"Tuh, udah nguap lagi. Bobo ajalah, Sayang. Istirahat, ya. Besok aku ke sana, oke?"
Wenda mengangguk, mengusap pelan matanya dengan telapak tangannya.
"Kiss, Sayang."
Wenda menempelkan empat jarinya di depan bibir, kemudian meniupnya ke arah layar ponsel. Chandra dengan sigap menangkap ciuman tak kasat mata itu dan menempelkannya di dada sebelah kiri.
"Sayang ma—" ucapnya yang hanya bisa dilanjutkan dalam hati, karena Wenda sudah mematikan sambungan telepon.
Untuk beberapa detik, Chandra tercenung menatap layar ponselnya yang sudah menampilkan wallpaper dirinya dan Wenda. Ia beranjak dari sofa, tanpa kehadiran Wenda kamarnya terasa kian sunyi.
Ponsel yang ia genggam, seketika berdering kembali. Ia menatap sang penelepon. "Bang Ridho? Ada apa telepon malam-malam. Nggak biasanya," gumam Chandra seraya menggeser tanda hijau.
"Halo, Bang?"
Mata Chandra bertambah bulat mendengar penuturan di seberang sana.
"Iya, bang. Deket rumah gue itu. Siap ... siap, Bang. Abang tunggu di sana, gue susulin ke sana, sepuluh menit sampe, kok."
Chandra bergegas meraih satu lembar kaus oblong dan celana training dari dalam lemari, kemudian menyambar sweter yang tergantung di gantungan baju. Langkahnya kian dipercepat menuju garasi mengeluarkan mobilnya dan meninggalkan rumah.
***
"Halo, asalamualaikum," sapa Chandra pada wanita yang dengan damainya tidur menghadap langit-langit kamar bernuansa putih.
Kecupan hangat Chandra tinggalkan di dahi yang ditutupi anak-anak rambut itu. Tangannya terulur menyingkirkan poni rambut wanita itu. Bulu mata lentik sang wanita bergerak pelan, ia merespon usapan tangan Chandra di pipinya.
Chandra menyatukan hidung mereka, mengecup lama bibir ranum wanitanya, kemudian sedikit melumat ringan. Pelan, tapi pasti mata indah itu terbuka. Sesekali mengerjap membiasakan cahaya lampu tidur yang menerjang retinanya.
"Kok kamu ke sini," ucapnya parau.
Chandra mendekatkan kembali wajahnya pada wanitanya. "Aku kesepian di rumah, kangen kamu."
Tangan ramping itu terulur mengalung di leher Chandra, sedikit menariknya agar mendekat. Kecupan manis ia bubuhkan di bibir Chandra.
Selimut yang semula menutup hingga dada sang wanita, kini sudah tersibak. Tak pelak, Chandra menelan ludah susah payah saat netranya tertuju pada yang wanita kenakan. Baju tidur dengan model tanktop melekat indah di tubuhnya, jangan lupakan aset berharga tanpa bra terpampang samar di balik kain tipis berwarna marun itu.
Chandra merangkak naik ke tempat tidur, merengkuh erat pujaan hati. Kecupan kecil dari bibir Chandra bermain di pipi, rahang, hingga dengan nakalnya turun ke bahu mulus yang hanya tersandar seutas tali tipis di sana.
"Emang kamu nggak kangen aku?" tanya Chandra lagi, merasa ucapan rindu sebelumnya tak kunjung dibalas dengan kata manisnya.
"Nggak! Aku nggak kangen kamu," ungkapnya tegas.
Tubuh Chandra beringsut sedikit menindih tubuh yang lebih kecil, menuntun kembali tangan ramping ke lehernya.
"Iya, cuma aku yang kangen selalu sama kamu. Kamu nggak pernah kangen aku emang." Chandra mengecup kembali leher mulus nan jenjang itu. "Tapi seharian ini, yang neleponin terus siapa, ya?" goda Chandra pada istrinya.
"Nggak tahu! Kamu kali itu, udah tahu aku sibuk ditelepon terus."
Chandra tertawa renyah, sedikit beranjak kembali mengecup wajah Wenda, bahu dan leher. Dan yang membuat Wenda menahan napas adalah, pria itu sudah menyibakkan selimut hingga gaun tipis yang menghalangi perut ratanya. Entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu, ia mengecup ringan perut Wenda.
"Perutnya masih sakit nggak?" tanyanya dengan nada suara yang sedikit berbeda.
"Nggak lagi, kan udah minum obat dari ayah tadi," balas Wenda menghalau rasa gugupnya.
"Aku kangen kamu, Sayang."
Wenda menonyor dahi Chandra yang masih berada di atas perutnya. Iya paham arti lain yang tersembunyi di kata rindu itu.
"Tapi, Chan ...."
Chandra beranjak, duduk di dekat lutut Wenda. Ia membuka kaus hitam yang masih melekat di tubuhnya. Melemparkan kain itu ke sembarang arah. Ia sedikit bergeser, duduk berlutut di ujung kaki Wenda. Tangannya memisahkan kedua kaki Wenda yang semula merapat. Kini, ia berada di antara paha Wenda.
Beberapa kali Wenda menarik napas, menghempaskan secara kasar akibat perlakuan suaminya. Usapan hingga kecupan yang membangkitkan kupu-kupu di perutnya pun turut terpancing. Wenda mencengkeram rambut belakang Chandra, saat dengan kurang ajarnya bibir pria itu bermain di dadanya, membuat Wenda menggeliat sesaat.
"Chan, aku—"
Lagi-lagi ucapan Wenda terpotong dan berganti dengan desisan merdu. Chandra sudah sangat terlatih dalam menyingkirkan pakaian istrinya agar polos tanpa penghalang. Seperti yang sudah-sudah, tubuh Wenda tanpa penutup akibat tangan nakal itu.
Bibir Chandra kembali melumat bibir sang istri, mencecap tiap inci bagian dada, bahu, dan turun ke perut Wenda. Erangan kecil tak bisa Chandra tahan lebih lama.
"Chan ...."
"Aku kangen, Sayang."
Chandra bangkit, meraih sesuatu dari saku celana. Mengeluarkan benda yang masih terbungkus kemasan berwarna merah.
"Aku bawa ini, biar kamu nggak ngomel-ngomel lagi," ujar memamerkan satu sachet pengaman.
Mungkin sejak kejadian kemarin, Chandra berubah jadi pria mesum yang ke mana-mana menyimpan pengaman di sakunya.
"Bukan soal pake pengaman, Chan. Aku lagi—"
Chandra membekap bibir Wenda, serangkai kata janji ia lontarkan asal hasratnya tersampaikan malam ini.
"Aku janji pelan-pelan, aku sayang kamu."
Tangan Chandra meraba pinggang belakang hingga bokong Wenda, mencari cela untuk menarik penghalang terakhir yang masih melekat di tubuh wanitanya.
Namun, mata Chandra membulat saat meraba sesuatu yang ganjil di sana. Tangannya meraba bagian depan. Suara tawa ringan keluar dari Wenda.
"Sayang, kamu ...."
Wenda semakin geli menertawakan Chandra. Ia membekap mulutnya agar gelak tawanya tidak menggangu tidur seisi rumah. Mengingat waktu sudah menunjukkan di pukul satu dini hari. Wenda menarik kembali selimut menutupi tubuh polosnya.
Tubuh Chandra melemas, kepalanya bersandar di dada Wenda. Usapan lembut di kepalanya ia dapatkan dari telapak tangan halus istrinya. Setelah mendapati yang—tidak sengaja—ia raba di bagian bawah Wenda adalah pembalut, pria itu tampak kecewa. Ia tahu fungsi pembalut jika sudah melekat di celana wanita itu.
"Sabar ya, Papi. Nggak lama kok, cuma seminggu kayak biasanya."
Bukan soal itu, Wenda. Jangankan nunggu seminggu, setahun pun aku pernah puasa, tapi bibit-bibit hasil kerja keras aku di Bandung, sia-sia dong.
Tentu saja hanya bisa mengumandangkan kalimat itu di dalam hatinya. Ia tidak ingin membuat istrinya tersinggung, bahkan berpotensi ia mengingat ketakutannya lagi.
Chandra bangkit, beranjak turun dari tempat tidur, melangkah menuju lemari pakaian Wenda. Ia menarik satu setel baju tidur Wenda. Kemudian membantu wanita itu mengenakannya.
"Kamu kok bisa di sini?" tanya Wenda di sela memasukkan lengannya ke lubang tangan baju.
"Tadi tuh keluar bentar, ada urusan mendadak. Terus lewat depan kafe Kak Dhika. Aku lihat Kak Dhika masih di sana."
"Ya terus kamu bisa sampe sini," selidik Wenda.
"Mobil Kak Dhika dipake temennya, dia nungguin lama. Jadi, ya udah aku anterin pulang."
"Terus kenapa nggak langsung pulang?"
Selesai dengan memakaikan Wenda baju tidur—yang normal—Chandra mencium pipi kiri Wenda. "Istri aku ada di sini. Lagian kata bunda nginep aja, udah malam. Takut kenapa-kenapa sama mantunya yang ganteng ini."
Wenda berdecih, ingin muntah dengan ucapan suaminya yang terlalu percaya diri itu. Chandra beranjak dari duduknya.
"Aku mau bersih-bersih dulu, kamu bobo aja duluan. Takutnya lama kalo nungguin aku."
Chandra berbalik menuju kamar mandi, ada tatapan iba dari Wenda. Rasa bersalah kian menyentil sudut hatinya.
"Makasih banyak untuk semuanya, Chan. Aku cinta banget sama kamu," lirihnya yang tak dapat Chandra dengar karena sudah hilang di balik pintu kamar mandi.
Tanjung Enim, 26 September 2021
Selamat hari Minggu pens-pens Wenda Chandra. Aku baik tak? Sudah meluangkan waktu untuk kalian ngoceh-ngoceh di lapak ini. Silakan komentarnya para pens yang Budiman. 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top